Islam dan Demokrasi
08.28 | Author: kontrademokrasi
Oleh: Syamsul Balda, Direktur Eksekutif Smart Leadership Institute
Dalam sebuah kesempatan, penulis bersama seorang ulama, bersilaturrahim ke kediaman salah seorang pimpinan Pondok Pesantren besar di Jawa Tengah yang sangat berpengaruh.
Diantara perbincangan tentang masalah da’wah dan negara, ada satu hal yang cukup mengagetkan kami, yakni pendapat beliau yang menyatakan bahwa Demokrasi tidak diakui Islam, mengarah pada kemusyrikan bahkan masuk kategori kekufuran.
Alasannya, demokrasi berarti pemberian kewenangan untuk menetapkan hukum kepada rakyat. Padahal dalam Islam, rakyat tidak berhak menetapkan hukum. Allah lah yang memiliki hak prerogatif menetapkan hukum, sebagaimana firman-Nya:
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al-An’am, 6:57)
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka ia termasuk golongan kafir.” (QS. Al-Maaidah,5:44)
Pendapat beliau ini ternyata juga di-amini oleh beberapa ulama berpengaruh di Jawa Tengah, Jakarta, dan Jawa Timur. Hasilnya, dalam pemilu 2009 yang lalu, suara partai-partai Islam mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Sementara, disisi lain, berkembang opini di kalangan penganut Islam liberal bahwa Islam adalah musuh demokrasi, tidak toleran, membelenggu dan otoriter.
Benarkah kedua pendapat yang berbeda kutub tersebut?
Masalah prinsip ini harus dijelaskan dengan tuntas dan didudukkan secara proporsional, agar Islam tidak ditimpakan kesalahan penafsiran yang tidak benar, sekalipun keluar dari kalangan ulama. Sebab bagaimana pun juga, mereka bisa salah dan bisa benar.
Penulis memohon kepada Allah agar berkenan menampakkan kebenaran berdasarkan dalil-dalil syari’at dan hujjah balighah.
Kaidah dalam Hukum
Para ulama salaf telah menyepakati suatu kaidah: “Hukum tentang sesuatu merupakan derivasi dari konsepsinya.” Barangsiapa menetapkan hukum tentang sesuatu padahal dia tidak mengetahui secara pasti tentangnya, maka ketetapan hukumnya dianggap cacat, sekalipun mungkin secara kebetulan benar.
Disebutkan dalam sebuah hadits shahih, bahwa hakim yang menetapkan hukum tanpa mengetahui permasalahannya, akan masuk ke dalam neraka, seperti orang yang mengetahui kebenaran namun menetapkan yang lain.
Dalam konteks ini, apakah demokrasi yang didengung-dengungkan negara-negara di seluruh dunia, diperjuangkan oleh bangsa-bangsa Barat maupun Timur, setelah berperang melawan penguasa diktator dengan tumpahan darah dan ribuan bahkan jutaan nyawa jadi korban, dijadikan sarana ampuh bagi da’wah untuk melawan hegemoni penguasa zhalim yang mengaku muslim, termasuk kemungkaran atau bahkan kekufuran? Apakah mereka yang berpendapat demokrasi itu kufur, mengerti akan hakikat atau substansi demokrasi?

Substansi Demokrasi
Terlepas dari definisi akademis tentang demokrasi, pada hakikatnya demokrasi dalam aspek politik adalah dihormatinya hak setiap individu dalam sebuah bangsa untuk memilih pemimpin sesuai dengan aspirasinya. Tidak boleh ada yang memaksakan kehendak kepada mereka untuk memilih seorang pemimpin tertentu yang tidak dikehendaki.
Ketentuan ini pada dasarnya sesuai dengan ajaran yang digariskan oleh Islam melalui perangkat syura (permusyawaratan) dan bai’at (kontrak politik yang mengikat rakyat untuk berkomitmen tunduk dan taat pada pemimpin yang dipilihnya.
Kesesuaian antara Islam dengan demokrasi juga terlihat ketika Islam mengutuk dan mengecam para diktator; sementara di sisi lain mengedepankan pemimpin yang kuat, amanah, kredibel, kapabel serta mampu mengayomi rakyatnya. Islam memerintahkan umatnya untuk mematuhi keputusan mayoritas.
Islam juga mengandung ajaran bahwa tangan Allah bersama jama’ah (rakyat banyak). Rasulullah saw bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, “Kalau kalian berdua sepakat dalam suatu hal, aku tidak akan menentang pendapat kalian berdua.” [1] Ini menunjukkan bahwa aspirasi dari jumlah orang yang lebih banyak harus didahulukan dari aspirasi segelintir orang, termasuk pendapat Rasulullah sendiri (dalam masalah ijtihadi duniawi).
Di dalam Islam, setiap rakyat berhak memberikan saran atau nasihat kepada penguasa, menganjurkannya berbuat baik dan meninggalkan kemungkaran; tentu dilakukan dengan tetap memperhatikan etika dan cara mengingatkan dengan baik.
Rakyat juga mempunyai kewajiban untuk taat kepada penguasa selama kebijakan yang diambilnya adalah kebaikan. Sebaliknya, rakyat berhak menolak ketika diperintah untuk melakukan perbuatan yang dilarang menurut kesepakatan kaum Muslimin dan atau melakukan kemaksiatan yang nyata. Karena, tidak boleh menaati siapa pun untuk melakukan maksiat kepada Allah. Hal seperti ini juga berlaku dalam sistem demokrasi.
Hal penting lainnya dalam penerapan sistem demokrasi adalah Pemilihan Umum (pemilu) dan pengambilan keputusan berdasar suara terbanyak; dimana secara umum bisa dinilai tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Walau tetap memiliki beberapa kelemahan, sistem ini masih lebih baik dari sistem buatan manusia lainnya. Yang perlu diantisipasi adalah menjaga berjalannya sistem ini agar tidak dimanfaatkan oleh para penipu atau penjahat. 

Relevansi Demokrasi dengan Islam
Ada tiga pendapat yang berbeda dalam menyikapi hubungan Demokrasi dengan Islam.
1. Mereka yang menolak demokrasi dengan mengatasnamakan Islam.
Mereka ini bependapat bahwa demokrasi dan Islam adalah dua hal yang bertentangan dan tidak akan bisa dipertemukan. Mereka beralasan:
  1. Demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia sedangkan Islam berasal dari Allah.
  2. Demokrasi berarti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; sedangkan Islam mengatakan bahwa kekuasaan itu milik Allah.
  3. Demokrasi ditentukan oleh suara terbanyak, padahal belum tentu suara terbanyak merupakan kebenaran.
  4. Demokrasi adalah hal baru yang termasuk dalam kategori bid’ah dalam agama; generasi Islam sebelumnya tidak mengenal adanya sistem demokrasi. Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menciptakan hal baru yang sebelumnya tidak ada dalam agama kita, maka hal tersebut ditolak.” (HR. Muslim, Ahmad). Juga hadits Nabi lainnya, “Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak ada dalam agama kami, ia akan ditolak.” (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasa’i).

    Demikian pula ada hadits yang menyatakan, “Perkataan yang paling benar adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad, seburuk-buruk hal adalah sesuatu yang diada-adakan. Setiap yang diada-adakan adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat, dan kesesatan itu akan mengantarkan ke neraka.” (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasa’i) [2]
  5. Demokrasi merupakan produk Barat yang notabene sekuler dan kafir. Bagaimana kita akan mengikuti ajaran orang-orang yang ingkar pada Allah dan Rasul-Nya?

    Karena alasan-alasan tersebut mereka dengan tegas menolak demokrasi. Mereka juga mengecam orang-orang Islam yang menerima dan menerapkan demokrasi. Bahkan mereka tidak segan-segan menuduhnya musuh Islam. Ada juga diantara mereka yang menganggap demokrasi itu syirik dan sebagai bentuk kekufuran.
2. Mereka yang menerima demokrasi secara total tanpa reserve.
Kelompok ini menganggap bahwa demokrasi Barat adalah satu-satunya solusi yang tepat untuk mengatasi problematika negara, pemerintahan, rakyat dan tanah air. Mereka menerima demokrasi Barat bulat-bulat, termasuk sistem ekonomi liberalnya dan sistem sosial kemasyarakatannya yang bebas tanpa batas.
Mereka meng-copy paste demokrasi Barat tanpa edit, dan ingin menerapkannya persis sama dengan praktek demokrasi di negara-negara Barat. Demokrasi yang tidak berdasarkan akidah, tidak mengenal akhlak, mengabaikan ibadah dan menyepelekan syari’ah. Bukan hanya itu, demokrasi Barat memisahkan secara diametral urusan agama dengan urusan negara.
Mereka ini korban dari ghazwul-fikri, perang budaya, yang berujung pada kekalahan dan melahirkan mentalitas ‘kaum terjajah’ yang bangga apabila dapat meniru sikap dan perilaku penguasa penjajahnya.
3. Mereka yang menerima demokrasi secara moderat.
Kelompok ini berpendapat bahwa ada yang positif dalam sistem demokrasi, dan hakikat dari demokrasi itu sendiri tidak bertentangan, bahkan bersesuaian, dengan ajaran Islam.
Sebagaimana kita ketahui bahwa hakikat demokrasi itu adalah hak rakyat untuk memilih siapa pemimpinnya.
Tidak boleh ada yang memaksa mereka untuk memilih pemimpin yang tidak mereka sukai, atau pemimpin zhalim, atau korup, yang merampas hak-hak mereka sebagai rakyat.
Substansi demokrasi ini berarti juga meniscayakan perlu adanya mekanisme dalam pemerintahan yang memungkinkan rakyat untuk melakukan fungsi kontrol atau pengawasan, juga evaluasi terhadap jalannya pemerintahan.
Disamping perlu pula adanya mekanisme yang memungkinkan rakyat memberikan peringatan dan menasihati pemimpin apabila mereka menyimpang dari amanat yang diberikan kepada mereka; juga peringatan keras kepada pemimpin yang tidak mau mendengarkan aspirasi rakyatnya; bahkan memungkinkan rakyat untuk memakzulkannya dengan jalan damai.
Kelompok ini juga berpandangan, apabila terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah (eksekutif) dengan parlemen (legislatif), atau dengan tokoh-tokoh masyarakat, dalam masalah yang berkaitan dengan syari’ah; maka perbedaan tersebut dibawa, untuk ditengahi, kepada Majelis Ulama atau bahkan Mahkamah Konstitusi yang mengundang ulama-ulama yang berkompeten di bidangnya, agar ditetapkan keputusannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini sesuai dengan perintah Allah swt:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri (pemimpin) diantara kalian. Apabila kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.” (QS. An-Nisaa’, 4:59).
Sementara jika terjadi perselisihan pendapat dalam masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan kemasyarakatan yang masuk dalam kategori mubah, maka yang pengambilan keputusannya diupayakan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
Apabila tidak tercapai mufakat, maka bisa melalui pengambilan pendapat melalui suara terbanyak (voting); karena pendapat dua orang atau lebih dekat kepada kebenaran daripada pendapat satu orang. Hal ini sesuai dengan logika syari’at Islam, disamping logika politik yang memang “harus ada yang diunggulkan”. Yang diunggulkan ketika terjadi perselisihan pendapat adalah jumlah yang terbanyak.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya syetan itu bersama satu orang dan dia menjauh dari orang berdua.” (HR. At-Tirmidzy dan Al-Hakim). [3]
Nabi saw juga pernah bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, “Seandainya kalian berdua menyepakati suatu pendapat, tentu aku tidak akan menyalahi kalian berdua.” (HR. Ahmad). [4]
Dengan kata lain, pendapat yang didukung dua orang lebih diunggulkan daripada pendapat seorang, sekalipun itu pendapat Rasulullah saw, selagi dalam masalah-masalah di luar lingkup syari’at dan apa yang telah ditetapkan Allah.
Bahkan dalam kasus Uhud, seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi harus mengikuti pendapat mayoritas karena sebagian besar Sahabat memilih untuk menghadapi orang-orang musyrik di luar Madinah, walau beliau sendiri bersama beberapa Sahabat terkemuka berpendapat untuk bertahan saja di dalam kota Madinah sembari berperang gerilya di jalan-jalan Madinah yang seluk-beluknya sudah mereka hapal.
Yang paling nyata mengenai pendapat mayoritas ini adalah sikap Umar bin Khathab tentang enam orang anggota Majelis Syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai Tim Formatur sekaligus diberi amanah untuk memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi Khalifah berdasar suara terbanyak.
Sedang yang tidak terpilih dari tim tersebut harus patuh dan tunduk kepada kandidat terpilih. Jika dalam voting tersebut suara yang diperoleh tiga lawan tiga, mereka harus mengambil suara dari luar tim formatur, yakni Abdullah bin Umar.
Dalam beberapa hadits juga dinyatakan pujian terhadap “golongan terbesar” dan perintah untuk mengikutinya. “Golongan terbesar” ini maksudnya adalah golongan mayoritas diantara umat manusia.
Menurut beberapa ulama, hadits ini berkaitan dengan pelibatan seluruh rakyat dalam penentuan Khalifah atau masalah-masalah kenegaraan yang harus diputuskan dan membutuhkan pendapat mayoritas.
“Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan atau tujuh puluh dua golongan; dan sesungguhnya umat ini (Islam) lebih banyak satu golongan dibanding mereka. Semuanya masuk neraka kecuali golongan terbesar.” (HR. Ath-Thabrany dan Ahmad) [5]
Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazaly berpendapat dalam beberapa tulisannya, bahwa pendapat mayoritas lebih diunggulkan jika ada dua sisi pandang yang serupa.
Pendapat yang menyatakan pengunggulan hanya berlaku untuk pendapat yang benar walau hanya didukung satu suara dan menolak pendapat yang keliru walau didukung mayoritas suara, adalah untuk hal-hal yang dikuatkan nash syari’at dengan dalil dan hujjah yang kuat, jelas dan tidak mengandung perbedaan pendapat di kalangan ulama. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan: “Yang disebut jama’ah adalah yang sejalan dengan kebenaran, sekalipun engkau hanya sendirian.”
Sedangkan untuk hal-hal ijtihadiyah yang tidak ada dasar nash-nya, atau ada nash-nya namun mengandung lebih dari satu penafsiran, atau ada nash lain yang bertentangan dengannya atau lebih kuat darinya; maka diperbolehkan untuk memilih salah satu yang diunggulkan agar bisa menuntaskan silang pendapat.
Dan voting, pengambilan keputusan berdasar suara terbanyak merupakan cara yang tepat untuk itu. Tidak ada satupun dalil dalam syari’at yang melarang proses pengambilan keputusan dengan cara seperti ini.
Walau sistem demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia, bukan berarti sistem ini tercela dan harus ditolak. Bukankah Allah telah memerintahkan manusia untuk mengoptimalkan penggunaan akal fikiran?
Kita diperintahkan untuk berfikir, membaca, mengkaji, merenung, mengambil pelajaran dan hikmah, serta berijtihad? Tentu hasil ijtihad itu perlu ditimbang lebih dahulu, apakah bertentangan atau bersesuaian dengan ajaran Allah.
Dalam sistem demokrasi, menurut hemat penulis, terdapat hal-hal yang selaras dengan ajaran Islam, seperti: musyawarah, amar ma’ruf nahi munkar yang diterjemahkan dalam mekanisme check and balance, pengawasan (mutaba’ah), kontrol (muraqabah) dan evaluasi, saling menasehati (taushiyah), mencari mashlahat dan menghindari madharat, menegakkan keadilan dan melawan kezhaliman dan diktatorisme, dan aspek-aspek lainnya.
Mengenai penghakiman bahwa demokrasi itu mengambil alih kekuasaan Allah dalam memerintah dengan memberikan kekuasaan memerintah kepada manusia/rakyat, tidaklah benar. Karena pembentukan pemerintahan yang didukung dan dievaluasi oleh rakyat adalah untuk menghindari tirani kekuasaan atau diktatorisme politik oleh seorang individu atau kelompok elit tertentu.
Demikian pula penilaian bahwa demokrasi itu adalah sistem tercela karena merupakan produk impor, juga tidak tepat. Tidak ada satupun ketetapan syari’at yang berisi larangan mengambil pemikiran teoritis atau konsep dari non-muslim. Sewaktu perang Al-Ahzab, Nabi saw mengambil pemikiran bangsa Persia berupa strategi bertahan dengan menggali parit, bukan membangun benteng seperti biasa.
Beliau juga memanfaatkan tawanan perang Badar dari orang-orang musyrik untuk mengajari ilmu pengetahuan yang mereka miliki kepada kaum muslimin. Inilah yang disebut hikmah. Hikmah adalah milik kaum muslimin yang hilang lalu ditemukan. Jadi umat Islam berhak mendapatkan miliknya yang hilang tersebut.
Sementara, yang dilarang adalah mengimpor nilai-nilai yang membahayakan aqidah dan akhlak dan tidak memberikan manfaat. Sementara kita mengambil demokrasi dalam metode, mekanisme dan tata caranya saja, yang harus diakui memang lebih baik dibanding sistem lainnya; bukan filosofinya yang mengagungkan individualisme dan kebebasan tanpa dilandasi agama.
Yang kita inginkan adalah demokrasi yang dilandasi nilai-nilai agama, mengedepankan akhlak dan wawasan keilmuan, serta memprioritaskan nilai-nilai luhur tersebut di atas nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Antara Syura dan Demokrasi
Sebagian ulama menyatakan bahwa kita tidak memerlukan sistem demokrasi karena Islam sudah memiliki sistem syura yang lebih baik dan lebih syar’i.
Menurut hemat penulis, sebenarnya banyak yang bisa didiskusikan tentang hal ini; karena sistem syura sendiri belum cukup memadai untuk diterapkan dalam konteks kenegaraan yang memiliki scope sangat luas dan kompleks. Paling tidak ada dua alasan yang melatarinya:
Pertama, sebagian fuqaha menganggap syura bukan sesuatu yang wajib, tetapi termasuk kategori yang sunnah. Syura hanya diposisikan sebagai sebuah ketentuan yang ‘sebaiknya’ diterapkan dan diterapkan hanya sebagai ‘penyempurna’ bukan sebagai dasar atau fondasi.
Walaupun ada pula pendapat yang berlawanan dari Ibnu Athiyah, yang juga diperkuat oleh Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya. Ia mengatakan, “Syura adalah salah satu kaidah syari’at dan bagian dari fondasi hukum Islam. Seorang pemimpin yang tidak mengajak musyawarah ulama dan ilmuwan/pakar, maka ia wajib dimakzulkan.
Ini adalah ketentuan yang telah disepakati bersama dan tidak ada ada yang berbeda pendapat dalam masalah ini.” [6]
Kedua, Ada juga sebagian fuqaha yang menyatakan bahwa syura hanya sebagai ‘teknis’ atau ‘metode’, bukan tuntutan. Walau sebagian fuqaha lainnya berpandangan bahwa syura itu tuntutan agama yang hukumnya wajib, namun ternyata mereka tetap berkesimpulan bahwa yang wajib dilakukan oleh penguasa atau pemimpin adalah bermusyawarah dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang luas.
Setelah mereka mengemukakan pendapat dan pandangannya, penguasa boleh tetap menggunakan pendapatnya sendiri, dengan syarat ia bertanggung jawab sendiri secara pribadi. Penguasa tidak diharuskan mengikuti pendapat dan pandangan para ulama dan ilmuwan tadi, karena kewajibannya hanya bermusyawarah saja; sebagaimana dipahami dalam firman Allah swt:
“Bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam satu urusan, apabila kamu telah ber’azam, maka bertawakkallah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tawakkal.” (QS. Ali Imran, 3:159).
Penulis memang kurang sependapat dengan kedua pandangan yang ‘minor’ tentang syura tersebut, mengingat dalil-dalil tentang ‘mengikatnya’ syura serta hasilnya bagi penguasa atau pemimpin dalam mengambil keputusan lebih kuat dan logis.
Seperti perkataan Al-Qurthuby dalam tafsirnya, “Umar bin Khathab menjadikan syura sebagai institusi tertinggi dalam lembaga kekhilafahan.”
Al-Bukhary juga menyatakan, “Para pemimpin setelah Nasbi saw biasa bermusyawarah dengan ulama-ulama terpercaya dalam berbagai masalah untuk mengambil keputusan yang tepat.
Jika sudah ada kejelasan dalam Al-Qur’an dan Ad-Sunnah, mereka tidak akan beralih ke rujukan lain. Orang-orang yang mendalami Al-Qur’an adalah mereka yang paling sering dimintai pendapat oleh Umar, baik tua maupun muda, dan dia selalu berpegang teguh pada Kitabulah.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan di dalam Al-Fath, dalam Al-Adabul Mufrad, riwayat Al-Bukhary, dalam sebuah hadits panjang berkaitan dengan perjanjian Hudaibiyah, Nabi saw bersabda, “Berikan aku masukan dalam menghadapi orang-orang itu.” Kemudian Abu Bakar dan Umar memberi masukan, lalu beliau melaksanakan apa yang disampaikan Abu Bakar dan Umar.
Bahkan menurut Ibnu Hajar, Rasulullah pun mengajak Shahabatnya dalam menetapkan hukum. Rasulullah saw meminta pendapat Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kalian mengeluarkan sedekah (untuk fakir miskin) sebelum pembicaraan itu.” (QS. Al-Mujaadilah, 58:12). Lalu Ali memberi masukan tentang keringanan dalam mengeluarkan sedekah. Kemudian turun ayat selanjutnya yang membenarkan dan menguatkan pendapat Ali tersebut.
Namun harus diakui, bahwa sistem syura itu sendiri masih bersifat normatif, global dan sederhana, mengingat problematika sosial, politik dan ekonomi masyarakat di masa sistem syura itu dimunculkan pertama kali belum sekomplek dan serumit masa sekarang.
Ketika bangsa-bangsa di seluruh dunia semakin berkembang dengan segala kompleksitas permasalahannya, maka diperlukan ijtihad yang lebih dalam untuk merinci sistem syura tersebut sehingga mampu menjawab tuntutan zaman. [7]
Dalam konteks inilah kita menemukan jawaban atas tuntutan zaman itu dalam sistem demokrasi, yang notabene merupakan hasil uji coba bangsa-bangsa di seluruh dunia setelah mengalami berbagai problematika dalam perjalanan panjang selama ratusan tahun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara substanif tidak ada perbedaan antara sistem syura dengan sistem demokrasi. Bahkan bersesuaian. Yang membedakan adalah ‘ruh’ atau spirit dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sistem syura berspiritkan ”rabbaniyyah”, sedang sistem demokrasi berspiritkan “insaniyyah”. Sistem syura bernilai “religiuitas”, sedang sistem demokrasi “bebas nilai”.
Namun, bagaimanapun juga sistem demokrasi lebih detail, rinci dan aplikatif. Dalam sistem demokrasi inilah kita mendapatkan derivatif sistemnya berupa: sistem kepartaian, sistem pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan (lembaga legislatif), sistem pemilihan umum untuk pemerintahan pusat dan pemerintahan Daerah untuk memilih Presiden hingga Kepala Daerah (lembaga eksekutif), sistem pemilihan untuk lembaga Yudikatif, sistem ketata-negaraan yang meliputi pemisahan kekuasaan dan kewenangan antara ketiga lembaga tersebut agar berjalan mekanisme check and balances, bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem parlemen, sistem fiskal dan moneter, sistem keuangan negara dan perbendaharaan negara, sistem sosial, sistem pendidikan, dan sebagainya. Dimana seluruh sistem itu dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar negara dan Undang-undang yang terkait dengan setiap sistem yang dibutuhkan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kelebihan sistem demokrasi adalah dapat meminimalisir potensi diktatorisme politik, ekonomi dan sosial. Disinilah sebenarnya peluang kita untuk mengisi nilai-nilai religiusitas dalam sistem demokrasi, sehingga demokrasi itu menjadi “islami”.
Melalui mekanisme yang berlaku dalam sistem demokrasi, kita dapat melakukan audit terhadap seluruh produk-produk demokrasi berupa Undang-Undang Dasar (UUD) atau Undang-Undang (UU), kemudian memperjuangkan amandemen UUD/UU tersebut melalui parlemen, agar pasal-pasal yang terdapat di dalamnya sesuai dengan syari’at Islam.
Apabila kita mampu mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen, bukan tidak mungkin sebagian besar atau bahkan seluruh UU tersebut akan sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunah.
Kalau ini terealisasi, maka secara otomatis pemerintahan yang berkuasa mewujud menjadi pemerintahan Islam, karena menjalankan seluruh UU yang bersumber dari Al-Qur’an dan Ad-Sunnah. Pada saat itulah negara tersebut layak disebut negara Islam (Daulah Islamiyah).
Jadi sebenarnya, sistem demokrasi yang telah diberi spirit Rabbaniyyah dan diisi dengan nilai-nilai religiusitasd, dapat digunakan sebagai sarana yang efektif untuk Iqamatud-Daulah al-Islamiyyah dalam da’wah, apabila kita bijak menyikapinya.
Tetapi faktanya sampai hari ini, sejak demokrasi lahir, belum dapat membahagiakan kehidupan umat manusia, termasuk di negara- negara yang mula-mula menerapkan sistem demokrasi di Barat.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Referensi:
  1. HR. Ahmad dalam Al-Musnad, no.17994 dari Abdurrahman bin Ghanam. Juga, HR. Thabrani, dalam Al-Ausath, jld 7, hlm 212 dari Al-Barra bin Azib.
  2. HR. Muslim dalam Bab Al-Jum’ah, no.867; Ahmad dalam Al-Musnad, no.14334; An-Nasa’i dalam Bab Shalat Al-Idain, no.1578; Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah, no.45.
  3. Menurut At-Tirmidzy, ini adalah hadits hasan shahih gharib yang diriwayatkan dari Umar bin Khathab. Adz-Dzahaby menshahihkannya menurut syarat Asy-Syaikhani (Bukhari –Muslim).
  4. Hadits ini diriwayatkan dari Abdurrahman bin Ghunm Al-Asy’ari. Di dalam sanadnya ada Syahr bin Hausyab. Menurut Ibnu Hajar dalam At-Taqrib, dia dapat dipercaya (tsiqah) namun banyak hal yang meragukan. Ahmad Syakir min-tsiqah-kannya dalan Takhrijul-Musnad.
  5. Lihat Al-Mu’jamul Kabir, 8/8035, dan disebutkan pula oleh Al-Haitsamy di dalam Majma’uz-Zawa’id. Ath-Thabrany juga meriwayatkan dalam Al-Ausath wal Kabir, serupa dengan hadits di atas.

    Ath-Thabrany dan Ahmad meriwayatkan di dalam Al-Musnad secara mauquf pada Ibnu Abi Aufa, dia berkata, “Wahai Ibnu Jahman, hendaklah kamu bersama mayoritas umat, jika kamu mendengar aspirasi umat kepada penguasa. Datangilah penguasa tersebut, sampaikan aspirasi umat, mudah-mudahan dia menerimanya. Jika tidak, tinggalkan dia, karena kamu bukan orang yang lebih tahu dari dia.” (HR. Ahmad, dalam Al-Musnad, no.1941)

    Ibnu Ashim meriwayatkan di dalam Ad-Sunnah dari Ibnu Umar,”Tidak mungkin bagi Allah untuk menghimpun umat ini dalam kesesatan selamanya, dan tangan Allah di atas jama’ah. Maka hendaklah kalian mengikuti golongan terbesar. Sesungguhnya siapa yang menyimpang, maka ia akan menimpang ke neraka.” Menurut Al-Albany, isnadnya dha’if. Al-Hakim meriwayatkan hadits yang serupa ini dari beberapa jalan.
  6. Tafsir Al-Qurthubi, Darul Kutub Al-Mishriyah, jld. 4, hlm.249. Lihat juga Al-Muharrar Al-Wajiz, Ibnu Athiyah Al-Andalusi, jld.1, hlm.534.
  7. Hadits ini hasan menurut At-Tirmidzy dan shahih menurut Ibnu Hibban. Ibnu Hajar berkata, “Di dalam hadits ini terkandung musyawarah yang berkaitan dengan penetapan hukum.”
eramuslim.com

Tanggapan Tulisan Islam dan Demokrasi (tulisan diatas)

Bismillah…
Pada tanggal 26 April 2010 kemarin saya membaca tulisan Syamsul Balda, Direktur Eksekutif Smart Leadership Institute pada rubric analisa yang berjudul kan “Islam dan Demokrasi” di situs eramuslim.com.
Pada kesempatan ini saya mencoba untuk menanggapi tulisan tersebut dengan maksud meluruskan beberapa hal yang jujur saya lihat penulis terkesan memaksakan beberapa hal untuk membenarkan pendapatnya seputar demokrasi agar sejalan dengan Islam, padahal faktanya Demokrasi adalah sebuah ide yang bertolak belakang dengan Islam baik dari segi lahirnya maupun ide secara keseluruhan.
Untuk menjawab beberapa pernyataan oleh penulis, maka saya akan mencoba menguraikan apa yang telah beliau tulis dan kemudian akan saya tanggapi dengan hujjah yang ada.
Pertama, pada tulisan tersebut beliau menjelaskan substantif dari ide atau faham demokrasi, yakni dengan mengatakan
”Terlepas dari definisi akademis tentang demokrasi, pada hakikatnya demokrasi dalam aspek politik adalah dihormatinya hak setiap individu dalam sebuah bangsa untuk memilih pemimpin sesuai dengan aspirasinya. Tidak boleh ada yang memaksakan kehendak kepada mereka untuk memilih seorang pemimpin tertentu yang tidak dikehendaki.
Ketentuan ini pada dasarnya sesuai dengan ajaran yang digariskan oleh Islam melalui perangkat syura (permusyawaratan) dan bai’at (kontrak politik yang mengikat rakyat untuk berkomitmen tunduk dan taat pada pemimpin yang dipilihnya.
Kesesuaian antara Islam dengan demokrasi juga terlihat ketika Islam mengutuk dan mengecam para diktator; sementara di sisi lain mengedepankan pemimpin yang kuat, amanah, kredibel, kapabel serta mampu mengayomi rakyatnya. Islam memerintahkan umatnya untuk mematuhi keputusan mayoritas.”
Komentar : penjelasan di atas bukanlah ide substantif dari faham yang bernama demokrasi, kalo menggunakan penjelasan di atas, jelas sekali telah menyalahi arti dari demokrasi itu secara utuh, baik secara ide maupun aplikasinya. Terlebih lagi penulis mengutip kata syura’ dan bai’at dalam mendukung kesimpulannya.
Dalam membahas demokrasi, maka kita harus membelah faham tersebut secara utuh, seridaknya ada 5 hal yang harus di kaji atau di urai dalam faham demokrasi, yakni
  1. Asal-usul demokrasi,
  2. Aqidah demokrasi,
  3. Ide dasar demokrasi,
  4. Standar demokrasi (yaitu mayoritas), dan
  5. Kebebasan dalam demokrasi, sebagai prasyarat agar rakyat dapat mengekspresikan kehendak dan kedaulatannya tanpa paksaan dan tekanan.
Berdasarkan kelima aspek ini, penjelasan ringkas tentang demokrasi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
Terkait asal ushul demokrasi maka kita akan menemukan bahwa demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT. Demokrasi adalah ide yang muncul dari akal manusia yang lemah, serba kurang dan serba terbatas.
Dari segi aqidah, demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sebuah aqidah yang mengambil jalan tengah ketika terjadi konflik antara kaum gerejawan dan kaum bangsawan, kaum bangsawan menolak hak gereja secara absoulut yang ikut campur dalam urusan pemerintahan, akhirnya diambilah jalan tengah yakni yang terkenal dengan kalimat, ”berikanlah hak kaisar untuk kaisar (bangsawan) dan hak tuhan untuk tuhan (kaum gerejawan), maka lahirlah faham sekulerisme.
Dari segi ide, demokrasi berlandaskan dua ide :
  1. Kedaulatan di tangan rakyat.
  2. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.
Ini jelas bertentangan dengan Islam, dalam Islam memang kekuasaan berada di tangan umat/rakyat, yang mana nanti dengan kekuasaan itu umat memilih seorang khalifah untuk mengatur umat itu sendiri, sedangkan perkara kedaulatan bukanlah ditangan umat/rakyat, melainkan berada ditangan Allah sang khalik yang memilki otoritas tunggal dalam rangka membuat hukum-hukum. Intinya kedaulatan di dalam Islam berada pada syara’.
Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.
Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda :
مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim)
Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman :
إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’aam: 57)
Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan, serta pengambilan keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas. Ini adalah prinsip dasar demokrasi, yakni terletak pada suara mayoritas. Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinciannya adalah sebagai berikut :
  1. Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah.
  2. Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.
  3. Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.
Dalam demokrasi, ada empat macam kebebasan, yaitu :
  1. Kebebasan beragama (freedom of religion)
  2. Kebebasan berpendapat (fredom of speech)
  3. Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership)
  4. Kebebasan bertingkah laku (personal freedom).
Ini bertentangan dengan Islam, sebab dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya. Tidak bisa bebas dan seenaknya. Terikat dengan hukum syara’ bagi seorang muslim adalah wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya iman padanya. Allah SWT berfirman :
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An Nisaa’: 65)
Inilah penjelasan secara kaffah terkait ide atau faham demokrasi yang benar-benar merujuk pada fakta dan kemudian fakta tersebut dihukumi dengan dalil-dalil yang terkait, sebagaimana proses tahqiqul manath dalam hal menghukumi sebuah fakta.
Kemudian, penulis kemudian menyatakan : ”Rakyat juga mempunyai kewajiban untuk taat kepada penguasa selama kebijakan yang diambilnya adalah kebaikan. Sebaliknya, rakyat berhak menolak ketika diperintah untuk melakukan perbuatan yang dilarang menurut kesepakatan kaum Muslimin dan atau melakukan kemaksiatan yang nyata. Karena, tidak boleh menaati siapa pun untuk melakukan maksiat kepada Allah. Hal seperti ini juga berlaku dalam sistem demokrasi.”
Komentar : memang benar bahwa tidak ada ketaatan kepada perkara maksiat yang diperintahkan oleh penguasa, namun benarkah didalam demokrasi pun sama? Jelas tidak. Misalnya, dalam demokrasi kita bisa mengambil contoh pemerintah yang menyuruh membayar pajak, bahkan termasuk perkara wajib, bukankah di dalam Islam pajak merupakan sesuatu yang diharmkan di dalam Islam, kecuali jika dalam hal kas negara dalam hal ini baitul mal mengalami definisit anggaran maka negara boleh mengambil pajak dari rakyat, kalau tidak terjadi demikian maka hukumnya haram.
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah :
Artinya dengan mengambil contoh tentang dharibah (pajak) kita bisa melihat bahwa ini sebuah bentuk kemaksiatan, pemerintah menyuruh rakyatnya untuk membayar pajak, sdengkan jelas sekali di dalam Islam adalah diharamkan, lantas dimanakah katanya bahwa di dalam demokrasi tidak ada ketaatan kepada maksiyat? Bukahkah di dalam hukum Indonesia akan dikenakan sanksi bagi orang yang tidak membayar pajak. Kita ambil contoh negeri kita, salah satu kewajiban bagi warga negara adalah membayar pajak. Sarana untuk mem-bayar pajak tersebut adalah NPWP Warga negara yang telah memiliki NPWP dinamakan Wajib Pajak (WP). Kewajiban utama WP adalah membayar pajak, atau bagi wajib pajak tertentu-juga bertindak sebagai pemotong pajak. Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Kemudian penulis menyatakan bahwa, ”Walau tetap memiliki beberapa kelemahan, sistem ini masih lebih baik dari sistem buatan manusia lainnya. Yang perlu diantisipasi adalah menjaga berjalannya sistem ini agar tidak dimanfaatkan oleh para penipu atau penjahat."
Komentar : penulis sendiri menyadari bahwa ide demokrasi ini memiliki kelemahan, namun tetap mengatakan bahwa sistem tersebut lebih baik dari sistem yang lain yang juga dibuat oleh manusia. Pertanyaan saya, apakah tidak ada sistem alternatif lain lagi sehingga hanya melihat dan membandingkan dengan sistem yang juga dibuat oleh manusia yakni sistem sosialis komunis? Kenapa tidak melirik kepada sistem Islam? Kenapa tetap mencoba memaksakan pendapat seolah-olah sistem tersebut masih sesuai dengan Islam? Yang tidak difahami oleh penulis adalah tentang kata sistem itu sendiri, penulis mengatakan bahwa demokrasi selaras dengan Islam, namun tidak mengatakan bahwa demokrasi selaras dengan SISTEM ISLAM, ini menunjukan bahwa penulis sepertinya mencoba menhkerdillkan makna akan Islam itu sendiri. Padahal jelas sekali bahwa Islam itu adalah agama sekaligus sebagai sebuah ideologi (sistem aturan hidup). Islam adalah agama sempurna. Kesempurnaannya sebagai sebuah sistem hidup dan sistem hukum meliputi segala perkara yang dihadapi oleh umat manusia. Firman Allah Swt:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..” (QS. An-Nahl [16]: 89)
Ini berarti, perkara apapun ada hukumnya, dan problematika apa saja, atau apapun tantangan yang dihadapi kaum Muslim, akan dapat dipecahkan dan dijawab oleh Dinul Islam.
Ada 3 pendapat yang penulis angkat terkait pendapat beberapa kalangan mengenai demokrasi, yang pertama yakni :
  1. Mereka yang menolak demokrasi dengan mengatasnamakan Islam.
  2. Mereka yang menerima demokrasi secara total tanpa reserve.
  3. Mereka yang menerima demokrasi secara moderat.
Penulis tidak ada memberikan bantahan ilmiah terkait mereka yang menolak demokrasi atas nama Islam, dan hanya memberikan penjelasan sekaligus ”pembelaan” bagi mereka yang menerima demokrasi secara moderat.
Menurut penulis Dalam sistem demokrasi, terdapat hal-hal yang selaras dengan ajaran Islam, seperti: musyawarah, amar ma’ruf nahi munkar yang diterjemahkan dalam mekanisme check and balance, pengawasan (mutaba’ah), kontrol (muraqabah) dan evaluasi, saling menasehati (taushiyah), mencari mashlahat dan menghindari madharat, menegakkan keadilan dan melawan kezhaliman dan diktatorisme, dan aspek-aspek lainnya.
Pendapat seperti ini muncul karena ketidaktahuan akan demokrasi itu sendiri, saya telah menggambarkan ide demokrasi ini secara menyeluruh mulai dari kemunculannya hingga faham kebebasan yang dibawa oleh demokrasi itu sendiri. Syura’ atau musyawarah dalam Islam tidaklah bisa didentikan dengan demokrasi, jelas seperti langit dan bumi perbandingan antara syura’ dan demokrasi.
Penggalan ayat ini: Wa amruhum syûrâ baynahum (sedang urusan mereka [diputuskan] dengan musyawarah antara mereka) sering diambil untuk melegitimasi demokrasi. Syûrâ yang diperintahkan dalam ayat ini disamakan dengan demokrasi. Padahal di antara keduanya terdapat kontradiksi mendasar. Demokrasi merupakan pandangan hidup dan sistem pemerintahan yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Prinsip ini meniscayakan, seluruh perundang-undangan harus bersumber dari rakyat. Pelaksana praktisnya adalah parlemen yang dianggap sebagai representasi rakyat. Konsekuensinya, undang-undang apa pun yang telah dilegislasi oleh parlemen harus diterapkan dan ditaati oleh rakyat; terlepas apakah undang-undang itu sejalan dengan syariah atau tidak. Konsekuensi lainnya, kebebasan (freedom) harus dijunjung tinggi dalam masyarakat yang menerapkan dePrinsip lainnya dalam demokrasi adalah suara mayoritas. Oleh karena kehendak rakyat harus ditaati, sementara jumlah rakyat amat banyak dengan keinginan yang berbeda-beda, bahkan bertentangan satu sama lainnya, maka yang harus diikuti adalah yang didukung dengan suara mayoritas rakyat. Ini fakta yang juga diakui oleh penulis itu sendiri.
Kata syûrâ merupakan bentuk mashdar dari kata syâwara. Dikemukakan oleh Raghib al-Asfhani, at-tasâwur wa al-musyâwarah wa al-masyûrah berarti mengeluarkan pendapat dengan cara, sebagian orang meminta pedapat atau nasihat kepada sebagian lainnya. Pengertian tersebut diambil dari ucapan mereka, “Syurtu al-‘asl,” ketika engkau mengambil dan mengeluarkan madu dari tempatnya.
Pengertian lebih spesifik dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabahani. Suatu pengambilan pendapat (akhdz al-ra’yi) baru bisa disebut sebagai syûrâ jika dilakukan oleh khalifah, amir, atau pemilik otoritas, seperti ketua, komandan, atau penanggung jawab kepada orang yang dipimpinnya. Bisa juga dilakukan antara suami-istri. Ketika hendak melakukan penyapihan anak sebelum dua tahun, mereka diperintahkan untuk memusyawarahkannya (lihat QS al-Baqarah [2]: 233). Adapun menyampaikan pendapat (ibdâ’ al-ra’y) kepada pemilik otoritas, baik penguasa, komandan, atau pemimpin, maka itu disebut sebagai nasihat; suatu aktivitas yang juga diperintahkan oleh syariah. Nasihat disampaikan kepada para pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslim secara umum.
Dhamîr hum (kata ganti mereka) pada ayat ini merujuk kepada kaum Muslim. Itu menunjukkan bahwa pengambilan pendapat itu hanya dilakukan kepada kaum Muslim. Perintah yang sama juga disampaikan dalam firman Allah Swt. yang lain (lihat: QS Ali Imran [3]: 159).
Berdasarkan kedua ayat ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabahani menyimpulkan bahwa syûrâ khusus dilakukan terhadap kaum Muslim secara qath’i. Hal ini berbeda dengan ibdâ’ al-ra’y yang bisa didengarkan dari semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim.
Kemudian penulis mengatakan, ”Secara substanif tidak ada perbedaan antara sistem syura dengan sistem demokrasi. Bahkan bersesuaian. Yang membedakan adalah ‘ruh’ atau spirit dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sistem syura berspiritkan ”rabbaniyyah”, sedang sistem demokrasi berspiritkan “insaniyyah”. Sistem syura bernilai “religiuitas”, sedang sistem demokrasi “bebas nilai”.
Komentar : sekali lagi, saya menduga dengan dugaan yang kuat bahwa penulis memang tidak faham dari realitas demokrasi itu sendiri, hanya melihat demokrasi dari ”penerapan” yang terlihat manis, namun melupakan pondasi dasar yang membangun faham demokrasi itu sendiri. Ini terlihat sekali bahwa tulisan terkesan dipaksakan sehingga seolah-olah demokrasi selaras dengan Islam. Apalagi penulis ”memuji” faham demokrasi dengan mengatakan bahwa, ”Dalam sistem demokrasi inilah kita mendapatkan derivatif sistemnya berupa: sistem kepartaian, sistem pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan (lembaga legislatif), sistem pemilihan umum untuk pemerintahan pusat dan pemerintahan Daerah untuk memilih Presiden hingga Kepala Daerah (lembaga eksekutif), sistem pemilihan untuk lembaga Yudikatif, sistem ketata-negaraan yang meliputi pemisahan kekuasaan dan kewenangan antara ketiga lembaga tersebut agar berjalan mekanisme check and balances, bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem parlemen, sistem fiskal dan moneter, sistem keuangan negara dan perbendaharaan negara, sistem sosial, sistem pendidikan, dan sebagainya. Dimana seluruh sistem itu dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar negara dan Undang-undang yang terkait dengan setiap sistem yang dibutuhkan dalam menjalankan roda pemerintahan."
Sungguh penulis tidak mengkerdilkan Islam dalam hal ini syariat Islam, penulis seolah ingin mengatkan bahwa di dalam syura’ kita tidak akan menemui apa yang telah ia sampaikan terkait struktur negara, sistem kepartaian dan lainnya, ini karena yang penulis lihat adalag sebatas syura’, padahal syura’ hanyalah merupkan suatu tempat dalam pengambil keputusan yang tidak terkait dengan sistem, kalau ingin mendapatkan apa yang ada maka menolehlah pada Islam sebagai sebuah sistem, bukan pada syura’nya, di di dalam Islam akan didapati aturan hidup yang mengatur urusan manusia dengan pencpitanya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan dirinya sendiri, di dalam Islam ada aturan tentang, bentuk negara, struktur negara, sistem ketatanegaraan, aturan pembetukan partai, sistem ekonomi, bahkan dalam hal UUD dan UU pun telah ada rumusannya.
Penulis terjebak pada mainstrean demokrasi, sehingga pola fikir yang dijadikan penilaian adalah hidup di didalam alam demokrasi, bukan didalam sistem Islam, sehingga membuat pemikiran penulis hanya berkutat pada ide demokrasi itu sendiri dan menguraikanya secara tidak sesuai dengan fakta akan demokrasi itu sendiri yang jelas bertantang dengan Islam.
Bahkan sebagai seorang Muslim, mengambil istilah demokrasi pun sudah termasuk suatu dosa karena jelas sekali diharamkan mengadopsi istilah tersebut. Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan. Dalam hal ini, Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah SWT berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad),’Raa’ina’, tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih." (QS Al Baqarah : 104)
"Raa’ina" artinya adalah "sudilah kiranya Anda memperhatikan kami." Di kala para shahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut "Raa’ina", padahal yang mereka katakan adalah "Ru’uunah" yang artinya "kebodohan yang sangat." Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya para shahabat menukar perkataan "Raa’ina" dengan "Unzhurna" yang sama artinya dengan "Raa’ina". Oleh Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhum Al-Adalah Al-Ijtimaiyah fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir (1991), ayat ini dijadikan dalil untuk menolak penggunaan istilah yang dapat menimbulkan kerancuan atau bias, yang pengertiannya kemungkinan berupa makna Islami atau makna yang tidak Islami.
Syekh Abdul Qadim Zallum menarik 2 (dua) kesimpulan yang sangat tegas, jelas, dan tanpa bsa-basi. Tujuannya adalah agar umat Islam terhindar dari kekufuran dan kesesatan sistem demokrasi. Dua kesimpulan utama itu sebagai berikut :
Pertama, Demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam itu sesungguhnya adalah sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.
Kedua, Maka dari itu, kaum muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Haram pula bagi mereka menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undang-undang atau sebagai sumber bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan tujuannya. Syekh Abdul Qadim Zallum menegaskan, “Kaum muslim wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnya karena demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thaghut.”
Wallahu’alam bis showab.
Adi Victoria (al_ikhwan1924@yahoo.com)
Rujukan :

  • Buku Demokrasi Sistem Kufur (Syekh Abdul Qadim Zallum)
  • Buku Menghancurkan Demokrasi (Syekh Ali Belhaj).
  • Silsilah Ash-Shahihah jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199 oleh Al-Albani (terkait dharibah).
  • Taqiyuddin an-Nabahani, Ays-Syakhsyiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ummah, 2003), 246.
  • Buku Menegakan Syariat Islam terbitan tahun 2002
 eramuslim.com
|
This entry was posted on 08.28 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: