Oleh: M. Hatta*)

Istilah "demokrasi" saat ini tidak dapat dilepaskan dari wacana politik apapun, baik dalam konteks mendukung, setengah mendukung, atau menentang. Mulai dari skala warung kopi pinggir jalan sampai hotel berbintang lima, demokrasi menjadi obyek yang paling sering dibicarakan, paling tidak di negeri ini.
Apa yang sering disebut dengan sistem demokrasi, dengan segala nilai-nilai yang dianggap baik oleh pengikutnya, tentunya sangat penting dikritisi; baik dalam tataran konsep maupun realita praktiknya dalam sistem pemerintahan. Dari sana diharapkan muncul kesadaran baru bagi kaum muslim tentang kebobrokan sistem kufur ini. Lebih penting lagi, mereka terhindar dari murka Allah Swt. Sebab, saat mereka berpegang dengan demokrasi yang intinya kedaulatan di tangan rakyat, mereka telah menjadikan tuhan baru sebagai tandingan bagi Allah, yakni suara yang mengatasnamakan rakyat.

Dengan logika antitesis, lawan kata demokrasi adalah totaliter. Jika tidak demokratis, pasti totaliter. Totaliter sendiri memiliki kesan buruk, kejam, bengis, sehingga negara-negara komunis sekalipuN tidak ketinggalan ikut memakai istilah demokrasi, walaupun diembel-embeli sebagai "Demokrasi Sosialis" atau "Demokrasi Kerakyatan".

Demokrasi: Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat

Pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Clfrede Pareto cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain. Seperti di negeri kita ini (Indonesia), mayoritas kaum Muslim Indonesia berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh kelompok minoritas, terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal (kapital).
Dalam sistem kapitalis, kekuatan pemilik modal menjadi faktor yang sangat penting dalam pengambilan keputusan, bukan rakyat keseluruhan. Merekalah yang banyak mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen atau pemerintahan.

Klaim demokrasi yang lain, pemerintahan yang terpilih adalah pemerintahan rakyat. Anggapan ini sangat jelas kekeliruannya. Pada praktiknya, tidak mungkin seluruh rakyat memerintah. Tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang berasal dari pemilik modal besar atau pengendali kekuatan militer.

Demokrasi dan Kebebasan

Bagi para pendukung demokrasi, kebebasan berpendapat dianggap sebagai salah satu nilai unggul dan luhur dari demokrasi. Kenyataannya tidaklah seperti itu. Tetap saja, dalam negara demokrasi, kebebasan berpendapat dibatasi oleh demokrasi itu sendiri. Artinya, pendapat yang dianggap bertentangan dangan nilai-nilai demokrasi atau akan menghancurkan demokrasi tetap saja dilarang. Organisasi atau partai politik yang dibebaskan adalah juga yang sejalan dengan demokrasi. Kalau tidak, mereka tetap saja dilarang.

Demokrasi dan Kesejahteraan

Banyak penganut sekularisme memandang bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan bagi dunia. Hal ini sering dipropagandakan oleh negara-negara Barat kepada dunia ketiga supaya mereka mau dan setia menerapkan sistem demokrasi. Namun, apa kenyataannya? Sistem demokrasi yang dipraktikkan oleh negara-negara kapitalis hanyalah memakmurkan dunia Barat saja atau negara-negara boneka barat yang menjadi agen kapitalisme Barat seperti Jepang dan Singapura. Sebaliknya, dunia ketiga tetap saja menderita. Lihat saja, saat dunia dipimpin dan dikendalikan oleh negara-negara kapitalis penjajah, dunia ketiga semakin tidak sejahtera. Badan pangan dunia (FAO), dalam World Food Summit pada 2002, menyatakan bahwa 817 juta penduduk dunia terancam kelaparan, dan setiap 2 detik satu orang meninggal dunia akibat kelaparan. Kesejahteraan yang dialami negara-negara Barat sebetulnya bukan karena faktor demokrasinya, tetapi karena eksploitasi mereka terhadap dunia lain.

Demokrasi dan Stabilitas

Mitos lain adalah demokrasi akan menciptakan stabilitas. Dalam banyak kasus, yang terjadi justru sebaliknya. Secara konseptual, hubungan konflik dan demokrasi bisa dirujuk pada ide utama demokrasi, yakni kebebasan atau kemerdekaan. Ketika pintu demokrasi dibuka, banyak pihak kemudian menuntut kebebasan dan kemerdekaan; biasanya atasa nama bangsa, suku, kelompok. Muncullah konflik antar pihak yang bersinggungan kepentingan atas nama bangsa, suku atau kelompoknya. Contoh nyata dalam hal ini adalah Indonesia. Masa reformasi ditandai dengan meningkatnya konflik di beberapa tempat. Seperti Timor Timur (yang kemudian lepas), Aceh, Maluku dan Papua.

Demokrasi dan Kemajuan

Pidato Bush yang menyatakan bahwa tanpa demokrasi Timur Tengah akan menjadi stagnan (jumud)-seakan-akan kemajuan ditentukan oleh apakah negara itu menganut sistem demokrasi atau tidak-patut dikritisi. Argumentasi yang sering dilontarkan, demokrasi menjamin kebebasan, sementara kebebasan adalah syarat bagi kemajuan. Dengan kata lain, reason (akal) bisa produktif karena adanya kebebasan, baik kebebasan berpikir maupun kebebasan berbicara, dan keduanya itu hanya ada pada sistem demokrasi. Karena itu, demokrasi harus diperjuangkan.
Benarkah ini semua? Tentu saja tidak sesederhana itu. Rusia pada masa kejayaan komunisme meraih kemajuan di bidang sains dan teknologi. Mereka mampu menciptakan teknologi canggih hingga teknologi ke ruang angkasa. Padahal komunisme sering diklaim memberangus kebebasan.

Jadi, persoalannya bukanlah masalah kebebasan atau tidak, tetapi apakah masyarakat itu memiliki kebiasan berfikir produktif atau tidak. Berfikir produktif sendiri merupakan hasil dari kebangkitan berfikir yang didasarkan pada ideologi tertentu. Sebab karakter dasar dari ideologi adalah senantiasa ingin memecahkan persoalan manusia secara menyeluruh, sekaligus mempertahankan dan menyebarkan ideologinya.

Demokrasi: Alat Penjajahan Barat

Propaganda demokrasi di negeri-negeri Islam pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan negara-negara kapitalis penjajah. Sebab, tujuan dari politik luar negeri dari negeri-negeri kapitalis itu mamang menyebarkan ideologi kapitalisme mereka, dengan demokrasi sebagai derivatnya.

Demokrasi digunakan untuk menjauhkan kaum Muslim dari sistem Islam yang bersumber dari Allah Swt. Sebab, demokrasi menyerahkan kedaulatan ke tangan manusia (rakyat). Sementara dalam Islam kedaulatan ada di Tangan Allah Swt.
Untuk menyebarkan demokrasi itu, negara-negara kapitalis melakukan berbagai penipuan dan kebohongan, ide demokrasi pun dikemas sedemikian rupa sehingga tampak bagus dan memberikan harapan kepada kaum Muslim. Demokrasi tidak pernah dan tidak akan terwujud dalam aspek kehidupan praktis. Demokrasi hanyalah alat penekan dan dominasi Amerika (termasuk Barat) kepada negeri-negeri Islam untuk tunduk pada kepentingan mereka. Wallahu a'lam.

*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang, Mantan Sekretaris Jenderal Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi UMM, Ketua Umum Forum Pengkajian Ekonomi Syari’ah dan Dakwah IslamUMM.
This entry was posted on 22.00 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: