Partai Islam Dan Demokrasi
22.21 | Author: kontrademokrasi
Oleh: Azhari

hayatulislam.net - UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, BAB IV, TUJUAN, Pasal 6

(1) Tujuan umum partai politik adalah:

b. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (lihat 1 ).

Begitulah kira-kira bunyi UU tentang tujuan sebuah partai politik didirikan yang dijadikan persyaratan bagi partai manapun (Islam, nasionalis, sekuler dan kafir) saat mendaftar di KPU, agar bisa mengikuti Pemilu. Kalau kita cermati UU tersebut maka timbul pertanyaan mendasar?: “Apakah ini sistem demokrasi yang didambakan banyak orang, sistem demokrasi yang sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat?” Tetapi kenyataannya, ini Demokrasi Semu disaat restriksi (batasan-batasan) yang dicantumkan dalam UU yang membatasi gerak sebuah Partai Politik semata-mata untuk menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan melanggengkan sistem Demokrasi Pancasila dalam sebuah NKRI. Terlihat jelas disini, demokrasi telah membuat UU untuk menjaga dirinya agar tidak dihancurkan oleh kekuatan lain (Islam). Demokrasi telah menjaga dirinya dengan baik!

Sehingga memperjuangkan sistem Islam didalam bingkai demokrasi adalah suatu kemustahilan, karena tidak mungkin demokrasi bersedia dihancurkan/digantikan oleh sistem Islam. Pastilah demokrasi telah menjaga dirinya sebaik-baiknya, dengan itu tadi: UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik Bab IV, Pasal 6, ayat 1b.

Lantas, apa yang akan dilakukan oleh partai-partai Islam yang berazaskan Islam, jika memenangkan Pemilu? Islam seperti apa yang akan mereka perjuangkan? Sungguh suatu kontradiksi, satu sisi mereka berazaskan Islam dan memperjuangkan syari’at Islam dalam sebuah sistem, tetapi disisi lain mereka telah dikekang dengan UU yang membatasi gerak mereka untuk tidak mengutak-atik Sistem Demokrasi Pancasila.

Demokrasi berasal dari ide pemisahan agama dari sistem kehidupan atau pemisahan agama dengan politik (sekularisme), dimana rakyat sudah muak dengan intervensi gereja dalam mengatur kehidupan politik. Para pendeta mencampuri urusan Negara, mereka memperkaya diri sendiri dengan alasan agama. Padahal agama Kristen sendiri tidak mengatur sistem kehidupan manusia, kitab mereka lebih banyak mengatur soal ritual ibadah, do’a, puja-puji dan akhlaq.

Sedangkan Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dengan politik, Islam adalah agama sekaligus juga ideologi/mabda’. Al-Qur'an yang mulia tidak hanya berisi tata cara ritual ibadah semisal shalat, zakat, puasa, haji, do’a, dzikir, dan lain-lain, tetapi al-Qur'an juga menjelaskan sistem ekonomi (iqtishadi), sosial (ijtima’i), sanksi/peradilan (‘uqubat), politik (siyasah) dan pendidikan. Sehingga Islam tidak bisa dipisahkan dengan Negara atau penerapan Islam secara kaffah tidak akan bisa dijalankan tanpa sebuah institusi Negara (lihat 2, hal 49; lihat 3, hal 33 & 50). Bahkan tanpa Negara, syari’at yang terkandung didalam al-Qur'an hanya bisa dijalankan sekitar 10% saja (lihat 4, hal 128). Lantas, sisanya 90% mau dicampakkan kemana?

Walhasil, menggabungkan sistem demokrasi dengan Islam adalah pekerjaan yang mustahil dan tidak akan pernah bisa menyatu. Bagaimanapun usaha untuk mencocok-cocokkan dengan Islam tetap tidak akan cocok, meskipun ada unsur yang sama antara Islam dengan demokrasi semisal adanya syuro (musyawarah), tetapi terdapat perbedaan mendasar antara syuro dalam demokrasi dengan syuro dalam Islam. Syuro dalam Islam tidak melegalisasi keharaman, tetapi syuro dalam demokrasi bisa saja dalam hal keharaman asalkan suara mayoritas mendukungnya (lihat 5, hal 195). Sehingga adanya unsur kesamaan dalam hal syuro ini, tidak bisa dikatakan demokrasi sama dengan Islam, ini bagaikan menyatakan Bemo sama dengan Pesawat karena sama-sama mempunyai roda tiga.

Islam juga tidak membutuhkan sistem demokrasi untuk melengkapinya, karena Islam adalah ajaran yang maha sempurna (agama sekaligus ideologi/mabda’), yang diturunkan oleh Yang Maha Sempurna juga, Allah SWT. Mustahil Allah Yang Maha Rahman dan Rahim, melakukan kealpaan dalam mengatur seluruh sistem kehidupan manusia.

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian. (Qs. al-Maa'idah [5]: 3).

Kita telah mengalami penderitaan yang panjang dalam sistem demokrasi ini, baik secara nasional maupun internasional. Secara nasional, krisis ekonomi, politik dan sosial/budaya yang tidak kunjung usai. Secara internasional, bangsa-bangsa kafir dengan arogansinya menjajah umat Islam di Palestina, Afghanistan dan Iraq, menguras kekayaan alam negeri-negeri Islam berupa minyak, emas, kayu, dan lain-lain, menghina-dinakan umat Islam dengan satu alasan “teroris”. Harus ada sistem alternatif untuk menggantikannya, sistem kapitalis-demokrasi telah terbukti gagal dan menyengsarakan umat manusia, sistem sosialis-komunis telah runtuh di Rusia akibat sistem ini tidak sesuai dengan fitrah manusia. Tidak ada pilihan lain selain sistem Islam!

Memperbaiki sistem demokrasi tidak ada gunanya lagi, ini sama halnya kita mempunyai rumah yang sudah tua, keropos dan lapuk dimakan rayap, bocor atapnya, mengelupas catnya, bahkan sudah hampir runtuh. Tetapi kita masih berusaha menambal disana-sini, memperkuat bagian yang keropos, mempercantiknya dengan mengecat ulang. Kita tidak butuh pekerjaan tambal sulam, disamping tidak sesuai dengan syari’at Allah yang mulia, juga pekerjaan yang sia-sia dan hasilnya tidak sempurna. Lebih baik mendirikan rumah baru dengan pondasi dan material baru, sangat kokoh dan indah.

Kebobrokan yang terjadi akibat sistem demokrasi bukan tanggung jawab kita (Partai Islam), itu adalah tanggung jawab para penggagas demokrasi (kafir Barat) dan pendukungnya. Tanggung jawab kita (Partai Islam) adalah memperjuangkan sistem milik kita sendiri, yakni sistem Islam. Sungguh aneh, orang Islam memperjuangkan sistem orang lain (demokrasi) bukannya sistemnya sendiri (Islam). Katakan pada sistem demokrasi itu: “Saya tidak akan memperbaiki kebobrokan anda, saya telah punya sistem yang sempurna (Islam) yang akan saya bangun sendiri!”

Kita juga tidak butuh Islam yang secuil saja dalam hal hukum waris, nikah, thalaq dan rujuk. Kita tidak butuh Islam yang sekedar label “Syariah” saja dalam hal Bank syariah, Asuransi syariah, MLM syariah, Bursa saham syariah, yang semuanya masih dipertanyakan keabsahan hukum syara'-nya. Kita tidak butuh Islam yang setengah, sepertiga dan seperempat. Tetapi kita butuh Islam kaffah (totalitas) karena begitulah Allah SWT dan rasul-Nya menjelaskan kepada kita, jangan turuti langkah-langkah syaithan orang-orang yang mengambil ajaran selain dari Islam. Jangan mengambil sebagian dan mencampakkan sebagian besar lainnya, sehingga kita menjadi orang-orang yang merugi diakhirat nanti.

Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kedalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu. (Qs. al-Baqarah [2]; 208).

Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar pula sebagian yang lain?. Tiadalah balasan bagi orang-orang yang berbuat demikian dari padamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. (Qs. al-Baqarah [2]: 85).

Kita telah memilih dengan cara apa kita berjuang, tentu pilihan-pilihan ini yang akan kita pertanggung jawabkan dihadapan Allah Yang Maha Berdaulat (bukan rakyat!) di yaumil akhir nanti. Wallahua’lam.

Maraji’:

1. www.kpu.go.id: Undang-undang/peraturan, UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, Bab IV, Pasal 6, ayat 1b

2. Dakwah Islam 1, Ahmad Mahmud

3. Debat Islam sekular, Ma’mun Hudhaibi (hal 33) & Muhammad Imarah (hal 50)

4. Dakwah Islam & masa depan ummat, Abdurrahman Al-Baghdadi

5. 37 soal jawab tentang ekonomi, politik dan dakwah Islam, Abu Fuad
This entry was posted on 22.21 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: