tag:blogger.com,1999:blog-21982277724451807172024-03-13T09:18:53.199+07:00Kontra Demokrasikontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.comBlogger41125tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-51763341265313291822010-06-05T05:48:00.000+07:002010-06-05T05:48:33.165+07:00Islam dan Tantangan Demokrasi<div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"> </div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 18.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="tab-stops: center 3.25in right 6.5in;"><span style="mso-tab-count: 1;"> </span>Dapatkah hak-hak individu dan kedaulatan rakyat dilandaskan pada keimanan?<span style="mso-tab-count: 1;"> </span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Seorang ahli hukum Muslim klasik yang menulis tema tentang Islam dan pemerintahan akan memulai tulisannya dengan membedakan jenis sistem politik. Pertama-tama, ia akan menggambarkan sistem politik natural–sebuah dunia anarkis, tak berperadaban, dan primitif. Di dalamnya, kelompok yang paling kuat menguasai kelompok yang lemah. Tidak ada hukum; yang ada hanya tradisi. Tidak ada pemerintahan; yang ada hanya pemimpin-pemimpin suku yang ditaati selama mereka dianggap sebagai yang terkuat.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum itu kemudian akan menggambarkan sistem kedua, yang diperintah oleh seorang pangeran atau raja yang titahnya dipandang sebagai hukum. Karena hukum ditetapkan dengan kehendak sewenang-wenang penguasa, dan rakyat menaatinya semata karena sebuah keharusan dan paksaan, sistem ini juga dipandang sebagai bentuk tirani dan tidak memperoleh legitimasi.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;">Yang ketiga adalah sistem yang paling baik, yaitu sistem khilafah, yang didasarkan pada Syariat–batang tubuh hukum agama Islam yang dilandaskan pada Alquran dan perilaku serta perkataan nabi. Menurut para ahli hukum Muslim, hukum Syariat memenuhi kriteria keadilan dan legitimasi, dan mengikat rakyat dan juga penguasa. Karena ia didasarkan pada aturan hukum dan menolak otoritas manusia atas manusia lainnya, sistem khilafah dipandang lebih unggul dari pada sistem lainnya.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Untuk mendukung aturan hukum dan pemerintahan yang tidak tak terbatas, para ulama klasik menganut unsur-unsur inti yang dipraktikkan dalam sistem demokrasi modern. Namun, pemerintahan yang tidak tak terbatas dan aturan hukum hanyalah dua unsur dari sebuah sistem pemerintahan yang saat ini memiliki klaim legitimasi yang paling meyakinkan. Kekuatan moral demokrasi terletak pada gagasan bahwa warga negara sebuah bangsa adalah pemilik kedaulatan, dan–dalam sistem demokrasi representatif modern–para warga mewujudkan kehendaknya yang tertinggi dengan memilih orang-orang yang mewakili mereka. Dalam sebuah sistem demokrasi, rakyat adalah sumber hukum dan hukum pada gilirannya berfungsi menjamin perlindungan terhadap kesejahteraan dan kepentingan setiap orang yang memiliki kedaulatan itu.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Dari sudut pandang Islam, demokrasi menyuguhkan sebuah tantangan yang sangat berat. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Muslim berargumen bahwa hukum yang dibuat oleh sebuah sistem kerajaan dipandang tidak sah karena ia menggantikan kedaulatan Tuhan dengan otoritas manusia. Tapi hukum yang dibuat oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan juga mengandung persoalan legitimasi serupa. Dalam agama Islam, Tuhan adalah satu-satunya pemegang kedaulatan dan sumber hukum tertinggi. Jadi, bagaimana konsep demokrasi tentang otoritas rakyat dapat diserasikan dengan ajaran Islam tentang otoritas Tuhan?</div><div class="MsoBodyTextIndent">Menjawab pertanyaan ini sangat penting sekaligus luar biasa beratnya, baik dari sisi politis maupun dari sisi konsep. Dari sisi politis, sejak awal kita harus tegaskan bahwa demokrasi menghadapi sejumlah kendala praktis di negara-negara Islam–berbagai tradisi politik otoriter, sejarah imperialisme dan kolonialisme, dan dominasi negara terhadap aktivitas ekonomi dan kehidupan masyarakat. Kita juga perlu mengemukakan persoalan filosofis dan doktrinal, dan saya mengusulkan agar kita berkonsentrasi pada persoalan tersebut untuk memulai diskusi kita tentang kemungkinan penerapan demokrasi di dunia Islam.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Sebuah persoalan konseptual yang paling penting adalah bahwa demokrasi modern telah berkembang selama berabad-abad dalam konteks dunia Eropa Kristen pasca Reformasi yang sangat unik. Apakah masuk akal bila kita mencari titik temu pada sebuah konteks yang sangat jauh berbeda? &&& Jawaban saya dimulai dari premis bahwa demokrasi dan Islam didefinisikan berdasarkan nilai-nilai moral utama yang mendasarinya, serta komitmen para pelakunya–bukan berdasarkan cara penerapan nilai-nilai dan komitmen tersebut. Jika kita berkonsentrasi pada nilai-nilai moral yang mendasar itu, saya yakin, kita akan menyaksikan bahwa tradisi pemikiran politik Islam memuat kemungkinan-kemungkinan interpretatif maupun praktis yang dapat dikembangkan ke dalam sebuah sistem demokrasi. Jelasnya, kemungkinan-kemungkinan doktrinal ini bisa saja tidak terwujud: tanpa kekuatan kehendak, visi yang tercerahkan, dan komitmen moral, tidak akan terwujud sebuah demokrasi dalam Islam. Tapi, orang-orang Islam, yang menjadikan Islam sebagai kerangka rujukan yang otoritatif, akhirnya bisa meyakini bahwa demokrasi adalah sebuah kebaikan etis, dan bahwa upaya mengejar kebaikan tersebut tidak berarti harus meninggalkan Islam.</div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><b><span style="font-size: 13.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Demokrasi dan Kedaulatan Tuhan</span></b></div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;">Meskipun para ahli hukum Muslim telah memperdebatkan berbagai sistem politik, Alquran sendiri tidak menjelaskan secara spesifik bentuk pemerintahan tertentu. Tapi Alquran jelas-jelas menyebutkan seperangkat nilai sosial dan politis yang penting bagi sebuah pemerintahan Islam. Tiga nilai Qurani berikut ini memiliki signifikansi khusus: mencapai keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu (Q.S. 49:13, 11:119); membangun sebuah sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis; dan melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial (Q.S. 6:12, 54; 21:77; 27:77; 45:20). Jadi, orang-orang Islam dewasa ini harus menyokong sebuah bentuk pemerintahan yang paling efektif untuk membantu mereka mewujudkan nilai-nilai tersebut.</div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><span style="font-size: 13.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kasus demokrasi</span></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Beberapa pertimbangan mengungkapkan bahwa demokrasi–terutama demokrasi konstitusional yang melindungi hak-hak individu yang paling mendasar–adalah bentuk pemerintahan yang dimaksud. Argumentasi saya (argumentasi lainnya akan disebutkan kemudian) adalah bahwa demokrasi–dengan memberikan hak yang sama kepada semua orang untuk berekspresi, berkumpul, dan menggunakan hak pilih–menawarkan peluang yang paling besar untuk menjunjung keadilan dan melindungi martabat manusia, tanpa menjadikan Tuhan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas ketidakadilan yang diderita manusia, atau atas penghinaan terhadap manusia oleh manusia lainnya. Gagasan mendasar dalam Alquran adalah bahwa Tuhan telah menanamkan ke dalam diri manusia sifat-sifat ilahi dengan menjadikan semua manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi: <i>“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’”</i> (Q.S. 2:30). Secara khusus, manusia memiliki tanggung jawab, sebagai wakil Tuhan di bumi, untuk memenuhi dunia dengan keadilan. Dengan memberikan hak-hak politik yang sama terhadap semua orang yang sudah dewasa, demokrasi mengekspresikan kedudukan khusus manusia di antara seluruh makhluk ciptaan Tuhan, dan memungkinkan manusia melepas tanggung jawab tersebut. discharge</div><div class="MsoBodyTextIndent">Tentu saja, khalifah Tuhan tidak memiliki kesempurnaan penilaian dan kehendak seperti yang dimiliki Tuhan. Jadi, sebuah demokrasi konstitusional mengakui dan mengantisipasi kesalahan dalam pengambilan keputusan akibat berbagai godaan dan keburukan yang terkait dengan kesalahan alami manusia dengan cara memancangkan standar-standar moral unggulan dalam sebuah dokumen konstitusi–berbagai standar moral yang mengekspresikan martabat manusia. Jelasnya, demokrasi memang tidak menjamin terlaksananya keadilan hakiki. Tapi ia dengan sungguh-sungguh membangun sebuah landasan untuk menegakkan keadilan dan memenuhi tanggung jawab paling utama yang diamanatkan Tuhan kepada semua individu.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Tentu saja, dalam sebuah demokrasi representatif, beberapa individu tertentu memiliki otoritas yang lebih besar dari pada individu lainnya. Tapi sebuah sistem demokrasi menjadikan otoritas tersebut sebagai bentuk tanggung jawab terhadap semua orang dan dengan demikian menentang kecenderungan kebal hukum dari orang-orang yang berkuasa. Persyaratan tentang pertanggungjawaban ini selaras dengan perintah untuk menegakkan keadilan yang diajarkan Islam. Jika sebuah sistem politik tidak memiliki mekanisme institusional untuk meminta pertanggungjawaban dari seorang penguasa yang tidak adil, maka sistem itu sendiri dipandang sebagai sistem yang tidak adil, tanpa memandang apakah ketidakadilan tengah berlangsung atau tidak. Jika sebuah hukum kriminal tidak memberikan hukuman terhadap tindak pemerkosaan, maka hukum itu dipandang tidak adil, tidak peduli apakah tindak kejahatan itu terjadi atau tidak. Karena kebaikan moral yang ada pada demokrasi itulah, yaitu adanya lembaga pemilihan suara, pemisahan dan pembagian kekuasaan, dan jaminan terhadap pluralisme, demokrasi setidaknya menawarkan kemungkinan untuk melakukan perbaikan. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Kita memiliki sebuah kasus uji coba demokrasi yang dibangun atas dasar gagasan Islam tentang kedudukan khusus manusia di antara makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Dikatakan uji coba karena kita belum pernah mengkaji tantangan serius dari kasus tersebut: bagaimana hukum Syariat, yang dibangun atas dasar kedaulatan Tuhan, bisa didamaikan dengan gagasan demokrasi bahwa manusia, sebagai pemegang kedaulatan, dengan bebas dapat mengabaikan hukum Syariat?</div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><span style="font-size: 13.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Tuhan sebagai pemegang kedaulatan</span></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Pada awal sejarah Islam, persoalan tentang kekuasaan politik Tuhan (<i>hakimiyyat Allah</i>) mulai dimunculkan oleh kelompok yang dikenal dengan sebutan Haruriyya (belakangan dikenal sebagai kelompok Khawarij) ketika mereka memberontak terhadap Khalifah keempat, ‘Ali ibn Abi Thalib. Sebelumnya mereka adalah pendukung ‘Ali, namun kemudian berbalik menjadi penentangnya, ketika ‘Ali setuju dengan proses arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan politik dengan kelompok politik saingannya yang dipimpin oleh Mu‘awiyah.</div><div class="MsoBodyTextIndent">‘Ali sendiri setuju untuk melakukan arbitrase dengan syarat bahwa para arbitrator terikat dengan Alquran, dan menjadikan syariat sebagai bahan pertimbangan tertinggi. Namun, kelompok Khawarij–yang terdiri dari orang-orang yang saleh, puritan dan fanatik–yakin bahwa hukum Tuhan jelas berpihak pada ‘Ali. Jadi mereka menentang proses arbitrase sebagai hal yang jelas-jelas tidak sah dan merupakan bentuk penentangan terhadap kedaulatan Tuhan. Menurut kelompok Khawarij, tindakan ‘Ali menunjukkan bahwa ia telah mengabaikan kedaulatan Tuhan dengan menyerahkan pembuatan keputusan kepada manusia. Mereka memandang ‘Ali telah mengkhianati Tuhan, dan setelah upaya untuk mencari penyelesaian secara damai gagal dilakukan, mereka membunuh ‘Ali. Setelah kematian ‘Ali, Mu‘awiyah mengambil alih kekuasaan dan mengangkat dirinya sebagai khalifah dinasti Umayyah yang pertama. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Anekdot-anekdot tentang perdebatan antara ‘Ali dengan kelompok Khawarij mencerminkan sebuah ketegangan yang sangat jelas tentang makna legalitas dan dampaknya terhadap aturan hukum. Dalam sebuah anekdot dilaporkan bahwa anggota kelompok Khawarij menuduh ‘Ali telah menerima keputusan dan kekuasaan (<i>hakimiyah</i>) manusia, bukannya tunduk pada hukum Tuhan. Setelah mendengar tuduhan itu, ‘Ali memanggil orang-orang agar berkumpul di sekelilingnya dan membawa sebuah mushaf Alquran. ‘Ali kemudian menyentuh mushaf itu dan menyuruhnya agar berbicara kepada manusia dan menginformasikan kepada mereka tentang hukum Tuhan. Karena terkejut, orang-orang yang mengelilingi ‘Ali itu kemudian berkata, “Apa yang kamu lakukan? Alquran tidak bisa bicara, karena ia bukan manusia!” Lalu ‘Ali mengatakan bahwa itulah yang ia maksudkan. ‘Ali menjelaskan bahwa Alquran tidak lain adalah kertas dan tinta, dan ia sendiri tidak bisa berbicara. Hanya manusia yang memberinya daya sesuai dengan keputusan dan pendapat mereka yang terbatas itu.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn1" name="_ednref1" style="mso-endnote-id: edn1;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[1]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoBodyTextIndent">Kisah-kisah semacam itu merupakan tema yang mengandung beragam penafsiran, tapi yang terpenting adalah bahwa kisah yang satu ini menunjukkan kedangkalan dogmatis dari pengakuan tentang kedaulatan Tuhan yang berujung pada pengkudusan terhadap penetapan manusia. Slogan kelompok Khawarij bahwa “kekuasaan hanyalah milik Allah,” atau “keputusan hanya dari Alquran” (<i>la hukma illa lillah</i> atau <i>al-hukm lil Qur’an</i>) hampir mirip dengan slogan yang dikumandangkan oleh kelompok fundamentalis dewasa ini.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn2" name="_ednref2" style="mso-endnote-id: edn2;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[2]</span></span></span></span></a> Tapi, dengan mempertimbangkan konteks historisnya, slogan kaum Khawarij itu pada awalnya merupakan simbol tentang legalitas dan supremasi hukum yang kemudian dibelokkan menjadi sebuah tuntutan radikal untuk menarik garis pembatas yang tegas antara yang sah (benar) dan yang tidak sah (batil).</div><div class="MsoBodyTextIndent">Bagi orang-orang yang beriman, Tuhan adalah Maha Kuasa dan Pemilik langit dan bumi. Tapi ketika berbicara tentang hukum dalam sebuah sistem politik, argumentasi-argumentasi yang mengklaim bahwa Tuhan merupakan satu-satunya pembentuk hukum menghasilkan dampak serius yang tidak bisa dipertahankan dari sudut pandang teologi Islam. Argumentasi semacam itu mengandaikan bahwa (beberapa) agen manusia memiliki akses yang sempurna terhadap kehendak Tuhan, dan bahwa manusia dapat menjadi pelaksana sempurna dari kehendak Tuhan tanpa sedikitpun menyertakan keputusan dan kecenderungan mereka dalam proses tersebut.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Lebih jauh lagi, klaim tentang kedaulatan Tuhan mengasumsikan bahwa pemegang kekuasaan legislatif dari Tuhan akan berusaha mengatur semua bentuk interaksi manusia, bahwa Syariat merupakan aturan moral yang lengkap yang menyediakan aturan tentang semua peristiwa. Tuhan sendiri tidak berusaha mengatur seluruh kehidupan manusia, tapi justru memberikan manusia kebebasan yang sangat luas untuk mengatur urusan mereka sendiri selama mereka tetap mengikuti standar perilaku yang bermoral, termasuk di dalamnya segala bentuk upaya untuk melestarikan dan menjunjung tinggi martabat dan kesejahteraan manusia. Dalam diskurus Alquran, Tuhan memerintahkan semua ciptaan-Nya untuk menghormati manusia karena kecerdasan akalnya–sebagai cerminan keagungan Tuhan. Secara argumentatif bisa dikatakan bahwa kenyataan bahwa Tuhan telah menghormati akal manusia dan memandang manusia sebagai simbol ketuhanan sudah cukup memadai untuk memberikan pembenaran terhadap komitmen moral untuk melindungi dan melestarikan integritas dan martabat dari simbol ketuhanan itu (manusia). Tapi–dan inilah yang dimaksudkan ‘Ali–kedaulatan Tuhan tidak serta merta membebaskan manusia dari tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Ketika manusia mencari jalan untuk mendekati keindahan dan keadilan Tuhan, maka ia tidak dipandang telah menolak kedaulatan Tuhan; ia justru sedang mengagungkannya. Begitu pula halnya ketika manusia berusaha menjaga nilai-nilai moral yang mencerminkan sifat-sifat Tuhan. Jika kita katakan bahwa satu-satunya sumber hukum yang sah adalah teks kitab suci dan bahwa pengalaman dan kecerdasan manusia tidak memadai untuk mengetahui kehendak Tuhan, maka konsep tentang kedaulatan Tuhan akan selalu menjadi alat bagi sistem otoritarianisme dan hambatan bagi demokrasi. Dan sudut pandang otoriter tersebut justru merendahkan kedaulatan Tuhan.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Saya akan mengembangkan argumentasi itu lebih jauh lagi pada halaman selanjutnya, tapi untuk membuat persoalan tersebut lebih menarik dan mudah diikuti, saya pertama-tama perlu mambangun sebuah landasan yang lebih luas bagi doktrin politik dan hukum Islam.</div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><b><span style="font-size: 13.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Pemerintahan dan Hukum</span></b></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Jika, seperti yang diyakini oleh kaum fundamentalis Muslim dan para orientalis Barat, kekuasaan dan kedaulatan Tuhan berarti bahwa Tuhan merupakan satu-satunya pembuat hukum, maka konsekuensinya adalah bahwa seorang khalifah atau penguasa Muslim harus diperlakukan sebagai agen atau wakil Tuhan. Jika Tuhan adalah satu-satunya pemegang kedaulatan dalam sebuah sistem politik, maka seorang penguasa harus diangkat berdasarkan kedaulatan Tuhan, mengabdi untuk kepentingan-Nya, dan menjalankan kehendak-Nya. Namun, seperti halnya makna dan implikasi dari kedaulatan Tuhan yang telah menjadi tema perdebatan serius, kekuasaan seorang penguasa dan peran hukum dalam membatasi kekuasaan tersebut juga telah menjadi perdebatan yang tidak kalah seru pada masa pra-modern Islam. Beberapa alur argumentasi dalam perdebatan tersebut senada dengan gagasan-gagasan demokrasi modern. </div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><span style="font-size: 13.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Penguasa dan rakyat</span></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Telah menjadi pendapat yang mapan, setidaknya dalam lingkungan Islam Sunni, bahwa nabi meninggal tanpa menunjuk penggantinya untuk memimpin masyarakat Muslim yang baru lahir. Nabi sengaja membiarkan masyarakat Muslim memilih sendiri pemimpin mereka. Sebuah pernyataan yang dinisbatkan kepada Khalifah Abu Bakr menyebutkan, “Tuhan telah membiarkan manusia mengatur sendiri urusannya sehingga mereka bisa memilih seorang pemimpin yang akan melayani kepentingan mereka.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn3" name="_ednref3" style="mso-endnote-id: edn3;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[3]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoBodyTextIndent">Kata <i>khalifa</i>, gelar bagi seorang penguasa Muslim, secara harfiah berarti penerus atau wakil. Pada masa paling awal, orang-orang Islam memperdebatkan apakah layak jika seorang pemimpin Muslim diberi gelar dengan <i>khalifat Allah</i> (wakil Tuhan), tapi kebanyakan ulama lebih suka menyebutnya dengan <i>khalifat Rasul Allah</i> (penerus nabi). Namun, seorang khalifah–apakah disebut penerus nabi atau wakil Tuhan–tidak memiliki otoritas seperti nabi yang kekuasaannya untuk membuat hukum, memperoleh wahyu, memberikan ampunan dan hukuman tidak dapat dialihkan kepada siapapun. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana otoritas kenabian bisa dimiliki oleh seorang khalifah? Dan kepada siapa ia bertanggung jawab?</div><div class="MsoBodyTextIndent">Jika kewajiban utama seorang khalifah adalah melaksanakan hukum Tuhan, maka secara argumentatif bisa dikatakan bahwa ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Selama tindakan seorang khalifah berlandaskan penafsiran yang logis terhadap perintah Tuhan, maka penafsiran semacam itu harus diterima dan ia dipandang telah melaksanakan tugasnya terhadap rakyat. Hanya Tuhan yang dapat menilai niat seorang khalifah, dan–menurut argumentasi kebanyakan kelompok Sunni–seorang penguasa tidak bisa dicabut kekuasaannya kecuali jika ia melakukan pelanggaran serius dan terang-terangan terhadap Tuhan (yaitu, dosa besar).</div><div class="MsoBodyTextIndent">Namun, para ahli hukum Muslim tidak sepenuhnya mempertegas hubungan antara penguasa dan rakyat. Dalam teori hukum Sunni, kekhalifahan harus didasarkan pada sebuah perjanjian (<i>‘aqd</i>) antara seorang khalifah dengan <i>ahl al-hall wa al-‘aqd</i> (orang yang memiliki kekuatan dalam menetapkan perjanjian) yang memberikan <i>bay‘a</i> (sumpah setia dan restu kepada seorang khalifah): seorang khalifah berhak memperoleh <i>bay‘a</i> itu sebagai imbalan atas janjinya untuk melaksanakan diktum perjanjian itu. Diktum perjanjian tersebut tidak didiskusikan secara panjang lebar dalam sumber-sumber Islam. Biasanya, para ahli hukum akan memasukkan diktum berupa kewajiban untuk menerapkan hukum Tuhan dan melindungi umat Islam dan wilayah Islam; sebagai imbalannya seorang penguasa dijanjikan akan memperoleh dukungan dan ketaatan rakyat. Diasumsikan bahwa hukum Syariat menentukan diktum perjanjian.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Siapakah pihak yang memiliki kekuasaan untuk memilih dan menurunkan seorang penguasa? Seorang ulama Mu‘tazilah,<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn4" name="_ednref4" style="mso-endnote-id: edn4;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[4]</span></span></span></span></a> Abu Bakr al-Asam (w. 200/816) berargumen bahwa masyarakat secara umum merupakan pemegang kekuasaan tersebut: harus ada sebuah konsensus umum mengenai siapa yang akan ditunjuk menjadi penguasa, dan setiap orang harus memberikan persetujuannya secara perorangan.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn5" name="_ednref5" style="mso-endnote-id: edn5;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[5]</span></span></span></span></a> Mayoritas ahli hukum Islam berargumen dengan cara yang lebih pragmatis bahwa <i>ahl al-hall wa al-‘aqd</i> adalah mereka yang memiliki <i>syawka</i> (kekuasaan atau kekuatan) yang diperlukan untuk menjamin ketaatan atau persetujuan rakyat.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Gagasan tentang konsensus rakyat, meskipun bernuansa demokratis, tidak mesti disejajarkan dengan konsep tentang kekuasaan atau pemerintahan yang didelegasikan oleh rakyat. Konsensus dalam diskursus Muslim pra-modern tampaknya mirip dengan bentuk kesepakatan aklamasi. Yang melatarbelakangi diskusi ini adalah terdapatnya sejumlah ketidakpercayaan terhadap masyarakat jelata/masyarakat awam (<i>al-‘amma</i>): “Mereka [rakyat jelata] cenderung mudah terbawa arus, dan mereka mungkin akan lebih puas dengan memilih [penguasa] yang berkelakuan buruk dari pada memilih yang saleh …”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn6" name="_ednref6" style="mso-endnote-id: edn6;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[6]</span></span></span></span></a> Pendapat semacam itu dianut luas oleh para ahli hukum Muslim, dan dengan mempertimbangkan konteks historis ketika mereka hidup–jauh sebelum muncul sistem demokrasi dan kemampuan baca tulis publik yang tinggi–pernyataan semacam itu tidak mengejutkan kita. Akibatnya, berbagai konsep yang digunakan dalam diskursus-diskursus politik menyiratkan gagasan tentang pemerintahan representatif, tapi tidak pernah sepenuhnya menyokong pemerintahan semacam itu. Paradigma dominan yang berkembang saat itu adalah bahwa baik penguasa ataupun rakyatnya adalah wakil Tuhan (<i>khulafa’ Allah</i>) untuk melaksanakan hukum-hukum-Nya.</div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><span style="font-size: 13.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Kaidah hukum</span></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Seperti yang dicatat sebelumnya, karakteristik utama sebuah pemerintahan Islam yang sah adalah bahwa ia tunduk pada dan dibatasi oleh hukum Syariat. Meskipun konsep ini memang memberikan dukungan bagi tegaknya kaidah hukum, kita harus membedakan antara supremasi hukum dengan supremasi seperangkat aturan hukum. Kedua istilah itu agak berbeda, dan keduanya sama-sama dibahas dalam tradisi hukum Islam. Beberapa pemikiran politik terdiri dari berbagai kemungkinan interpretasi. Dan lagi-lagi, beberapa dari kemungkinan interpretasi itu memiliki keterkaitan yang lebih besar dengan prinsip-prinsip demokrasi. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Ketika menegaskan supremasi Syariat, para sarjana Muslim biasanya berargumen bahwa perintah positif Syariat, seperti hukuman terhadap pelaku perzinaan atau peminum minuman keras, harus dipedomani oleh pemerintah. Tapi pemerintah yang menyatakan keinginannya untuk mengikuti semua ketentuan positif dalam Syariat mungkin akan memanipulasi ketentuan tersebut untuk mencapai tujuan yang mereka kehendaki. Dengan mengatasnamakan pemeliharaan ketertiban umum, pemerintah dapat mengeluarkan hukum yang sewenang-wenang untuk melarang berbagai bentuk pertemuan umum; dengan mengatasnamakan perlindungan terhadap ortodoksi, pemerintah dapat mengeluarkan hukum yang sewenang-wenang untuk mengekang kreatifitas; dengan mengatasnamakan perlindungan terhadap individu dari fitnah, pemerintah dapat menekan berbagai kritik bernuansa politis dan sosial; dan pemerintah dapat memenjarakan atau menghukum mati lawan-lawan politiknya atas dasar klaim bahwa mereka telah menebar fitnah (perselisihan dan pergolakan sosial). Secara argumentatif bisa dikatakan bahwa semua jenis tindakan pemerintah seperti tersebut di atas merupakan bentuk ketundukan terhadap Syariat kecuali jika ada petunjuk yang jelas tentang batasan terhadap kewenangan pemerintah untuk melaksanakan dan menyokong hukum Syariat sekalipun. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Namun, penegakan kaidah hukum tidak mesti berarti bahwa pemerintah terikat dengan kitab hukum yang memuat aturan-aturan khusus. Ia justru dapat ditafsirkan sebagai perintah agar pemerintah mengikatkan diri dengan proses pembuatan dan penafsiran hukum, dan bahkan tuntutan yang lebih penting lagi adalah bahwa proses itu sendiri harus terikat dengan komitmen moral–terutama terhadap martabat dan kebebasan manusia.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Kita menemukan bukti tentang konsep alternatif seputar kaidah hukum dalam literatur hukum pra-modern. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum telah mendiskusikan batasan kekuasaan negara dalam membuat hukum, yang di antara dibicarakan dalam kerangka konsep kepentingan publik (<i>al-masalih al-mursalah</i>) dan penutupan pintu keburukan (<i>sadd al-dzari‘ah</i>). Kedua konsep yurisprudensi itu memungkinkan negara memperluas kekuasaannya dalam membuat hukum untuk menyuruh pada kebaikan dan mencegah keburukan. Misalnya, berdasarkan prinsip menutup pintu keburukan, pembuat hukum dapat mengklaim bahwa perilaku yang sah secara hukum harus dipandang tidak sah jika ia dapat menyebabkan terbukanya pintu bagi terjadinya tindakan yang melanggar hukum. Pada dasarnya, kedua konsep tersebut di atas menjadikan hukum semakin luwes dan adaptif. Tentu saja, kedua konsep itu dapat digunakan untuk memperluas hukum, bukan saja untuk melayani kepentingan umum, tapi juga untuk mempersempit otonomi individu. Secara khusus, konsep tentang menutup pintu keburukan, yang didasarkan pada gagasan tentang tindakan pencegahan dan kehati-hatian (<i>al-ihtiyat</i>), dapat dieksplorasi lebih lanjut untuk memperluas kekuasaan negara dengan mengatasnamakan perlindungan terhadap Syariat. Jenis dinamika semacam ini dapat dihindari di antaranya dengan menerapkan jaminan prosedural, tapi yang lebih penting lagi adalah dengan memahami bahwa aturan hukum merupakan sebuah jaminan terhadap martabat dan kebebasan manusia, yang bisa digunakan untuk memberikan pembenaran terhadap Syariat, bukan untuk mengabaikannya.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Dimensi penting yang terkait dengan tantangan terhadap pembentukan kaidah hukum adalah hubungan yang kompleks antara Syariat, yang dijabarkan oleh para ahli hukum, dengan praktik administratif negara atau politik hukum (<i>al-ahkam al-siyasiyyah</i>). Jika pada dua abad pertama Islam kita mungkin melihat banyak ahli hukum yang menjadikan praktik-praktik negara sebagai contoh normatif, dengan berlalunya waktu fenomena semacam itu semakin jarang terlihat. Pada abad ke-4/10 para ahli hukum Muslim telah mengklaim diri mereka sebagai satu-satunya otoritas yang sah untuk menguraikan hukum Tuhan. Praktik negara tetap dipandang sah, tapi hanya para ahli hukum Muslim itulah yang boleh menetapkan hukum. Negara hanya berfungsi melaksanakan hukum-hukum Tuhan, bukan menentukan materinya. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Sebagai pelaksana hukum Tuhan, negara diberi mandat yang luas untuk mengeluarkan kebijakan tentang persoalan yang menyangkut kepentingan publik (yang dikenal dengan <i>al-siyasah al-syar‘iyyah</i>). Aturan-aturan yang dibuat negara bisa dipandang sah dan harus ditegakkan selama aturan-aturan tersebut tidak bertolak belakang dengan hukum Tuhan, seperti yang dipaparkan oleh para ahli hukum, atau tidak menyalahgunakan kebijakan (<i>al-ta‘assuf fi masa’il al-khiyar</i>). Untuk itulah karya-karya yurisprudensi telah merekam secara mendetil ketetapan-ketetapan para ahli hukum, tapi tidak banyak merekam aturan-aturan negara, yang didokumentasikan oleh para pejabat negara dalam tulisan-tulisan tentang praktik administrasi negara. Dalam adagium hukum para ahli hukum Muslim, Syariat dipandang sebagai pilar hukum, dan politik adalah penjaganya. (<st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Islam juga sering menegaskan bahwa agama adalah pilar sebuah bangunan dan otoritas politik adalah penjaganya.) Namun, paradigma ini menyisakan persoalan penting tentang batasan kekuasaan pemerintah, yaitu sejauh mana pemerintah dapat memperluas jangkauan hukum-hukumnya dalam kerangka perlindungan terhadap terlaksananya tujuan Syariat?</div><div class="MsoBodyTextIndent">Perhatian terhadap cakupan kekuasaan pemerintah dalam kerangka Syariat memiliki landasan dalam sejarah Islam sehingga, berdasarkan standar dunia modern, persoalan tersebut tidak sepenuhnya baru. Namun, persoalan semacam itu hampir-hampir tidak ditemukan dalam tulisan para Islamis kontemporer. Hingga belakangan ini, para islamis di Iran, Arab Saudi, atau Pakistan melimpahkan kekuasaan legislatif kepada negara, bukan kepada hukum Tuhan. Misalnya, klaim tentang penutupan pintu keburukan kini diterapkan di Arab Saudi untuk memberikan pembenaran terhadap serangkaian hukum yang membatasi gerak perempuan, termasuk larangan mengendarai mobil bagi perempuan. Kasus tersebut merupakan bentuk kreasi yang relatif baru dalam praktik negara Islam, dan dalam berbagai kasus hal semacam itu berpuncak pada penggunaan Syariat untuk melecehkan Syariat.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Secara tradisional, para ahli hukum Islam bersikukuh bahwa para penguasa harus berkonsultasi dengan para ahli hukum tentang semua hal yang terkait dengan persoalan hukum, tapi para ahli hukum itu sendiri tidak pernah menuntut hak untuk menguasai jalannya pemerintahan Islam secara langsung. Pada kenyataannya, hingga masa-masa belakangan ini, para ahli hukum Sunni maupun Syi‘ah tidak pernah memegang kekuasaan politik secara langsung.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn7" name="_ednref7" style="mso-endnote-id: edn7;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[7]</span></span></span></span></a> Sepanjang sejarah Islam, para ahli hukum (<i>‘ulama</i>) telah menjalankan fungsi ekonomi, politik dan administrasi, tapi yang paling penting adalah peran mereka sebagai penengah antara kelas penguasa dan rakyat jelata. Seperti yang dikemukakan oleh Afaf Marsot: “[‘Ulama] adalah pelayan Islam, penjaga tradisi, pemegang ilmu leluhur, dan penganjur moral bagi masyarakat luas.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn8" name="_ednref8" style="mso-endnote-id: edn8;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[8]</span></span></span></span></a> Selain memberikan legitimasi terhadap para penguasa, para ahli hukum juga menggunakan pengaruh mereka untuk menjegal kebijakan-kebijakan yang tidak adil dan seringkali memimpin atau memberikan legitimasi terhadap pemberontakan melawan kelas penguasa. Namun, modernitas telah merubah para ulama dari statusnya sebagai “juru bicara publik yang lantang” menjadi pejabat negara yang digaji yang hanya berperan sebagai pemberi legitimasi bagi rezim penguasa di dunia Islam.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn9" name="_ednref9" style="mso-endnote-id: edn9;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[9]</span></span></span></span></a> Tumbangnya peran ulama dan pemihakan mereka terhadap negara sekuler modern, dengan berbagai praktik sekulernya, telah membuka pintu bagi negara untuk menjadi pembuat dan pelaksana hukum Tuhan; dengan begitu, negara memiliki kekuasaan yang amat besar dan pada gilirannya semakin menyuburkan praktik-praktik otoriter di berbagai negara Islam. </div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><span style="font-size: 13.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Pemerintahan konsultatif</span></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Alquran menyuruh Nabi untuk berkonsultasi secara berkala dengan orang-orang Islam tentang semua persoalan penting, dan menegaskan bahwa sebuah masyarakat yang menjalankan urusannya melalui proses musyawarah merupakan masyarakat terpuji di mata Tuhan (Q.S. 3:159; 42:38). Banyak laporan-laporan sejarah yang menyebutkan bahwa Nabi berkonsultasi secara berkala dengan para sahabatnya menyangkut persoalan-persoalan negara. Di samping itu, tidak lama setelah Nabi wafat, konsep <i>syura</i> (musyawarah) menjadi sebuah simbol yang menandai pentingnya politik dan legitimasi partisipatif. Kegagalan untuk menegakkan atau mengamalkan <i>syura</i> menjadi tema umum yang dikumandangkan dalam kisah-kisah penindasan dan pemberontakan. Misalnya, diriwayatkan bahwa sepupu Nabi, ‘Ali, mengritik Umar ibn al-Khattab, khalifah kedua, dan Abu Bakar, khalifah pertama, karena keduanya tidak menghormati lembaga <i>syura</i> dalam kasus pencalonan Abu Bakar sebagai khalifah yang tidak menyertakan keluarga Nabi.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn10" name="_ednref10" style="mso-endnote-id: edn10;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[10]</span></span></span></span></a> Dan para penentang ‘Utsman ibn ‘Affan (memerintah dari tahun 23-35/644-656), khalifah ketiga, menuduhnya telah menghancurkan lembaga <i style="mso-bidi-font-style: normal;">syura</i> dengan berbagai kebijakannya yang disinyalir bernuansa nepotisme dan otoriter. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Meskipun pengertian <i style="mso-bidi-font-style: normal;">syura</i> dalam kisah-kisah sejarah itu tidak begitu jelas, konsep tentang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">syura</i> jelas tidak merujuk semata pada tindakan penguasa untuk meminta pendapat dari tokoh-tokoh masyarakat; lebih luas lagi, ia menandai pentingnya perlawanan terhadap bentuk kelaliman, pemerintahan yang otoriter, atau penindasan. Hal ini selaras dengan penentangan hukum terhadap kelaliman (<i>al-istibdad</i>) dan pemerintahan yang didasarkan pada hawa nafsu dan kesewenang-wenangan (<i>al-hukm bi’l hawa wa al-tasallut</i>). Bahkan meskipun para ahli hukum Muslim melarang pemberontakan terhadap penguasa tiran, mereka tetap mentolerir pemerintahan tirani sebagai keburukan yang diperlukan, bukan sebagai kebaikan yang diinginkan.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Setelah abad ke-3/9, konsep tentang <i style="mso-bidi-font-style: normal;">syura</i> mengambil bentuk kelembagaan yang konkrit dalam diskursus para ahli hukum Muslim. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Syura</i> menjadi sebuah forum formal untuk meminta pendapat para <i>ahl al-syura</i> (orang-orang yang diminta mengemukakan pendapat), yang menurut literatur hukum merupakan kelompok yang juga membentuk <i>ahl al-‘aqd </i>(orang-orang yang memilih penguasa). <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Sunni memperdebatkan apakah hasil dari proses konsultasi itu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (<i>syrura mulzima</i>) atau tidak (<i>ghayra mulzima</i>). Jika <i style="mso-bidi-font-style: normal;">syura</i><span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dipandang mengikat, maka seorang penguasa harus mengikuti penetapan para <i>ahl al-syura</i>. Namun, kebanyakan ahli hukum menyimpulkan bahwa penetapan para <i>ahl al-syura</i> semata merupakan nasihat dan tidak mengikat. Tapi, banyak ahli hukum yang menegaskan bahwa setelah melakukan konsultasi, seorang penguasa harus mengikuti pendapat yang paling selaras dengan Alquran, sunnah, dan konsensus para ahli hukum. Al-Ghazali merujuk pada konsensus umum ketika ia mengatakan bahwa: “Pengambilan keputusan yang lalim dan tidak-konsultatif, meskipun dilakukan oleh orang yang bijak dan terpelajar, patut ditolak dan tidak bisa diterima.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn11" name="_ednref11" style="mso-endnote-id: edn11;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[11]</span></span></span></span></a> </div><div class="MsoBodyTextIndent"><st1:place w:st="on">Para</st1:place> reformis modern menggunakan gagasan tentang pemerintahan konsultatif sebagai bahan argumentasi untuk memperlihatkan kesesuaian yang mendasar antara Islam dan demokrasi. Namun sekalipun jika etika <i style="mso-bidi-font-style: normal;">syura</i> dikembangkan menjadi sebuah konsep yang lebih luas tentang pemerintahan partisipatif, persoalan tentang dominasi mayoritas memperlihatkan bahwa komitmen moral yang melandasi proses pembuatan hukum sama pentingnya dengan proses itu sendiri. Jadi, sekalipun jika <i style="mso-bidi-font-style: normal;">syura</i> diubah menjadi sebuah lembaga representasi partisipatif, ia sendiri harus dibatasi oleh sebuah skema hak pribadi dan individual yang berperan sebagai tujuan moral tertinggi, seperti keadilan. Dengan kata lain, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">syura</i> harus dinilai bukan atas dasar apa yang dihasilkan, tapi atas dasar nilai moral yang diwakilinya. Oleh karena itu, apapun nilai dari berbagai pandangan yang berlawanan, perbedaan pendapat tetap ditolerir karena hal tersebut dipandang sebagai bagian penting dari penegakan keadilan. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Tradisi Islam dalam pemikiran politik hukum menggambarkan gagasan tentang representasi, konsultasi dan proses hukum. Tapi kandungan utama dari gagasan-gagasan tersebut masih diperdebatkan dan tidak menggambarkan hubungan langsung antara Islam dan demokrasi. Untuk memahami kemungkinan tentang Islam yang demokratis, kita harus melihat lebih dalam lagi tentang peran manusia di tengah-tengah ciptaan Tuhan lainnya, dan posisi penting keadilan dalam kehidupan manusia seperti yang ditegaskan dalam Alquran. </div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><span style="font-size: 13.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Keadilan dan Kasih Sayang</span></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Keadilan memainkan peranan yang penting dalam diskursus Alquran: ia merupakan kewajiban yang harus kita tunaikan kepada Tuhan, dan juga terhadap sesama manusia. Di samping itu, perintah menegakkan keadilan terkait dengan kewajiban untuk menyeru pada kebaikan dan melarang kejahatan, dan juga terkait dengan keharusan bersaksi atas nama Tuhan. Meskipun Alquran tidak menentukan unsur-unsur pembentuk keadilan, ia menekankan kemampuan manusia untuk mencapai keadilan sebagai sebuah bentuk tuntutan yang sangat unik–sebuah kewajiban yang dibebankan kepada kita semua dalam kapasitas kita sebagai khalifah Tuhan. Pada hakikatnya, Alquran menuntut sebuah komitmen terhadap tuntutan moral yang bersifat samar tapi dapat dipahami melalui intuisi, akal dan pengalaman manusia. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Perdebatan Islam tentang bagaimana pemerintah menegakkan keadilan sangat mirip dengan diskursus Barat abad ke-17 tentang karakteristik alami, atau sifat dasar manusia. Sebuah pendapat–yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun dan Ghazali–menegaskan bahwa manusia secara alamiah bersifat mudah marah, cenderung berselisih, dan tidak suka bekerja sama. Jadi, pemerintahan dibutuhkan untuk memaksa manusia bekerja sama, meskipun hal itu bertentangan dengan sifat alami mereka, dan untuk menjunjung keadilan dan kepentingan umum. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Mazhab pemikiran lainnya, misalnya al-Mawardi dan Ibn Abi al-‘Arabi, berargumen bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam kondisi yang lemah dan membutuhkan bantuan, sehingga mereka akan membangun sebuah kerja sama ketika terdesak; kerja sama itu akan membatasi ketidakadilan dengan cara membatasi kekuasaan yang kuat, dan melindungi hak yang lemah. Pendapat yang lain mengatakah bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain, sehingga mereka akan saling membutuhkan untuk mencapai tujuannya. Menurut pandangan mazhab ini, manusia pada dasarnya menghendaki keadilan dan cenderung bekerja sama untuk mencapainya. Sekalipun jika manusia mengeksploitasi anugerah Tuhan berupa kecerdasan dan tuntunan Tuhan berupa hukum-hukum-Nya, melalui kerja sama mereka bisa mencapai tingkat keadilan dan kepuasan moral yang lebih tinggi. Kemudian seorang penguasa diangkat ke tampuk kekuasaannya melalui sebuah kontrak dengan rakyatnya, yang atas dasar kontrak tersebut ia setuju untuk meningkatkan kerja sama yang telah terjalin dalam masyarakatnya dengan tujuan membangun sebuah masyarakat yang adil.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Ketika merenungkan tuntutan untuk menegakkan keadilan, kita perlu memperhatikan argumentasi hukum tentang keragaman dan kerja sama manusia. Alquran mengatakan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia berbeda-beda dan menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka dapat saling mengenal satu sama lain. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Muslim berargumen bahwa ungkapan “saling mengenal satu sama lain” menunjukkan perlunya kerja sama sosial dan tolong menolong untuk mencapai keadilan (Q.S. 49:13). Alquran juga mencatat bahwa manusia selalu memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya hingga akhir zaman. Ia juga menjelaskan bahwa realitas keberagaman manusia merupakan bagian dari kebijaksanaan Tuhan dan maksud penciptaan: <i>“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia mejadikan umat manusia yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat …”</i> (Q.S. 11:118).</div><div class="MsoBodyTextIndent">Penghargaan dan pengakuan Alquran tentang keberagaman manusia memadukan keberagaman tersebut ke dalam proses pencapaian keadilan yang dicita-citakan dan menciptakan berbagai kemungkinan komitmen yang beragam dalam Islam modern. Komitmen tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah etika yang menghargai perbedaan dan hak manusia untuk berbeda, termasuk hak untuk memeluk agama atau keyakinan non-agama yang berbeda. Pada tataran politis, hal tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah keyakinan normatif yang memandang keadilan dan keberagaman sebagai nilai keadilan yang paling asasi yang harus dilindungi oleh tatanan konsitusi yang demokratis. Lebih jauh lagi, ia dapat dikembangkan menjadi sebuah gagasan tentang kekuasaan mandataris, di mana seorang penguasa diberi amanat untuk menjaga nilai keadilan yang paling asasi dengan menjamin hak untuk berkumpul, bekerja sama dan berbeda pendapat. Lebih jauh lagi, gagasan tentang pembatasan dapat dikembangkan untuk menghalangi pemerintah agar tidak merusak upaya pencarian keadilan atau tidak mengekang hak rakyat untuk bekerja sama, atau berbeda pendapat, dalam rangka mencari keadilan itu. Penting untuk saya catat, jika pemerintah gagal melaksanakan kewajiban yang tertuang dalam kontrak, maka ia kehilangan legitimasi kekuasaannya.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Namun, sayangnya terdapat beberapa faktor yang membatasi terlaksananya kemungkinan-kemungkinan tersebut dalam Islam modern. Pada tataran teologis dan filosofis, unsur-unsur keadilan tidak diteliti secara cermat dalam doktrin Islam. Penjelasan tentang pembatasan itu terletak pada perbedaan mendasar dalam memahami karakteristik keadilan itu sendiri. Apakah hukum Tuhan membatasi keadilan, atau apakah keadilan membatasi hukum Tuhan? Jika kita mengambil pendapat pertama, maka apapun yang kita pahami sebagai hukum Tuhan, di sanalah terdapat keadilan. Tapi jika kita mengambil pendapat kedua, maka apapun yang dituntut oleh keadilan pada kenyataannya ia juga merupakan tuntutan Tuhan.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Jika kita dapat mengetahui apa yang dituntut oleh keadilan dengan cara menentukan hukum Tuhan, maka kita tidak perlu melakukan berbagai upaya untuk mengetahui tuntutan keadilan–apakah keadilan yang dimaksud bermakna kesetaraan kesempatan atau hasil, atau membangun otonomi individu, atau memaksimalkan kemanfaatan kolektif, atau melindungi kehormatan dasar manusia. Jika hukum Tuhan lebih didahulukan dari pada keadilan, maka masyarakat yang adil bukan lagi merupakan persoalan tentang hak berbicara dan berkumpul, atau hak untuk menggali berbagai sarana menuju keadilan, tapi semata tentang penerapan hukum Tuhan. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Seandainya kita menerima pentingnya keadilan dalam diskursus Alquran, gagasan tentang kekhalifahan manusia, dan gagasan bahwa tugas untuk menegakkan keadilan telah dibebankan kepada manusia secara umum, maka kesimpulan yang masuk akal adalah bahwa nilai keadilan harus mengendalikan dan memandu semua upaya penafsiran dan pemahaman hukum Tuhan. Hal ini menuntut adanya sebuah perubahan paradigma dalam pemikiran Islam. Menurut saya, keadilan merupakan perintah Tuhan, dan mewakili kedaulatan Tuhan. Tuhan menggambarkan diri-Nya sebagai Yang Maha Adil, dan Alquran menegaskan bahwa Tuhan telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang (Q.S. <st1:time hour="18" minute="12" w:st="on">6:12</st1:time>, 54). Lebih jauh lagi, maksud sebenarnya dari diturunkannya pesan Tuhan kepada Nabi Muhammad adalah sebagai bentuk pemberian kasih sayang Tuhan kepada seluruh manusia.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn12" name="_ednref12" style="mso-endnote-id: edn12;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[12]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoBodyTextIndent">Dalam diskursus Islam kasih sayang Tuhan bukan sekedar pengampunan, bukan juga kesediaan untuk mengabaikan kesalahan dan dosa manusia,<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn13" name="_ednref13" style="mso-endnote-id: edn13;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[13]</span></span></span></span></a> tapi merupakan kondisi di mana seseorang mampu berbuat adil terhadap dirinya sendiri atau orang lain, dengan memberikan hak yang semestinya kepada setiap individu. Secara mendasar bisa dikatakan bahwa kasih sayang Tuhan terikat erat dengan sikap empati terhadap sesama–itulah sebabnya dalam Alquran, kasih sayang Tuhan disandingkan dengan perlunya manusia bersikap sabar dan toleran terhadap sesamanya.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn14" name="_ednref14" style="mso-endnote-id: edn14;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[14]</span></span></span></span></a> Yang paling penting lagi adalah bahwa dalam diskursus Alquran, keberagaman dan perbedaan di antara sesama manusia merupakan bentuk rahmat Tuhan kepada seluruh manusia (Q.S. 11:119).<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn15" name="_ednref15" style="mso-endnote-id: edn15;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[15]</span></span></span></span></a> Persepsi yang memungkinkan seseorang memahami, menghargai, dan memperkaya dirinya dengan keberagaman manusia merupakan salah satu unsur penting untuk membentuk masyarakat yang adil dan untuk mencapai keadilan. Tuntutan Tuhan kepada manusia secara umum dan kepada umat Islam secara khusus adalah, seperti yang dinyatakan dalam Alquran, “untuk mengenal satu sama lain,” dan memanfaatkan pengetahuan itu untuk mewujudkan keadilan. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Jadi, dari sudut pandang tersebut, mandat Tuhan bagi pemerintahan Islam adalah untuk mewujudkan keadilan dengan berlandaskan kasih sayang. Meskipun hidup bersama dalam kedamaian merupakan syarat utama untuk tumbuhnya kasih sayang, untuk mewujudkan pengenalan terhadap sesama dan untuk mencapai keadilan, manusia perlu bekerja sama mewujudkan kebaikan dan keindahan, dengan cara mengembangkan diskursus moral yang terencana. Menerapkan aturan-aturan hukum semata, sekalipun jika aturan-aturan semacam itu merupakan hasil dari penafsiran terhadap kitab suci, belum dipandang cukup untuk mewujudkan kasih sayang–kemampuan alami untuk memahami sesama–atau, terutama, keadilan.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Jadi, prinsip kasih sayang dan keadilan merupakan tuntutan utama Tuhan, dan kedaulatan Tuhan terletak pada kenyataan bahwa Tuhan adalah pemegang otoritas yang mendelegasikan kepada manusia tugas untuk mewujudkan keadilan di muka bumi dengan menjalankan nilai-nilai yang mendekati sifat-sifat ketuhanan.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn16" name="_ednref16" style="mso-endnote-id: edn16;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[16]</span></span></span></span></a> Konsep tentang kedaulatan Tuhan ini tidak menggantikan peran manusia melalui tuntutan penegakan hukum Tuhan secara mekanis, tapi konsep tersebut justru menyalurkan peran manusia dan bahkan mengedepankan peran tersebut sejauh ia dapat memberikan sumbangsih terhadap terwujudnya keadilan. Penting untuk saya catat bahwa menurut diskursus hukum kita tidak mungkin mencapai keadilan kecuali jika setiap orang diberikan hak secara semestinya. Tantangan bagi manusia sebagai khalifah Tuhan adalah bagaimana ia mengakui bahwa ada sebuah hak, memahami siapa yang memiliki hak semacam itu, dan akhirnya memastikan bahwa pemiliknya telah menikmati haknya. Sebuah masyarakat yang gagal dalam melaksanakan tugas tersebut–tidak peduli berapa banyak aturan yang telah diterapkan–bukanlah masyarakat yang diliputi kasih sayang atau keadilan. Pembahasan ini membawa kita pada pembahasan seputar kemungkinan adanya hak individu dalam Islam. </div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><b><span style="font-size: 13.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Hak-Hak Individu</span></b></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Semua demokrasi konstitusional memberikan perlindungan terhadap kepentingan individu, seperti kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, kedudukan yang sama di depan hukum, hak untuk memiliki harta benda, dan jaminan proses hukum di pengadilan. Tapi hak mana saja yang harus dilindungi, dan sejauh mana perlindungan diberikan, merupakan wilayah bahasan berbagai jenis teori dan praktik. Di sini saya berasumsi bahwa apapun karakteristik hak itu, kepentingan individu harus diperlakukan sebagai hal yang tidak bisa diganggu gugat. Ia merupakan kepentingan yang jika dilanggar akan melukai rasa harga diri korban dan menghancurkan kemampuannya untuk memahami eksistensinya. Jadi, penggunaan penyiksaan dan larangan pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan, atau sarana pertahanan hidup lainnya, seperti pekerjaan, merupakan hal yang tidak bisa diterima.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Untuk memahami posisi kepentingan tersebut dalam Islam, perlu kita catat bahwa tujuan Syariat menurut teori hukum adalah mewujudkan kesejahteraan manusia (<i>tahqiq masalih al-‘ibad</i>). Secara khusus, para ahli hukum Islam membagi kesejahteraan manusia ke dalam tiga kategori: kesejahteraan primer (<i>daruriyyat</i>), kesejahteraan sekunder (<i>hajiyyat</i>) dan kesejahteraan tertier (<i>kamaliyyat </i>atau<i> tahsiniyyat</i>). Menurut para ahli hukum Muslim, hukum dan kebijakan pemerintah harus memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut, mengikuti urutan prioritasnya–pertama keserjahteraan primer, lalu sekunder dan terakhir tertier. Kesejahteraan primer dibagi lebih jauh ke dalam <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">lima</st1:place></st1:city> kepentingan utama–<i>al-daruriyyat al-khamsah</i>: agama, kehidupan, akal, keturunan atau kehormatan, dan harta benda. Tapi para ahli hukum Muslim tidak mengembangkan kelima nilai dasar tersebut ke dalam kategori yang lebih luas, dan kemudian menggali implikasi teoritis dari masing-masing nilai tersebut. Mereka menganalisa aturan hukum yang dipandang dapat melayani nilai-nilai tersebut dan menyimpulkan bahwa dengan menghimpun aturan-aturan spesifik tersebut, kelima nilai tersebut bisa terwujud. Jadi, misalnya, para ahli hukum Muslim berargumen bahwa larangan pembunuhan dalam hukum Islam bertujuan melindungi nilai dasar kehidupan, hukuman terhadap orang yang murtad bertujuan melindungi kepentingan agama, larangan terhadap minuman beralkohol bertujuan melindungi akal, larangan terhadap praktik pelacuran dan perzinaan bertujuan melindungi keturunan, dan hak untuk mendapat ganti rugi bertujuan melindungi harta benda. Namun, membatasi perlindungan akal hanya dengan menetapkan larangan terhadap minuman beralkohol, atau perlindungan terhadap kehidupan hanya dengan menetapkan larangan membunuh, tidak cukup memadai. Sayangnya, tradisi hukum tampaknya telah mereduksi kelima nilai tersebut ke dalam tujuan-tujuan yang bersifat teknis. Padahal, kelima nilai tersebut bisa berperan sebagai landasan bagi sebuah teori yang sistematis tentang hak individu di dunia modern.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn17" name="_ednref17" style="mso-endnote-id: edn17;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[17]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoBodyTextIndent">Yang pasti, tradisi hukum Islam mengungkapkan sejumlah besar pandangan yang mempelihatkan perlindungan terhadap individu. Misalnya, para ahli hukum Muslim telah mengembangkan gagasan tentang praduga tak bersalah dalam kasus kriminal dan perdata, dan berargumen bahwa penuduh dibebankan dengan pembuktian (<i>al-bayyina ‘ala man idda‘a</i>). Dalam hal-hal yang terkait dengan bid’ah, para ahli hukum Muslim selalu berargumen bahwa jauh lebih baik membebaskan ribuan pelaku bid’ah dari pada keliru menjatuhkan hukuman kepada seorang Muslim yang jujur. Dalam kasus-kasus kriminal, para ahli hukum berargumen bahwa jauh lebih baik membebaskan seseorang yang bersalah dari pada terjerumus pada risiko menghukum orang yang tidak bersalah. Lebih jauh lagi, banyak ahli hukum yang mengecam praktik penahanan dan pengurungan terhadap kelompok heterodok sekalipun ketika kelompok tersebut menyatakan secara terbuka sikap heterodok mereka (seperti kelompok Khawarij), dan berargumen bahwa kelompok-kelompok semacam itu tidak boleh dilecehkan atau diganggu kecuali jika mereka mulai mengangkat senjata dan menunjukkan niat yang nyata untuk memberontak pemerintah. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Muslim juga mengecam penggunaan siksaan, dengan berargumen bahwa Nabi melarang penggunaan <i>muthla</i> (penggunaan alat siksa) dalam semua situasi,<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn18" name="_ednref18" style="mso-endnote-id: edn18;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[18]</span></span></span></span></a> dan tidak memperkenankan penggunaan pengakuan hasil pemaksaan dalam semua persoalan hukum dan politik.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn19" name="_ednref19" style="mso-endnote-id: edn19;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[19]</span></span></span></span></a> Pada kenyataannya, sejumlah besar ahli hukum telah mengemukakan sebuah doktrin yang mirip dengan doktrin pembebasan dari tuduhan bersalah yang dipraktikkan dalam sistem hukum Amerika–pengakuan atau bukti yang diperoleh dari proses pemaksaan dinilai tidak sah dalam persidangan. Yang menarik adalah bahwa beberapa ahli hukum bahkan menegaskan bahwa para hakim yang bersandar pada sebuah pengakuan semacam itu dalam memutuskan kasus kriminal dipandang telah bertanggung jawab atas penetapan keputusan yang keliru. Kebanyakan ahli hukum berargumen bahwa tergugat atau keluarganya boleh mengajukan gugatan balik untuk memperoleh ganti rugi kepada hakim tersebut secara khusus, dan kepada khalifah dan wakilnya secara umum, karena pemerintah dipandang bertanggung jawab karena berdiam diri atas tindakan hakim-hakimnya yang bertentangan dengan hukum. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Namun, diskursus yang paling menarik tentang persoalan tersebut dalam tradisi hukum Islam adalah seputar hak Tuhan dan hak manusia. Hak Tuhan (<i>huquq Allah</i>) adalah hak yang sepenuhnya dimiliki Tuhan dalam arti bahwa hanya Tuhan yang dapat menetapkan hukuman atas pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, dan hanya Tuhan yang memiliki hak untuk memberi maaf atas pelanggaran semacam itu. Namun, hak-hak yang secara eksplisit tidak dimiliki Tuhan kemudian diserahkan kepada manusia. Sementara pelanggaran terhadap hak-hak Tuhan hanya bisa diampuni oleh Tuhan melalui tobat yang benar, pelanggaran terhadap hak-hak manusia hanya bisa dimaafkan oleh individu yang bersangkutan. Jadi, hak mendapat ganti rugi dimiliki secara pribadi oleh semua manusia dan pelanggaran terhadapnya hanya dapat dimaafkan oleh individu yang bersangkutan. Baik pemerintah maupun Tuhan sekalipun tidak memiliki hak untuk memberi ampunan atau membayarkan ganti rugi, jika ia telah menjadi bagian dari hak manusia. </div><div class="MsoBodyTextIndent"><st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Muslim tidak melukiskan seperangkat hak yang tidak bisa diganggu gugat dan berlaku umum yang dimiliki oleh setiap orang dalam setiap kesempatan. Tapi, mereka memandang hak-hak individu sebagai hak yang berasal dari sebab hukum (<i>legal cause</i>) akibat pelanggaran hukum. Seseorang tidak memiliki hak hingga ia dizalimi, dan oleh karena itu ia berhak mengklaim ganti rugi atau pembalasan. Untuk merubah paradigma tersebut diperlukan sebuah transformasi konsep tradisional tentang hak, sehingga hak menjadi harta milik individu, tanpa mempertimbangkan apakah terdapat sebab hukum dari tindakan tersebut. Seperangkat hak yang diakui bersifat abadi adalah hak-hak yang dipandang penting untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan menjunjung tinggi kasih sayang. Menurut saya, ia pasti merupakan hak yang menjamin keselamatan fisik dan kehormatan manusia. Bisa saja hak-hak individu yang relevan adalah kelima nilai yang disebutkan di atas, tapi persoalan tersebut harus dianalisa ulang dari sudut pandang keberagaman manusia. Dalam konteks ini, komitmen terhadap hak-hak manusia tidak menunjukkan penafian komitmen kepada Tuhan, tapi justru merupakan bentuk penghormatan terhadap keberagaman manusia, penghargaan terhadap khalifah Tuhan, perwujudan kasih sayang, dan upaya pencapaian tujuan tertinggi keadilan. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Penting untuk saya catat bahwa ternyata bukan tradisi hukum Islam pra-modern yang menyodorkan hambatan terbesar bagi pengembangan hak-hak individu dalam Islam. Hambatan serius justru berasal dari orang-orang Islam modern sendiri. Terutama pada paruh kedua abad ini, sejumlah besar orang Islam membentuk asumsi yang tidak berdasar bahwa hukum Islam mengarahkan perhatian utamanya pada kewajiban, bukan pada hak, dan bahwa konsep Islam tentang hak bersifat kolektif, bukan individual. Meskipun demikian, kedua asumsi tersebut hanya didasarkan pada asumsi kultural tentang “pihak lain” yang bukan Barat. Hal itu seolah-olah menegaskan bahwa para penafsir itu telah membakukan konsep Judeo-Kristen atau mungkin konsep Barat tentang hak, dan mengasumsikan bahwa Islam harus memiliki konsep yang berbeda. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Pada kenyataannya, klaim-klaim tentang hak individu atau kolektif pada dasarnya bersifat anakronis. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Muslim pra-modern tidak menegaskan sebuah visi tentang hak yang bersifat kolektif atau individual. Mereka memang berbicara tentang <i>al-haqq al-‘amm </i>(hak publik), dan sering menegaskan bahwa hak publik harus didahulukan dari pada hak pribadi. Tapi hal tersebut berujung pada sebuah penegasan bahwa kelompok terbesar tidak boleh dirampas hak-haknya oleh kelompok yang lebih kecil. Misalnya, sebagai sebuah adagium hukum hal tersebut telah digunakan untuk memberikan pembenaran terhadap gagasan tentang <u>public takings</u> (penghasilan publik?) atau hak membangun sarana publik di atas tanah milik pribadi. Prinsip tersebut juga digunakan untuk melarang praktik para dokter yang tidak memenuhi standar kualifikasi.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn20" name="_ednref20" style="mso-endnote-id: edn20;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[20]</span></span></span></span></a> Tapi seperti yang telah dibahas di atas, para ahli hukum Muslim tidak membenarkan, misalnya, pembunuhan atau penyiksaan manusia untuk mewujudkan kesejahteraan negara atau kepentingan publik. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Barangkali, penegasan tentang pentingnya perspektif kolektifitas dan orientasi kewajiban dalam Islam muncul dari karakteristik reaktif dalam kebanyakan diskursus hukum Islam kontemporer. Namun, gagasan tentang hak individu sebenarnya lebih mudah mendapat pembenaran dalam Islam dari pada hak kolektif. Tuhan menciptakan manusia sebagai individu-individu, dan pertanggungjawaban mereka di akhirat kelak juga dilakukan secara individual. Seseorang yang memiliki komitmen untuk mempertahankan dan melindungi kemaslahatan individu berarti telah menghargai ciptaan Tuhan. Masing-masing individu mencerminkan gambaran semesta keagungan Tuhan. Mengapa seorang Muslim harus memegang komitmen untuk melindungi hak dan kemaslahatan sesama manusia? Jawabannya adalah bahwa Tuhan telah menetapkan komitmen semacam itu ketika Dia meniupkan ruh-Nya ke dalam setiap diri manusia. Itulah sebabnya mengapa Alquran menegaskan bahwa siapapun yang membunuh sesamanya secara tidak benar dipandang telah membunuh semua manusia; seolah-olah pelaku pembunuhan telah membunuh kesucian ilahi dan menghancurkan makna ketuhanan yang terdalam (Q.S. <st1:time hour="17" minute="32" w:st="on">5:32</st1:time>).</div><div class="MsoBodyTextIndent">Lebih jauh lagi, Alquran tidak membedakan antara kesucian seorang Muslim dengan non-Muslim.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn21" name="_ednref21" style="mso-endnote-id: edn21;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[21]</span></span></span></span></a> Seperti yang dinyatakan secara berulang-ulang dalam Alquran, tidak seorangpun manusia yang dapat membatasi kepengasihan Tuhan dengan cara apapun, atau memilih-milih siapa yang berhak menerimanya (Q.S. 2:105; 3:74; 35:2; 38:9; 39:38; 40:7; 43:32). Dengan kenyataan itu, saya ingin menegaskan bahwa baik Muslim maupun non-Muslim bisa menjadi penerima atau pemberi kasih sayang ilahi. Yang menjadi ukuran nilai moral dalam kehidupan dunia saat ini adalah kedekatan seseorang kepada Tuhan melalui keadilan, bukan label keagamaannya. Yang menjadi ukuran di akhirat kelak adalah hal lain, dan hal tersebut merupakan hak prerogatif Tuhan. Tuhan akan merealisasikan hak-Nya di akhirat kelak dengan cara yang menurut-Nya paling sesuai. Tapi, kewajiban moral yang paling penting bagi kita di muka bumi ini adalah merealisasikan hak sesama. Komitmen untuk menghargai hak-hak manusia paralel dengan komitmen untuk melindungi ciptaan Tuhan, dan pada akhirnya juga merupakan komitmen terhadap Tuhan sendiri.</div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><b><span style="font-size: 13.0pt; mso-bidi-font-size: 12.0pt;">Syariat dan Negara Demokratis</span></b></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Sebuah bentuk demokrasi yang muncul dari dalam wilayah agama Islam harus menerima gagasan tentang kedaulatan Tuhan: ia tidak dapat meletakkan kedaulatan rakyat di atas kedaulatan Tuhan, tapi justru harus memperlihatkan bagaimana kedaulatan rakyat–beserta gagasan bahwa warga negara memiliki hak dan tanggung jawab yang sebanding untuk mewujudkan keadilan dengan kasih sayang–mengekspresikan otoritas Tuhan. Sama halnya, ia tidak dapat menolak gagasan bahwa hukum Tuhan harus didahulukan dari pada hukum manusia, tapi justru harus memperlihatkan bagaimana pembentukan hukum yang demokratis menghormati prioritas tersebut. Saya sengaja menempatkan bahasan tentang Syariat dan Negara di akhir tulisan karena saya perlu terlebih dahulu meletakkan landasan pembahasan tersebut. Sebagai bagian dari landasan tersebut, kita perlu menghargai posisi penting Syariat bagi kehidupan seorang Muslim. Syariat adalah Jalan Tuhan; ia direpresentasikan dengan seperangkat prinsip-prinsip normatif, metodologi untuk menghasilkan aturan hukum, dan seperangkat aturan hukum positif. Seperti yang telah dimaklumi bersama, Syariat mengatasi beragam mazhab pemikiran dan pendekatan, yang semuanya sama-sama sah dan ortodoks.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn22" name="_ednref22" style="mso-endnote-id: edn22;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[22]</span></span></span></span></a> Meskipun demikian, Syariat secara keseluruhan, beserta semua mazhab dan berbagai pendapat yang berbeda, tetap merupakan Jalan dan Hukum Tuhan.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Bagian terbesar Syariat tidak ditetapkan secara eksplisit oleh Tuhan. Syariat justru mengandalkan upaya interpretasi agen manusia untuk menghasilkan dan melaksanakan hukum-hukumnya. Namun, sesungguhnya Syariat merupakan nilai inti yang harus dilestarikan oleh masyarakat. Paradoks ini ditampilkan dalam bentuk ketegangan antara kewajiban untuk hidup berlandaskan hukum Tuhan dengan kenyataan bahwa hukum tersebut terbentuk semata melalui penetapan interpretasi subyektif manusia. Bahkan sekiranya ada sebuah pemahaman tunggal bahwa sebuah perintah positif tertentu benar-benar mencerminkan hukum Tuhan, masih ada banyak sekali kemungkinan pelaksanaan dan penerapan yang bersifat subyektif. Dilema ini sedikit terpecahkan dalam diskursus Islam dengan cara membuat perbedaan antara fikih dan Syariat. Dikatakan bahwa Syariat merupakan Gagasan Ideal Tuhan, berada di atas langit, dan tidak terpengaruh atau tercemar oleh ketidakpastian. Fikih merupakan upaya manusia untuk memahami dan menerapkan gagasan ideal Syariat. Oleh karena itu, Syariat<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>bersifat kekal, suci dan tanpa cacat–sementara fikih tidak demikian.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn23" name="_ednref23" style="mso-endnote-id: edn23;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[23]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoBodyTextIndent">Sebagai bagian dari landasan doktrinal dalam diskursus ini, pembahasan para ahli hukum Sunni berfokus pada sebuah hadis yang dinisbatkan kepada Nabi, yang berbunyi: “Setiap <i>mujtahid</i> (ahli hukum yang berusaha keras menemukan jawaban yang benar) dipandang benar” atau “Setiap <i>mujtahid</i> akan mendapat pahala.” Hal ini mengisyaratkan bahwa jawaban yang benar untuk sebuah pertanyaan yang sama bisa lebih dari satu. Menurut para ahli hukum Sunni, hal itu memunculkan persoalan tentang tujuan dan motif di balik pencarian Kehendak Tuhan. Apa sebenarnya Tujuan Tuhan memberikan berbagai petunjuk ke arah hukum-Nya dan kemudian menuntut manusia untuk melakukan pencarian? Jika Tuhan menghendaki manusia untuk mencapai <i>satu</i> jawaban yang benar, maka bagaimana mungkin setiap penafsir atau ahli hukum dipandang benar? Dengan ungkapan lain, adakah <i>satu</i> jawaban yang benar untuk setiap persoalan hukum, dan apakah orang-orang Islam dibebani kewajiban hukum untuk menemukan jawaban tersebut?</div><div class="MsoBodyTextIndent">Mayoritas ahli hukum Sunni sepakat bahwa ketekunan yang dilandasi kejujuran dalam mencari kehendak Tuhan cukup memadai untuk melindungi diri dari tuntutan di hadapan Tuhan kelak. Di luar semua itu, para ahli hukum terbagi ke dalam dua kelompok utama. Kelompok utama, yang dikenal dengan <i>mukhatti’ah</i>, berargumen bahwa pada dasarnya dalam setiap persoalan hukum terdapat satu jawaban yang benar; namun hanya Tuhan yang tahu jawaban yang benar itu, dan kebenaran tersebut hanya akan terungkap pada hari akhirat kelak. Manusia sebagian besar tidak dapat mengetahui secara pasti apakah mereka telah menemukan jawaban yang benar itu. Dalam pengertian ini, setiap <i>mujtahid</i> dipandang benar karena telah mencoba mencari jawaban; namun, seseorang <i>mujtahid</i> mungkin dapat mencapai kebenaran sedangkan yang lainnya mungkin keliru. Di akhirat kelak, Tuhan akan memberitahu semua orang tentang siapa yang tepat dan siapa yang keliru. Ketepatan di sini berarti bahwa seorang mujtahid diberi penghargaan atas upayanya, tapi hal itu tidak berarti bahwa semua jawaban sama-sama benar. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Mazhab kedua, yang dikenal dengan sebutan <i>musawwibah</i>, berargumen bahwa tidak ada satupun jawaban yang benar-benar tepat (<i>hukm mu‘ayyan</i>) yang harus ditemukan oleh manusia: bagaimanapun, jika ada jawaban yang tepat, Tuhan akan memberikan hujjah yang menunjukkan kepastian dan kejelasan aturan Tuhan. Tuhan tidak akan memerintahkan manusia menemukan jawaban yang tepat sementara petunjuk obyektif untuk menemukan jawaban tersebut tidak tersedia. Jika memang ada kebenaran obyektif bagi semua hal, Tuhan akan menjadikan kebenaran itu bisa diketahui di dunia ini. Dalam berbagai kondisi, kebenaran hukum, atau ketepatan bergantung pada keyakinan dan pembuktian, dan validitas dari sebuah aturan atau tindakan hukum seringkali bergantung pada kaidah-kaidah persepsi (<u>rules of recognition</u>) yang menjadi syarat keberadaannya. Manusia tidak dibebani dengan kewajiban untuk menemukan hasil yang abstrak, sulit dipahami dan benar secara hukum. Pada kenyataannya manusia hanya dibebani dengan kewajiban untuk secara sungguh-sungguh menganalisa sebuah persoalan dan kemudian mengikuti hasil-hasil <i>ijtihad</i> mereka sendiri. Menurut al-Juwayni, misalnya, yang dikehendaki Tuhan dari manusia adalah mencari kebenaran–meniti kehidupan sambil mendekatkan diri sepenuhnya pada Tuhan. Al-Juwayni menjelaskan: seolah-olah Tuhan berkata kepada manusia, “Perintah-Ku pada hamba-hamba-Ku sebanding dengan besarnya keimanan mereka. Jadi, siapa saja yang yakin bahwa ia diwajibkan melakukan sesuatu, maka bertindak atas dasar keyakinannya itu merupakan perintah-Ku.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn24" name="_ednref24" style="mso-endnote-id: edn24;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[24]</span></span></span></span></a> Perintah Tuhan kepada manusia adalah agar mereka bersungguh-sungguh melakukan pencarian, dan hukum Tuhan akan ditunda hingga manusia memperoleh kepastian yang kuat tentang hukum tersebut. Ketika keyakinan yang kuat terbentuk, hukum Tuhan mengikuti keyakinan kuat yang dibentuk oleh individu tersebut. Singkatnya, jika seseorang secara jujur dan tulus meyakini bahwa hukum Tuhan adalah begini dan begitu, maka baginya ia menjadi hukum Tuhan. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Pendapat mazhab kedua ini memunculkan persoalan rumit seputar penerapan Syariat<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>dalam masyarakat. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa hukum Tuhan adalah upaya pencarian hukum Tuhan itu sendiri; jika tidak, maka beban hukum (<i>taklif</i>) sepenuhnya bergantung pada subyektifitas dan kejujuran dari keyakinan seseorang. Berdasarkan sudut pandang mazhab pertama, hukum apapun yang diterapkan oleh negara, hukum tersebut secara potensial merupakan hukum Tuhan, dan kita tidak akan mengetahui hukum Tuhan yang sebenarnya hingga akhir zaman. Dari sudut pandang mazhab kedua, hukum apapun yang diterapkan oleh negara bukanlah hukum Tuhan, kecuali jika orang yang harus menjalankan hukum tersebut meyakininya sebagai kehendak dan perintah Tuhan. Mazhab pertama menangguhkan pengetahuan tentang hukum Tuhan hingga kita memasuki alam akhirat, dan mazhab kedua menggantungkan pengetahuan itu pada validitas proses dan kejujuran sebuah keyakinan.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Dengan berpijak pada warisan pemikiran ini, saya memandang bahwa Syariat harus diletakkan dalam politik Islam sebagai konstruksi simbolis tentang kesempurnaan Tuhan yang berada di luar jangkauan manusia. Seperti yang dinyatakan oleh <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Ibn Qayyim</st1:city>, <st1:state w:st="on">ia</st1:state></st1:place> merupakan hakikat keadilan, kebaikan, dan keindahan ilahi. Kesempurnaannya terpelihara dalam Pikiran Tuhan, sementara segala sesuatu yang disalurkan melalui agen manusia pasti akan tercemar oleh ketidaksempurnaan manusia. Dengan ungkapan lain, Syariat yang diwahyukan Tuhan benar-benar sempurna, tapi ketika dipahami oleh manusia, ia menjadi tidak sempurna dan bersifat kondisional. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum harus terus menggali gagasan utama Syariat dan mengerahkan upaya mereka yang tidak sempurna itu untuk memahami kesempurnaan Tuhan. Selama argumentasi yang dibangun itu bersifat normatif, ia tidak akan mampu mencapai kehendak Tuhan, sehingga hukum apapun yang akan diterapkan pasti berpotensi mengalami kegagalan. Syariat bukan hanya sekedar kumpulan hukum (seperangkat aturan positif), tapi juga mencakup senarai prinsip, metodologi, dan proses diskursus yang diarahkan untuk mencapai kehendak Tuhan. Dengan demikian, Syariat merupakan sebuah karya yang berkesinambungan dan tidak pernah rampung.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Penjelasan konkritnya adalah sebagai berikut: jika sebuah pendapat diadopsi dan dilaksanakan oleh sebuah negara, pendapat tersebut tidak bisa dikatakan sebagai hukum Tuhan. Setelah melalui proses penetapan dan penegakan oleh negara, pendapat hukum itu tidak lagi semata mengandung potensi–ia menjadi hukum yang sebenarnya, yang diterapkan dan dilaksanakan. Tapi, hukum yang telah diterapkan dan dilaksanakan bukanlah hukum Tuhan–ia menjadi hukum negara. Dengan demikian, hukum agama sebuah negara merupakan istilah yang kontradiktif, karena hukum itu seharusnya hanya milik negara atau milik Tuhan semata, dan selama penjelasan dan pelaksanaan hukum itu bersandar pada agen subyektif negara, maka hukum tersebut pasti bukanlah hukum Tuhan. Kalau tidak begitu, maka kita harus mau mengakui bahwa kegagalan hukum negara pada kenyataannya merupakan kegagalan hukum Tuhan, dan akhirnya juga berarti kegagalan Tuhan sendiri. Dalam konsep teologi Islam, kemungkinan tersebut tidak dapat diterima.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn25" name="_ednref25" style="mso-endnote-id: edn25;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[25]</span></span></span></span></a></div><div class="MsoBodyTextIndent">Tentu saja, tantangan terbesar bagi pendapat tersebut adalah argumentasi bahwa Tuhan dan Nabi-Nya telah menetapkan perintah hukum yang jelas yang tidak dapat diabaikan. Secara argumentatif bisa dikatakan bahwa Tuhan telah menetapkan hukum-Nya secara jelas dan tepat karena Dia ingin membatasi peran agen manusia dan menutup kemungkinan melakukan inovasi. Tapi–kembali lagi pada pendapat yang telah saya tekankan sebelumnya–bagaimanapun jelas dan akuratnya pernyataan dalam Alquran dan sunah, yang diambil dari kedua sumber itu harus dinegosiasikan melalui agen manusia. Misalnya, Alquran menyebutkan, <i>“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”</i> (Q.S. 5:38). Meskipun kandungan hukum dari ayat tersebut tampak jelas, ia setidaknya menuntut manusia untuk menafsirkan makna “pencuri,” “memotong,” “tangan,” dan “balasan.” Alquran menggunakan ungkapan <i>iqta‘u</i>, dari akar kata <i>qata‘a</i>, yang bisa bermakna “memutuskan” atau “memotong,” tapi ia juga bisa berarti “bersikap tegas,” “mengakhiri,” “mencegah,” atau “menjauhkan seseorang.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn26" name="_ednref26" style="mso-endnote-id: edn26;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[26]</span></span></span></span></a> Apapun makna yang kita ambil dari teks tersebut, pertanyaannya kemudian adalah dapatkah seorang penafsir mengklaim dengan penuh kepastian bahwa penetapan yang ia capai identik dengan penetapan yang dikehendaki Tuhan? Dan sekalipun ketika persoalan makna itu berhasil dipecahkan, dapatkah hukum tersebut dilaksanakan dengan jalan sedemikian rupa sehingga kita dapat mengklaim bahwa hasilnya sesuai dengan kehendak Tuhan? Pengetahuan dan keadilan Tuhan bersifat sempurna, dan manusia tidak mungkin menentukan atau melaksanakan hukum dengan cara sedemikian rupa sehingga sepenuhnya terhindar dari kemungkinan melakukan kesalahan. Hal ini tidak berarti bahwa pencarian hukum Tuhan berujung pada kesia-siaan; ia hanya berarti bahwa penafsiran para ahli hukum merupakan pemenuhan kehendak Tuhan, tapi hukum-hukum yang dikodifikasi dan diterapkan oleh negara tidak dapat dipandang sebagai pemenuhan kehendak Tuhan yang sebenarnya.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Dalam sejarah Islam, secara kelembagaan ulama, yaitu para ahli hukum, dapat dan benar-benar bertindak sebagai penafsir Firman Tuhan, penjaga moral masyarakat, dan pengawas yang mengingatkan dan mengarahkan bangsa pada tujuan tertinggi, yaitu Tuhan.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn27" name="_ednref27" style="mso-endnote-id: edn27;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[27]</span></span></span></span></a> Tapi hukum negara, apapun asal-usul dan landasannya, merupakan milik negara semata. Berdasarkan konsep ini, tidak ada hukum agama yang dapat atau boleh ditegakkan oleh negara. Semua hukum yang dijelaskan dan diterapkan dalam sebuah negara sepenuhnya merupakan hukum manusia, dan harus diperlakukan sebagai hukum manusia. Hukum-hukum tersebut merupakan bagian dari hukum Syariat hanya sejauh pengertian bahwa pendapat hukum manusia bisa dikatakan sebagai bagian dari Syariat. Sebuah undang-undang, sekalipun bersumber dari Syariat, bukanlah Syariat. Dalam ungkapan yang berbeda, manusia (<u>creation</u>), dengan seluruh kekayaan tekstual dan non-tekstual, dapat dan harus menghasilkan hak yang mendasar dan hukum yang terorganisir (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">arganizational law)</i> yang mampu menghargai dan menjunjung tinggi hak tersebut. Tapi hak dan hukum itu tidak mencerminkan kesempurnaan ciptaan Tuhan. Berdasarkan paradigma tersebut, demokrasi merupakan sebuah sistem yang memadai dari perspektif Islam karena selain mengungkapkan sisi penting manusia–yaitu statusnya sebagai khalifah Tuhan–pada saat yang sama juga mencegah negara bertindak sebagai juru bicara Tuhan dengan meletakkan otoritas tertinggi di tangan rakyat, bukan di tangan ulama. Di samping itu pendidik moral memiliki peran yang serius, karena mereka harus siap membimbing masyarakat untuk mendekati Tuhan. Tapi kehendak kelompok mayoritas sekalipun–sebaik apapun moralitas mereka–tidak dapat mewakili kehendak Tuhan. Dan dalam kasus yang paling buruk–jika kelompok mayoritas lepas dari bimbingan para ulama, jika kelompok mayoritas bersikeras untuk menyimpang dari jalan Tuhan, tapi masih menghormati hak-hak dasar individu, termasuk hak untuk mempertimbangkan penciptaan dengan hati-hati dan menyeru pada jalan Tuhan–individu-individu yang membentuk kelompok mayoritas itu tetap harus bertanggung jawab kepada Tuhan di akhirat kelak.[]</div><div style="mso-element: endnote-list;"><br clear="all" /> <hr align="left" size="1" width="33%" /> <div id="edn1" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref1" name="_edn1" style="mso-endnote-id: edn1;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[1]</span></span></span></span></a> Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syawkani, <i>Nayl al-Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar</i> (Kairo: Dar al-Hadits, t.t.), jilid 7:166; Syihab al-Din ibn Hajar al-‘Asqalani, <i>Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari</i> (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), jilid 14:303.</div></div><div id="edn2" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref2" name="_edn2" style="mso-endnote-id: edn2;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[2]</span></span></span></span></a> Ironisnya, kelompok fundamentalis Syi‘ah dan Sunni mengecam kelompok Khawarij dan memandang mereka sebagai kelompok heretik, tapi hal ini bukan karena kelompok-kelompok modern itu tidak sepakat dengan slogan politik kelompok Khawarij, melainkan karena mereka telah membunuh Ali, sepupu Nabi.</div></div><div id="edn3" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref3" name="_edn3" style="mso-endnote-id: edn3;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[3]</span></span></span></span></a> Abd Allah ibn Muslim ibn Qutayba, <i>al-Imama wa al-Siyasa</i>, ed. Zini Taha (Kairo: Mu’assasat al-Halabi, 1967), h. 21. Buku ini secara tradisional dikenal dengan nama <i>Ta’rikh al-Khulafa’</i>.</div></div><div id="edn4" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref4" name="_edn4" style="mso-endnote-id: edn4;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[4]</span></span></span></span></a> Mu‘tazilah adalah sebuah mazhab pemikiran teologis yang pemeluknya menyebut diri mereka sebagai <i>ahl al-‘adalah wa al-tawhid</i> (kelompok pembela keadilan dan keesaan Tuhan). Kelompok tersebut dapat ditelusuri asal-usulnya dalam pemikiran Wasil ibn ‘Atha’ (w. 131/748) dari Basrah. Kelompok Mu‘tazilah sering digambarkan sebagai kelompok rasionalis karena mereka menekankan teologi yang rasional. Mereka juga menganggap keadilan dan menyeru pada kebaikan dan melarang kejahatan sebagai bagian dari rukun Iman. Lima rukun iman yang dicetuskan oleh kelompok tersebut adalah: (1) <i>tawhid</i> (percaya kepada keesaan Tuhan); (2) <i>‘adl</i> (keadilan); (3) <i>al-wa‘d wa al-wa‘id </i>(janji berupa balasan pahala dan ancaman berupa hukuman); (4) <i>al-manzilah bayna al-manzilatayn</i> (mereka yang melakukan dosa besar tidak lagi dipandang sebagai seorang Muslim dan tidak juga dipandang kafir); (5) <i>al-amr bi al-ma‘ruf wa al-nahy ‘an al-munkar</i> (memerintah kebaikan dan melarang keburukan).</div></div><div id="edn5" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref5" name="_edn5" style="mso-endnote-id: edn5;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[5]</span></span></span></span></a> Dengan mengutip contoh tindakan Nabi di Madinah, al-Asam menjelaskan bahwa hal ini mencakup perempuan yang beriman, tapi tidak mencakup non-Muslim atau para budak. Diriwayatkan bahwa setelah hijrah ke Madinah, Nabi mengambil sumpah setia dari sejumlah perempuan dan laki-laki Madinah. Muhammad ‘Imara, <i>al-Islam wa Falsafat al-Hukm</i> (Beirut: t.p., 1979), h. 431-432.</div></div><div id="edn6" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref6" name="_edn6" style="mso-endnote-id: edn6;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[6]</span></span></span></span></a> ‘Imara, <i>al-Islam</i>, 435.</div></div><div id="edn7" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref7" name="_edn7" style="mso-endnote-id: edn7;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[7]</span></span></span></span></a> Setelah Prancis angkat kaki dari Mesir tahun 1801, Umar Makram dan para ulama berhasil mengalahkan orang-orang Prancis yang masih tertinggal di Mesir. Bukannya menguasai sendiri pemerintahan yang baru terbentuk, para ulama menyerahkan pemerintahan kepada Muhammad Ali, orang Mesir keturunan <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Albania</st1:place></st1:country-region>.<span style="mso-spacerun: yes;"> </span></div></div><div id="edn8" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref8" name="_edn8" style="mso-endnote-id: edn8;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[8]</span></span></span></span></a> Afaf Lutfi al-Sayyid Marsot, “The Ulama of Cairo in the Eighteenth and Nineteenth Century,” dalam <i>Scholars, Saints, and Sufis</i>, ed. Nikki Keddi (Berkeley: University of California Press, 1972), h. 149.</div></div><div id="edn9" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref9" name="_edn9" style="mso-endnote-id: edn9;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[9]</span></span></span></span></a> Daniel Crecelius, “Egyptian Ulama and Modernization, dalam <i>Scholars</i>, h. 167-209, 168.</div></div><div id="edn10" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref10" name="_edn10" style="mso-endnote-id: edn10;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[10]</span></span></span></span></a> Jalal al-Din al-Suyuti, <i>Ta’rikh al-Khulafa’</i>, ed. Ibrahim Abu al-Fadl (Kairo: Dar al-Nahda, 1976), h. 109.</div></div><div id="edn11" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref11" name="_edn11" style="mso-endnote-id: edn11;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[11]</span></span></span></span></a> Abu Hamid al-Ghazali, <i>Fada’ih al-Bathiniyya</i>, ed. Abd al-Rahman (Kairo: Dar al-Qawmiyya, 1964), h. 186, 191; Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abd al-Mu‘thi Muhammad, <i>al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam: Syakhsiyyat wa Madzahib</i> (Alexandria: Dar al-Jami’at al-Misriyya, 1978), h. 399-403.</div></div><div id="edn12" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref12" name="_edn12" style="mso-endnote-id: edn12;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[12]</span></span></span></span></a> Q.S. 21:107, yang ditujukan kepada Nabi, berbunyi: <i>“Tidaklah Kami mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam.”</i> Lihat juga Q.S. 16:89. Pada kenyataannya, Alquran menggambarkan bahwa keseluruhan pesan Islam dilandasi oleh rahmat dan kasih sayang. Islam diutus untuk mengajarkan dan menegakkan nilai-nilai tersebut di tengah-tengah manusia. Saya percaya bahwa bagi orang-orang Islam, hal tersebut menciptakan sebuah tugas normatif untuk menyebarkan kasih sayang (Q.S. 27:77; 29:51; 45:20). Tapi mengajarkan cinta kasih mustahil dilakukan kecuali jika kita telah mengetahuinya, dan pengetahuan semacam itu tidak dapat dibatasi pada teks semata. <i>Ta‘aruf</i> (mengenal sesama) yang dilandasai dengan etika kepedulian inilah yang dapat membuka pintu pengetahuan tentang kasih sayang, dan kemudian mengajarkannya kepada orang lain.</div></div><div id="edn13" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref13" name="_edn13" style="mso-endnote-id: edn13;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[13]</span></span></span></span></a> Dalam istilah Alquran, <i>rahma</i> (kasih sayang) tidak terbatas pada <i>maghfira</i> (pengampunan).</div></div><div id="edn14" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref14" name="_edn14" style="mso-endnote-id: edn14;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[14]</span></span></span></span></a> Secara eksplisit Alquran memerintahkan manusia untuk memperlakukan sesama dengan kesabaran dan kasih sayang (Q.S. 90:17) dan tidak melanggar batas kewenangan mereka dengan mengklaim telah mengetahui siapa yang berhak memperoleh kasih sayang Tuhan dan siapa yang tidak (Q.S. 43:32). Teori moral Islam yang berfokus pada kasih sayang sebagai sebuah nilai melengkapi etika kepedulian (<u>ethic of care</u>) yang dikembangkan dalam teori moral Barat.</div></div><div id="edn15" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref15" name="_edn15" style="mso-endnote-id: edn15;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[15]</span></span></span></span></a> Gagasan ini juga dicontohkan dalam sebuah hadis yang dinisbatkan kepada Nabi yang menegaskan bahwa perbedaan dan keberagaman pendapat umat Islam merupakan sumber kasih sayang Tuhan kepada orang-orang Islam.</div></div><div id="edn16" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref16" name="_edn16" style="mso-endnote-id: edn16;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[16]</span></span></span></span></a> Tentu saja, mendekati Tuhan tidak berarti bercita-cita menjadi Tuhan. Mendekati Tuhan berarti mencerminkan keindahan dan nilai-nilai ilahi, dan berjuang untuk mewujudkan sebanyak mungkin keindahan dan nilai-nilai tersebut. Saya memulainya dengan sebuah asumsi teologis bahwa Tuhan tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Namun, Tuhan mengajarkan nilai-nilai moral yang memancar dari sifat Tuhan, dan nilai-nilai itu juga terpancar pada ciptaan-Nya. Dengan merenungkan keindahan ilahi semaksimal mungkin, manusia dapat mendekati Tuhan dengan lebih baik. Semakin besar kemampuan manusia menghubungkan dirinya pada kebaikan, keadilan, kasih sayang dan keseimbangan, yang menjadi perwujudan Tuhan, semakin besar kemampuannya untuk mencerminkan, atau menggambarkan sifat-sifat Tuhan, dan semakin besar kemampuannya untuk membentuk rasa keindahan dan kebijakan yang mendekati keindahan dan kebijakan Tuhan. </div></div><div id="edn17" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref17" name="_edn17" style="mso-endnote-id: edn17;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[17]</span></span></span></span></a> Saya berargumen bahwa perlindungan terhadap agama harus dikembangkan sehingga mencakup perlindungan terhadap kebebasan menganut keyakinan agama; perlindungan terhadap kehidupan harus dipahami bahwa mengambil nyawa seseorang harus dilakukan atas dasar alasan yang benar dan merupakan hasil dari proses yang benar; perlindungan terhadap akal harus dimaknai sebagai hak untuk berpikir, berekspresi dan memilih keyakinan secara bebas; perlindungan terhadap kehormatan harus dimaknai sebagai perlindungan terhadap martabat manusia; dan perlindungan terhadap harta benda harus dimaknai sebagai hak untuk memperoleh ganti rugi atas hilangnya harta benda.</div></div><div id="edn18" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref18" name="_edn18" style="mso-endnote-id: edn18;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[18]</span></span></span></span></a> Namun, para ahli hukum Muslim tidak menganggap pelukaan tangan dan kaki sebagai hukuman bagi pencurian atau penghilangan anggota tubuh terhadap kasus perampokan. </div></div><div id="edn19" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref19" name="_edn19" style="mso-endnote-id: edn19;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[19]</span></span></span></span></a> Sejumlah besar ahli hukum dalam sejarah Islam telah dihukum mati dan dibunuh karena mengemukakan pendapat bahwa dukungan politik (<i>bay‘a</i>) yang diperoleh secara paksa dipandang tidak sah. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Muslim menggambarkan kematian para ulama karena persoalan tersebut sebagai kematian <i>musabara</i>. Hal ini menjadi sebuah diskursus penting karena para khalifah terbiasa menyogok atau mengancam tokoh-tokoh masyarakat dan para ahli hukum untuk memperoleh dukungan (<i>bay‘a</i>) mereka.</div></div><div id="edn20" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref20" name="_edn20" style="mso-endnote-id: edn20;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[20]</span></span></span></span></a> <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Muslim juga menegaskan bahwa hak dan kewajiban yang bersifat khusus harus diprioritaskan dari pada hak dan kewajiban yang bersifat umum. Tapi, lagi-lagi, hal ini merupakan sebuah prinsip hukum yang berlaku bagi hukum keagenan dan kepercayaan. Meskipun prinsip tersebut dapat diperluas dan dikembangkan untuk mendukung hak-hak individu pada masa modern ini, secara historis, ia memiliki makna yang lebih teknis dan legalistis.</div></div><div id="edn21" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref21" name="_edn21" style="mso-endnote-id: edn21;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[21]</span></span></span></span></a> Beberapa ahli hukum pra-modern membedakan antara Muslim dan non-Muslim terutama dalam persoalan yang menyangkut pertanggungjawaban kriminal dan ganti rugi dalam hukum pidana. </div></div><div id="edn22" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref22" name="_edn22" style="mso-endnote-id: edn22;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[22]</span></span></span></span></a> Empat mazhab Sunni yang masih bertahan hingga kini adalah mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‘i dan Hanbali.</div></div><div id="edn23" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref23" name="_edn23" style="mso-endnote-id: edn23;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[23]</span></span></span></span></a> Saya menyederhanakan doktrin yang rumit ini untuk menjelaskan konsep tersebut. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Muslim terlibat dalam diskursus yang panjang ketika membedakan antara konsep Syari‘ah dengan Fikih.</div></div><div id="edn24" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref24" name="_edn24" style="mso-endnote-id: edn24;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[24]</span></span></span></span></a> Al-Juwayni, <i>Kitab al-Ijtihad</i>, h. 61.</div></div><div id="edn25" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref25" name="_edn25" style="mso-endnote-id: edn25;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[25]</span></span></span></span></a> Sepanjang menyangkut persoalan ini, diskursus Islam kontemporer mengidap sejenis penyakit kemunafikan. Seringkali, orang-orang Islam menghadapi krisis eksistensial jika hukum Islam yang dipaksakan itu membuahkan kepedihan dan penderitaan sosial. Untuk memecahkan krisis tersebut, orang-orang Islam seringkali harus mengklaim bahwa terjadi kegagalan dalam tataran implementasi. Sikap apologetis yang memalukan ini bisa dihindari jika orang-orang Islam dapat menanggalkan gagasan tentang hukum negara Syari‘ah yang tidak logis itu.</div></div><div id="edn26" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref26" name="_edn26" style="mso-endnote-id: edn26;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[26]</span></span></span></span></a> Ahmed Ali berargumen dalam <i>Al-Quran: A Contemporary Translation</i> (Princeton University Press, 2001) bahwa kata-kata yang digunakan dalam Alquran tidak berarti memotong anggota tubuh, tapi bermakna “mencegah tangannya dari tindak pencurian dengan menggunakan sarana pencegahan …” (113). <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Islam klasik meletakkan persyaratan sedemikian rupa sehingga pada praktiknya pemotongan anggota tubuh mustahil terlaksana.</div></div><div id="edn27" style="mso-element: endnote;"> <div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref27" name="_edn27" style="mso-endnote-id: edn27;" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">[27]</span></span></span></span></a> Agar para ulama dapat memainkan peranan yang berarti dalam sebuah masyarakat madani, mereka harus terlebih dahulu memperoleh kembali kebebasan moral dan kelembagaannya.</div></div></div><br />
<div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6.0pt; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><br />
</span></span></span></span></div>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-39364714204229455902010-04-28T20:12:00.000+07:002010-04-28T20:12:46.549+07:00Tanggapan Islam dan Demokrasi<em><a href="http://kontrademokrasi.blogspot.com/2010/04/islam-dan-demokrasi.html">source yg ditanggapi </a></em><br />
<em>Bismillah…</em><br />
Pada tanggal 26 April 2010 kemarin saya membaca tulisan Syamsul Balda, Direktur Eksekutif Smart Leadership Institute pada rubric analisa yang berjudul kan “<a class="tt" href="http://www.eramuslim.com/berita/analisa/islam-dan-demokrasi.htm">Islam dan Demokrasi</a>” di situs eramuslim.com.<br />
Pada kesempatan ini saya mencoba untuk menanggapi tulisan tersebut dengan maksud meluruskan beberapa hal yang jujur saya lihat penulis terkesan memaksakan beberapa hal untuk membenarkan pendapatnya seputar demokrasi agar sejalan dengan Islam, padahal faktanya Demokrasi adalah sebuah ide yang bertolak belakang dengan Islam baik dari segi lahirnya maupun ide secara keseluruhan.<br />
Untuk menjawab beberapa pernyataan oleh penulis, maka saya akan mencoba menguraikan apa yang telah beliau tulis dan kemudian akan saya tanggapi dengan hujjah yang ada.<br />
Pertama, pada tulisan tersebut beliau menjelaskan substantif dari ide atau faham demokrasi, yakni dengan mengatakan<br />
<em>”Terlepas dari definisi akademis tentang demokrasi, pada hakikatnya demokrasi dalam aspek politik adalah dihormatinya hak setiap individu dalam sebuah bangsa untuk memilih pemimpin sesuai dengan aspirasinya. Tidak boleh ada yang memaksakan kehendak kepada mereka untuk memilih seorang pemimpin tertentu yang tidak dikehendaki.</em><br />
<em>Ketentuan ini pada dasarnya sesuai dengan ajaran yang digariskan oleh Islam melalui perangkat syura (permusyawaratan) dan bai’at (kontrak politik yang mengikat rakyat untuk berkomitmen tunduk dan taat pada pemimpin yang dipilihnya.</em><br />
<em>Kesesuaian antara Islam dengan demokrasi juga terlihat ketika Islam mengutuk dan mengecam para diktator; sementara di sisi lain mengedepankan pemimpin yang kuat, amanah, kredibel, kapabel serta mampu mengayomi rakyatnya. Islam memerintahkan umatnya untuk mematuhi keputusan mayoritas.”</em><br />
Komentar : penjelasan di atas bukanlah ide substantif dari faham yang bernama demokrasi, kalo menggunakan penjelasan di atas, jelas sekali telah menyalahi arti dari demokrasi itu secara utuh, baik secara ide maupun aplikasinya. Terlebih lagi penulis mengutip kata <em>syura’</em> dan <em>bai’at</em> dalam mendukung kesimpulannya.<br />
Dalam membahas demokrasi, maka kita harus membelah faham tersebut secara utuh, seridaknya ada 5 hal yang harus di kaji atau di urai dalam faham demokrasi, yakni<br />
<ol><li>Asal-usul demokrasi,</li>
<li>Aqidah demokrasi,</li>
<li>Ide dasar demokrasi,</li>
<li>Standar demokrasi (yaitu mayoritas), dan</li>
<li>Kebebasan dalam demokrasi, sebagai prasyarat agar rakyat dapat mengekspresikan kehendak dan kedaulatannya tanpa paksaan dan tekanan.</li>
</ol>Berdasarkan kelima aspek ini, penjelasan ringkas tentang demokrasi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :<br />
Terkait asal ushul demokrasi maka kita akan menemukan bahwa demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT. Demokrasi adalah ide yang muncul dari akal manusia yang lemah, serba kurang dan serba terbatas.<br />
Dari segi aqidah, demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sebuah aqidah yang mengambil jalan tengah ketika terjadi konflik antara kaum gerejawan dan kaum bangsawan, kaum bangsawan menolak hak gereja secara absoulut yang ikut campur dalam urusan pemerintahan, akhirnya diambilah jalan tengah yakni yang terkenal dengan kalimat, ”berikanlah hak kaisar untuk kaisar (bangsawan) dan hak tuhan untuk tuhan (kaum gerejawan), maka lahirlah faham sekulerisme.<br />
Dari segi ide, demokrasi berlandaskan dua ide :<br />
<ol><li>Kedaulatan di tangan rakyat.</li>
<li>Rakyat sebagai sumber kekuasaan.</li>
</ol>Ini jelas bertentangan dengan Islam, dalam Islam memang kekuasaan berada di tangan umat/rakyat, yang mana nanti dengan kekuasaan itu umat memilih seorang khalifah untuk mengatur umat itu sendiri, sedangkan perkara kedaulatan bukanlah ditangan umat/rakyat, melainkan berada ditangan Allah sang khalik yang memilki otoritas tunggal dalam rangka membuat hukum-hukum. Intinya kedaulatan di dalam Islam berada pada syara’.<br />
Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.<br />
Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda :<br />
<div class="ArabCenter">مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً</div><em>“Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah.”</em> (HR. Muslim)<br />
Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman :<br />
<div class="ArabCenter">إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ</div><em>“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.”</em> (QS. Al An’aam: 57)<br />
Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan, serta pengambilan keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas. Ini adalah prinsip dasar demokrasi, yakni terletak pada suara mayoritas. Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinciannya adalah sebagai berikut :<br />
<ol><li>Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah.</li>
<li>Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.</li>
<li>Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.</li>
</ol>Dalam demokrasi, ada empat macam kebebasan, yaitu :<br />
<ol><li>Kebebasan beragama (freedom of religion)</li>
<li>Kebebasan berpendapat (fredom of speech)</li>
<li>Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership)</li>
<li>Kebebasan bertingkah laku (personal freedom).</li>
</ol>Ini bertentangan dengan Islam, sebab dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya. Tidak bisa bebas dan seenaknya. Terikat dengan hukum syara’ bagi seorang muslim adalah wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya iman padanya. Allah SWT berfirman :<br />
<div class="ArabCenter">فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ</div><em>“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.”</em> (QS. An Nisaa’: 65)<br />
Inilah penjelasan secara kaffah terkait ide atau faham demokrasi yang benar-benar merujuk pada fakta dan kemudian fakta tersebut dihukumi dengan dalil-dalil yang terkait, sebagaimana proses tahqiqul manath dalam hal menghukumi sebuah fakta.<br />
Kemudian, penulis kemudian menyatakan : <em>”Rakyat juga mempunyai kewajiban untuk taat kepada penguasa selama kebijakan yang diambilnya adalah kebaikan. Sebaliknya, rakyat berhak menolak ketika diperintah untuk melakukan perbuatan yang dilarang menurut kesepakatan kaum Muslimin dan atau melakukan kemaksiatan yang nyata. Karena, tidak boleh menaati siapa pun untuk melakukan maksiat kepada Allah. Hal seperti ini juga berlaku dalam sistem demokrasi.”</em><br />
Komentar : memang benar bahwa tidak ada ketaatan kepada perkara maksiat yang diperintahkan oleh penguasa, namun benarkah didalam demokrasi pun sama? Jelas tidak. Misalnya, dalam demokrasi kita bisa mengambil contoh pemerintah yang menyuruh membayar pajak, bahkan termasuk perkara wajib, bukankah di dalam Islam pajak merupakan sesuatu yang diharmkan di dalam Islam, kecuali jika dalam hal kas negara dalam hal ini baitul mal mengalami definisit anggaran maka negara boleh mengambil pajak dari rakyat, kalau tidak terjadi demikian maka hukumnya haram.<br />
<em>“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka”</em> [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah :<br />
Artinya dengan mengambil contoh tentang dharibah (pajak) kita bisa melihat bahwa ini sebuah bentuk kemaksiatan, pemerintah menyuruh rakyatnya untuk membayar pajak, sdengkan jelas sekali di dalam Islam adalah diharamkan, lantas dimanakah katanya bahwa di dalam demokrasi tidak ada ketaatan kepada maksiyat? Bukahkah di dalam hukum Indonesia akan dikenakan sanksi bagi orang yang tidak membayar pajak. Kita ambil contoh negeri kita, salah satu kewajiban bagi warga negara adalah membayar pajak. Sarana untuk mem-bayar pajak tersebut adalah NPWP Warga negara yang telah memiliki NPWP dinamakan Wajib Pajak (WP). Kewajiban utama WP adalah membayar pajak, atau bagi wajib pajak tertentu-juga bertindak sebagai pemotong pajak. Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah <em>"kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."</em><br />
Kemudian penulis menyatakan bahwa, <em>”Walau tetap memiliki beberapa kelemahan, sistem ini masih lebih baik dari sistem buatan manusia lainnya. Yang perlu diantisipasi adalah menjaga berjalannya sistem ini agar tidak dimanfaatkan oleh para penipu atau penjahat."</em><br />
Komentar : penulis sendiri menyadari bahwa ide demokrasi ini memiliki kelemahan, namun tetap mengatakan bahwa sistem tersebut lebih baik dari sistem yang lain yang juga dibuat oleh manusia. Pertanyaan saya, apakah tidak ada sistem alternatif lain lagi sehingga hanya melihat dan membandingkan dengan sistem yang juga dibuat oleh manusia yakni sistem sosialis komunis? Kenapa tidak melirik kepada sistem Islam? Kenapa tetap mencoba memaksakan pendapat seolah-olah sistem tersebut masih sesuai dengan Islam? Yang tidak difahami oleh penulis adalah tentang kata sistem itu sendiri, penulis mengatakan bahwa demokrasi selaras dengan Islam, namun tidak mengatakan bahwa demokrasi selaras dengan SISTEM ISLAM, ini menunjukan bahwa penulis sepertinya mencoba menhkerdillkan makna akan Islam itu sendiri. Padahal jelas sekali bahwa Islam itu adalah agama sekaligus sebagai sebuah ideologi (sistem aturan hidup). Islam adalah agama sempurna. Kesempurnaannya sebagai sebuah sistem hidup dan sistem hukum meliputi segala perkara yang dihadapi oleh umat manusia. Firman Allah Swt:<br />
<div class="ArabCenter">وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ</div><em>“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..” </em>(QS. An-Nahl [16]: 89)<br />
Ini berarti, perkara apapun ada hukumnya, dan problematika apa saja, atau apapun tantangan yang dihadapi kaum Muslim, akan dapat dipecahkan dan dijawab oleh Dinul Islam.<br />
Ada 3 pendapat yang penulis angkat terkait pendapat beberapa kalangan mengenai demokrasi, yang pertama yakni :<br />
<ol><li>Mereka yang menolak demokrasi dengan mengatasnamakan Islam.</li>
<li>Mereka yang menerima demokrasi secara total tanpa reserve.</li>
<li>Mereka yang menerima demokrasi secara moderat.</li>
</ol>Penulis tidak ada memberikan bantahan ilmiah terkait mereka yang menolak demokrasi atas nama Islam, dan hanya memberikan penjelasan sekaligus ”pembelaan” bagi mereka yang menerima demokrasi secara moderat.<br />
Menurut penulis Dalam sistem demokrasi, terdapat hal-hal yang selaras dengan ajaran Islam, seperti: <em>musyawarah</em>, <em>amar ma’ruf nahi munkar</em> yang diterjemahkan dalam mekanisme <em>check and balance</em>, pengawasan (<em>mutaba’ah</em>), kontrol (<em>muraqabah</em>) dan evaluasi, saling menasehati (<em>taushiyah</em>), mencari <em>mashlahat</em> dan menghindari <em>madharat</em>, menegakkan keadilan dan melawan kezhaliman dan diktatorisme, dan aspek-aspek lainnya.<br />
Pendapat seperti ini muncul karena ketidaktahuan akan demokrasi itu sendiri, saya telah menggambarkan ide demokrasi ini secara menyeluruh mulai dari kemunculannya hingga faham kebebasan yang dibawa oleh demokrasi itu sendiri. Syura’ atau musyawarah dalam Islam tidaklah bisa didentikan dengan demokrasi, jelas seperti langit dan bumi perbandingan antara syura’ dan demokrasi.<br />
Penggalan ayat ini: <em>Wa amruhum syûrâ baynahum</em> (sedang urusan mereka [diputuskan] dengan musyawarah antara mereka) sering diambil untuk melegitimasi demokrasi. <em>Syûrâ</em> yang diperintahkan dalam ayat ini disamakan dengan demokrasi. Padahal di antara keduanya terdapat kontradiksi mendasar. Demokrasi merupakan pandangan hidup dan sistem pemerintahan yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Prinsip ini meniscayakan, seluruh perundang-undangan harus bersumber dari rakyat. Pelaksana praktisnya adalah parlemen yang dianggap sebagai representasi rakyat. Konsekuensinya, undang-undang apa pun yang telah dilegislasi oleh parlemen harus diterapkan dan ditaati oleh rakyat; terlepas apakah undang-undang itu sejalan dengan syariah atau tidak. Konsekuensi lainnya, kebebasan (<em>freedom</em>) harus dijunjung tinggi dalam masyarakat yang menerapkan dePrinsip lainnya dalam demokrasi adalah suara mayoritas. Oleh karena kehendak rakyat harus ditaati, sementara jumlah rakyat amat banyak dengan keinginan yang berbeda-beda, bahkan bertentangan satu sama lainnya, maka yang harus diikuti adalah yang didukung dengan suara mayoritas rakyat. Ini fakta yang juga diakui oleh penulis itu sendiri.<br />
Kata <em>syûrâ</em> merupakan bentuk mashdar dari kata <em>syâwara</em>. Dikemukakan oleh Raghib al-Asfhani, <em>at-tasâwur wa al-musyâwarah wa al-masyûrah</em> berarti mengeluarkan pendapat dengan cara, sebagian orang meminta pedapat atau nasihat kepada sebagian lainnya. Pengertian tersebut diambil dari ucapan mereka, <em>“Syurtu al-‘asl,”</em> ketika engkau mengambil dan mengeluarkan madu dari tempatnya.<br />
Pengertian lebih spesifik dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabahani. Suatu pengambilan pendapat (<em>akhdz al-ra’yi</em>) baru bisa disebut sebagai <em>syûrâ</em> jika dilakukan oleh khalifah, amir, atau pemilik otoritas, seperti ketua, komandan, atau penanggung jawab kepada orang yang dipimpinnya. Bisa juga dilakukan antara suami-istri. Ketika hendak melakukan penyapihan anak sebelum dua tahun, mereka diperintahkan untuk memusyawarahkannya (lihat QS al-Baqarah [2]: 233). Adapun menyampaikan pendapat (<em>ibdâ’ al-ra’y</em>) kepada pemilik otoritas, baik penguasa, komandan, atau pemimpin, maka itu disebut sebagai nasihat; suatu aktivitas yang juga diperintahkan oleh syariah. Nasihat disampaikan kepada para pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslim secara umum.<br />
<em>Dhamîr hum</em> (kata ganti mereka) pada ayat ini merujuk kepada kaum Muslim. Itu menunjukkan bahwa pengambilan pendapat itu hanya dilakukan kepada kaum Muslim. Perintah yang sama juga disampaikan dalam firman Allah Swt. yang lain (lihat: QS Ali Imran [3]: 159).<br />
Berdasarkan kedua ayat ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabahani menyimpulkan bahwa <em>syûrâ </em>khusus dilakukan terhadap kaum Muslim secara <em>qath’i</em>. Hal ini berbeda dengan <em>ibdâ’ al-ra’y</em> yang bisa didengarkan dari semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim.<br />
Kemudian penulis mengatakan, <em>”Secara substanif tidak ada perbedaan antara sistem syura dengan sistem demokrasi. Bahkan bersesuaian. Yang membedakan adalah ‘ruh’ atau spirit dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sistem syura berspiritkan </em>”rabbaniyyah”<em>, sedang sistem demokrasi berspiritkan </em>“insaniyyah”<em>. Sistem syura bernilai </em>“religiuitas”<em>, sedang sistem demokrasi “bebas nilai”.</em><br />
Komentar : sekali lagi, saya menduga dengan dugaan yang kuat bahwa penulis memang tidak faham dari realitas demokrasi itu sendiri, hanya melihat demokrasi dari ”penerapan” yang terlihat manis, namun melupakan pondasi dasar yang membangun faham demokrasi itu sendiri. Ini terlihat sekali bahwa tulisan terkesan dipaksakan sehingga seolah-olah demokrasi selaras dengan Islam. Apalagi penulis ”memuji” faham demokrasi dengan mengatakan bahwa, <em>”Dalam sistem demokrasi inilah kita mendapatkan derivatif sistemnya berupa: sistem kepartaian, sistem pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan (lembaga legislatif), sistem pemilihan umum untuk pemerintahan pusat dan pemerintahan Daerah untuk memilih Presiden hingga Kepala Daerah (lembaga eksekutif), sistem pemilihan untuk lembaga Yudikatif, sistem ketata-negaraan yang meliputi pemisahan kekuasaan dan kewenangan antara ketiga lembaga tersebut agar berjalan mekanisme check and balances, bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem parlemen, sistem fiskal dan moneter, sistem keuangan negara dan perbendaharaan negara, sistem sosial, sistem pendidikan, dan sebagainya. Dimana seluruh sistem itu dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar negara dan Undang-undang yang terkait dengan setiap sistem yang dibutuhkan dalam menjalankan roda pemerintahan."</em><br />
Sungguh penulis tidak mengkerdilkan Islam dalam hal ini syariat Islam, penulis seolah ingin mengatkan bahwa di dalam <em>syura’</em> kita tidak akan menemui apa yang telah ia sampaikan terkait struktur negara, sistem kepartaian dan lainnya, ini karena yang penulis lihat adalag sebatas <em>syura’</em>, padahal <em>syura’</em> hanyalah merupkan suatu tempat dalam pengambil keputusan yang tidak terkait dengan sistem, kalau ingin mendapatkan apa yang ada maka menolehlah pada Islam sebagai sebuah sistem, bukan pada <em>syura’</em>nya, di di dalam Islam akan didapati aturan hidup yang mengatur urusan manusia dengan pencpitanya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan dirinya sendiri, di dalam Islam ada aturan tentang, bentuk negara, struktur negara, sistem ketatanegaraan, aturan pembetukan partai, sistem ekonomi, bahkan dalam hal UUD dan UU pun telah ada rumusannya.<br />
Penulis terjebak pada mainstrean demokrasi, sehingga pola fikir yang dijadikan penilaian adalah hidup di didalam alam demokrasi, bukan didalam sistem Islam, sehingga membuat pemikiran penulis hanya berkutat pada ide demokrasi itu sendiri dan menguraikanya secara tidak sesuai dengan fakta akan demokrasi itu sendiri yang jelas bertantang dengan Islam.<br />
Bahkan sebagai seorang Muslim, mengambil istilah demokrasi pun sudah termasuk suatu dosa karena jelas sekali diharamkan mengadopsi istilah tersebut. Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan. Dalam hal ini, Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah SWT berfirman : <em>"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad),’Raa’ina’, tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih."</em> (QS Al Baqarah : 104)<br />
"Raa’ina" artinya adalah "sudilah kiranya Anda memperhatikan kami." Di kala para shahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut "Raa’ina", padahal yang mereka katakan adalah "Ru’uunah" yang artinya "kebodohan yang sangat." Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya para shahabat menukar perkataan "Raa’ina" dengan "Unzhurna" yang sama artinya dengan "Raa’ina". Oleh Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhum Al-Adalah Al-Ijtimaiyah fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir (1991), ayat ini dijadikan dalil untuk menolak penggunaan istilah yang dapat menimbulkan kerancuan atau bias, yang pengertiannya kemungkinan berupa makna Islami atau makna yang tidak Islami.<br />
Syekh Abdul Qadim Zallum menarik 2 (dua) kesimpulan yang sangat tegas, jelas, dan tanpa bsa-basi. Tujuannya adalah agar umat Islam terhindar dari kekufuran dan kesesatan sistem demokrasi. Dua kesimpulan utama itu sebagai berikut :<br />
<strong><em>Pertama</em></strong>, Demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam itu sesungguhnya adalah sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.<br />
<strong><em>Kedua</em></strong>, Maka dari itu, kaum muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Haram pula bagi mereka menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undang-undang atau sebagai sumber bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan tujuannya. Syekh Abdul Qadim Zallum menegaskan, “Kaum muslim wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnya karena demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thaghut.”<br />
Wallahu’alam bis showab.<br />
<strong>Adi Victoria</strong> (al_ikhwan1924@yahoo.com)<br />
<em>Rujukan :<br />
</em><br />
<ul><li><em>Buku Demokrasi Sistem Kufur (Syekh Abdul Qadim Zallum)</em></li>
<li><em>Buku Menghancurkan Demokrasi (Syekh Ali Belhaj).</em></li>
<li><em>Silsilah Ash-Shahihah jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199 oleh Al-Albani (terkait dharibah).</em></li>
<li><em>Taqiyuddin an-Nabahani, Ays-Syakhsyiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ummah, 2003), 246.</em></li>
<li><em>Buku Menegakan Syariat Islam terbitan tahun 2002</em></li>
</ul><br />
<em><a href="http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/tanggapan-tulisan-islam-dan-demokrasi.htm">eramuslim.com</a></em>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-59542627198037890492010-04-27T08:28:00.001+07:002010-04-28T20:06:18.861+07:00Islam dan Demokrasi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://a.cdn.tendaweb.com/fckfiles/image/analisa/pks-kampanye.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="213" src="http://a.cdn.tendaweb.com/fckfiles/image/analisa/pks-kampanye.jpg" width="320" /></a></div><div class="body-content" id="detail">Oleh: <b>Syamsul Balda</b>, Direktur Eksekutif Smart Leadership Institute<br />
Dalam sebuah kesempatan, penulis bersama seorang ulama, bersilaturrahim ke kediaman salah seorang pimpinan Pondok Pesantren besar di Jawa Tengah yang sangat berpengaruh.<br />
Diantara perbincangan tentang masalah da’wah dan negara, ada satu hal yang cukup mengagetkan kami, yakni pendapat beliau yang menyatakan bahwa Demokrasi tidak diakui Islam, mengarah pada kemusyrikan bahkan masuk kategori kekufuran.<br />
Alasannya, demokrasi berarti pemberian kewenangan untuk menetapkan hukum kepada rakyat. Padahal dalam Islam, rakyat tidak berhak menetapkan hukum. Allah lah yang memiliki hak prerogatif menetapkan hukum, sebagaimana firman-Nya:<br />
<i>“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.”</i> (QS. Al-An’am, 6:57)<br />
<i>“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka ia termasuk golongan kafir.”</i> (QS. Al-Maaidah,5:44)<br />
Pendapat beliau ini ternyata juga di-amini oleh beberapa ulama berpengaruh di Jawa Tengah, Jakarta, dan Jawa Timur. Hasilnya, dalam pemilu 2009 yang lalu, suara partai-partai Islam mengalami penurunan yang cukup signifikan.<br />
Sementara, disisi lain, berkembang opini di kalangan penganut Islam liberal bahwa Islam adalah musuh demokrasi, tidak toleran, membelenggu dan otoriter.<br />
Benarkah kedua pendapat yang berbeda kutub tersebut?<br />
Masalah prinsip ini harus dijelaskan dengan tuntas dan didudukkan secara proporsional, agar Islam tidak ditimpakan kesalahan penafsiran yang tidak benar, sekalipun keluar dari kalangan ulama. Sebab bagaimana pun juga, mereka bisa salah dan bisa benar.<br />
Penulis memohon kepada Allah agar berkenan menampakkan kebenaran berdasarkan dalil-dalil syari’at dan hujjah balighah.<br />
<b>Kaidah dalam Hukum</b><br />
Para ulama salaf telah menyepakati suatu kaidah: <b>“Hukum tentang sesuatu merupakan derivasi dari konsepsinya.”</b> Barangsiapa menetapkan hukum tentang sesuatu padahal dia tidak mengetahui secara pasti tentangnya, maka ketetapan hukumnya dianggap cacat, sekalipun mungkin secara kebetulan benar.<br />
Disebutkan dalam sebuah hadits shahih, bahwa hakim yang menetapkan hukum tanpa mengetahui permasalahannya, akan masuk ke dalam neraka, seperti orang yang mengetahui kebenaran namun menetapkan yang lain.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://a.cdn.tendaweb.com/fckfiles/image/analisa/khilafah-islam-demokrasi.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="http://a.cdn.tendaweb.com/fckfiles/image/analisa/khilafah-islam-demokrasi.jpg" width="240" /></a></div>Dalam konteks ini, apakah demokrasi yang didengung-dengungkan negara-negara di seluruh dunia, diperjuangkan oleh bangsa-bangsa Barat maupun Timur, setelah berperang melawan penguasa diktator dengan tumpahan darah dan ribuan bahkan jutaan nyawa jadi korban, dijadikan sarana ampuh bagi da’wah untuk melawan hegemoni penguasa zhalim yang mengaku muslim, termasuk kemungkaran atau bahkan kekufuran? Apakah mereka yang berpendapat demokrasi itu kufur, mengerti akan hakikat atau substansi demokrasi?<br />
<br />
<b>Substansi Demokrasi</b><br />
Terlepas dari definisi akademis tentang demokrasi, pada hakikatnya demokrasi dalam aspek politik adalah dihormatinya hak setiap individu dalam sebuah bangsa untuk memilih pemimpin sesuai dengan aspirasinya. Tidak boleh ada yang memaksakan kehendak kepada mereka untuk memilih seorang pemimpin tertentu yang tidak dikehendaki.<br />
Ketentuan ini pada dasarnya sesuai dengan ajaran yang digariskan oleh Islam melalui perangkat <i>syura</i> (permusyawaratan) dan <i>bai’at</i> (kontrak politik yang mengikat rakyat untuk berkomitmen tunduk dan taat pada pemimpin yang dipilihnya.<br />
Kesesuaian antara Islam dengan demokrasi juga terlihat ketika Islam mengutuk dan mengecam para diktator; sementara di sisi lain mengedepankan pemimpin yang kuat, amanah, kredibel, kapabel serta mampu mengayomi rakyatnya. Islam memerintahkan umatnya untuk mematuhi keputusan mayoritas.<br />
Islam juga mengandung ajaran bahwa tangan Allah bersama <i>jama’ah</i> (rakyat banyak). Rasulullah saw bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, <i>“Kalau kalian berdua sepakat dalam suatu hal, aku tidak akan menentang pendapat kalian berdua.”</i> [1] Ini menunjukkan bahwa aspirasi dari jumlah orang yang lebih banyak harus didahulukan dari aspirasi segelintir orang, termasuk pendapat Rasulullah sendiri (dalam masalah ijtihadi duniawi).<br />
Di dalam Islam, setiap rakyat berhak memberikan saran atau nasihat kepada penguasa, menganjurkannya berbuat baik dan meninggalkan kemungkaran; tentu dilakukan dengan tetap memperhatikan etika dan cara mengingatkan dengan baik.<br />
Rakyat juga mempunyai kewajiban untuk taat kepada penguasa selama kebijakan yang diambilnya adalah kebaikan. Sebaliknya, rakyat berhak menolak ketika diperintah untuk melakukan perbuatan yang dilarang menurut kesepakatan kaum Muslimin dan atau melakukan kemaksiatan yang nyata. Karena, tidak boleh menaati siapa pun untuk melakukan maksiat kepada Allah. Hal seperti ini juga berlaku dalam sistem demokrasi.<br />
Hal penting lainnya dalam penerapan sistem demokrasi adalah Pemilihan Umum (pemilu) dan pengambilan keputusan berdasar suara terbanyak; dimana secara umum bisa dinilai tidak bertentangan dengan ajaran Islam.<br />
Walau tetap memiliki beberapa kelemahan, sistem ini masih lebih baik dari sistem buatan manusia lainnya. Yang perlu diantisipasi adalah menjaga berjalannya sistem ini agar tidak dimanfaatkan oleh para penipu atau penjahat.<b> </b><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://a.cdn.tendaweb.com/fckfiles/image/analisa/demokrasi-sejalan-dengan-islam.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="http://a.cdn.tendaweb.com/fckfiles/image/analisa/demokrasi-sejalan-dengan-islam.jpg" width="320" /></a></div><br />
<b>Relevansi Demokrasi dengan Islam</b><br />
Ada tiga pendapat yang berbeda dalam menyikapi hubungan Demokrasi dengan Islam.<br />
1. Mereka yang menolak demokrasi dengan mengatasnamakan Islam.<br />
Mereka ini bependapat bahwa demokrasi dan Islam adalah dua hal yang bertentangan dan tidak akan bisa dipertemukan. Mereka beralasan:<br />
<ol type="a"><li>Demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia sedangkan Islam berasal dari Allah. </li>
<li>Demokrasi berarti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; sedangkan Islam mengatakan bahwa kekuasaan itu milik Allah. </li>
<li>Demokrasi ditentukan oleh suara terbanyak, padahal belum tentu suara terbanyak merupakan kebenaran. </li>
<li>Demokrasi adalah hal baru yang termasuk dalam kategori bid’ah dalam agama; generasi Islam sebelumnya tidak mengenal adanya sistem demokrasi. Nabi saw bersabda, <i>“Barangsiapa menciptakan hal baru yang sebelumnya tidak ada dalam agama kita, maka hal tersebut ditolak.”</i> (HR. Muslim, Ahmad). Juga hadits Nabi lainnya, <i>“Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak ada dalam agama kami, ia akan ditolak.”</i> (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasa’i).<br />
<br />
Demikian pula ada hadits yang menyatakan, <i>“Perkataan yang paling benar adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad, seburuk-buruk hal adalah sesuatu yang diada-adakan. Setiap yang diada-adakan adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat, dan kesesatan itu akan mengantarkan ke neraka.”</i> (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasa’i) [2] </li>
<li>Demokrasi merupakan produk Barat yang notabene sekuler dan kafir. Bagaimana kita akan mengikuti ajaran orang-orang yang ingkar pada Allah dan Rasul-Nya?<br />
<br />
Karena alasan-alasan tersebut mereka dengan tegas menolak demokrasi. Mereka juga mengecam orang-orang Islam yang menerima dan menerapkan demokrasi. Bahkan mereka tidak segan-segan menuduhnya musuh Islam. Ada juga diantara mereka yang menganggap demokrasi itu syirik dan sebagai bentuk kekufuran. </li>
</ol>2. Mereka yang menerima demokrasi secara total tanpa <i>reserve</i>.<br />
Kelompok ini menganggap bahwa demokrasi Barat adalah satu-satunya solusi yang tepat untuk mengatasi problematika negara, pemerintahan, rakyat dan tanah air. Mereka menerima demokrasi Barat bulat-bulat, termasuk sistem ekonomi liberalnya dan sistem sosial kemasyarakatannya yang bebas tanpa batas.<br />
Mereka meng-<i>copy paste</i> demokrasi Barat tanpa edit, dan ingin menerapkannya persis sama dengan praktek demokrasi di negara-negara Barat. Demokrasi yang tidak berdasarkan akidah, tidak mengenal akhlak, mengabaikan ibadah dan menyepelekan syari’ah. Bukan hanya itu, demokrasi Barat memisahkan secara diametral urusan agama dengan urusan negara.<br />
Mereka ini korban dari <i>ghazwul-fikri</i>, perang budaya, yang berujung pada kekalahan dan melahirkan mentalitas ‘kaum terjajah’ yang bangga apabila dapat meniru sikap dan perilaku penguasa penjajahnya.<br />
3. Mereka yang menerima demokrasi secara moderat.<br />
Kelompok ini berpendapat bahwa ada yang positif dalam sistem demokrasi, dan hakikat dari demokrasi itu sendiri tidak bertentangan, bahkan bersesuaian, dengan ajaran Islam.<br />
Sebagaimana kita ketahui bahwa hakikat demokrasi itu adalah hak rakyat untuk memilih siapa pemimpinnya.<br />
Tidak boleh ada yang memaksa mereka untuk memilih pemimpin yang tidak mereka sukai, atau pemimpin zhalim, atau korup, yang merampas hak-hak mereka sebagai rakyat.<br />
Substansi demokrasi ini berarti juga meniscayakan perlu adanya mekanisme dalam pemerintahan yang memungkinkan rakyat untuk melakukan fungsi kontrol atau pengawasan, juga evaluasi terhadap jalannya pemerintahan.<br />
Disamping perlu pula adanya mekanisme yang memungkinkan rakyat memberikan peringatan dan menasihati pemimpin apabila mereka menyimpang dari amanat yang diberikan kepada mereka; juga peringatan keras kepada pemimpin yang tidak mau mendengarkan aspirasi rakyatnya; bahkan memungkinkan rakyat untuk memakzulkannya dengan jalan damai.<br />
Kelompok ini juga berpandangan, apabila terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah (eksekutif) dengan parlemen (legislatif), atau dengan tokoh-tokoh masyarakat, dalam masalah yang berkaitan dengan syari’ah; maka perbedaan tersebut dibawa, untuk ditengahi, kepada Majelis Ulama atau bahkan Mahkamah Konstitusi yang mengundang ulama-ulama yang berkompeten di bidangnya, agar ditetapkan keputusannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini sesuai dengan perintah Allah swt:<br />
<i>“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri (pemimpin) diantara kalian. Apabila kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.”</i> (QS. An-Nisaa’, 4:59).<br />
Sementara jika terjadi perselisihan pendapat dalam masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan kemasyarakatan yang masuk dalam kategori mubah, maka yang pengambilan keputusannya diupayakan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.<br />
Apabila tidak tercapai mufakat, maka bisa melalui pengambilan pendapat melalui suara terbanyak (voting); karena pendapat dua orang atau lebih dekat kepada kebenaran daripada pendapat satu orang. Hal ini sesuai dengan logika syari’at Islam, disamping logika politik yang memang “harus ada yang diunggulkan”. Yang diunggulkan ketika terjadi perselisihan pendapat adalah jumlah yang terbanyak.<br />
Rasulullah saw bersabda, <i>“Sesungguhnya syetan itu bersama satu orang dan dia menjauh dari orang berdua.”</i> (HR. At-Tirmidzy dan Al-Hakim). [3]<br />
Nabi saw juga pernah bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, <i>“Seandainya kalian berdua menyepakati suatu pendapat, tentu aku tidak akan menyalahi kalian berdua.”</i> (HR. Ahmad). [4]<br />
Dengan kata lain, pendapat yang didukung dua orang lebih diunggulkan daripada pendapat seorang, sekalipun itu pendapat Rasulullah saw, selagi dalam masalah-masalah di luar lingkup syari’at dan apa yang telah ditetapkan Allah.<br />
Bahkan dalam kasus Uhud, seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi harus mengikuti pendapat mayoritas karena sebagian besar Sahabat memilih untuk menghadapi orang-orang musyrik di luar Madinah, walau beliau sendiri bersama beberapa Sahabat terkemuka berpendapat untuk bertahan saja di dalam kota Madinah sembari berperang gerilya di jalan-jalan Madinah yang seluk-beluknya sudah mereka hapal.<br />
Yang paling nyata mengenai pendapat mayoritas ini adalah sikap Umar bin Khathab tentang enam orang anggota Majelis Syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai Tim Formatur sekaligus diberi amanah untuk memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi Khalifah berdasar suara terbanyak.<br />
Sedang yang tidak terpilih dari tim tersebut harus patuh dan tunduk kepada kandidat terpilih. Jika dalam voting tersebut suara yang diperoleh tiga lawan tiga, mereka harus mengambil suara dari luar tim formatur, yakni Abdullah bin Umar.<br />
Dalam beberapa hadits juga dinyatakan pujian terhadap “golongan terbesar” dan perintah untuk mengikutinya. “Golongan terbesar” ini maksudnya adalah golongan mayoritas diantara umat manusia.<br />
Menurut beberapa ulama, hadits ini berkaitan dengan pelibatan seluruh rakyat dalam penentuan Khalifah atau masalah-masalah kenegaraan yang harus diputuskan dan membutuhkan pendapat mayoritas.<br />
<i>“Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan atau tujuh puluh dua golongan; dan sesungguhnya umat ini (Islam) lebih banyak satu golongan dibanding mereka. Semuanya masuk neraka kecuali golongan terbesar.”</i> (HR. Ath-Thabrany dan Ahmad) [5]<br />
Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazaly berpendapat dalam beberapa tulisannya, bahwa pendapat mayoritas lebih diunggulkan jika ada dua sisi pandang yang serupa.<br />
Pendapat yang menyatakan pengunggulan hanya berlaku untuk pendapat yang benar walau hanya didukung satu suara dan menolak pendapat yang keliru walau didukung mayoritas suara, adalah untuk hal-hal yang dikuatkan <i>nash</i> syari’at dengan dalil dan hujjah yang kuat, jelas dan tidak mengandung perbedaan pendapat di kalangan ulama. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan: “Yang disebut jama’ah adalah yang sejalan dengan kebenaran, sekalipun engkau hanya sendirian.”<br />
Sedangkan untuk hal-hal ijtihadiyah yang tidak ada dasar <i>nash</i>-nya, atau ada <i>nash</i>-nya namun mengandung lebih dari satu penafsiran, atau ada <i>nash</i> lain yang bertentangan dengannya atau lebih kuat darinya; maka diperbolehkan untuk memilih salah satu yang diunggulkan agar bisa menuntaskan silang pendapat.<br />
Dan <i>voting</i>, pengambilan keputusan berdasar suara terbanyak merupakan cara yang tepat untuk itu. Tidak ada satupun dalil dalam syari’at yang melarang proses pengambilan keputusan dengan cara seperti ini.<br />
Walau sistem demokrasi merupakan hasil pemikiran manusia, bukan berarti sistem ini tercela dan harus ditolak. Bukankah Allah telah memerintahkan manusia untuk mengoptimalkan penggunaan akal fikiran?<br />
Kita diperintahkan untuk berfikir, membaca, mengkaji, merenung, mengambil pelajaran dan hikmah, serta berijtihad? Tentu hasil ijtihad itu perlu ditimbang lebih dahulu, apakah bertentangan atau bersesuaian dengan ajaran Allah.<br />
Dalam sistem demokrasi, menurut hemat penulis, terdapat hal-hal yang selaras dengan ajaran Islam, seperti: <i>musyawarah</i>, <i>amar ma’ruf nahi munkar</i> yang diterjemahkan dalam mekanisme <i>check and balance</i>, pengawasan (<i>mutaba’ah</i>), kontrol (<i>muraqabah</i>) dan evaluasi, saling menasehati (<i>taushiyah</i>), mencari <i>mashlahat</i> dan menghindari <i>madharat</i>, menegakkan keadilan dan melawan kezhaliman dan diktatorisme, dan aspek-aspek lainnya.<br />
Mengenai penghakiman bahwa demokrasi itu mengambil alih kekuasaan Allah dalam memerintah dengan memberikan kekuasaan memerintah kepada manusia/rakyat, tidaklah benar. Karena pembentukan pemerintahan yang didukung dan dievaluasi oleh rakyat adalah untuk menghindari tirani kekuasaan atau diktatorisme politik oleh seorang individu atau kelompok elit tertentu.<br />
Demikian pula penilaian bahwa demokrasi itu adalah sistem tercela karena merupakan produk impor, juga tidak tepat. Tidak ada satupun ketetapan syari’at yang berisi larangan mengambil pemikiran teoritis atau konsep dari non-muslim. Sewaktu perang Al-Ahzab, Nabi saw mengambil pemikiran bangsa Persia berupa strategi bertahan dengan menggali parit, bukan membangun benteng seperti biasa.<br />
Beliau juga memanfaatkan tawanan perang Badar dari orang-orang musyrik untuk mengajari ilmu pengetahuan yang mereka miliki kepada kaum muslimin. Inilah yang disebut hikmah. Hikmah adalah milik kaum muslimin yang hilang lalu ditemukan. Jadi umat Islam berhak mendapatkan miliknya yang hilang tersebut.<br />
Sementara, yang dilarang adalah mengimpor nilai-nilai yang membahayakan aqidah dan akhlak dan tidak memberikan manfaat. Sementara kita mengambil demokrasi dalam metode, mekanisme dan tata caranya saja, yang harus diakui memang lebih baik dibanding sistem lainnya; bukan filosofinya yang mengagungkan individualisme dan kebebasan tanpa dilandasi agama.<br />
Yang kita inginkan adalah demokrasi yang dilandasi nilai-nilai agama, mengedepankan akhlak dan wawasan keilmuan, serta memprioritaskan nilai-nilai luhur tersebut di atas nilai-nilai demokrasi itu sendiri.<br />
<b>Antara Syura dan Demokrasi</b><br />
Sebagian ulama menyatakan bahwa kita tidak memerlukan sistem demokrasi karena Islam sudah memiliki sistem syura yang lebih baik dan lebih syar’i.<br />
Menurut hemat penulis, sebenarnya banyak yang bisa didiskusikan tentang hal ini; karena sistem syura sendiri belum cukup memadai untuk diterapkan dalam konteks kenegaraan yang memiliki <i>scope</i> sangat luas dan kompleks. Paling tidak ada dua alasan yang melatarinya:<br />
<i>Pertama</i>, sebagian fuqaha menganggap syura bukan sesuatu yang wajib, tetapi termasuk kategori yang sunnah. Syura hanya diposisikan sebagai sebuah ketentuan yang ‘sebaiknya’ diterapkan dan diterapkan hanya sebagai ‘penyempurna’ bukan sebagai dasar atau fondasi.<br />
Walaupun ada pula pendapat yang berlawanan dari Ibnu Athiyah, yang juga diperkuat oleh Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya. Ia mengatakan, “Syura adalah salah satu kaidah syari’at dan bagian dari fondasi hukum Islam. Seorang pemimpin yang tidak mengajak musyawarah ulama dan ilmuwan/pakar, maka ia wajib dimakzulkan.<br />
Ini adalah ketentuan yang telah disepakati bersama dan tidak ada ada yang berbeda pendapat dalam masalah ini.” [6]<br />
<i>Kedua</i>, Ada juga sebagian fuqaha yang menyatakan bahwa syura hanya sebagai ‘teknis’ atau ‘metode’, bukan tuntutan. Walau sebagian fuqaha lainnya berpandangan bahwa syura itu tuntutan agama yang hukumnya wajib, namun ternyata mereka tetap berkesimpulan bahwa yang wajib dilakukan oleh penguasa atau pemimpin adalah bermusyawarah dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang luas.<br />
Setelah mereka mengemukakan pendapat dan pandangannya, penguasa boleh tetap menggunakan pendapatnya sendiri, dengan syarat ia bertanggung jawab sendiri secara pribadi. Penguasa tidak diharuskan mengikuti pendapat dan pandangan para ulama dan ilmuwan tadi, karena kewajibannya hanya bermusyawarah saja; sebagaimana dipahami dalam firman Allah swt:<br />
<i>“Bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam satu urusan, apabila kamu telah ber’azam, maka bertawakkallah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tawakkal.”</i> (QS. Ali Imran, 3:159).<br />
Penulis memang kurang sependapat dengan kedua pandangan yang ‘minor’ tentang syura tersebut, mengingat dalil-dalil tentang ‘mengikatnya’ syura serta hasilnya bagi penguasa atau pemimpin dalam mengambil keputusan lebih kuat dan logis.<br />
Seperti perkataan Al-Qurthuby dalam tafsirnya, “Umar bin Khathab menjadikan syura sebagai institusi tertinggi dalam lembaga kekhilafahan.”<br />
Al-Bukhary juga menyatakan, “Para pemimpin setelah Nasbi saw biasa bermusyawarah dengan ulama-ulama terpercaya dalam berbagai masalah untuk mengambil keputusan yang tepat.<br />
Jika sudah ada kejelasan dalam Al-Qur’an dan Ad-Sunnah, mereka tidak akan beralih ke rujukan lain. Orang-orang yang mendalami Al-Qur’an adalah mereka yang paling sering dimintai pendapat oleh Umar, baik tua maupun muda, dan dia selalu berpegang teguh pada Kitabulah.”<br />
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan di dalam <i>Al-Fath</i>, dalam <i>Al-Adabul Mufrad</i>, riwayat Al-Bukhary, dalam sebuah hadits panjang berkaitan dengan perjanjian Hudaibiyah, Nabi saw bersabda, <i>“Berikan aku masukan dalam menghadapi orang-orang itu.”</i> Kemudian Abu Bakar dan Umar memberi masukan, lalu beliau melaksanakan apa yang disampaikan Abu Bakar dan Umar.<br />
Bahkan menurut Ibnu Hajar, Rasulullah pun mengajak Shahabatnya dalam menetapkan hukum. Rasulullah saw meminta pendapat Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah: <i>“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kalian mengeluarkan sedekah (untuk fakir miskin) sebelum pembicaraan itu.”</i> (QS. Al-Mujaadilah, 58:12). Lalu Ali memberi masukan tentang keringanan dalam mengeluarkan sedekah. Kemudian turun ayat selanjutnya yang membenarkan dan menguatkan pendapat Ali tersebut.<br />
Namun harus diakui, bahwa sistem syura itu sendiri masih bersifat normatif, global dan sederhana, mengingat problematika sosial, politik dan ekonomi masyarakat di masa sistem syura itu dimunculkan pertama kali belum sekomplek dan serumit masa sekarang.<br />
Ketika bangsa-bangsa di seluruh dunia semakin berkembang dengan segala kompleksitas permasalahannya, maka diperlukan ijtihad yang lebih dalam untuk merinci sistem syura tersebut sehingga mampu menjawab tuntutan zaman. [7]<br />
Dalam konteks inilah kita menemukan jawaban atas tuntutan zaman itu dalam sistem demokrasi, yang notabene merupakan hasil uji coba bangsa-bangsa di seluruh dunia setelah mengalami berbagai problematika dalam perjalanan panjang selama ratusan tahun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.<br />
Secara substanif tidak ada perbedaan antara sistem syura dengan sistem demokrasi. Bahkan bersesuaian. Yang membedakan adalah ‘ruh’ atau spirit dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sistem syura berspiritkan ”<i>rabbaniyyah</i>”, sedang sistem demokrasi berspiritkan “<i>insaniyyah</i>”. Sistem syura bernilai “<i>religiuitas</i>”, sedang sistem demokrasi “bebas nilai”.<br />
Namun, bagaimanapun juga sistem demokrasi lebih detail, rinci dan aplikatif. Dalam sistem demokrasi inilah kita mendapatkan derivatif sistemnya berupa: sistem kepartaian, sistem pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan (lembaga legislatif), sistem pemilihan umum untuk pemerintahan pusat dan pemerintahan Daerah untuk memilih Presiden hingga Kepala Daerah (lembaga eksekutif), sistem pemilihan untuk lembaga Yudikatif, sistem ketata-negaraan yang meliputi pemisahan kekuasaan dan kewenangan antara ketiga lembaga tersebut agar berjalan mekanisme <i>check and balances</i>, bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem parlemen, sistem fiskal dan moneter, sistem keuangan negara dan perbendaharaan negara, sistem sosial, sistem pendidikan, dan sebagainya. Dimana seluruh sistem itu dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar negara dan Undang-undang yang terkait dengan setiap sistem yang dibutuhkan dalam menjalankan roda pemerintahan.<br />
Kelebihan sistem demokrasi adalah dapat meminimalisir potensi diktatorisme politik, ekonomi dan sosial. Disinilah sebenarnya peluang kita untuk mengisi nilai-nilai religiusitas dalam sistem demokrasi, sehingga demokrasi itu menjadi “islami”.<br />
Melalui mekanisme yang berlaku dalam sistem demokrasi, kita dapat melakukan audit terhadap seluruh produk-produk demokrasi berupa Undang-Undang Dasar (UUD) atau Undang-Undang (UU), kemudian memperjuangkan amandemen UUD/UU tersebut melalui parlemen, agar pasal-pasal yang terdapat di dalamnya sesuai dengan syari’at Islam.<br />
Apabila kita mampu mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen, bukan tidak mungkin sebagian besar atau bahkan seluruh UU tersebut akan sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunah.<br />
Kalau ini terealisasi, maka secara otomatis pemerintahan yang berkuasa mewujud menjadi pemerintahan Islam, karena menjalankan seluruh UU yang bersumber dari Al-Qur’an dan Ad-Sunnah. Pada saat itulah negara tersebut layak disebut negara Islam (<i>Daulah Islamiyah</i>).<br />
Jadi sebenarnya, sistem demokrasi yang telah diberi spirit Rabbaniyyah dan diisi dengan nilai-nilai religiusitasd, dapat digunakan sebagai sarana yang efektif untuk <i>Iqamatud-Daulah al-Islamiyyah</i> dalam da’wah, apabila kita bijak menyikapinya.<br />
Tetapi faktanya sampai hari ini, sejak demokrasi lahir, belum dapat membahagiakan kehidupan umat manusia, termasuk di negara- negara yang mula-mula menerapkan sistem demokrasi di Barat.<br />
<i>Wallahu a’lam bish-shawwab.</i><br />
<i>Referensi:</i><br />
<ol><li><i>HR. Ahmad dalam Al-Musnad, no.17994 dari Abdurrahman bin Ghanam. Juga, HR. Thabrani, dalam Al-Ausath, jld 7, hlm 212 dari Al-Barra bin Azib.</i> </li>
<li><i>HR. Muslim dalam Bab Al-Jum’ah, no.867; Ahmad dalam Al-Musnad, no.14334; An-Nasa’i dalam Bab Shalat Al-Idain, no.1578; Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah, no.45.</i> </li>
<li><i>Menurut At-Tirmidzy, ini adalah hadits hasan shahih gharib yang diriwayatkan dari Umar bin Khathab. Adz-Dzahaby menshahihkannya menurut syarat Asy-Syaikhani (Bukhari –Muslim).</i> </li>
<li><i>Hadits ini diriwayatkan dari Abdurrahman bin Ghunm Al-Asy’ari. Di dalam sanadnya ada Syahr bin Hausyab. Menurut Ibnu Hajar dalam At-Taqrib, dia dapat dipercaya (tsiqah) namun banyak hal yang meragukan. Ahmad Syakir min-tsiqah-kannya dalan Takhrijul-Musnad.</i> </li>
<li><i>Lihat Al-Mu’jamul Kabir, 8/8035, dan disebutkan pula oleh Al-Haitsamy di dalam Majma’uz-Zawa’id. Ath-Thabrany juga meriwayatkan dalam Al-Ausath wal Kabir, serupa dengan hadits di atas. </i><br />
<br />
<i>Ath-Thabrany dan Ahmad meriwayatkan di dalam Al-Musnad secara mauquf pada Ibnu Abi Aufa, dia berkata, “Wahai Ibnu Jahman, hendaklah kamu bersama mayoritas umat, jika kamu mendengar aspirasi umat kepada penguasa. Datangilah penguasa tersebut, sampaikan aspirasi umat, mudah-mudahan dia menerimanya. Jika tidak, tinggalkan dia, karena kamu bukan orang yang lebih tahu dari dia.” (HR. Ahmad, dalam Al-Musnad, no.1941)</i><br />
<br />
<i>Ibnu Ashim meriwayatkan di dalam Ad-Sunnah dari Ibnu Umar,”Tidak mungkin bagi Allah untuk menghimpun umat ini dalam kesesatan selamanya, dan tangan Allah di atas jama’ah. Maka hendaklah kalian mengikuti golongan terbesar. Sesungguhnya siapa yang menyimpang, maka ia akan menimpang ke neraka.” Menurut Al-Albany, isnadnya dha’if. Al-Hakim meriwayatkan hadits yang serupa ini dari beberapa jalan.</i> </li>
<li><i>Tafsir Al-Qurthubi, Darul Kutub Al-Mishriyah, jld. 4, hlm.249. Lihat juga Al-Muharrar Al-Wajiz, Ibnu Athiyah Al-Andalusi, jld.1, hlm.534.</i> </li>
<li><i>Hadits ini hasan menurut At-Tirmidzy dan shahih menurut Ibnu Hibban. Ibnu Hajar berkata, “Di dalam hadits ini terkandung musyawarah yang berkaitan dengan penetapan hukum.”</i></li>
</ol></div><div class="body-content" id="detail"><a href="http://www.eramuslim.com/berita/analisa/islam-dan-demokrasi.htm"><i>eramuslim.com</i></a><br />
<br />
<h2 class="judul" id="title">Tanggapan Tulisan Islam dan Demokrasi (tulisan diatas)</h2><div class="margin-10-10" id="tanggal"><a class="text-link" href="http://www.addthis.com/bookmark.php?url=http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/tanggapan-tulisan-islam-dan-demokrasi.htm"></a></div><em>Bismillah…</em><br />
Pada tanggal 26 April 2010 kemarin saya membaca tulisan Syamsul Balda, Direktur Eksekutif Smart Leadership Institute pada rubric analisa yang berjudul kan “<a class="tt" href="http://www.eramuslim.com/berita/analisa/islam-dan-demokrasi.htm">Islam dan Demokrasi</a>” di situs eramuslim.com.<br />
Pada kesempatan ini saya mencoba untuk menanggapi tulisan tersebut dengan maksud meluruskan beberapa hal yang jujur saya lihat penulis terkesan memaksakan beberapa hal untuk membenarkan pendapatnya seputar demokrasi agar sejalan dengan Islam, padahal faktanya Demokrasi adalah sebuah ide yang bertolak belakang dengan Islam baik dari segi lahirnya maupun ide secara keseluruhan.<br />
Untuk menjawab beberapa pernyataan oleh penulis, maka saya akan mencoba menguraikan apa yang telah beliau tulis dan kemudian akan saya tanggapi dengan hujjah yang ada.<br />
Pertama, pada tulisan tersebut beliau menjelaskan substantif dari ide atau faham demokrasi, yakni dengan mengatakan<br />
<em>”Terlepas dari definisi akademis tentang demokrasi, pada hakikatnya demokrasi dalam aspek politik adalah dihormatinya hak setiap individu dalam sebuah bangsa untuk memilih pemimpin sesuai dengan aspirasinya. Tidak boleh ada yang memaksakan kehendak kepada mereka untuk memilih seorang pemimpin tertentu yang tidak dikehendaki.</em><br />
<em>Ketentuan ini pada dasarnya sesuai dengan ajaran yang digariskan oleh Islam melalui perangkat syura (permusyawaratan) dan bai’at (kontrak politik yang mengikat rakyat untuk berkomitmen tunduk dan taat pada pemimpin yang dipilihnya.</em><br />
<em>Kesesuaian antara Islam dengan demokrasi juga terlihat ketika Islam mengutuk dan mengecam para diktator; sementara di sisi lain mengedepankan pemimpin yang kuat, amanah, kredibel, kapabel serta mampu mengayomi rakyatnya. Islam memerintahkan umatnya untuk mematuhi keputusan mayoritas.”</em><br />
Komentar : penjelasan di atas bukanlah ide substantif dari faham yang bernama demokrasi, kalo menggunakan penjelasan di atas, jelas sekali telah menyalahi arti dari demokrasi itu secara utuh, baik secara ide maupun aplikasinya. Terlebih lagi penulis mengutip kata <em>syura’</em> dan <em>bai’at</em> dalam mendukung kesimpulannya.<br />
Dalam membahas demokrasi, maka kita harus membelah faham tersebut secara utuh, seridaknya ada 5 hal yang harus di kaji atau di urai dalam faham demokrasi, yakni<br />
<ol><li>Asal-usul demokrasi,</li>
<li>Aqidah demokrasi,</li>
<li>Ide dasar demokrasi,</li>
<li>Standar demokrasi (yaitu mayoritas), dan</li>
<li>Kebebasan dalam demokrasi, sebagai prasyarat agar rakyat dapat mengekspresikan kehendak dan kedaulatannya tanpa paksaan dan tekanan.</li>
</ol>Berdasarkan kelima aspek ini, penjelasan ringkas tentang demokrasi tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :<br />
Terkait asal ushul demokrasi maka kita akan menemukan bahwa demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT. Demokrasi adalah ide yang muncul dari akal manusia yang lemah, serba kurang dan serba terbatas.<br />
Dari segi aqidah, demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sebuah aqidah yang mengambil jalan tengah ketika terjadi konflik antara kaum gerejawan dan kaum bangsawan, kaum bangsawan menolak hak gereja secara absoulut yang ikut campur dalam urusan pemerintahan, akhirnya diambilah jalan tengah yakni yang terkenal dengan kalimat, ”berikanlah hak kaisar untuk kaisar (bangsawan) dan hak tuhan untuk tuhan (kaum gerejawan), maka lahirlah faham sekulerisme.<br />
Dari segi ide, demokrasi berlandaskan dua ide :<br />
<ol><li>Kedaulatan di tangan rakyat.</li>
<li>Rakyat sebagai sumber kekuasaan.</li>
</ol>Ini jelas bertentangan dengan Islam, dalam Islam memang kekuasaan berada di tangan umat/rakyat, yang mana nanti dengan kekuasaan itu umat memilih seorang khalifah untuk mengatur umat itu sendiri, sedangkan perkara kedaulatan bukanlah ditangan umat/rakyat, melainkan berada ditangan Allah sang khalik yang memilki otoritas tunggal dalam rangka membuat hukum-hukum. Intinya kedaulatan di dalam Islam berada pada syara’.<br />
Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.<br />
Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda :<br />
<div class="ArabCenter">مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً</div><em>“Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah.”</em> (HR. Muslim)<br />
Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman :<br />
<div class="ArabCenter">إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ</div><em>“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.”</em> (QS. Al An’aam: 57)<br />
Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan, serta pengambilan keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas. Ini adalah prinsip dasar demokrasi, yakni terletak pada suara mayoritas. Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinciannya adalah sebagai berikut :<br />
<ol><li>Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah.</li>
<li>Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.</li>
<li>Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.</li>
</ol>Dalam demokrasi, ada empat macam kebebasan, yaitu :<br />
<ol><li>Kebebasan beragama (freedom of religion)</li>
<li>Kebebasan berpendapat (fredom of speech)</li>
<li>Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership)</li>
<li>Kebebasan bertingkah laku (personal freedom).</li>
</ol>Ini bertentangan dengan Islam, sebab dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya. Tidak bisa bebas dan seenaknya. Terikat dengan hukum syara’ bagi seorang muslim adalah wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya iman padanya. Allah SWT berfirman :<br />
<div class="ArabCenter">فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ</div><em>“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.”</em> (QS. An Nisaa’: 65)<br />
Inilah penjelasan secara kaffah terkait ide atau faham demokrasi yang benar-benar merujuk pada fakta dan kemudian fakta tersebut dihukumi dengan dalil-dalil yang terkait, sebagaimana proses tahqiqul manath dalam hal menghukumi sebuah fakta.<br />
Kemudian, penulis kemudian menyatakan : <em>”Rakyat juga mempunyai kewajiban untuk taat kepada penguasa selama kebijakan yang diambilnya adalah kebaikan. Sebaliknya, rakyat berhak menolak ketika diperintah untuk melakukan perbuatan yang dilarang menurut kesepakatan kaum Muslimin dan atau melakukan kemaksiatan yang nyata. Karena, tidak boleh menaati siapa pun untuk melakukan maksiat kepada Allah. Hal seperti ini juga berlaku dalam sistem demokrasi.”</em><br />
Komentar : memang benar bahwa tidak ada ketaatan kepada perkara maksiat yang diperintahkan oleh penguasa, namun benarkah didalam demokrasi pun sama? Jelas tidak. Misalnya, dalam demokrasi kita bisa mengambil contoh pemerintah yang menyuruh membayar pajak, bahkan termasuk perkara wajib, bukankah di dalam Islam pajak merupakan sesuatu yang diharmkan di dalam Islam, kecuali jika dalam hal kas negara dalam hal ini baitul mal mengalami definisit anggaran maka negara boleh mengambil pajak dari rakyat, kalau tidak terjadi demikian maka hukumnya haram.<br />
<em>“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka”</em> [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah :<br />
Artinya dengan mengambil contoh tentang dharibah (pajak) kita bisa melihat bahwa ini sebuah bentuk kemaksiatan, pemerintah menyuruh rakyatnya untuk membayar pajak, sdengkan jelas sekali di dalam Islam adalah diharamkan, lantas dimanakah katanya bahwa di dalam demokrasi tidak ada ketaatan kepada maksiyat? Bukahkah di dalam hukum Indonesia akan dikenakan sanksi bagi orang yang tidak membayar pajak. Kita ambil contoh negeri kita, salah satu kewajiban bagi warga negara adalah membayar pajak. Sarana untuk mem-bayar pajak tersebut adalah NPWP Warga negara yang telah memiliki NPWP dinamakan Wajib Pajak (WP). Kewajiban utama WP adalah membayar pajak, atau bagi wajib pajak tertentu-juga bertindak sebagai pemotong pajak. Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah <em>"kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."</em><br />
Kemudian penulis menyatakan bahwa, <em>”Walau tetap memiliki beberapa kelemahan, sistem ini masih lebih baik dari sistem buatan manusia lainnya. Yang perlu diantisipasi adalah menjaga berjalannya sistem ini agar tidak dimanfaatkan oleh para penipu atau penjahat."</em><br />
Komentar : penulis sendiri menyadari bahwa ide demokrasi ini memiliki kelemahan, namun tetap mengatakan bahwa sistem tersebut lebih baik dari sistem yang lain yang juga dibuat oleh manusia. Pertanyaan saya, apakah tidak ada sistem alternatif lain lagi sehingga hanya melihat dan membandingkan dengan sistem yang juga dibuat oleh manusia yakni sistem sosialis komunis? Kenapa tidak melirik kepada sistem Islam? Kenapa tetap mencoba memaksakan pendapat seolah-olah sistem tersebut masih sesuai dengan Islam? Yang tidak difahami oleh penulis adalah tentang kata sistem itu sendiri, penulis mengatakan bahwa demokrasi selaras dengan Islam, namun tidak mengatakan bahwa demokrasi selaras dengan SISTEM ISLAM, ini menunjukan bahwa penulis sepertinya mencoba menhkerdillkan makna akan Islam itu sendiri. Padahal jelas sekali bahwa Islam itu adalah agama sekaligus sebagai sebuah ideologi (sistem aturan hidup). Islam adalah agama sempurna. Kesempurnaannya sebagai sebuah sistem hidup dan sistem hukum meliputi segala perkara yang dihadapi oleh umat manusia. Firman Allah Swt:<br />
<div class="ArabCenter">وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ</div><em>“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..” </em>(QS. An-Nahl [16]: 89)<br />
Ini berarti, perkara apapun ada hukumnya, dan problematika apa saja, atau apapun tantangan yang dihadapi kaum Muslim, akan dapat dipecahkan dan dijawab oleh Dinul Islam.<br />
Ada 3 pendapat yang penulis angkat terkait pendapat beberapa kalangan mengenai demokrasi, yang pertama yakni :<br />
<ol><li>Mereka yang menolak demokrasi dengan mengatasnamakan Islam.</li>
<li>Mereka yang menerima demokrasi secara total tanpa reserve.</li>
<li>Mereka yang menerima demokrasi secara moderat.</li>
</ol>Penulis tidak ada memberikan bantahan ilmiah terkait mereka yang menolak demokrasi atas nama Islam, dan hanya memberikan penjelasan sekaligus ”pembelaan” bagi mereka yang menerima demokrasi secara moderat.<br />
Menurut penulis Dalam sistem demokrasi, terdapat hal-hal yang selaras dengan ajaran Islam, seperti: <em>musyawarah</em>, <em>amar ma’ruf nahi munkar</em> yang diterjemahkan dalam mekanisme <em>check and balance</em>, pengawasan (<em>mutaba’ah</em>), kontrol (<em>muraqabah</em>) dan evaluasi, saling menasehati (<em>taushiyah</em>), mencari <em>mashlahat</em> dan menghindari <em>madharat</em>, menegakkan keadilan dan melawan kezhaliman dan diktatorisme, dan aspek-aspek lainnya.<br />
Pendapat seperti ini muncul karena ketidaktahuan akan demokrasi itu sendiri, saya telah menggambarkan ide demokrasi ini secara menyeluruh mulai dari kemunculannya hingga faham kebebasan yang dibawa oleh demokrasi itu sendiri. Syura’ atau musyawarah dalam Islam tidaklah bisa didentikan dengan demokrasi, jelas seperti langit dan bumi perbandingan antara syura’ dan demokrasi.<br />
Penggalan ayat ini: <em>Wa amruhum syûrâ baynahum</em> (sedang urusan mereka [diputuskan] dengan musyawarah antara mereka) sering diambil untuk melegitimasi demokrasi. <em>Syûrâ</em> yang diperintahkan dalam ayat ini disamakan dengan demokrasi. Padahal di antara keduanya terdapat kontradiksi mendasar. Demokrasi merupakan pandangan hidup dan sistem pemerintahan yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Prinsip ini meniscayakan, seluruh perundang-undangan harus bersumber dari rakyat. Pelaksana praktisnya adalah parlemen yang dianggap sebagai representasi rakyat. Konsekuensinya, undang-undang apa pun yang telah dilegislasi oleh parlemen harus diterapkan dan ditaati oleh rakyat; terlepas apakah undang-undang itu sejalan dengan syariah atau tidak. Konsekuensi lainnya, kebebasan (<em>freedom</em>) harus dijunjung tinggi dalam masyarakat yang menerapkan dePrinsip lainnya dalam demokrasi adalah suara mayoritas. Oleh karena kehendak rakyat harus ditaati, sementara jumlah rakyat amat banyak dengan keinginan yang berbeda-beda, bahkan bertentangan satu sama lainnya, maka yang harus diikuti adalah yang didukung dengan suara mayoritas rakyat. Ini fakta yang juga diakui oleh penulis itu sendiri.<br />
Kata <em>syûrâ</em> merupakan bentuk mashdar dari kata <em>syâwara</em>. Dikemukakan oleh Raghib al-Asfhani, <em>at-tasâwur wa al-musyâwarah wa al-masyûrah</em> berarti mengeluarkan pendapat dengan cara, sebagian orang meminta pedapat atau nasihat kepada sebagian lainnya. Pengertian tersebut diambil dari ucapan mereka, <em>“Syurtu al-‘asl,”</em> ketika engkau mengambil dan mengeluarkan madu dari tempatnya.<br />
Pengertian lebih spesifik dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabahani. Suatu pengambilan pendapat (<em>akhdz al-ra’yi</em>) baru bisa disebut sebagai <em>syûrâ</em> jika dilakukan oleh khalifah, amir, atau pemilik otoritas, seperti ketua, komandan, atau penanggung jawab kepada orang yang dipimpinnya. Bisa juga dilakukan antara suami-istri. Ketika hendak melakukan penyapihan anak sebelum dua tahun, mereka diperintahkan untuk memusyawarahkannya (lihat QS al-Baqarah [2]: 233). Adapun menyampaikan pendapat (<em>ibdâ’ al-ra’y</em>) kepada pemilik otoritas, baik penguasa, komandan, atau pemimpin, maka itu disebut sebagai nasihat; suatu aktivitas yang juga diperintahkan oleh syariah. Nasihat disampaikan kepada para pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslim secara umum.<br />
<em>Dhamîr hum</em> (kata ganti mereka) pada ayat ini merujuk kepada kaum Muslim. Itu menunjukkan bahwa pengambilan pendapat itu hanya dilakukan kepada kaum Muslim. Perintah yang sama juga disampaikan dalam firman Allah Swt. yang lain (lihat: QS Ali Imran [3]: 159).<br />
Berdasarkan kedua ayat ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabahani menyimpulkan bahwa <em>syûrâ </em>khusus dilakukan terhadap kaum Muslim secara <em>qath’i</em>. Hal ini berbeda dengan <em>ibdâ’ al-ra’y</em> yang bisa didengarkan dari semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim.<br />
Kemudian penulis mengatakan, <em>”Secara substanif tidak ada perbedaan antara sistem syura dengan sistem demokrasi. Bahkan bersesuaian. Yang membedakan adalah ‘ruh’ atau spirit dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sistem syura berspiritkan </em>”rabbaniyyah”<em>, sedang sistem demokrasi berspiritkan </em>“insaniyyah”<em>. Sistem syura bernilai </em>“religiuitas”<em>, sedang sistem demokrasi “bebas nilai”.</em><br />
Komentar : sekali lagi, saya menduga dengan dugaan yang kuat bahwa penulis memang tidak faham dari realitas demokrasi itu sendiri, hanya melihat demokrasi dari ”penerapan” yang terlihat manis, namun melupakan pondasi dasar yang membangun faham demokrasi itu sendiri. Ini terlihat sekali bahwa tulisan terkesan dipaksakan sehingga seolah-olah demokrasi selaras dengan Islam. Apalagi penulis ”memuji” faham demokrasi dengan mengatakan bahwa, <em>”Dalam sistem demokrasi inilah kita mendapatkan derivatif sistemnya berupa: sistem kepartaian, sistem pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan (lembaga legislatif), sistem pemilihan umum untuk pemerintahan pusat dan pemerintahan Daerah untuk memilih Presiden hingga Kepala Daerah (lembaga eksekutif), sistem pemilihan untuk lembaga Yudikatif, sistem ketata-negaraan yang meliputi pemisahan kekuasaan dan kewenangan antara ketiga lembaga tersebut agar berjalan mekanisme check and balances, bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem parlemen, sistem fiskal dan moneter, sistem keuangan negara dan perbendaharaan negara, sistem sosial, sistem pendidikan, dan sebagainya. Dimana seluruh sistem itu dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar negara dan Undang-undang yang terkait dengan setiap sistem yang dibutuhkan dalam menjalankan roda pemerintahan."</em><br />
Sungguh penulis tidak mengkerdilkan Islam dalam hal ini syariat Islam, penulis seolah ingin mengatkan bahwa di dalam <em>syura’</em> kita tidak akan menemui apa yang telah ia sampaikan terkait struktur negara, sistem kepartaian dan lainnya, ini karena yang penulis lihat adalag sebatas <em>syura’</em>, padahal <em>syura’</em> hanyalah merupkan suatu tempat dalam pengambil keputusan yang tidak terkait dengan sistem, kalau ingin mendapatkan apa yang ada maka menolehlah pada Islam sebagai sebuah sistem, bukan pada <em>syura’</em>nya, di di dalam Islam akan didapati aturan hidup yang mengatur urusan manusia dengan pencpitanya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan dirinya sendiri, di dalam Islam ada aturan tentang, bentuk negara, struktur negara, sistem ketatanegaraan, aturan pembetukan partai, sistem ekonomi, bahkan dalam hal UUD dan UU pun telah ada rumusannya.<br />
Penulis terjebak pada mainstrean demokrasi, sehingga pola fikir yang dijadikan penilaian adalah hidup di didalam alam demokrasi, bukan didalam sistem Islam, sehingga membuat pemikiran penulis hanya berkutat pada ide demokrasi itu sendiri dan menguraikanya secara tidak sesuai dengan fakta akan demokrasi itu sendiri yang jelas bertantang dengan Islam.<br />
Bahkan sebagai seorang Muslim, mengambil istilah demokrasi pun sudah termasuk suatu dosa karena jelas sekali diharamkan mengadopsi istilah tersebut. Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan. Dalam hal ini, Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah SWT berfirman : <em>"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad),’Raa’ina’, tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih."</em> (QS Al Baqarah : 104)<br />
"Raa’ina" artinya adalah "sudilah kiranya Anda memperhatikan kami." Di kala para shahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut "Raa’ina", padahal yang mereka katakan adalah "Ru’uunah" yang artinya "kebodohan yang sangat." Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya para shahabat menukar perkataan "Raa’ina" dengan "Unzhurna" yang sama artinya dengan "Raa’ina". Oleh Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhum Al-Adalah Al-Ijtimaiyah fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir (1991), ayat ini dijadikan dalil untuk menolak penggunaan istilah yang dapat menimbulkan kerancuan atau bias, yang pengertiannya kemungkinan berupa makna Islami atau makna yang tidak Islami.<br />
Syekh Abdul Qadim Zallum menarik 2 (dua) kesimpulan yang sangat tegas, jelas, dan tanpa bsa-basi. Tujuannya adalah agar umat Islam terhindar dari kekufuran dan kesesatan sistem demokrasi. Dua kesimpulan utama itu sebagai berikut :<br />
<strong><em>Pertama</em></strong>, Demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam itu sesungguhnya adalah sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.<br />
<strong><em>Kedua</em></strong>, Maka dari itu, kaum muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Haram pula bagi mereka menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undang-undang atau sebagai sumber bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan tujuannya. Syekh Abdul Qadim Zallum menegaskan, “Kaum muslim wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnya karena demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thaghut.”<br />
Wallahu’alam bis showab.<br />
<strong>Adi Victoria</strong> (al_ikhwan1924@yahoo.com)<br />
<em>Rujukan :<br />
</em><br />
<ul><li><em>Buku Demokrasi Sistem Kufur (Syekh Abdul Qadim Zallum)</em></li>
<li><em>Buku Menghancurkan Demokrasi (Syekh Ali Belhaj).</em></li>
<li><em>Silsilah Ash-Shahihah jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199 oleh Al-Albani (terkait dharibah).</em></li>
<li><em>Taqiyuddin an-Nabahani, Ays-Syakhsyiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ummah, 2003), 246.</em></li>
<li><em>Buku Menegakan Syariat Islam terbitan tahun 2002</em></li>
</ul><i> <a href="http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/tanggapan-tulisan-islam-dan-demokrasi.htm">eramuslim.com</a></i></div>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-48911916528684002872010-04-27T08:21:00.000+07:002010-04-27T08:21:08.385+07:00Kegemilangan Demokrasi???<div>Siapa bilang demokrasi menciptakan kemaslahatan? Kenyataannya ia menindas kemanusiaan. Melegalkan amoralitas. Benarkah ia cacat sejak lahir?<br />
<br />
Kalau ciptaan manusia yang dipuja bahkan disembah banyak orang, maka itu adalah demokrasi. Suer, baca aja di berbagai literatur, koran, majalah atau denger komentar para pakar di radio dan televisi, bahkan para khatib dan ustad di mesjid, mereka mengagungkan demokrasi. Seolah-olah demokrasi itu adalah sesuatu yang sakral (suci), bebas dari kesalahan.<br />
<br />
Memperjuangkan demokrasi juga sudah dianggap sebagai perjuangan suci, dan pelakunya layak mendapat gelar pahlawan. Momen penegakkan demokrasi pun lebih dihapal orang daripada momen yang lain, apalagi perjuangan Islam. Orang lebih terkesan dengan Tragedi Tiananmen di Cina yang menelan banyak korban mahasiswa pro-demokrasi, atau lebih terkesan dengan Aung San Su Kyi di Birma yang juga memperjuangkan demokrasi, daripada perjuangan muslim Palestina. Orang yang memekikkan demokrasi pun serasa lebih heroik ketimbang meneriakkan khilafah atau Islam.<br />
<br />
Bahkan kini ada upaya mengerdilkan Islam di hadapan demokrasi, dengan mengatakan bahwa demokrasi adalah bagian dari ajaran Islam. Bahkan tidak sedikit orang berani bilang kalau demokrasi itu ya Islam itu sendiri. Malah beberapa waktu silam seorang cendekiawan muslim di tanah air dengan berani menyebutkan bahwa Allah itu œMahademokratis?. Subhanallah ?amma yashifuun.<br />
<br />
Penyebab demokrasi amat disakralkan, karena ia konon lahir dari sebuah revolusi berdarah-darah umat manusia melawan kedzaliman, praktik otoritarian. Yaitu upaya reaksioner kaum filsuf, cendekiawan dan rakyat nasrani yang ditindas para kaisar di Eropa yang disahkan pihak gereja. Sejarah yang kemudian didramatisir ini lalu dianggap sebagai sebuah pencerahan [renaissance] umat manusia dari kegelapan [aufklarung/dark ages].<br />
<br />
Demokrasi juga dianggap sebagai ideologi suci anti tiran dan kediktatoran. Ia dianggap sebagai suara rakyat. Slogannya; dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Atau demokrasi itu adalah perwujudan dari spirit liberte, egalite, fraternite (kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan). Melawan demokrasi berarti melawan suara rakyat, dan suara rakyat itu adalah kebenaran. Dengan gegabah para pendukung demokrasi sesumbar suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi, vox dei).<br />
<br />
Tapi benarkah demokrasi itu segala-galanya? Ide yang tak pernah salah?<br />
<br />
Sejarah Demokrasi<br />
Seperti yang kita sering baca dalam pelajaran sejarah atau PPKN [dulu PMP], negara yang pertama kali melaksanakan sistem demokrasi adalah Athena. Ia tepatnya berupa negara-kota yang terletak di Yunani. Menurut pelajaran yang sering kita baca, di Athena, pemerintahan dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.<br />
<br />
Proses pemerintahan di Athena itu dimulai oleh Kleistenes pada tahun 507 sebelum Masehi dengan perubahan konstitusi dan diselesaikan oleh Efialtes pada tahun 462-461 sebelum Masehi. Efialtes melucuti kekuasaan kaum aristokrat kecuali beberapa fungsi hukum dalam? perkara pembunuhan, dan beberapa tugas keagamaan. Karena tindakan ini para bangsawan membunuh Efialtes, tetapi demokrasinya tetap hidup.<br />
<br />
Setelah kematian Efialtes, tidak ada badan politik yang lebih berkuasa daripada Dewan Rakyat. Dewan Rakyat di Athena terbuka bagi semua warga negara lelaki yang merdeka dan sudah dewasa, tidak peduli pendapatan atau tingkatannya. Pertemuan diadakan 40 kali setahun, biasanya di suatu tempat yang disebut Pniks, suatu amfiteater alam pada salah satu bukit di sebelah barat Akropolis. Dalam teori, setiap anggota Dewan Rakyat dapat mengatakan apa saja, asalkan ia dapat menguasai pendengar. Tetapi demi alasan praktis, acara resmi juga ada. Acara ini disiapkan oleh sebuah Panitia yang terdiri dari 500 orang, 50 orang dari setiap suku bangsa Attika yang semuanya meliputi 10 suku. Mereka itu dipilih dengan undian dari daftar sukarelawan, yang semuanya warga negara berumur 30 tahun lebih. Panitia ini tidak mengekang Dewan Rakyat, tetapi hanya mempermudah segala langkahnya. Anggota Panitia selalu dibayar dan bertugas selama satu tahun. Sesudah selang waktu, ia dapat dipilih lagi untuk tahun kedua, tetapi tidak pernah bertugas selama lebih dari dua tahun.<br />
<br />
Dalam Panitia itu terdapat panitia yang lebih kecil dan terdiri dari 50 orang. Panitia ini disebut Pritanea dan berkumpul setiap hari; praktis merekalah yang menjalankan pemerintahan. Susunan Pritanea diubah 10 kali dalam setahun dan ketuanya, kedudukan eksekutif paling tinggi, berganti setiap hari. Dalam teori tidak ada orang yang cukup lama memegang tampuk kekuasaan sehingga merasa mengakar di dalamnya. Tetapi dalam kenyataan kemungkinan ini terbuka bagi suatu golongan orang: 10 panglima angkatan bersenjata yang langsung dipilih dari Dewan Rakyat dan bertugas selama satu tahun. Seorang panglima dapat dipilih kembali berkali-kali.<br />
<br />
Salah seorang tokoh penting pada masa jaya Athena ialah Perikles, seorang prajurit, aristokrat, ahli pidato, dan warga kota pertama. Pada musim dingin tahun 431-430 sebelum Masehi, ketika perang Peloponnesus mulai, Perikles menyampaikan suatu pidato pemakaman. Alih-alih menghormati yang gugur saja, ia memilih memuliakan Athena:<br />
<br />
“Konstitusi kita disebut demokrasi, karena kekuasaan tidak ada di tangan segolongan kecil melainkan di tangan seluruh rakyat. Dalam menyelesaikan masalah pribadi, semua orang setara di hadapan hukum; bila soalnya ialah memilih seseorang di atas orang lain untuk jabatan dengan tanggung jawab umum, yang diperhitungkan bukan keanggotaannya dalam salah satu golongan tertentu, tetapi kecakapan orang itu. Di sini setiap orang tidak hanya menaruh perhatian akan urusannya sendiri, melainkan juga urusan negara. … Tetapi yang benar-benar dapat disebut berani ialah orang yang sudah mengerti apa yang enak di dalam hidup ini dan apa yang menggemparkan, lalu maju tanpa gentar untuk menghadapi apa yang datang.”<br />
<br />
Perhambaan & Diskriminasi Wanita<br />
Nyatanya, Athena bukanlah sebuah negara yang beradab. Slogan demokrasi yang sering menjulang dengan kata-kata liberte, fraternite, dan egalite, tidak pernah terwujud di Athena. Para ahli sejarah mencatat bahwa Athena adalah daerah pertama yang mempraktikkan perbudakan. Hal itu terjadi sekitar tahun 600 SM. Diperkirakan sekitar 100 ribu penduduk Athena adalah para budak. Itu berarti meliputi hampir sepertiga hingga setengah penduduk Athena adalah budak. Setiap penduduk Athena“ kecuali yang teramat miskin“ memiliki minimal satu budak. Pun, ketika proses pemerintahan demokrasi berlangsung, perbudakan itu masih terus berjalan. Bahkan filsuf terkenal Plato memiliki 50 budak. Ia juga memiliki ratusan budak yang disewakan pada orang lain. Ironis, padahal Plato adalah salah satu konseptor negara demokrasi.<br />
<br />
Perbudakan juga terus berlanjut meski seorang budak telah dimerdekakan. Caranya, seorang budak yang telah dimerdekakan tidak dapat disebut sebagai “orang merdeka” (free person), melainkan “orang yang dimerdekakan” (freed person) atau dalam istilah Yunani ia disebut sebagai metic. Seorang freed person memiliki hak yang lebih sedikit daripada orang merdeka.? Mereka tidak dapat menduduki posisi di pemerintahan dan mereka juga harus membayar pajak spesial.<br />
<br />
Bagaimana dengan hak-hak politik di Yunani? Para sejarawan menuliskan bahwa demokrasi Yunani tetap bertumpu pada aristokrasi (kaum ningrat/bangsawan), hanya penduduk dari kalangan atas saja yang diperbolehkan mengikuti pemilu. Maka, demokrasi yang dipraktikkan di Yunani tidak lebih dari sekedar rezim aristokrat.<br />
<br />
Nasib kaum wanita yang konon bakal lebih berharga dengan demokrasi, juga tak terbukti di Athena. Bila dibandingkan dengan kondisi sosial saat itu, kaum wanita Athena hanya satu tingkat lebih sedikit di atas para budak. Sejak mereka lahir mereka tidak diharapkan untuk belajar membaca dan menulis. Tentang belajar membaca dan menulis bagi wanita, filsuf Yunani Menander menulis, “Mengajarkan seorang wanita membaca dan menulis? Mengerikan! Itu sama saja seperti memberikan umpan seekor ular berbisa dengan racun yang lebih banyak.” Pengarang dan filsuf lain pun berpendapat sama tentang wanita.<br />
<br />
Kaum wanita di Athena terbagi menjadi tiga kelas. Yang paling rendah adalah para budak wanita, mereka melakukan berbagai pekerjaan kasar di sektor domestik (rumah), dan membantu istri majikan mereka mengasuh anak. Kelas kedua adalah para wanita penduduk biasa. Sedangkan kelas ketiga “yang paling teratas“ adalah yang dikenal dengan sebutan Hetaerae. Tidak seperti kelompok pertama dan kedua, kaum Hetaerae mendapatkan pelajaran membaca, menulis, dan musik. Hanya saja, kalangan wanita Hetaerae ini sebenarnya tidak lebih dari kaum pelacur kelas atas.<br />
<br />
Itulah demokrasi Athena, melestarikan perbudakan dan menghinakan kaum wantia.<br />
<br />
Demokrasi Modern<br />
Bisa saja para aktivis pro-demokrasi beralibi kalau itu semua adalah fase awal demokrasi. Sehingga dapat dimaklumi bila masih terwarnai nuansa primitif. Lagipula demokrasi adalah suatu ide yang berkembang sesuai dengan dinamika jaman dan kehidupan manusia.<br />
<br />
Alibi itu terlalu berlebihan. Karena demokrasi modern pun masih menyisakan berbagai praktik anti-kemanusiaan seperti di Athena. Perbudakan misalkan, terjadi di Amerika Serikat, negara kampiun demokrat. Bahkan ia. Hal ini tercantum dalam amandemen XIII butir pertama dari konstitusi AS:<br />
<br />
“Neither slavery nor involuntary servitude, except as a punishment for crime whereof the party shall have been duly convicted, shall exist within the United States, or any place subject to their jurisdiction.”<br />
<br />
(Baik perbudakan ataupun kerja paksa, kecuali sebagai hukuman atas kejahatan yang sudah pasti, diperbolehkan eksis di AS, atau tempat manapun yang merupakan wilayah hukumnya).<br />
<br />
Para founding father (pendiri negeri) Paman Sam itu juga mempraktikkan perbudakan di tengah-tengah seruan kemerdekaan dan demokrasi. George Washington contohnya, pada usia 11 tahun ia sudah memiliki 10 budak. Di usia 22 ia mempekerjakan dengan paksa 36 budak. Saat ia mati di AS ada sekitar 316 budak, dan 123 di antaranya adalah miliknya.<br />
<br />
Hebatnya, untuk menutupi aib memalukan tersebut, pemerintah AS membangun Monumen Liberty Bell Center – monumen kemerdekaan AS — di Philadelphia bersebelahan dengan area bekas George Washington menempatkan para budaknya.<br />
<br />
“Sejarah kita sering direkayasa dan dimanipulasi (tapi) kebenarannya telah dibunuh di Philadelphia,” komentar Nash, seorang profesor sejarah di UCLA dan seorang pakar Revolusi Amerika.<br />
<br />
Thomas Jefferson, salah seorang founding father AS sekaligus presiden pertama, malah bertindak lebih parah. Ia berselingkuh dengan salah seorang budaknya, Sally Hemmings, hingga menghasilkan dua orang anak. Ironi, karena Jefferson dipuja rakyat AS sebagai seorang pahlawan anti tiran. Salah satu ucapannya yang terkenal masih diabadikan oleh para pelajar di AS.<br />
<br />
“Aku telah bersumpah di depan altar Tuhan untuk melakukan perlawanan terus menerus terhadap setiap bentuk tirani yang berada dalam pikiran manusia.”<br />
<br />
Soal diskriminasi terhadap kaum wanita juga masih dipraktikkan oleh demokrasi modern. Menjelang pemilu 5 April 2004 berbagai tuntutan terhadap hak-hak politik perempuan juga masih berkumandang. Sebagian feminis menuntut kuota 30% kursi di legislatif untuk kaum wanita. Bukankah ini tanda kaum wanita masih terdiskriminasi?</div>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-72288257149146309962010-04-20T17:21:00.002+07:002010-04-20T17:21:53.029+07:00Resensi “ILUSI NEGARA DEMOKRASI”<div>Demokrasi berasal dari bahasa Latin : demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Konon, Demokrasi berakar dari peradaban bangsa Yunani kuno pada 500 SM. Gagasan Demokrasi yang berkembang di Yunani sempat hilang di Barat, saat Romawi takluk di tangan suku Jerman. Magna Charta yang lahir pada 1215 dianggap sebagai jalan pembuka munculnya kembali Demokrasi di Barat. Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika Eropa bangkit pada Abad Pencerahan. Ide Demokrasi terus mengalir hingga ke Timur Tengah pada pertengahan Abad ke-19.<br />
<br />
Secara teoritis, inti atau substansi demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Demokrasi mengklaim bahwa segala keputusan hukum selalu didasarkan pada prinsip suara mayoritas rakyat. Namun yang terjadi sebetulnya adalah tirani minoritas karena pada kenyataannya parlemen sering dikuasai oleh segelintir elit politik dan para pemilik modal. Karena itu pula diyakini, hanya segelintir orang yang diuntungkan dari sistem pemerintahan yang demokratis ini.<br />
<br />
Demokrasi melahirkan aneka tafsir terhadap dirinya. Karena itu, dalam praktiknya demokrasi tidaklah seragam di berbagai negara. Sampai saat ini, perdebatan seputar negara mana yang paling demokratis yang dianggap paling demokratis menjadi tampak absurd. Pasalnya, standar yang digunakan untuk mengukur demokratis-tidaknya sebuah negara sering tidak “standar”. Indonesia pernah didaulat sebagai “jawara demokrasi” hanya karena dianggap sukses menyelenggarakan Pemilu 2004 secara damai. Namun demikian, tetap saja Amerika – juga Eropa – dianggap sebagai “kampiun demokrasi”.<br />
<br />
Semua itu hanya dinisbatkan pada kategori-kategori yang sangat artifisial yaitu pemilu damai, transparansi, kebebasan, persamaan, dll. Robert Dahl dalam karyanya Polyarchy menyebut delapan syarat sebuah negara demokrasi :<br />
Kebebasan membentuk dan mengikuti organisasi<br />
Kebebasan berekspresi<br />
Hak memberikan suara<br />
Eligibilitas untuk menduduki jabatan publik<br />
Hak para pemimpin politik untuk berkompetisi secara sehat<br />
Tersedianya sumber-sumber informasi alternatif<br />
Pemilu yang bebas dan adil<br />
Institusi-institusi untuk menjadikan kebijakan pemerintah bergantung pada suara rakyat.<br />
<br />
Jelas, kategori-kategori di atas jauh dari substansi demokrasi itu sendiri. Artinya, baru mencerminkan demokrasi ”kulit” bukan ”isi”.<br />
<br />
Substansi demokrasi secara teoritik adalah kedaulatan rakyat. Namun dalam tataran praktik yang sering terjadi adalah hukum besi oligarki. Di sisi lain, Demokrasi yang dekat dengan semboyan “kebebasan, persamaan, persaudaraan” dalam praktiknya juga selalu menyisakan ironi. Kemerdekaan (liberte) yang dimaksud ternyata hanya berlaku bagi kaum borjuis untuk memonopoli pasar, begitu juga dengan persamaan (egalite) dan persaudaraan (fraternite). Semua ini terjadi karena pada akhirnya segelintir orang itulah yang berdaulat, bukan rakyat.<br />
<br />
Amerika Serikat ternyata juga mempunyai borok demokrasi. Sejarah telah membuktikan bahwa demokrasi yang diklaim Amerika hanya dijadikan alat untuk mengintervensi sekaligus menundukkan negara lain. Ironis, demi sebuah ”alasan luhur” demokratisasi, Amerika justru menggunakan cara-cara yang sangat tidak demokratis. Anehnya, meski kebobrokan demokrasi demikian nyata, selalu ada pembelaan yang terkesan defensif dari para pengusungnya. <br />
<br />
Adakah negara Demokrasi? Bagi seorang Muslim, pertanyaan ini penting untuk dijawab. Pasalnya, Demokrasi kini telah menjadi bagian dari dinamika kehidupan politik kaum Muslim di seluruh dunia. Di tengah euphoria kaum Muslim terhadap Demokrasi, juga di tengah kepercayaan para pengusungnya terhadap idealitas demokrasi yang diklaim sebagai ”tetap yang terbaik”, buku ini hadir justru dengan daya kritis yang luar biasa baik dalam teori maupun praktik demokrasi itu sendiri. Dalam tataran teori, kelebihan buku ini terletak pada kemampuannya untuk membongkar cacat demokrasi dari akarnya serta ketajamannya dalam menguak berbagai kelemahan filosofis dan paradigmatis konsep kedaulatan rakyat sebagai ”ruh” demokrasi. Dengan konteks ini pulalah, buku ini hadir sebagai ikhtiar mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. <br />
<br />
<br />
<div class="photo photo_none"> <div class="photo_img"><a href="http://www.blogger.com/photo.php?pid=3916066&op=1&view=all&subj=388661804548&aid=-1&auser=0&oid=388661804548&id=351571048076"><img class="" onload="var img = this; onloadRegister(function() { adjustImage(img); });" src="http://sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc3/hs490.snc3/26772_388055603076_351571048076_3916066_1671962_n.jpg" /></a></div></div><br />
<br />
<br />
Buku ini adalah kumpulan tulisan dari sejumlah penulis yang dimuat di majalah al-Wa’ie, terdiri dari delapan bab yaitu :<br />
Bab I : Demokrasi dalam Tataran Teori dan Praktik<br />
Bab II : Demokrasi, Kapitalisme dan Problem Kesenjangan Kaya-Miskin<br />
Bab III : Demokrasi : Sistem Politik yang Problematis<br />
Bab IV : Sekularisasi dan Komersialisasi : Problem Pendidikan di Alam Demokrasi<br />
Bab V : Demokrasi dan Penghancuran Sosial Budaya<br />
Bab VI : Ilusi Negara Demokrasi<br />
Bab VII : Islam vs Demokrasi<br />
Bab VIII : Keniscayaan Negara Demokrasi<br />
<br />
Meskipun sekadar kumpulan tulisan, buku ini berusaha tampil sebagai ”buku utuh” yang membincangkan secara lengkap dan integral seputar ilusi negara Demokrasi. Dalam tataran praktik, buku ini secara tegas dan lugas mampu menghadirkan fakta-fakta yang justru menegasikan teori-teori demokrasi dan klaim-klaim para pengusungnya, bahkan di negara-negara yang diklaim sebagai kampiun demokrasi. Selain itu, didukung oleh fakta-fakta yang valid dan meyakinkan, buku ini boleh dikatakan merupakan buku pertama di Indonesia yang cukup berbobot, yang secara serius membongkar banyak aib Demokrasi, yang selama ini terlalu pekat tertutupi oleh klaim-klaim yang terlalu berlebihan dari para pemujanya. <br />
<br />
Buku ini menguak fakta umum dan merata bahwa ”demokrasi praktik” sering bertentangan dengan ”demokrasi teori”. Buku ini juga mampu membalikkan klaim-klaim para pengusung demokrasi. Yang sering menyatakan bahwa demokrasi menjamin kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan ; memberikan garansi kebebasan dan persamaan ; serta menawarkan kemajuan dan keadaban. Faktanya, semua itu dusta belaka. Buku ini benar-benar membuktikan secara faktual, bahwa demokrasi ideal hanya ada dalam khayal, tidak pernah membumi, dan bahwa cita-cita mendirikan negara demokrasi memang hanya sebuah ilusi. Buku ini juga berhasil membuktikan bahwa negara Demokrasi adalah negara ”Kleptokrasi”, negara ”Para Maling” yang dikuasai oleh orang-orang ”bermental maling” yang ”mencuri” dan ”merampas” kedaulatan rakyat.</div>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-18842321208134568022010-04-19T12:48:00.000+07:002010-04-19T12:48:17.755+07:00MEMAHAMI DEMOKRASI ... BUKAN MENIKMATI DEMOKRASIKalau ada bentrok antara Ustadz dengan pastor, pihak depag, polsek, dan Danramil maka yg harus disalahkan adalah Ustadz. Sebab kalau tidak, itu namanya dictator mayoritas. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Namun kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yg harus ngalah, baru wajar namanya…..<br />
“Agama” yg paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaimana yg pro dan kontra demokrasi ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yg diplonco dan dites terus-menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam…..<br />
Orang-orang non-Muslim, terutama kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan unt mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rosul SAW., melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.<br />
Maka dari itu, kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti Islam tanpa melalui apresiasi terhadap al-Quran, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan AS di berbagai belahan dunia…..<br />
*********<br />
Paragraph tersebut sengaja dinukil dari sebuah kolom kecil seorang budayawan terkenal di tanah air. Lewat sindirannya yg tajam, ia mengungkapkan kegeramannya terhadap praktik demokrasi yg sering bersikap tidak adil terhadap Islam dan kaum Muslim.<br />
Disisi lain sering jg disaksikan ketidakadilan terhadap Islam dan kaum Muslim atas nama HAM yg tersermin dalam beberapa contoh kasus berikut:<br />
<br />
Jika ada sekelompok umat Islam yg mengobrak-abrik tempat-tempat mesum, mereka akan dianggap bertindak semena-mena dan menlanggar HAM. Mereka layak dihukum. Sebaliknya, para pelacur dan lelaki hidung belang yg biasa mangkal di tempat-tempat maksiat itu tak tersentuh. Mereka dianggap tidak melanggar HAM, yg wanita dibiarkan karena dianggap sekedar sedang mencari penghidupan, mereka dipandang sedang bekerja, hanya saja mereka diberi status “pekerja” seks komersial. Yg laki-laki pun tidak diapa-apakan karena sekedar sedang mencari hiburan. Apalagi mereka telah membayar uang sekian kepada pengelola pelacuran, yg kebetulan dipajaki oleh PEMDA setempat.<br />
Ketika umat Islam menghujat kelompok sesat seperti ahmadiyah atau al-qiyadah al-islamiyah, kaum liberal ribut sembari menuduh umat Islam tidak dewasa, tidak menghormati kebebasan dan melanggar HAM. Bahkan fatwa “sesat” MUI yg dinisbatkan kepada kelompok sesat itu mereka pandang sesat. Sebaliknya ketika ada sekelompok umat Islam menyuarakan aspirasinya tentang perlunya Indonesia menerapkan Syariah dan menegakkan Khilafah, atas nama kebebasan dan HAM pula kaum liberal mencap mereka sebagai musuh kebebasan, dan Syariah yg diusungnya berpotensi melanggar HAM dan mengancam keragaman......<br />
<br />
Demikianlah atas nama HAM dan Demokrasi pelaku asusila dibela, sementara pelaku amar makruf nahi mungkar dicerca; para penoda kesucian agama Islam dibiarkan, sementara MUI yg berniat melindungi kehormatan Islam disalahkan atas nama HAM. Pelaku perselingkuhan (perzinaan) dipandang wajar, sementara pelaku poligami dianggap kurang ajar; para penolak pornografi-pornoaksi dicaci-maki, sementara pelakunya dipandang pekerja seni. Atas nama HAM pula, para pejuang Syariah dituduh memecah belah, sementara pengusung sekularisme dan liberalisme dianggap membawa berkah.<br />
Itulah secuil gambaran tentang betapa bobroknya demokrasi dan HAM…. Disamping jelas-jelas bobrok, demokrasi dan HAM juga nyata-nyata tidak jelas juntrungannya. Dalam demokrasi, katanya rakyat yg berdaulat, tapi faktanya yg sangat adikuasa adalah para pemilik modal kuat.<br />
Dalam tataran praktiknya, demokrasi juga menghasilkan sejumlah kerumitan. Sejak berdirinya pada tahun 1776, AS sebagai kampium demokrasi dunia, memerlukan waktu 11 tahun unt menyusun konstitusi, 89 th untuk menghapus perbudakan, 144 th unt memberikan hak pilih kepada kaum wanita, dan 188 th unt menyusun draf konstitusi yg “melindungi” seluruh warga Negara (Strobe Talbott, 1997). Bahkan setelah ratusan tahun hingga hari ini, demokrasi amerika belum jg “rela” memberikan kursi kepresidenan kpd seorang wanita. Padahal demokrasi katanya menjungjung tinggi kesetaraan dan memberikan hak politik yg sama kepada laki-laki maupun perempuan.<br />
<br />
Anehnya, dg perjalanan masa lalu yg demikian kelabu dan bahkan kelam serta masa kini yg penuh ironi dan kontradiksi, amerika dg pongahnya memberikan kuliah tentang “demokrasi juga HAM” kepada Negara-negara berkembang yg mayoritasnya adalah negeri-negeri Islam. Yg Lebih aneh lagi adalah para pemuja Demokrasi dan HAM dari kalangan Muslim, yg tetap buta terhadap kebobrokan demokrasi serta menutup mata terhadap kebejatan Negara adikuasa AS sebagai pengusung utamanya.<br />
Benarlah Sir Winston Churchill (PM Inggris pada masa PD-II) yg pernah mengatakan “demokrasi bukanlah system yg baik; dia menyimpan kesalahan dalam dirinya (built-in-error).”<br />
<br />
Inikah demokrasi dan HAM yg dielu-elukan oleh sebagian kalangan, khusunya rezim yg saat ini lagi berkuasa…..?????<br />
Sungguh ironi…<br />
<br />
Wama tawfiqi illa billahkontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-4636316390242939362010-04-16T10:27:00.000+07:002010-04-16T10:27:10.435+07:00Islam Vs Demokrasi<div class="note_content text_align_ltr direction_ltr clearfix"> <div> <div class="photo photo_right"> <div class="photo_img"><a href="http://www.blogger.com/photo.php?pid=3833220&op=1&view=all&subj=384951909548&aid=-1&auser=0&oid=384951909548&id=351571048076"><img src="http://photos-d.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-snc3/hs109.snc3/15726_384443843076_351571048076_3833220_5783597_a.jpg" /></a></div></div><b>Kontradiksi Islam dengan Demokrasi </b><br />
<br />
* Demokrasi berasal dari manusia<br />
<br />
* Dipopulerkan oleh para filosof Eropa sebagai jalan tengah pertikaian antara penguasa dan rakyat <br />
<br />
* Islam merupakan wahyu Illahi<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Kontradiksi dalam perkara Aqidah</b><br />
<br />
* Aqidah Demokrasi adalah sekulerisme atau pemisahan agama dari kehidupan<br />
* Didalam Islam semua kehidupan manusia terikat dengan syariah<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Kontradiksi terhadap kedaulatan</b><br />
<br />
* Di dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat<br />
* Di dalam Islam kedaulatan ada di tangan syara’ (Alloh)<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Kontradiksi terhadap prinsip suara terbanyak</b><br />
<br />
* Di dalam demokrasi keputusan dari suara terbanyak<br />
* Di dalam Islam keputusan yang menyangkut hukum diambil berdasarkan kekuatan dalil,yang menyangkut keahlian berdasarkan ketepatan,suara terbanyak untuk masalah tehnis<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Kontradiksi terhadap kebebasan</b><br />
<br />
<span>* Di dalam demokrasi kebebasan beragama,berperilaku,berpe</span><wbr></wbr><span class="word_break"></span>ndapat dan berkepemilikan dijunjung tinggi<br />
* Di dalam Islam semua perbuatan harus terikat dengan syariah<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Apa demokrasi?</b><br />
<br />
* Demokrasi bukanlah prosedural melainkan sebuah sistem<br />
* Demokrasi: sebuah ideologi yang ditata dengan memadukan nilai-nilai liberal kebebasan individu, persamaan martabat<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Siapa demokrasi?</b><br />
<br />
* Prsiden Abraham lincoln (19960-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah “ from the people,by the people,and for the people”<br />
* Namun,presiden Rutherford B.Hayes, pada tahun 1876 mngatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah ‘from the company, by company, and for the company”<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Untuk apa demokrasi?</b><br />
<br />
* Pidato Bush “Jika kita mau menyelamatkan negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi”<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Apa hubungan Demokrasi dengan kapitalisme?</b><br />
<br />
* Dalam sistem kapitalisme biasanya menggunakan sistem pemerintahan Demokrasi<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Pengambil kebijakan dalam sistem demokrasi?</b><br />
<br />
* Pembuat jajak pendapat<br />
* Biro Iklan (Advertising)<br />
* LSM<br />
* Partai politik<br />
* Pemilik Modal<br />
* Tugas rakyat hanyalah Nyoblos/nyontreng titik!<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Fakta pilar demokrasi</b><br />
<br />
* Kedaulatan ditangan rakyat, namun realitasnya kedaulatan ada ditangan pemilik modal<br />
* Suara mayoritas, namun realitasnya hanya segelintir orang wakil rakyat (560 orang anggota DPR dari 220 juta penduduk)<br />
* Jaminan terhadap liberalisme,Negara hanya pengawas.Tanggung jawab pengayoman pemeliharaan dilimpahkan kepada swasta.<br />
* Jaminan terhadap kebebasan beragama namun outputnya pemurtadan, aliran sesat DLL.Kebebasan berpendapat namun penghinaan pada Rosul,Al-Quran, pelecehan Islam DLL. Kebebasan kepemilikan outputnya Privatisasi, penjajahan asing atas SDA, UU Minerba, UU BHP, DLL. Kebebasan berperilaku outputnya seka bebas, aborsi, pembagian kondom gratis DLL.<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Demokrasi tidak berhubungan dengan kesejahteraan</b><br />
<br />
* Honkong sangat pesat perekonomiaanya sekalipun tanpa demokrasi<br />
* Korea Selatan dan Taiwan (semiotoriter) maju<br />
* Pada dekade 1970-an dan 1970-an sebagian negara-negara industri yang memiliki tinkat pertumbuhan ekonomi tinggi tergolong otoriter<br />
* Sebagian Negara-Negara Timor Tengah maju juga tidak demokratis<br />
* India, Filipina, Fiji yang ketika itu sudah demokratis memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran rendah<br />
* Singapura (semiotoriter) menjadi salah satu negara termakmur didunia tanpa perlu mengalami demokratisasi<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Yang makmur negara demokratis hanyalah negara penjajah</b><br />
<br />
* Kesenjangan antara negara besar demokratis dengan negara berkembang<br />
* AS, Inggris, Perancis, Jerman dan Jepang (26 % penduduk dunia) menguasai:70% pupuk, 78% barang dan jasa, 81% energi, 87% senjata<br />
* KEMAKMURAN DI NEGARA BESAR DEMOKRATIIS BUKAN KARENA DEMOKRASI MELAINKAN KARENA EKSPLOITASI DAN IMPEREALISME TERHADAP NEGARA LAIN<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Paradoks Demokrasi</b><br />
<br />
* Atas nama demokrasi, Amerika menggaungkan ideologi globalnya, Global State<br />
* Atas nama demokrasi Amerika merampas kekayaan alam suatu negeri<br />
* Atas nama demokrasilah Khilafah Islamiyah dipecah-pecah menjadi banyak negara<br />
* Atas nama demokrasi mencuat otonomi daerah<br />
* Atas nama demokrasi peluang untuk disintegrasi bangsa<br />
<br />
<br />
<br />
<b>Demokrasi dunia Islam</b><br />
<br />
* Aljazair, Wajah buruk demokrasi<br />
* Afghanistan, Rekayasa demokrasi<br />
* Irak, Kejahatan demokrasi<br />
* Palestina, Penghianatan demokrasi<br />
* Kasus Darfur Sudan, Penjajahan atas nama demokrasi</div></div>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-64717378742564127822010-04-13T13:09:00.000+07:002010-04-13T13:09:32.190+07:00DEMOKRASI DAN SYARIAH ISLAM*<h3 align="center"></h3><b> <div align="center">Oleh : M. Shiddiq al-Jawi**</div></b> <div align="justify"><b>1. Syariah Islam : Definisi dan Urgensinya</b></div><div align="justify">Syariah Islam (<i>al-hukm al-syar’iy</i>) adalah segala ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan aktivitas manusia (<i>khithab al-syaari’ al-muta’alliqu bi af-al al-‘ibad</i>). Maka segala aktivitas manusia, apa pun juga, tidak ada yang terlepas dari ketentuan Syariah Islam yang mencakup hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlaq, mu’amalat, dan <i>‘uqubat</i> [sistem pidana] (an-Nabhani, <i>Nizham al-Islam, </i>2001).</div><div align="justify">Secara garis besar, menurut al-Mahmud (1995) dalam <i>Al-Da’wah ila al-Islam </i>pelaksanaan Syariah Islam dibebankan kepada 3 (pihak) :</div><div align="justify">(1) <b>individu</b>, misalnya sholat, puasa, dan haji; </div><div align="justify">(2) <b>kelompok</b> (jama’ah), misalnya amar ma’ruf nahi mungkar (lihat QS 3 : 104); (3); </div><div align="justify">(3) <b>negara, </b>misalnya sistem pidana (<i>nizham ‘uqubat</i>), sistem pemerintahan (<i>nizham al-hukm</i>), dan sistem ekonomi (<i>nizham al-iqtishad</i>). </div><div align="justify">Pelaksanaan Syariah Islam yang mengatur urusan privat dan kelompok tidak mensyaratkan keberadaan negara secara mutlak. Berbeda dengan itu, pelaksanaan Syariah Islam yang mengatur urusan publik, jelas mensyaratkan keberadaan negara, secara mutlak. Tanpa eksistensi negara, tidak mungkin hukum-hukum publik seperti sistem pidana dan pemerintahan Islam akan dapat terlaksana dengan sempurna. Tentu negara ini bukan sembarang negara, melainkan hanya negara yang didirikan di atas asas Aqidah Islamiyah, sehingga siap melaksanakan Syariah Islam. Negara inilah yang disebut dengan <b>Khilafah (Imamah)</b>. </div><div align="justify">Bagi seorang muslim, mengikatkan seluruh aktivitasnya dengan Syariah Islam adalah <b>wajib</b> hukumnya (lihat misalnya QS 4:59). Lebih dari itu, keterikatan muslim dengan Syariah Islam adalah konsekuensi dari <b>keimanannya</b> terhadap islam (QS 4:65). Sebaliknya seorang muslim <b>haram</b> hukumnya melaksanakan hukum selain Syariah Islam (QS 4:45, QS 4:47), dan bahkan jika ia mengingkari Syariah Islam serta menganggap selain Syariah Islam adalah lebih baik, ia menjadi <b>kafir (murtad)</b> (QS 4:44).</div><div align="justify">Urgensi Syariah Islam adalah untuk memberikan solusi terhadap problem-problem manusia (<i>mu’aalajaat li masyaakil al-insaan</i>). Dalam konteks Indonesia, problem-problem ekonomi (seperti Freeport, Exxon, Newmont) dan problem sosial (seperti pornografi dan pornoaksi), misalnya, akan dapat diselesaikan dengan baik dan benar andaikata saja diselesaikan dengan Syariah Islam. </div><b> <div align="justify">2. Demokrasi dan Syariah</div><div align="justify">2.1. Fakta Demokrasi</div></b> <div align="justify">Demokrasi adalah sebuah tatanan pemerintahan yang bersumber dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demikian slogan yang sangat terkenal dari Benjamin Franklin tentang definisi demokrasi.</div><div align="justify">Dalam <i>setting</i> sosio-historisnya di Barat, demokrasi lahir sebagai solusi dari <b>dominasi gereja</b> yang otoritarian dan absolut sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M). Di satu sisi ekstrem, dominasi gereja yang merupakan kolaborasi gereja dan para raja Eropa ini menghendaki tunduknya seluruh urusan kehidupan (politik, ekonomi, seni, sosial, dll) kepada aturan-aturan gereja. Di sisi ekstrem lainnya, dominasi gereja ini ditentang oleh para filosof dan pemikir yang menolak secara mutlak peran gereja (Katolik) dalam kehidupan. </div><div align="justify">Terjadinya <b>Reformasi Gereja, Renaissance, dan Humanisme</b>, menjadi titik tolak awal untuk meruntuhkan dominasi gereja itu. Akhirnya, pasca Revolusi Perancis tahun 1789, terwujudlah jalan tengah dari dua sisi ekstrem itu, yang terumuskan dalam paham <b>sekularisme</b>, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak diingkari secara total, tapi masih diakui walau pun secara terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.</div><div align="justify">Lalu hubungan manusia dengan manusia siapakah yang megatur dan membuat hukumnya? Jawabnya, tentu manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau agama. <b>Pada titik inilah demokrasi lahir</b>.</div><div align="justify">Walhasil, demokrasi memberikan kepada manusia dua hal : </div><div align="justify">(1) hak membuat hukum (legislasi). Inilah prinsip kedaulatan rakyat (<i>as-siyadah li al-sya’b</i>). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya yaitu hukum dibuat oleh para tokoh-tokoh gereja atas nama Tuhan; </div><div align="justify">(2) hak memilih penguasa. Inilah prinsip kekuasaan rakyat (<i>as-sulthan li al-ummah</i>). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya yaitu penguasa (raja) diangkat oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam sistem monarki absolut.</div><div align="justify">Jadi, dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber kekuasaan (<i>source of legislation and authority</i>) (Zallum, <i>al-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr</i>, 1990). </div><div align="justify">Untuk menjamin agar rakyat dapat menjalankan fungsinya dengan leluasa sebagai pembuat hukum dan sumber kekuasaan tersebut, demokrasi memberikan kebebasan (<i>al-hurriyat, freedom</i>) yang mencakup 4 jenis kebebasan : (1) kebebasan beragama (<i>hurriyah al-‘aqidah</i>), (2) kebebasan berpendapat (<i>hurriyah al-ra`yi</i>), (3) kebebasan kepemilikan (<i>hurriyah al-tamalluk</i>), dan (4) kebebasan berperilaku (<i>al-hurriyah al-syakhshiyyah</i>) (Zallum, <i>al-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr</i>, 1990).</div><b> <div align="justify">2.2. Demokrasi Menurut Islam</div></b> <div align="justify">Hizbut Tahrir menegaskan sikapnya tentang demokrasi dalam sebuah kitab karya Syaikh Abdul Qadim Zallum yang menyerukan, "<i>Demokrasi adalah sistem kufur, haram mengambil, menerapkan, dan mempropagandakannya.</i>" (Zallum, 1990).</div><div align="justify">Mengapa demokrasi kufur? Dalam kitab <i>Mafahim Siyasiyah li Hizb al-Tahrir</i> (2005) dijelaskan, demokrasi itu kufur bukan karena konsepnya bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena konsepnya bahwa manusia berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat). </div><div align="justify">Kekufuran demokrasi dari segi konsep kedaulatan tersebut sangat jelas, sebab menurut Aqidah Islam, yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, bukan manusia. Firman Allah SWT (artinya) : </div><div align="justify">"<i>Menetapkan hukum hanyalah hak Allah."</i> (QS Al-An’aam : 57)</div><div align="justify">Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal dengan Islam. Pada titik itulah, demokrasi disebut sebagai <b>sistem kufur</b>. Sebab sudah jelas, memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum adalah suatu kekufuran. Firman Allah SWT (artinya) :</div><div align="justify">"<i>Barangsiapa yang tidak menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir."</i> (QS Al-Maa`idah : 44) </div><div align="justify">Abdul Qadim Zallum (1990) menjelaskan adanya kontradiksi-kontradiksi lain antara demokrasi dan Islam. Antara lain :</div><div align="justify">a. Dari segi <b>sumber</b> : demokrasi berasal dari manusia dan merupakan produk akal manusia. Sedang Islam, berasal dari Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya Muhammad SAW. </div><div align="justify">b. Dari segi <b>asas</b> : demokrasi asasnya adalah <b>sekularisme</b> (pemisahan agama dari kehidupan). Sedang Islam asasnya Aqidah Islamiyah yang mewajibkan menerapkan Syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (QS 2:208). </div><div align="justify">c. Dari segi <b>standar pengambilan pendapat</b> : demokrasi menggunakan standar mayoritas. Sedangkan Islam, standar yang dipakai tergantung materi yang dibahas. Rinciannya : (1) jika materinya menyangkut status hukum syariah, standarnya adalah <b>dalil syariah terkuat</b>, bukan suara mayoritas; (2) jika materinya menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara <b>mayoritas</b>; (3) jika materinya menyangkut aspek-aspek yang memerlukan keahlian, standarnya adalah <b>pendapat yang paling tepat</b>, bukan suara mayoritas.</div><div align="justify">d. Dari segi ide <b>kebebasan : </b>demokrasi menyerukan 4 jenis kebebasan (<i>al-hurriyat</i>), di mana arti kebebasan adalah tidak adanya keterikatan dengan sesuatu apa pun pada saat melakukan aktivitas (<i>‘adam al-taqayyud bi syai`in ‘inda al-qiyaam bi al-‘amal</i>) (Zallum, <i>Kaifa Hudimat al-Khilafah</i>, 1986). Sedang Islam, tidak mengakui kebebasan dalam pengertian Barat. Sebaliknya, Islam mewajibkan keterikatan dengan syariah Islam, sebab pada asalnya, perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum-hukum Syariah Islam (<b>al-ashlu fi al-af’aal al-taqayyud bi al-hukm al-syar’i</b>). </div><div align="justify">Dengan adanya kontradiksi yang dalam antara demokrasi dan Syariah Islam itulah, Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya <i>al-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr</i> (1990) menegaskan tanpa ragu-ragu :</div><span style="font-size: x-small;"> <div align="justify">"Demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam, sesungguhnya merupakan sistem kufur, tidak ada hubungannya degan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara garis besar maupun secara rinci…Oleh karena itu, kaum muslimin diharamkan secara mutlak untuk mengambil, menerapkan, dan menyebarluaskan demokrasi." </div></span><b> <div align="justify">3. Relevansi Khilafah</div></b> <div align="justify">Syariah dan Khilafah mempunyai hubungan yang sangat erat yang tidak mungkin dipisahkan. Sebab tidak mungkin kita menerapkan Syariah Islam secara sempurna, kecuali dengan Khilafah. Maka dari itu, keberadaan Khilafah adalah wajib secara syar’i demi melaksanakan kewajiban menerapkan Syariah Islam. </div><div align="justify">Dalam hal ini kaidah fikih menegaskan : <i>Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib</i> (Jika suatu kewajiban tidak dapat terlaksana kecuali dengan adanya sesuatu, maka adanya sesuatu itu wajib pula hukumnya).</div><div align="justify">Secara empiris, kita dapat pula menyaksikan betapa besarnya kebutuhan umat Islam akan Khilafah saat ini. Sebab dunia saat ini berada dalam hegemoni negara-negara Kapitalis di bawah pimpinan Amerika Serikat. Hegemoni AS di bidang militer, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya itu tentu tidak boleh dibiarkan. </div><div align="justify">Tapi, tidak mungkin Dunia Islam membebaskan dirinya dari hegemoni kapitalis, kecuali dengan persatuan umat Islam (<i>wihdatul Ummah</i>). Dunia Islam sudah terbukti tidak mampu menghadapai hegemoni AS, karena telah terpecah-belah menjadi 56 negeri Islam. Dan persatuan umat Islam ini jelas tidak akan mungkin terwujud kecuali dengan Khilafah. Sebab Khilafah bukanlah negara untuk satu bangsa atau golongan tertentu, melainkan negara untuk seluruh umat Islam di seluruh dunia. Di seluruh dunia tidak boleh ada, kecuali hanya satu Khilafah saja.</div><div align="justify">Di sinilah relevansi Khilafah pada era kontemporer saat ini. Secara syar’i Khilafah adalah kewajiban dari Allah SWT. Sedang secara empiris, Khilafah sangat dibutuhkan umat Islam untuk membebaskan dirinya dari hegemoni dan imperialisme negara-negara Kapitalis pimpinan AS.</div><b> <div align="justify">4. Mungkinkah Khilafah?</div></b> <div align="justify">Sebagai penutup, perlu dijelaskan juga jawaban untuk umat Islam yang sering bertanya,"Apakah Khilafah suatu utopia? Mungkinkah mendirikan Khilafah di tengah situasi politik saat ini untuk umat Islam yang jumlahnya 1,2 miliar jiwa?" </div>Jawabnya, Khilafah bukan utopia sebab jika utopia tentu Allah SWT tidak akan mewajibkannya kepada umat Islam. Sama saja dengan shalat. Ketika Allah mewajibkan shalat, berarti menegakkan shalat itu masih berada dalam batas-batas kesanggupan manusia. Demikian juga ketika Allah mewajibkan Khilafah, berarti menegakkan Khilafah itu juga masih berada dalam batas-batas kesanggupan manusia.<i>"Laa yukallifullaahu nafsan illa wus’ahaa."</i><i> </i> <div align="justify">Hanya saja, tentu mewujudkan Khilafah yang dapat memayungi seluruh umat Islam yang jumlahnya 1,2 miliar jiwa tidak mungkin terjadi dalam sekejap. Khilafah untuk pertama kalinya nanti, dapat berdiri di sebuah negeri Islam dahulu. Kemudian secara bertahap, Khilafah melakukan ekspansi dan perluasan ke negeri-negeri lainnya sehingga akhirnya mencakup wilayah yang luas. </div><div align="justify">Hal itu sebagaimana Rasulullah SAW dahulu, yang mendirikan Daulah Islamiyah untuk pertama kalinya hanya sebatas kota Madinah. Namun tapal batas wilayah ini terus meluas sejalan dengan misi jihad fi sabilillah. Pada saat Rasulullah wafat (11 H/632 M), wilayah Daulah Islamiyah telah mencakup seluruh Jazirah Arab. </div><div align="justify">Semoga Khilafah segera berdiri sebentar lagi dengan seizin Allah, walaupun orang-orang kafir pasti membencinya. Firman Allah SWT (artinya) :</div><div align="justify">"<i>Dia-lah (Allah) yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunju dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci."</i> (QS Ash-Shaff : 9).</div><b><i> </i></b><div align="justify"><b><i>Wallahu muwaffiq li al-shawaab</i></b>.</div><div align="justify">- - - - - - - - - -</div><div align="justify">*Makalah disampaikan dalam <b>Dialog Publik</b> dengan tema "Demokrasi Versus Syariah Islam", diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Agama Islam (LPPAI) UII Yogyakarta, di Hall Kampus Fakultas Teknik Industri, Kampus Terpadu UII Jl. Kaliurang Km 14,5 Yogyakarta, Sabtu, 25 Maret 2006.</div><div align="justify">**Ketua <i>Lajnah Tsaqofiyah </i>HTI DIY; Dosen STEI Hamfara Yogyakarta; Pengawas Syariah BMT Kaffah Yogyakarta; dan pengelola situs dakwah www.khilafah1924.org.</div><div align="justify"><br />
</div><div align="justify"><a href="http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=303&Itemid=48%20">khilafah1924.org</a></div>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-58038328815257216062010-04-11T22:21:00.002+07:002010-04-11T22:21:29.211+07:00Partai Islam Dan Demokrasi<!-- bb --><!-- backlinks --><!--mainlink-code--><!--sape-code--><!--check code--><!-- /bb --><div align="justify">Oleh: Azhari<br />
<br />
hayatulislam.net - UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, BAB IV, TUJUAN, Pasal 6<br />
<br />
(1) Tujuan umum partai politik adalah: <br />
<br />
b. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (lihat 1 ).<br />
<br />
Begitulah kira-kira bunyi UU tentang tujuan sebuah partai politik didirikan yang dijadikan persyaratan bagi partai manapun (Islam, nasionalis, sekuler dan kafir) saat mendaftar di KPU, agar bisa mengikuti Pemilu. Kalau kita cermati UU tersebut maka timbul pertanyaan mendasar?: “Apakah ini sistem demokrasi yang didambakan banyak orang, sistem demokrasi yang sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat?” Tetapi kenyataannya, ini <b>Demokrasi Semu</b> disaat restriksi (batasan-batasan) yang dicantumkan dalam UU yang membatasi gerak sebuah Partai Politik semata-mata untuk menjunjung tinggi <b>kedaulatan rakyat dan melanggengkan sistem Demokrasi Pancasila dalam sebuah NKRI</b>. Terlihat jelas disini, demokrasi telah membuat UU untuk menjaga dirinya agar tidak dihancurkan oleh kekuatan lain (Islam). <b>Demokrasi telah menjaga dirinya dengan baik</b>!<br />
<br />
Sehingga memperjuangkan sistem Islam didalam bingkai demokrasi adalah suatu kemustahilan, karena tidak mungkin demokrasi bersedia dihancurkan/digantikan oleh sistem Islam. Pastilah demokrasi telah menjaga dirinya sebaik-baiknya, dengan itu tadi: UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik Bab IV, Pasal 6, ayat 1b. <br />
<br />
Lantas, apa yang akan dilakukan oleh partai-partai Islam yang berazaskan Islam, jika memenangkan Pemilu? Islam seperti apa yang akan mereka perjuangkan? Sungguh suatu kontradiksi, satu sisi mereka berazaskan Islam dan memperjuangkan syari’at Islam dalam sebuah sistem, tetapi disisi lain mereka telah dikekang dengan UU yang membatasi gerak mereka untuk tidak mengutak-atik Sistem Demokrasi Pancasila.<br />
<br />
Demokrasi berasal dari ide pemisahan agama dari sistem kehidupan atau pemisahan agama dengan politik (sekularisme), dimana rakyat sudah muak dengan intervensi gereja dalam mengatur kehidupan politik. Para pendeta mencampuri urusan Negara, mereka memperkaya diri sendiri dengan alasan agama. Padahal agama Kristen sendiri tidak mengatur sistem kehidupan manusia, kitab mereka lebih banyak mengatur soal ritual ibadah, do’a, puja-puji dan akhlaq.<br />
<br />
Sedangkan Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dengan politik, Islam adalah agama sekaligus juga ideologi/mabda’. Al-Qur'an yang mulia tidak hanya berisi tata cara ritual ibadah semisal shalat, zakat, puasa, haji, do’a, dzikir, dan lain-lain, tetapi al-Qur'an juga menjelaskan sistem ekonomi (<i>iqtishadi</i>), sosial (<i>ijtima’i</i>), sanksi/peradilan (<i>‘uqubat</i>), politik (<i>siyasah</i>) dan pendidikan. Sehingga Islam tidak bisa dipisahkan dengan Negara atau penerapan Islam secara kaffah tidak akan bisa dijalankan tanpa sebuah institusi Negara (lihat 2, hal 49; lihat 3, hal 33 & 50). Bahkan tanpa Negara, syari’at yang terkandung didalam al-Qur'an hanya bisa dijalankan sekitar 10% saja (lihat 4, hal 128). Lantas, sisanya 90% mau dicampakkan kemana?<br />
<br />
Walhasil, menggabungkan sistem demokrasi dengan Islam adalah pekerjaan yang mustahil dan tidak akan pernah bisa menyatu. Bagaimanapun usaha untuk mencocok-cocokkan dengan Islam tetap tidak akan cocok, meskipun ada unsur yang sama antara Islam dengan demokrasi semisal adanya syuro (<i>musyawarah</i>), tetapi terdapat perbedaan mendasar antara syuro dalam demokrasi dengan syuro dalam Islam. Syuro dalam Islam tidak melegalisasi keharaman, tetapi syuro dalam demokrasi bisa saja dalam hal keharaman asalkan suara mayoritas mendukungnya (lihat 5, hal 195). Sehingga adanya unsur kesamaan dalam hal syuro ini, tidak bisa dikatakan demokrasi sama dengan Islam, ini bagaikan menyatakan Bemo sama dengan Pesawat karena sama-sama mempunyai roda tiga.<br />
<br />
<b>Islam juga tidak membutuhkan sistem demokrasi untuk melengkapinya</b>, karena Islam adalah ajaran yang maha sempurna (agama sekaligus ideologi/<i>mabda’</i>), yang diturunkan oleh Yang Maha Sempurna juga, Allah SWT. Mustahil Allah Yang Maha Rahman dan Rahim, melakukan kealpaan dalam mengatur seluruh sistem kehidupan manusia.<br />
<br />
<i>Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian</i>. (<b>Qs. al-Maa'idah [5]: 3</b>).<br />
<br />
Kita telah mengalami penderitaan yang panjang dalam sistem demokrasi ini, baik secara nasional maupun internasional. Secara nasional, krisis ekonomi, politik dan sosial/budaya yang tidak kunjung usai. Secara internasional, bangsa-bangsa kafir dengan arogansinya menjajah umat Islam di Palestina, Afghanistan dan Iraq, menguras kekayaan alam negeri-negeri Islam berupa minyak, emas, kayu, dan lain-lain, menghina-dinakan umat Islam dengan satu alasan “teroris”. Harus ada sistem alternatif untuk menggantikannya, sistem kapitalis-demokrasi telah terbukti gagal dan menyengsarakan umat manusia, sistem sosialis-komunis telah runtuh di Rusia akibat sistem ini tidak sesuai dengan fitrah manusia. <b>Tidak ada pilihan lain selain sistem Islam</b>!<br />
<br />
Memperbaiki sistem demokrasi tidak ada gunanya lagi, ini sama halnya kita mempunyai rumah yang sudah tua, keropos dan lapuk dimakan rayap, bocor atapnya, mengelupas catnya, bahkan sudah hampir runtuh. Tetapi kita masih berusaha menambal disana-sini, memperkuat bagian yang keropos, mempercantiknya dengan mengecat ulang. Kita tidak butuh pekerjaan tambal sulam, disamping tidak sesuai dengan syari’at Allah yang mulia, juga pekerjaan yang sia-sia dan hasilnya tidak sempurna. Lebih baik mendirikan rumah baru dengan pondasi dan material baru, sangat kokoh dan indah.<br />
<br />
Kebobrokan yang terjadi akibat sistem demokrasi bukan tanggung jawab kita (Partai Islam), itu adalah tanggung jawab para penggagas demokrasi (kafir Barat) dan pendukungnya. Tanggung jawab kita (Partai Islam) adalah memperjuangkan sistem milik kita sendiri, yakni sistem Islam. Sungguh aneh, orang Islam memperjuangkan sistem orang lain (demokrasi) bukannya sistemnya sendiri (Islam). Katakan pada sistem demokrasi itu: “Saya tidak akan memperbaiki kebobrokan anda, saya telah punya sistem yang sempurna (Islam) yang akan saya bangun sendiri!”<br />
<br />
Kita juga tidak butuh Islam yang secuil saja dalam hal hukum waris, nikah, thalaq dan rujuk. Kita tidak butuh Islam yang sekedar label “Syariah” saja dalam hal Bank syariah, Asuransi syariah, MLM syariah, Bursa saham syariah, yang semuanya masih dipertanyakan keabsahan hukum syara'-nya. Kita tidak butuh Islam yang setengah, sepertiga dan seperempat. Tetapi kita butuh Islam kaffah (totalitas) karena begitulah Allah SWT dan rasul-Nya menjelaskan kepada kita, jangan turuti langkah-langkah syaithan orang-orang yang mengambil ajaran selain dari Islam. Jangan mengambil sebagian dan mencampakkan sebagian besar lainnya, sehingga kita menjadi orang-orang yang merugi diakhirat nanti.<br />
<br />
<i>Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kedalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu</i>. (<b>Qs. al-Baqarah [2]; 208</b>).<br />
<br />
<i>Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar pula sebagian yang lain?. Tiadalah balasan bagi orang-orang yang berbuat demikian dari padamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat</i>. (<b>Qs. al-Baqarah [2]: 85</b>).<br />
<br />
Kita telah memilih dengan cara apa kita berjuang, tentu pilihan-pilihan ini yang akan kita pertanggung jawabkan dihadapan Allah Yang Maha Berdaulat (bukan rakyat!) di yaumil akhir nanti. <i>Wallahua’lam</i>.<br />
<br />
Maraji’:<br />
<br />
1. <a href="javascript:document.location='http://www.kpu.go.id:'" target="_blank">www.kpu.go.id:</a> Undang-undang/peraturan, UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, Bab IV, Pasal 6, ayat 1b<br />
<br />
2. Dakwah Islam 1, Ahmad Mahmud<br />
<br />
3. Debat Islam sekular, Ma’mun Hudhaibi (hal 33) & Muhammad Imarah (hal 50)<br />
<br />
4. Dakwah Islam & masa depan ummat, Abdurrahman Al-Baghdadi<br />
<br />
5. 37 soal jawab tentang ekonomi, politik dan dakwah Islam, Abu Fuad</div>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-59148158764661932652010-04-11T22:11:00.001+07:002010-04-11T22:11:21.488+07:00Islam dan Tantangan Demokrasi<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><o:smarttagtype name="State" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="country-region" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="time" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="City" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
p.MsoFooter, li.MsoFooter, div.MsoFooter
{mso-style-unhide:no;
mso-style-link:"Footer Char";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
tab-stops:center 3.0in right 6.0in;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
span.MsoEndnoteReference
{mso-style-noshow:yes;
mso-style-unhide:no;
vertical-align:super;}
p.MsoEndnoteText, li.MsoEndnoteText, div.MsoEndnoteText
{mso-style-noshow:yes;
mso-style-unhide:no;
mso-style-link:"Endnote Text Char";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
p.MsoBodyTextIndent, li.MsoBodyTextIndent, div.MsoBodyTextIndent
{mso-style-unhide:no;
mso-style-link:"Body Text Indent Char";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:justify;
text-indent:.5in;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
span.BodyTextIndentChar
{mso-style-name:"Body Text Indent Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Body Text Indent";
mso-ansi-font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:12.0pt;}
span.EndnoteTextChar
{mso-style-name:"Endnote Text Char";
mso-style-noshow:yes;
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Endnote Text";}
span.FooterChar
{mso-style-name:"Footer Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:Footer;
mso-ansi-font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:12.0pt;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
font-size:10.0pt;
mso-ansi-font-size:10.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;}
/* Page Definitions */
@page
{mso-footnote-separator:url("file:///C:/DOCUME~1/asseifff/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_header.htm") fs;
mso-footnote-continuation-separator:url("file:///C:/DOCUME~1/asseifff/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_header.htm") fcs;
mso-endnote-separator:url("file:///C:/DOCUME~1/asseifff/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_header.htm") es;
mso-endnote-continuation-separator:url("file:///C:/DOCUME~1/asseifff/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_header.htm") ecs;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.0in 1.0in 1.0in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-page-numbers:1;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;
mso-endnote-numbering-style:arabic;}
-->
</style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span style="font-size: 18pt;"><o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal"> Dapatkah hak-hak individu dan kedaulatan rakyat dilandaskan pada keimanan? </div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Seorang ahli hukum Muslim klasik yang menulis tema tentang Islam dan pemerintahan akan memulai tulisannya dengan membedakan jenis sistem politik. Pertama-tama, ia akan menggambarkan sistem politik natural–sebuah dunia anarkis, tak berperadaban, dan primitif. Di dalamnya, kelompok yang paling kuat menguasai kelompok yang lemah. Tidak ada hukum; yang ada hanya tradisi. Tidak ada pemerintahan; yang ada hanya pemimpin-pemimpin suku yang ditaati selama mereka dianggap sebagai yang terkuat.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum itu kemudian akan menggambarkan sistem kedua, yang diperintah oleh seorang pangeran atau raja yang titahnya dipandang sebagai hukum. Karena hukum ditetapkan dengan kehendak sewenang-wenang penguasa, dan rakyat menaatinya semata karena sebuah keharusan dan paksaan, sistem ini juga dipandang sebagai bentuk tirani dan tidak memperoleh legitimasi.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Yang ketiga adalah sistem yang paling baik, yaitu sistem khilafah, yang didasarkan pada Syariat–batang tubuh hukum agama Islam yang dilandaskan pada Alquran dan perilaku serta perkataan nabi. Menurut para ahli hukum Muslim, hukum Syariat memenuhi kriteria keadilan dan legitimasi, dan mengikat rakyat dan juga penguasa. Karena ia didasarkan pada aturan hukum dan menolak otoritas manusia atas manusia lainnya, sistem khilafah dipandang lebih unggul dari pada sistem lainnya.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Untuk mendukung aturan hukum dan pemerintahan yang tidak tak terbatas, para ulama klasik menganut unsur-unsur inti yang dipraktikkan dalam sistem demokrasi modern. Namun, pemerintahan yang tidak tak terbatas dan aturan hukum hanyalah dua unsur dari sebuah sistem pemerintahan yang saat ini memiliki klaim legitimasi yang paling meyakinkan. Kekuatan moral demokrasi terletak pada gagasan bahwa warga negara sebuah bangsa adalah pemilik kedaulatan, dan–dalam sistem demokrasi representatif modern–para warga mewujudkan kehendaknya yang tertinggi dengan memilih orang-orang yang mewakili mereka. Dalam sebuah sistem demokrasi, rakyat adalah sumber hukum dan hukum pada gilirannya berfungsi menjamin perlindungan terhadap kesejahteraan dan kepentingan setiap orang yang memiliki kedaulatan itu.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Dari sudut pandang Islam, demokrasi menyuguhkan sebuah tantangan yang sangat berat. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Muslim berargumen bahwa hukum yang dibuat oleh sebuah sistem kerajaan dipandang tidak sah karena ia menggantikan kedaulatan Tuhan dengan otoritas manusia. Tapi hukum yang dibuat oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan juga mengandung persoalan legitimasi serupa. Dalam agama Islam, Tuhan adalah satu-satunya pemegang kedaulatan dan sumber hukum tertinggi. Jadi, bagaimana konsep demokrasi tentang otoritas rakyat dapat diserasikan dengan ajaran Islam tentang otoritas Tuhan?</div><div class="MsoBodyTextIndent">Menjawab pertanyaan ini sangat penting sekaligus luar biasa beratnya, baik dari sisi politis maupun dari sisi konsep. Dari sisi politis, sejak awal kita harus tegaskan bahwa demokrasi menghadapi sejumlah kendala praktis di negara-negara Islam–berbagai tradisi politik otoriter, sejarah imperialisme dan kolonialisme, dan dominasi negara terhadap aktivitas ekonomi dan kehidupan masyarakat. Kita juga perlu mengemukakan persoalan filosofis dan doktrinal, dan saya mengusulkan agar kita berkonsentrasi pada persoalan tersebut untuk memulai diskusi kita tentang kemungkinan penerapan demokrasi di dunia Islam.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Sebuah persoalan konseptual yang paling penting adalah bahwa demokrasi modern telah berkembang selama berabad-abad dalam konteks dunia Eropa Kristen pasca Reformasi yang sangat unik. Apakah masuk akal bila kita mencari titik temu pada sebuah konteks yang sangat jauh berbeda? &&& Jawaban saya dimulai dari premis bahwa demokrasi dan Islam didefinisikan berdasarkan nilai-nilai moral utama yang mendasarinya, serta komitmen para pelakunya–bukan berdasarkan cara penerapan nilai-nilai dan komitmen tersebut. Jika kita berkonsentrasi pada nilai-nilai moral yang mendasar itu, saya yakin, kita akan menyaksikan bahwa tradisi pemikiran politik Islam memuat kemungkinan-kemungkinan interpretatif maupun praktis yang dapat dikembangkan ke dalam sebuah sistem demokrasi. Jelasnya, kemungkinan-kemungkinan doktrinal ini bisa saja tidak terwujud: tanpa kekuatan kehendak, visi yang tercerahkan, dan komitmen moral, tidak akan terwujud sebuah demokrasi dalam Islam. Tapi, orang-orang Islam, yang menjadikan Islam sebagai kerangka rujukan yang otoritatif, akhirnya bisa meyakini bahwa demokrasi adalah sebuah kebaikan etis, dan bahwa upaya mengejar kebaikan tersebut tidak berarti harus meninggalkan Islam.</div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><b><span style="font-size: 13pt;">Demokrasi dan Kedaulatan Tuhan<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;">Meskipun para ahli hukum Muslim telah memperdebatkan berbagai sistem politik, Alquran sendiri tidak menjelaskan secara spesifik bentuk pemerintahan tertentu. Tapi Alquran jelas-jelas menyebutkan seperangkat nilai sosial dan politis yang penting bagi sebuah pemerintahan Islam. Tiga nilai Qurani berikut ini memiliki signifikansi khusus: mencapai keadilan melalui kerja sama sosial dan prinsip saling membantu (Q.S. 49:13, 11:119); membangun sebuah sistem pemerintahan konsultatif yang tidak otokratis; dan melembagakan kasih sayang dalam interaksi sosial (Q.S. 6:12, 54; 21:77; 27:77; 45:20). Jadi, orang-orang Islam dewasa ini harus menyokong sebuah bentuk pemerintahan yang paling efektif untuk membantu mereka mewujudkan nilai-nilai tersebut.</div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><span style="font-size: 13pt;">Kasus demokrasi<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Beberapa pertimbangan mengungkapkan bahwa demokrasi–terutama demokrasi konstitusional yang melindungi hak-hak individu yang paling mendasar–adalah bentuk pemerintahan yang dimaksud. Argumentasi saya (argumentasi lainnya akan disebutkan kemudian) adalah bahwa demokrasi–dengan memberikan hak yang sama kepada semua orang untuk berekspresi, berkumpul, dan menggunakan hak pilih–menawarkan peluang yang paling besar untuk menjunjung keadilan dan melindungi martabat manusia, tanpa menjadikan Tuhan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas ketidakadilan yang diderita manusia, atau atas penghinaan terhadap manusia oleh manusia lainnya. Gagasan mendasar dalam Alquran adalah bahwa Tuhan telah menanamkan ke dalam diri manusia sifat-sifat ilahi dengan menjadikan semua manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi: <i>“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’”</i> (Q.S. 2:30). Secara khusus, manusia memiliki tanggung jawab, sebagai wakil Tuhan di bumi, untuk memenuhi dunia dengan keadilan. Dengan memberikan hak-hak politik yang sama terhadap semua orang yang sudah dewasa, demokrasi mengekspresikan kedudukan khusus manusia di antara seluruh makhluk ciptaan Tuhan, dan memungkinkan manusia melepas tanggung jawab tersebut. discharge</div><div class="MsoBodyTextIndent">Tentu saja, khalifah Tuhan tidak memiliki kesempurnaan penilaian dan kehendak seperti yang dimiliki Tuhan. Jadi, sebuah demokrasi konstitusional mengakui dan mengantisipasi kesalahan dalam pengambilan keputusan akibat berbagai godaan dan keburukan yang terkait dengan kesalahan alami manusia dengan cara memancangkan standar-standar moral unggulan dalam sebuah dokumen konstitusi–berbagai standar moral yang mengekspresikan martabat manusia. Jelasnya, demokrasi memang tidak menjamin terlaksananya keadilan hakiki. Tapi ia dengan sungguh-sungguh membangun sebuah landasan untuk menegakkan keadilan dan memenuhi tanggung jawab paling utama yang diamanatkan Tuhan kepada semua individu.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Tentu saja, dalam sebuah demokrasi representatif, beberapa individu tertentu memiliki otoritas yang lebih besar dari pada individu lainnya. Tapi sebuah sistem demokrasi menjadikan otoritas tersebut sebagai bentuk tanggung jawab terhadap semua orang dan dengan demikian menentang kecenderungan kebal hukum dari orang-orang yang berkuasa. Persyaratan tentang pertanggungjawaban ini selaras dengan perintah untuk menegakkan keadilan yang diajarkan Islam. Jika sebuah sistem politik tidak memiliki mekanisme institusional untuk meminta pertanggungjawaban dari seorang penguasa yang tidak adil, maka sistem itu sendiri dipandang sebagai sistem yang tidak adil, tanpa memandang apakah ketidakadilan tengah berlangsung atau tidak. Jika sebuah hukum kriminal tidak memberikan hukuman terhadap tindak pemerkosaan, maka hukum itu dipandang tidak adil, tidak peduli apakah tindak kejahatan itu terjadi atau tidak. Karena kebaikan moral yang ada pada demokrasi itulah, yaitu adanya lembaga pemilihan suara, pemisahan dan pembagian kekuasaan, dan jaminan terhadap pluralisme, demokrasi setidaknya menawarkan kemungkinan untuk melakukan perbaikan. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Kita memiliki sebuah kasus uji coba demokrasi yang dibangun atas dasar gagasan Islam tentang kedudukan khusus manusia di antara makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Dikatakan uji coba karena kita belum pernah mengkaji tantangan serius dari kasus tersebut: bagaimana hukum Syariat, yang dibangun atas dasar kedaulatan Tuhan, bisa didamaikan dengan gagasan demokrasi bahwa manusia, sebagai pemegang kedaulatan, dengan bebas dapat mengabaikan hukum Syariat?</div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><span style="font-size: 13pt;">Tuhan sebagai pemegang kedaulatan<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Pada awal sejarah Islam, persoalan tentang kekuasaan politik Tuhan (<i>hakimiyyat Allah</i>) mulai dimunculkan oleh kelompok yang dikenal dengan sebutan Haruriyya (belakangan dikenal sebagai kelompok Khawarij) ketika mereka memberontak terhadap Khalifah keempat, ‘Ali ibn Abi Thalib. Sebelumnya mereka adalah pendukung ‘Ali, namun kemudian berbalik menjadi penentangnya, ketika ‘Ali setuju dengan proses arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan politik dengan kelompok politik saingannya yang dipimpin oleh Mu‘awiyah.</div><div class="MsoBodyTextIndent">‘Ali sendiri setuju untuk melakukan arbitrase dengan syarat bahwa para arbitrator terikat dengan Alquran, dan menjadikan syariat sebagai bahan pertimbangan tertinggi. Namun, kelompok Khawarij–yang terdiri dari orang-orang yang saleh, puritan dan fanatik–yakin bahwa hukum Tuhan jelas berpihak pada ‘Ali. Jadi mereka menentang proses arbitrase sebagai hal yang jelas-jelas tidak sah dan merupakan bentuk penentangan terhadap kedaulatan Tuhan. Menurut kelompok Khawarij, tindakan ‘Ali menunjukkan bahwa ia telah mengabaikan kedaulatan Tuhan dengan menyerahkan pembuatan keputusan kepada manusia. Mereka memandang ‘Ali telah mengkhianati Tuhan, dan setelah upaya untuk mencari penyelesaian secara damai gagal dilakukan, mereka membunuh ‘Ali. Setelah kematian ‘Ali, Mu‘awiyah mengambil alih kekuasaan dan mengangkat dirinya sebagai khalifah dinasti Umayyah yang pertama. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Anekdot-anekdot tentang perdebatan antara ‘Ali dengan kelompok Khawarij mencerminkan sebuah ketegangan yang sangat jelas tentang makna legalitas dan dampaknya terhadap aturan hukum. Dalam sebuah anekdot dilaporkan bahwa anggota kelompok Khawarij menuduh ‘Ali telah menerima keputusan dan kekuasaan (<i>hakimiyah</i>) manusia, bukannya tunduk pada hukum Tuhan. Setelah mendengar tuduhan itu, ‘Ali memanggil orang-orang agar berkumpul di sekelilingnya dan membawa sebuah mushaf Alquran. ‘Ali kemudian menyentuh mushaf itu dan menyuruhnya agar berbicara kepada manusia dan menginformasikan kepada mereka tentang hukum Tuhan. Karena terkejut, orang-orang yang mengelilingi ‘Ali itu kemudian berkata, “Apa yang kamu lakukan? Alquran tidak bisa bicara, karena ia bukan manusia!” Lalu ‘Ali mengatakan bahwa itulah yang ia maksudkan. ‘Ali menjelaskan bahwa Alquran tidak lain adalah kertas dan tinta, dan ia sendiri tidak bisa berbicara. Hanya manusia yang memberinya daya sesuai dengan keputusan dan pendapat mereka yang terbatas itu.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn1" name="_ednref1" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[1]</span></span></span></a></div><div class="MsoBodyTextIndent">Kisah-kisah semacam itu merupakan tema yang mengandung beragam penafsiran, tapi yang terpenting adalah bahwa kisah yang satu ini menunjukkan kedangkalan dogmatis dari pengakuan tentang kedaulatan Tuhan yang berujung pada pengkudusan terhadap penetapan manusia. Slogan kelompok Khawarij bahwa “kekuasaan hanyalah milik Allah,” atau “keputusan hanya dari Alquran” (<i>la hukma illa lillah</i> atau <i>al-hukm lil Qur’an</i>) hampir mirip dengan slogan yang dikumandangkan oleh kelompok fundamentalis dewasa ini.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn2" name="_ednref2" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[2]</span></span></span></a> Tapi, dengan mempertimbangkan konteks historisnya, slogan kaum Khawarij itu pada awalnya merupakan simbol tentang legalitas dan supremasi hukum yang kemudian dibelokkan menjadi sebuah tuntutan radikal untuk menarik garis pembatas yang tegas antara yang sah (benar) dan yang tidak sah (batil).</div><div class="MsoBodyTextIndent">Bagi orang-orang yang beriman, Tuhan adalah Maha Kuasa dan Pemilik langit dan bumi. Tapi ketika berbicara tentang hukum dalam sebuah sistem politik, argumentasi-argumentasi yang mengklaim bahwa Tuhan merupakan satu-satunya pembentuk hukum menghasilkan dampak serius yang tidak bisa dipertahankan dari sudut pandang teologi Islam. Argumentasi semacam itu mengandaikan bahwa (beberapa) agen manusia memiliki akses yang sempurna terhadap kehendak Tuhan, dan bahwa manusia dapat menjadi pelaksana sempurna dari kehendak Tuhan tanpa sedikitpun menyertakan keputusan dan kecenderungan mereka dalam proses tersebut.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Lebih jauh lagi, klaim tentang kedaulatan Tuhan mengasumsikan bahwa pemegang kekuasaan legislatif dari Tuhan akan berusaha mengatur semua bentuk interaksi manusia, bahwa Syariat merupakan aturan moral yang lengkap yang menyediakan aturan tentang semua peristiwa. Tuhan sendiri tidak berusaha mengatur seluruh kehidupan manusia, tapi justru memberikan manusia kebebasan yang sangat luas untuk mengatur urusan mereka sendiri selama mereka tetap mengikuti standar perilaku yang bermoral, termasuk di dalamnya segala bentuk upaya untuk melestarikan dan menjunjung tinggi martabat dan kesejahteraan manusia. Dalam diskurus Alquran, Tuhan memerintahkan semua ciptaan-Nya untuk menghormati manusia karena kecerdasan akalnya–sebagai cerminan keagungan Tuhan. Secara argumentatif bisa dikatakan bahwa kenyataan bahwa Tuhan telah menghormati akal manusia dan memandang manusia sebagai simbol ketuhanan sudah cukup memadai untuk memberikan pembenaran terhadap komitmen moral untuk melindungi dan melestarikan integritas dan martabat dari simbol ketuhanan itu (manusia). Tapi–dan inilah yang dimaksudkan ‘Ali–kedaulatan Tuhan tidak serta merta membebaskan manusia dari tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Ketika manusia mencari jalan untuk mendekati keindahan dan keadilan Tuhan, maka ia tidak dipandang telah menolak kedaulatan Tuhan; ia justru sedang mengagungkannya. Begitu pula halnya ketika manusia berusaha menjaga nilai-nilai moral yang mencerminkan sifat-sifat Tuhan. Jika kita katakan bahwa satu-satunya sumber hukum yang sah adalah teks kitab suci dan bahwa pengalaman dan kecerdasan manusia tidak memadai untuk mengetahui kehendak Tuhan, maka konsep tentang kedaulatan Tuhan akan selalu menjadi alat bagi sistem otoritarianisme dan hambatan bagi demokrasi. Dan sudut pandang otoriter tersebut justru merendahkan kedaulatan Tuhan.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Saya akan mengembangkan argumentasi itu lebih jauh lagi pada halaman selanjutnya, tapi untuk membuat persoalan tersebut lebih menarik dan mudah diikuti, saya pertama-tama perlu mambangun sebuah landasan yang lebih luas bagi doktrin politik dan hukum Islam.</div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><b><span style="font-size: 13pt;">Pemerintahan dan Hukum<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Jika, seperti yang diyakini oleh kaum fundamentalis Muslim dan para orientalis Barat, kekuasaan dan kedaulatan Tuhan berarti bahwa Tuhan merupakan satu-satunya pembuat hukum, maka konsekuensinya adalah bahwa seorang khalifah atau penguasa Muslim harus diperlakukan sebagai agen atau wakil Tuhan. Jika Tuhan adalah satu-satunya pemegang kedaulatan dalam sebuah sistem politik, maka seorang penguasa harus diangkat berdasarkan kedaulatan Tuhan, mengabdi untuk kepentingan-Nya, dan menjalankan kehendak-Nya. Namun, seperti halnya makna dan implikasi dari kedaulatan Tuhan yang telah menjadi tema perdebatan serius, kekuasaan seorang penguasa dan peran hukum dalam membatasi kekuasaan tersebut juga telah menjadi perdebatan yang tidak kalah seru pada masa pra-modern Islam. Beberapa alur argumentasi dalam perdebatan tersebut senada dengan gagasan-gagasan demokrasi modern. </div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><span style="font-size: 13pt;">Penguasa dan rakyat<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Telah menjadi pendapat yang mapan, setidaknya dalam lingkungan Islam Sunni, bahwa nabi meninggal tanpa menunjuk penggantinya untuk memimpin masyarakat Muslim yang baru lahir. Nabi sengaja membiarkan masyarakat Muslim memilih sendiri pemimpin mereka. Sebuah pernyataan yang dinisbatkan kepada Khalifah Abu Bakr menyebutkan, “Tuhan telah membiarkan manusia mengatur sendiri urusannya sehingga mereka bisa memilih seorang pemimpin yang akan melayani kepentingan mereka.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn3" name="_ednref3" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[3]</span></span></span></a></div><div class="MsoBodyTextIndent">Kata <i>khalifa</i>, gelar bagi seorang penguasa Muslim, secara harfiah berarti penerus atau wakil. Pada masa paling awal, orang-orang Islam memperdebatkan apakah layak jika seorang pemimpin Muslim diberi gelar dengan <i>khalifat Allah</i> (wakil Tuhan), tapi kebanyakan ulama lebih suka menyebutnya dengan <i>khalifat Rasul Allah</i> (penerus nabi). Namun, seorang khalifah–apakah disebut penerus nabi atau wakil Tuhan–tidak memiliki otoritas seperti nabi yang kekuasaannya untuk membuat hukum, memperoleh wahyu, memberikan ampunan dan hukuman tidak dapat dialihkan kepada siapapun. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana otoritas kenabian bisa dimiliki oleh seorang khalifah? Dan kepada siapa ia bertanggung jawab?</div><div class="MsoBodyTextIndent">Jika kewajiban utama seorang khalifah adalah melaksanakan hukum Tuhan, maka secara argumentatif bisa dikatakan bahwa ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Selama tindakan seorang khalifah berlandaskan penafsiran yang logis terhadap perintah Tuhan, maka penafsiran semacam itu harus diterima dan ia dipandang telah melaksanakan tugasnya terhadap rakyat. Hanya Tuhan yang dapat menilai niat seorang khalifah, dan–menurut argumentasi kebanyakan kelompok Sunni–seorang penguasa tidak bisa dicabut kekuasaannya kecuali jika ia melakukan pelanggaran serius dan terang-terangan terhadap Tuhan (yaitu, dosa besar).</div><div class="MsoBodyTextIndent">Namun, para ahli hukum Muslim tidak sepenuhnya mempertegas hubungan antara penguasa dan rakyat. Dalam teori hukum Sunni, kekhalifahan harus didasarkan pada sebuah perjanjian (<i>‘aqd</i>) antara seorang khalifah dengan <i>ahl al-hall wa al-‘aqd</i> (orang yang memiliki kekuatan dalam menetapkan perjanjian) yang memberikan <i>bay‘a</i> (sumpah setia dan restu kepada seorang khalifah): seorang khalifah berhak memperoleh <i>bay‘a</i> itu sebagai imbalan atas janjinya untuk melaksanakan diktum perjanjian itu. Diktum perjanjian tersebut tidak didiskusikan secara panjang lebar dalam sumber-sumber Islam. Biasanya, para ahli hukum akan memasukkan diktum berupa kewajiban untuk menerapkan hukum Tuhan dan melindungi umat Islam dan wilayah Islam; sebagai imbalannya seorang penguasa dijanjikan akan memperoleh dukungan dan ketaatan rakyat. Diasumsikan bahwa hukum Syariat menentukan diktum perjanjian.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Siapakah pihak yang memiliki kekuasaan untuk memilih dan menurunkan seorang penguasa? Seorang ulama Mu‘tazilah,<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn4" name="_ednref4" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[4]</span></span></span></a> Abu Bakr al-Asam (w. 200/816) berargumen bahwa masyarakat secara umum merupakan pemegang kekuasaan tersebut: harus ada sebuah konsensus umum mengenai siapa yang akan ditunjuk menjadi penguasa, dan setiap orang harus memberikan persetujuannya secara perorangan.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn5" name="_ednref5" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[5]</span></span></span></a> Mayoritas ahli hukum Islam berargumen dengan cara yang lebih pragmatis bahwa <i>ahl al-hall wa al-‘aqd</i> adalah mereka yang memiliki <i>syawka</i> (kekuasaan atau kekuatan) yang diperlukan untuk menjamin ketaatan atau persetujuan rakyat.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Gagasan tentang konsensus rakyat, meskipun bernuansa demokratis, tidak mesti disejajarkan dengan konsep tentang kekuasaan atau pemerintahan yang didelegasikan oleh rakyat. Konsensus dalam diskursus Muslim pra-modern tampaknya mirip dengan bentuk kesepakatan aklamasi. Yang melatarbelakangi diskusi ini adalah terdapatnya sejumlah ketidakpercayaan terhadap masyarakat jelata/masyarakat awam (<i>al-‘amma</i>): “Mereka [rakyat jelata] cenderung mudah terbawa arus, dan mereka mungkin akan lebih puas dengan memilih [penguasa] yang berkelakuan buruk dari pada memilih yang saleh …”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn6" name="_ednref6" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[6]</span></span></span></a> Pendapat semacam itu dianut luas oleh para ahli hukum Muslim, dan dengan mempertimbangkan konteks historis ketika mereka hidup–jauh sebelum muncul sistem demokrasi dan kemampuan baca tulis publik yang tinggi–pernyataan semacam itu tidak mengejutkan kita. Akibatnya, berbagai konsep yang digunakan dalam diskursus-diskursus politik menyiratkan gagasan tentang pemerintahan representatif, tapi tidak pernah sepenuhnya menyokong pemerintahan semacam itu. Paradigma dominan yang berkembang saat itu adalah bahwa baik penguasa ataupun rakyatnya adalah wakil Tuhan (<i>khulafa’ Allah</i>) untuk melaksanakan hukum-hukum-Nya.</div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><span style="font-size: 13pt;">Kaidah hukum<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Seperti yang dicatat sebelumnya, karakteristik utama sebuah pemerintahan Islam yang sah adalah bahwa ia tunduk pada dan dibatasi oleh hukum Syariat. Meskipun konsep ini memang memberikan dukungan bagi tegaknya kaidah hukum, kita harus membedakan antara supremasi hukum dengan supremasi seperangkat aturan hukum. Kedua istilah itu agak berbeda, dan keduanya sama-sama dibahas dalam tradisi hukum Islam. Beberapa pemikiran politik terdiri dari berbagai kemungkinan interpretasi. Dan lagi-lagi, beberapa dari kemungkinan interpretasi itu memiliki keterkaitan yang lebih besar dengan prinsip-prinsip demokrasi. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Ketika menegaskan supremasi Syariat, para sarjana Muslim biasanya berargumen bahwa perintah positif Syariat, seperti hukuman terhadap pelaku perzinaan atau peminum minuman keras, harus dipedomani oleh pemerintah. Tapi pemerintah yang menyatakan keinginannya untuk mengikuti semua ketentuan positif dalam Syariat mungkin akan memanipulasi ketentuan tersebut untuk mencapai tujuan yang mereka kehendaki. Dengan mengatasnamakan pemeliharaan ketertiban umum, pemerintah dapat mengeluarkan hukum yang sewenang-wenang untuk melarang berbagai bentuk pertemuan umum; dengan mengatasnamakan perlindungan terhadap ortodoksi, pemerintah dapat mengeluarkan hukum yang sewenang-wenang untuk mengekang kreatifitas; dengan mengatasnamakan perlindungan terhadap individu dari fitnah, pemerintah dapat menekan berbagai kritik bernuansa politis dan sosial; dan pemerintah dapat memenjarakan atau menghukum mati lawan-lawan politiknya atas dasar klaim bahwa mereka telah menebar fitnah (perselisihan dan pergolakan sosial). Secara argumentatif bisa dikatakan bahwa semua jenis tindakan pemerintah seperti tersebut di atas merupakan bentuk ketundukan terhadap Syariat kecuali jika ada petunjuk yang jelas tentang batasan terhadap kewenangan pemerintah untuk melaksanakan dan menyokong hukum Syariat sekalipun. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Namun, penegakan kaidah hukum tidak mesti berarti bahwa pemerintah terikat dengan kitab hukum yang memuat aturan-aturan khusus. Ia justru dapat ditafsirkan sebagai perintah agar pemerintah mengikatkan diri dengan proses pembuatan dan penafsiran hukum, dan bahkan tuntutan yang lebih penting lagi adalah bahwa proses itu sendiri harus terikat dengan komitmen moral–terutama terhadap martabat dan kebebasan manusia.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Kita menemukan bukti tentang konsep alternatif seputar kaidah hukum dalam literatur hukum pra-modern. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum telah mendiskusikan batasan kekuasaan negara dalam membuat hukum, yang di antara dibicarakan dalam kerangka konsep kepentingan publik (<i>al-masalih al-mursalah</i>) dan penutupan pintu keburukan (<i>sadd al-dzari‘ah</i>). Kedua konsep yurisprudensi itu memungkinkan negara memperluas kekuasaannya dalam membuat hukum untuk menyuruh pada kebaikan dan mencegah keburukan. Misalnya, berdasarkan prinsip menutup pintu keburukan, pembuat hukum dapat mengklaim bahwa perilaku yang sah secara hukum harus dipandang tidak sah jika ia dapat menyebabkan terbukanya pintu bagi terjadinya tindakan yang melanggar hukum. Pada dasarnya, kedua konsep tersebut di atas menjadikan hukum semakin luwes dan adaptif. Tentu saja, kedua konsep itu dapat digunakan untuk memperluas hukum, bukan saja untuk melayani kepentingan umum, tapi juga untuk mempersempit otonomi individu. Secara khusus, konsep tentang menutup pintu keburukan, yang didasarkan pada gagasan tentang tindakan pencegahan dan kehati-hatian (<i>al-ihtiyat</i>), dapat dieksplorasi lebih lanjut untuk memperluas kekuasaan negara dengan mengatasnamakan perlindungan terhadap Syariat. Jenis dinamika semacam ini dapat dihindari di antaranya dengan menerapkan jaminan prosedural, tapi yang lebih penting lagi adalah dengan memahami bahwa aturan hukum merupakan sebuah jaminan terhadap martabat dan kebebasan manusia, yang bisa digunakan untuk memberikan pembenaran terhadap Syariat, bukan untuk mengabaikannya.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Dimensi penting yang terkait dengan tantangan terhadap pembentukan kaidah hukum adalah hubungan yang kompleks antara Syariat, yang dijabarkan oleh para ahli hukum, dengan praktik administratif negara atau politik hukum (<i>al-ahkam al-siyasiyyah</i>). Jika pada dua abad pertama Islam kita mungkin melihat banyak ahli hukum yang menjadikan praktik-praktik negara sebagai contoh normatif, dengan berlalunya waktu fenomena semacam itu semakin jarang terlihat. Pada abad ke-4/10 para ahli hukum Muslim telah mengklaim diri mereka sebagai satu-satunya otoritas yang sah untuk menguraikan hukum Tuhan. Praktik negara tetap dipandang sah, tapi hanya para ahli hukum Muslim itulah yang boleh menetapkan hukum. Negara hanya berfungsi melaksanakan hukum-hukum Tuhan, bukan menentukan materinya. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Sebagai pelaksana hukum Tuhan, negara diberi mandat yang luas untuk mengeluarkan kebijakan tentang persoalan yang menyangkut kepentingan publik (yang dikenal dengan <i>al-siyasah al-syar‘iyyah</i>). Aturan-aturan yang dibuat negara bisa dipandang sah dan harus ditegakkan selama aturan-aturan tersebut tidak bertolak belakang dengan hukum Tuhan, seperti yang dipaparkan oleh para ahli hukum, atau tidak menyalahgunakan kebijakan (<i>al-ta‘assuf fi masa’il al-khiyar</i>). Untuk itulah karya-karya yurisprudensi telah merekam secara mendetil ketetapan-ketetapan para ahli hukum, tapi tidak banyak merekam aturan-aturan negara, yang didokumentasikan oleh para pejabat negara dalam tulisan-tulisan tentang praktik administrasi negara. Dalam adagium hukum para ahli hukum Muslim, Syariat dipandang sebagai pilar hukum, dan politik adalah penjaganya. (<st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Islam juga sering menegaskan bahwa agama adalah pilar sebuah bangunan dan otoritas politik adalah penjaganya.) Namun, paradigma ini menyisakan persoalan penting tentang batasan kekuasaan pemerintah, yaitu sejauh mana pemerintah dapat memperluas jangkauan hukum-hukumnya dalam kerangka perlindungan terhadap terlaksananya tujuan Syariat?</div><div class="MsoBodyTextIndent">Perhatian terhadap cakupan kekuasaan pemerintah dalam kerangka Syariat memiliki landasan dalam sejarah Islam sehingga, berdasarkan standar dunia modern, persoalan tersebut tidak sepenuhnya baru. Namun, persoalan semacam itu hampir-hampir tidak ditemukan dalam tulisan para Islamis kontemporer. Hingga belakangan ini, para islamis di Iran, Arab Saudi, atau Pakistan melimpahkan kekuasaan legislatif kepada negara, bukan kepada hukum Tuhan. Misalnya, klaim tentang penutupan pintu keburukan kini diterapkan di Arab Saudi untuk memberikan pembenaran terhadap serangkaian hukum yang membatasi gerak perempuan, termasuk larangan mengendarai mobil bagi perempuan. Kasus tersebut merupakan bentuk kreasi yang relatif baru dalam praktik negara Islam, dan dalam berbagai kasus hal semacam itu berpuncak pada penggunaan Syariat untuk melecehkan Syariat.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Secara tradisional, para ahli hukum Islam bersikukuh bahwa para penguasa harus berkonsultasi dengan para ahli hukum tentang semua hal yang terkait dengan persoalan hukum, tapi para ahli hukum itu sendiri tidak pernah menuntut hak untuk menguasai jalannya pemerintahan Islam secara langsung. Pada kenyataannya, hingga masa-masa belakangan ini, para ahli hukum Sunni maupun Syi‘ah tidak pernah memegang kekuasaan politik secara langsung.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn7" name="_ednref7" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[7]</span></span></span></a> Sepanjang sejarah Islam, para ahli hukum (<i>‘ulama</i>) telah menjalankan fungsi ekonomi, politik dan administrasi, tapi yang paling penting adalah peran mereka sebagai penengah antara kelas penguasa dan rakyat jelata. Seperti yang dikemukakan oleh Afaf Marsot: “[‘Ulama] adalah pelayan Islam, penjaga tradisi, pemegang ilmu leluhur, dan penganjur moral bagi masyarakat luas.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn8" name="_ednref8" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[8]</span></span></span></a> Selain memberikan legitimasi terhadap para penguasa, para ahli hukum juga menggunakan pengaruh mereka untuk menjegal kebijakan-kebijakan yang tidak adil dan seringkali memimpin atau memberikan legitimasi terhadap pemberontakan melawan kelas penguasa. Namun, modernitas telah merubah para ulama dari statusnya sebagai “juru bicara publik yang lantang” menjadi pejabat negara yang digaji yang hanya berperan sebagai pemberi legitimasi bagi rezim penguasa di dunia Islam.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn9" name="_ednref9" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[9]</span></span></span></a> Tumbangnya peran ulama dan pemihakan mereka terhadap negara sekuler modern, dengan berbagai praktik sekulernya, telah membuka pintu bagi negara untuk menjadi pembuat dan pelaksana hukum Tuhan; dengan begitu, negara memiliki kekuasaan yang amat besar dan pada gilirannya semakin menyuburkan praktik-praktik otoriter di berbagai negara Islam. </div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><span style="font-size: 13pt;">Pemerintahan konsultatif<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Alquran menyuruh Nabi untuk berkonsultasi secara berkala dengan orang-orang Islam tentang semua persoalan penting, dan menegaskan bahwa sebuah masyarakat yang menjalankan urusannya melalui proses musyawarah merupakan masyarakat terpuji di mata Tuhan (Q.S. 3:159; 42:38). Banyak laporan-laporan sejarah yang menyebutkan bahwa Nabi berkonsultasi secara berkala dengan para sahabatnya menyangkut persoalan-persoalan negara. Di samping itu, tidak lama setelah Nabi wafat, konsep <i>syura</i> (musyawarah) menjadi sebuah simbol yang menandai pentingnya politik dan legitimasi partisipatif. Kegagalan untuk menegakkan atau mengamalkan <i>syura</i> menjadi tema umum yang dikumandangkan dalam kisah-kisah penindasan dan pemberontakan. Misalnya, diriwayatkan bahwa sepupu Nabi, ‘Ali, mengritik Umar ibn al-Khattab, khalifah kedua, dan Abu Bakar, khalifah pertama, karena keduanya tidak menghormati lembaga <i>syura</i> dalam kasus pencalonan Abu Bakar sebagai khalifah yang tidak menyertakan keluarga Nabi.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn10" name="_ednref10" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[10]</span></span></span></a> Dan para penentang ‘Utsman ibn ‘Affan (memerintah dari tahun 23-35/644-656), khalifah ketiga, menuduhnya telah menghancurkan lembaga <i>syura</i> dengan berbagai kebijakannya yang disinyalir bernuansa nepotisme dan otoriter. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Meskipun pengertian <i>syura</i> dalam kisah-kisah sejarah itu tidak begitu jelas, konsep tentang <i>syura</i> jelas tidak merujuk semata pada tindakan penguasa untuk meminta pendapat dari tokoh-tokoh masyarakat; lebih luas lagi, ia menandai pentingnya perlawanan terhadap bentuk kelaliman, pemerintahan yang otoriter, atau penindasan. Hal ini selaras dengan penentangan hukum terhadap kelaliman (<i>al-istibdad</i>) dan pemerintahan yang didasarkan pada hawa nafsu dan kesewenang-wenangan (<i>al-hukm bi’l hawa wa al-tasallut</i>). Bahkan meskipun para ahli hukum Muslim melarang pemberontakan terhadap penguasa tiran, mereka tetap mentolerir pemerintahan tirani sebagai keburukan yang diperlukan, bukan sebagai kebaikan yang diinginkan.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Setelah abad ke-3/9, konsep tentang <i>syura</i> mengambil bentuk kelembagaan yang konkrit dalam diskursus para ahli hukum Muslim. <i>Syura</i> menjadi sebuah forum formal untuk meminta pendapat para <i>ahl al-syura</i> (orang-orang yang diminta mengemukakan pendapat), yang menurut literatur hukum merupakan kelompok yang juga membentuk <i>ahl al-‘aqd </i>(orang-orang yang memilih penguasa). <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Sunni memperdebatkan apakah hasil dari proses konsultasi itu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (<i>syrura mulzima</i>) atau tidak (<i>ghayra mulzima</i>). Jika <i>syura</i> dipandang mengikat, maka seorang penguasa harus mengikuti penetapan para <i>ahl al-syura</i>. Namun, kebanyakan ahli hukum menyimpulkan bahwa penetapan para <i>ahl al-syura</i> semata merupakan nasihat dan tidak mengikat. Tapi, banyak ahli hukum yang menegaskan bahwa setelah melakukan konsultasi, seorang penguasa harus mengikuti pendapat yang paling selaras dengan Alquran, sunnah, dan konsensus para ahli hukum. Al-Ghazali merujuk pada konsensus umum ketika ia mengatakan bahwa: “Pengambilan keputusan yang lalim dan tidak-konsultatif, meskipun dilakukan oleh orang yang bijak dan terpelajar, patut ditolak dan tidak bisa diterima.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn11" name="_ednref11" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[11]</span></span></span></a> </div><div class="MsoBodyTextIndent"><st1:place w:st="on">Para</st1:place> reformis modern menggunakan gagasan tentang pemerintahan konsultatif sebagai bahan argumentasi untuk memperlihatkan kesesuaian yang mendasar antara Islam dan demokrasi. Namun sekalipun jika etika <i>syura</i> dikembangkan menjadi sebuah konsep yang lebih luas tentang pemerintahan partisipatif, persoalan tentang dominasi mayoritas memperlihatkan bahwa komitmen moral yang melandasi proses pembuatan hukum sama pentingnya dengan proses itu sendiri. Jadi, sekalipun jika <i>syura</i> diubah menjadi sebuah lembaga representasi partisipatif, ia sendiri harus dibatasi oleh sebuah skema hak pribadi dan individual yang berperan sebagai tujuan moral tertinggi, seperti keadilan. Dengan kata lain, <i>syura</i> harus dinilai bukan atas dasar apa yang dihasilkan, tapi atas dasar nilai moral yang diwakilinya. Oleh karena itu, apapun nilai dari berbagai pandangan yang berlawanan, perbedaan pendapat tetap ditolerir karena hal tersebut dipandang sebagai bagian penting dari penegakan keadilan. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Tradisi Islam dalam pemikiran politik hukum menggambarkan gagasan tentang representasi, konsultasi dan proses hukum. Tapi kandungan utama dari gagasan-gagasan tersebut masih diperdebatkan dan tidak menggambarkan hubungan langsung antara Islam dan demokrasi. Untuk memahami kemungkinan tentang Islam yang demokratis, kita harus melihat lebih dalam lagi tentang peran manusia di tengah-tengah ciptaan Tuhan lainnya, dan posisi penting keadilan dalam kehidupan manusia seperti yang ditegaskan dalam Alquran. </div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><span style="font-size: 13pt;">Keadilan dan Kasih Sayang<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Keadilan memainkan peranan yang penting dalam diskursus Alquran: ia merupakan kewajiban yang harus kita tunaikan kepada Tuhan, dan juga terhadap sesama manusia. Di samping itu, perintah menegakkan keadilan terkait dengan kewajiban untuk menyeru pada kebaikan dan melarang kejahatan, dan juga terkait dengan keharusan bersaksi atas nama Tuhan. Meskipun Alquran tidak menentukan unsur-unsur pembentuk keadilan, ia menekankan kemampuan manusia untuk mencapai keadilan sebagai sebuah bentuk tuntutan yang sangat unik–sebuah kewajiban yang dibebankan kepada kita semua dalam kapasitas kita sebagai khalifah Tuhan. Pada hakikatnya, Alquran menuntut sebuah komitmen terhadap tuntutan moral yang bersifat samar tapi dapat dipahami melalui intuisi, akal dan pengalaman manusia. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Perdebatan Islam tentang bagaimana pemerintah menegakkan keadilan sangat mirip dengan diskursus Barat abad ke-17 tentang karakteristik alami, atau sifat dasar manusia. Sebuah pendapat–yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun dan Ghazali–menegaskan bahwa manusia secara alamiah bersifat mudah marah, cenderung berselisih, dan tidak suka bekerja sama. Jadi, pemerintahan dibutuhkan untuk memaksa manusia bekerja sama, meskipun hal itu bertentangan dengan sifat alami mereka, dan untuk menjunjung keadilan dan kepentingan umum. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Mazhab pemikiran lainnya, misalnya al-Mawardi dan Ibn Abi al-‘Arabi, berargumen bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam kondisi yang lemah dan membutuhkan bantuan, sehingga mereka akan membangun sebuah kerja sama ketika terdesak; kerja sama itu akan membatasi ketidakadilan dengan cara membatasi kekuasaan yang kuat, dan melindungi hak yang lemah. Pendapat yang lain mengatakah bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain, sehingga mereka akan saling membutuhkan untuk mencapai tujuannya. Menurut pandangan mazhab ini, manusia pada dasarnya menghendaki keadilan dan cenderung bekerja sama untuk mencapainya. Sekalipun jika manusia mengeksploitasi anugerah Tuhan berupa kecerdasan dan tuntunan Tuhan berupa hukum-hukum-Nya, melalui kerja sama mereka bisa mencapai tingkat keadilan dan kepuasan moral yang lebih tinggi. Kemudian seorang penguasa diangkat ke tampuk kekuasaannya melalui sebuah kontrak dengan rakyatnya, yang atas dasar kontrak tersebut ia setuju untuk meningkatkan kerja sama yang telah terjalin dalam masyarakatnya dengan tujuan membangun sebuah masyarakat yang adil.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Ketika merenungkan tuntutan untuk menegakkan keadilan, kita perlu memperhatikan argumentasi hukum tentang keragaman dan kerja sama manusia. Alquran mengatakan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia berbeda-beda dan menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka dapat saling mengenal satu sama lain. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Muslim berargumen bahwa ungkapan “saling mengenal satu sama lain” menunjukkan perlunya kerja sama sosial dan tolong menolong untuk mencapai keadilan (Q.S. 49:13). Alquran juga mencatat bahwa manusia selalu memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya hingga akhir zaman. Ia juga menjelaskan bahwa realitas keberagaman manusia merupakan bagian dari kebijaksanaan Tuhan dan maksud penciptaan: <i>“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia mejadikan umat manusia yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat …”</i> (Q.S. 11:118).</div><div class="MsoBodyTextIndent">Penghargaan dan pengakuan Alquran tentang keberagaman manusia memadukan keberagaman tersebut ke dalam proses pencapaian keadilan yang dicita-citakan dan menciptakan berbagai kemungkinan komitmen yang beragam dalam Islam modern. Komitmen tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah etika yang menghargai perbedaan dan hak manusia untuk berbeda, termasuk hak untuk memeluk agama atau keyakinan non-agama yang berbeda. Pada tataran politis, hal tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah keyakinan normatif yang memandang keadilan dan keberagaman sebagai nilai keadilan yang paling asasi yang harus dilindungi oleh tatanan konsitusi yang demokratis. Lebih jauh lagi, ia dapat dikembangkan menjadi sebuah gagasan tentang kekuasaan mandataris, di mana seorang penguasa diberi amanat untuk menjaga nilai keadilan yang paling asasi dengan menjamin hak untuk berkumpul, bekerja sama dan berbeda pendapat. Lebih jauh lagi, gagasan tentang pembatasan dapat dikembangkan untuk menghalangi pemerintah agar tidak merusak upaya pencarian keadilan atau tidak mengekang hak rakyat untuk bekerja sama, atau berbeda pendapat, dalam rangka mencari keadilan itu. Penting untuk saya catat, jika pemerintah gagal melaksanakan kewajiban yang tertuang dalam kontrak, maka ia kehilangan legitimasi kekuasaannya.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Namun, sayangnya terdapat beberapa faktor yang membatasi terlaksananya kemungkinan-kemungkinan tersebut dalam Islam modern. Pada tataran teologis dan filosofis, unsur-unsur keadilan tidak diteliti secara cermat dalam doktrin Islam. Penjelasan tentang pembatasan itu terletak pada perbedaan mendasar dalam memahami karakteristik keadilan itu sendiri. Apakah hukum Tuhan membatasi keadilan, atau apakah keadilan membatasi hukum Tuhan? Jika kita mengambil pendapat pertama, maka apapun yang kita pahami sebagai hukum Tuhan, di sanalah terdapat keadilan. Tapi jika kita mengambil pendapat kedua, maka apapun yang dituntut oleh keadilan pada kenyataannya ia juga merupakan tuntutan Tuhan.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Jika kita dapat mengetahui apa yang dituntut oleh keadilan dengan cara menentukan hukum Tuhan, maka kita tidak perlu melakukan berbagai upaya untuk mengetahui tuntutan keadilan–apakah keadilan yang dimaksud bermakna kesetaraan kesempatan atau hasil, atau membangun otonomi individu, atau memaksimalkan kemanfaatan kolektif, atau melindungi kehormatan dasar manusia. Jika hukum Tuhan lebih didahulukan dari pada keadilan, maka masyarakat yang adil bukan lagi merupakan persoalan tentang hak berbicara dan berkumpul, atau hak untuk menggali berbagai sarana menuju keadilan, tapi semata tentang penerapan hukum Tuhan. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Seandainya kita menerima pentingnya keadilan dalam diskursus Alquran, gagasan tentang kekhalifahan manusia, dan gagasan bahwa tugas untuk menegakkan keadilan telah dibebankan kepada manusia secara umum, maka kesimpulan yang masuk akal adalah bahwa nilai keadilan harus mengendalikan dan memandu semua upaya penafsiran dan pemahaman hukum Tuhan. Hal ini menuntut adanya sebuah perubahan paradigma dalam pemikiran Islam. Menurut saya, keadilan merupakan perintah Tuhan, dan mewakili kedaulatan Tuhan. Tuhan menggambarkan diri-Nya sebagai Yang Maha Adil, dan Alquran menegaskan bahwa Tuhan telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang (Q.S. <st1:time hour="18" minute="12" w:st="on">6:12</st1:time>, 54). Lebih jauh lagi, maksud sebenarnya dari diturunkannya pesan Tuhan kepada Nabi Muhammad adalah sebagai bentuk pemberian kasih sayang Tuhan kepada seluruh manusia.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn12" name="_ednref12" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[12]</span></span></span></a></div><div class="MsoBodyTextIndent">Dalam diskursus Islam kasih sayang Tuhan bukan sekedar pengampunan, bukan juga kesediaan untuk mengabaikan kesalahan dan dosa manusia,<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn13" name="_ednref13" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[13]</span></span></span></a> tapi merupakan kondisi di mana seseorang mampu berbuat adil terhadap dirinya sendiri atau orang lain, dengan memberikan hak yang semestinya kepada setiap individu. Secara mendasar bisa dikatakan bahwa kasih sayang Tuhan terikat erat dengan sikap empati terhadap sesama–itulah sebabnya dalam Alquran, kasih sayang Tuhan disandingkan dengan perlunya manusia bersikap sabar dan toleran terhadap sesamanya.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn14" name="_ednref14" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[14]</span></span></span></a> Yang paling penting lagi adalah bahwa dalam diskursus Alquran, keberagaman dan perbedaan di antara sesama manusia merupakan bentuk rahmat Tuhan kepada seluruh manusia (Q.S. 11:119).<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn15" name="_ednref15" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[15]</span></span></span></a> Persepsi yang memungkinkan seseorang memahami, menghargai, dan memperkaya dirinya dengan keberagaman manusia merupakan salah satu unsur penting untuk membentuk masyarakat yang adil dan untuk mencapai keadilan. Tuntutan Tuhan kepada manusia secara umum dan kepada umat Islam secara khusus adalah, seperti yang dinyatakan dalam Alquran, “untuk mengenal satu sama lain,” dan memanfaatkan pengetahuan itu untuk mewujudkan keadilan. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Jadi, dari sudut pandang tersebut, mandat Tuhan bagi pemerintahan Islam adalah untuk mewujudkan keadilan dengan berlandaskan kasih sayang. Meskipun hidup bersama dalam kedamaian merupakan syarat utama untuk tumbuhnya kasih sayang, untuk mewujudkan pengenalan terhadap sesama dan untuk mencapai keadilan, manusia perlu bekerja sama mewujudkan kebaikan dan keindahan, dengan cara mengembangkan diskursus moral yang terencana. Menerapkan aturan-aturan hukum semata, sekalipun jika aturan-aturan semacam itu merupakan hasil dari penafsiran terhadap kitab suci, belum dipandang cukup untuk mewujudkan kasih sayang–kemampuan alami untuk memahami sesama–atau, terutama, keadilan.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Jadi, prinsip kasih sayang dan keadilan merupakan tuntutan utama Tuhan, dan kedaulatan Tuhan terletak pada kenyataan bahwa Tuhan adalah pemegang otoritas yang mendelegasikan kepada manusia tugas untuk mewujudkan keadilan di muka bumi dengan menjalankan nilai-nilai yang mendekati sifat-sifat ketuhanan.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn16" name="_ednref16" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[16]</span></span></span></a> Konsep tentang kedaulatan Tuhan ini tidak menggantikan peran manusia melalui tuntutan penegakan hukum Tuhan secara mekanis, tapi konsep tersebut justru menyalurkan peran manusia dan bahkan mengedepankan peran tersebut sejauh ia dapat memberikan sumbangsih terhadap terwujudnya keadilan. Penting untuk saya catat bahwa menurut diskursus hukum kita tidak mungkin mencapai keadilan kecuali jika setiap orang diberikan hak secara semestinya. Tantangan bagi manusia sebagai khalifah Tuhan adalah bagaimana ia mengakui bahwa ada sebuah hak, memahami siapa yang memiliki hak semacam itu, dan akhirnya memastikan bahwa pemiliknya telah menikmati haknya. Sebuah masyarakat yang gagal dalam melaksanakan tugas tersebut–tidak peduli berapa banyak aturan yang telah diterapkan–bukanlah masyarakat yang diliputi kasih sayang atau keadilan. Pembahasan ini membawa kita pada pembahasan seputar kemungkinan adanya hak individu dalam Islam. </div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><b><span style="font-size: 13pt;">Hak-Hak Individu<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Semua demokrasi konstitusional memberikan perlindungan terhadap kepentingan individu, seperti kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, kedudukan yang sama di depan hukum, hak untuk memiliki harta benda, dan jaminan proses hukum di pengadilan. Tapi hak mana saja yang harus dilindungi, dan sejauh mana perlindungan diberikan, merupakan wilayah bahasan berbagai jenis teori dan praktik. Di sini saya berasumsi bahwa apapun karakteristik hak itu, kepentingan individu harus diperlakukan sebagai hal yang tidak bisa diganggu gugat. Ia merupakan kepentingan yang jika dilanggar akan melukai rasa harga diri korban dan menghancurkan kemampuannya untuk memahami eksistensinya. Jadi, penggunaan penyiksaan dan larangan pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan, atau sarana pertahanan hidup lainnya, seperti pekerjaan, merupakan hal yang tidak bisa diterima.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Untuk memahami posisi kepentingan tersebut dalam Islam, perlu kita catat bahwa tujuan Syariat menurut teori hukum adalah mewujudkan kesejahteraan manusia (<i>tahqiq masalih al-‘ibad</i>). Secara khusus, para ahli hukum Islam membagi kesejahteraan manusia ke dalam tiga kategori: kesejahteraan primer (<i>daruriyyat</i>), kesejahteraan sekunder (<i>hajiyyat</i>) dan kesejahteraan tertier (<i>kamaliyyat </i>atau<i> tahsiniyyat</i>). Menurut para ahli hukum Muslim, hukum dan kebijakan pemerintah harus memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut, mengikuti urutan prioritasnya–pertama keserjahteraan primer, lalu sekunder dan terakhir tertier. Kesejahteraan primer dibagi lebih jauh ke dalam <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">lima</st1:place></st1:city> kepentingan utama–<i>al-daruriyyat al-khamsah</i>: agama, kehidupan, akal, keturunan atau kehormatan, dan harta benda. Tapi para ahli hukum Muslim tidak mengembangkan kelima nilai dasar tersebut ke dalam kategori yang lebih luas, dan kemudian menggali implikasi teoritis dari masing-masing nilai tersebut. Mereka menganalisa aturan hukum yang dipandang dapat melayani nilai-nilai tersebut dan menyimpulkan bahwa dengan menghimpun aturan-aturan spesifik tersebut, kelima nilai tersebut bisa terwujud. Jadi, misalnya, para ahli hukum Muslim berargumen bahwa larangan pembunuhan dalam hukum Islam bertujuan melindungi nilai dasar kehidupan, hukuman terhadap orang yang murtad bertujuan melindungi kepentingan agama, larangan terhadap minuman beralkohol bertujuan melindungi akal, larangan terhadap praktik pelacuran dan perzinaan bertujuan melindungi keturunan, dan hak untuk mendapat ganti rugi bertujuan melindungi harta benda. Namun, membatasi perlindungan akal hanya dengan menetapkan larangan terhadap minuman beralkohol, atau perlindungan terhadap kehidupan hanya dengan menetapkan larangan membunuh, tidak cukup memadai. Sayangnya, tradisi hukum tampaknya telah mereduksi kelima nilai tersebut ke dalam tujuan-tujuan yang bersifat teknis. Padahal, kelima nilai tersebut bisa berperan sebagai landasan bagi sebuah teori yang sistematis tentang hak individu di dunia modern.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn17" name="_ednref17" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[17]</span></span></span></a></div><div class="MsoBodyTextIndent">Yang pasti, tradisi hukum Islam mengungkapkan sejumlah besar pandangan yang mempelihatkan perlindungan terhadap individu. Misalnya, para ahli hukum Muslim telah mengembangkan gagasan tentang praduga tak bersalah dalam kasus kriminal dan perdata, dan berargumen bahwa penuduh dibebankan dengan pembuktian (<i>al-bayyina ‘ala man idda‘a</i>). Dalam hal-hal yang terkait dengan bid’ah, para ahli hukum Muslim selalu berargumen bahwa jauh lebih baik membebaskan ribuan pelaku bid’ah dari pada keliru menjatuhkan hukuman kepada seorang Muslim yang jujur. Dalam kasus-kasus kriminal, para ahli hukum berargumen bahwa jauh lebih baik membebaskan seseorang yang bersalah dari pada terjerumus pada risiko menghukum orang yang tidak bersalah. Lebih jauh lagi, banyak ahli hukum yang mengecam praktik penahanan dan pengurungan terhadap kelompok heterodok sekalipun ketika kelompok tersebut menyatakan secara terbuka sikap heterodok mereka (seperti kelompok Khawarij), dan berargumen bahwa kelompok-kelompok semacam itu tidak boleh dilecehkan atau diganggu kecuali jika mereka mulai mengangkat senjata dan menunjukkan niat yang nyata untuk memberontak pemerintah. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Muslim juga mengecam penggunaan siksaan, dengan berargumen bahwa Nabi melarang penggunaan <i>muthla</i> (penggunaan alat siksa) dalam semua situasi,<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn18" name="_ednref18" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[18]</span></span></span></a> dan tidak memperkenankan penggunaan pengakuan hasil pemaksaan dalam semua persoalan hukum dan politik.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn19" name="_ednref19" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[19]</span></span></span></a> Pada kenyataannya, sejumlah besar ahli hukum telah mengemukakan sebuah doktrin yang mirip dengan doktrin pembebasan dari tuduhan bersalah yang dipraktikkan dalam sistem hukum Amerika–pengakuan atau bukti yang diperoleh dari proses pemaksaan dinilai tidak sah dalam persidangan. Yang menarik adalah bahwa beberapa ahli hukum bahkan menegaskan bahwa para hakim yang bersandar pada sebuah pengakuan semacam itu dalam memutuskan kasus kriminal dipandang telah bertanggung jawab atas penetapan keputusan yang keliru. Kebanyakan ahli hukum berargumen bahwa tergugat atau keluarganya boleh mengajukan gugatan balik untuk memperoleh ganti rugi kepada hakim tersebut secara khusus, dan kepada khalifah dan wakilnya secara umum, karena pemerintah dipandang bertanggung jawab karena berdiam diri atas tindakan hakim-hakimnya yang bertentangan dengan hukum. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Namun, diskursus yang paling menarik tentang persoalan tersebut dalam tradisi hukum Islam adalah seputar hak Tuhan dan hak manusia. Hak Tuhan (<i>huquq Allah</i>) adalah hak yang sepenuhnya dimiliki Tuhan dalam arti bahwa hanya Tuhan yang dapat menetapkan hukuman atas pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, dan hanya Tuhan yang memiliki hak untuk memberi maaf atas pelanggaran semacam itu. Namun, hak-hak yang secara eksplisit tidak dimiliki Tuhan kemudian diserahkan kepada manusia. Sementara pelanggaran terhadap hak-hak Tuhan hanya bisa diampuni oleh Tuhan melalui tobat yang benar, pelanggaran terhadap hak-hak manusia hanya bisa dimaafkan oleh individu yang bersangkutan. Jadi, hak mendapat ganti rugi dimiliki secara pribadi oleh semua manusia dan pelanggaran terhadapnya hanya dapat dimaafkan oleh individu yang bersangkutan. Baik pemerintah maupun Tuhan sekalipun tidak memiliki hak untuk memberi ampunan atau membayarkan ganti rugi, jika ia telah menjadi bagian dari hak manusia. </div><div class="MsoBodyTextIndent"><st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Muslim tidak melukiskan seperangkat hak yang tidak bisa diganggu gugat dan berlaku umum yang dimiliki oleh setiap orang dalam setiap kesempatan. Tapi, mereka memandang hak-hak individu sebagai hak yang berasal dari sebab hukum (<i>legal cause</i>) akibat pelanggaran hukum. Seseorang tidak memiliki hak hingga ia dizalimi, dan oleh karena itu ia berhak mengklaim ganti rugi atau pembalasan. Untuk merubah paradigma tersebut diperlukan sebuah transformasi konsep tradisional tentang hak, sehingga hak menjadi harta milik individu, tanpa mempertimbangkan apakah terdapat sebab hukum dari tindakan tersebut. Seperangkat hak yang diakui bersifat abadi adalah hak-hak yang dipandang penting untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan menjunjung tinggi kasih sayang. Menurut saya, ia pasti merupakan hak yang menjamin keselamatan fisik dan kehormatan manusia. Bisa saja hak-hak individu yang relevan adalah kelima nilai yang disebutkan di atas, tapi persoalan tersebut harus dianalisa ulang dari sudut pandang keberagaman manusia. Dalam konteks ini, komitmen terhadap hak-hak manusia tidak menunjukkan penafian komitmen kepada Tuhan, tapi justru merupakan bentuk penghormatan terhadap keberagaman manusia, penghargaan terhadap khalifah Tuhan, perwujudan kasih sayang, dan upaya pencapaian tujuan tertinggi keadilan. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Penting untuk saya catat bahwa ternyata bukan tradisi hukum Islam pra-modern yang menyodorkan hambatan terbesar bagi pengembangan hak-hak individu dalam Islam. Hambatan serius justru berasal dari orang-orang Islam modern sendiri. Terutama pada paruh kedua abad ini, sejumlah besar orang Islam membentuk asumsi yang tidak berdasar bahwa hukum Islam mengarahkan perhatian utamanya pada kewajiban, bukan pada hak, dan bahwa konsep Islam tentang hak bersifat kolektif, bukan individual. Meskipun demikian, kedua asumsi tersebut hanya didasarkan pada asumsi kultural tentang “pihak lain” yang bukan Barat. Hal itu seolah-olah menegaskan bahwa para penafsir itu telah membakukan konsep Judeo-Kristen atau mungkin konsep Barat tentang hak, dan mengasumsikan bahwa Islam harus memiliki konsep yang berbeda. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Pada kenyataannya, klaim-klaim tentang hak individu atau kolektif pada dasarnya bersifat anakronis. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Muslim pra-modern tidak menegaskan sebuah visi tentang hak yang bersifat kolektif atau individual. Mereka memang berbicara tentang <i>al-haqq al-‘amm </i>(hak publik), dan sering menegaskan bahwa hak publik harus didahulukan dari pada hak pribadi. Tapi hal tersebut berujung pada sebuah penegasan bahwa kelompok terbesar tidak boleh dirampas hak-haknya oleh kelompok yang lebih kecil. Misalnya, sebagai sebuah adagium hukum hal tersebut telah digunakan untuk memberikan pembenaran terhadap gagasan tentang <u>public takings</u> (penghasilan publik?) atau hak membangun sarana publik di atas tanah milik pribadi. Prinsip tersebut juga digunakan untuk melarang praktik para dokter yang tidak memenuhi standar kualifikasi.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn20" name="_ednref20" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[20]</span></span></span></a> Tapi seperti yang telah dibahas di atas, para ahli hukum Muslim tidak membenarkan, misalnya, pembunuhan atau penyiksaan manusia untuk mewujudkan kesejahteraan negara atau kepentingan publik. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Barangkali, penegasan tentang pentingnya perspektif kolektifitas dan orientasi kewajiban dalam Islam muncul dari karakteristik reaktif dalam kebanyakan diskursus hukum Islam kontemporer. Namun, gagasan tentang hak individu sebenarnya lebih mudah mendapat pembenaran dalam Islam dari pada hak kolektif. Tuhan menciptakan manusia sebagai individu-individu, dan pertanggungjawaban mereka di akhirat kelak juga dilakukan secara individual. Seseorang yang memiliki komitmen untuk mempertahankan dan melindungi kemaslahatan individu berarti telah menghargai ciptaan Tuhan. Masing-masing individu mencerminkan gambaran semesta keagungan Tuhan. Mengapa seorang Muslim harus memegang komitmen untuk melindungi hak dan kemaslahatan sesama manusia? Jawabannya adalah bahwa Tuhan telah menetapkan komitmen semacam itu ketika Dia meniupkan ruh-Nya ke dalam setiap diri manusia. Itulah sebabnya mengapa Alquran menegaskan bahwa siapapun yang membunuh sesamanya secara tidak benar dipandang telah membunuh semua manusia; seolah-olah pelaku pembunuhan telah membunuh kesucian ilahi dan menghancurkan makna ketuhanan yang terdalam (Q.S. <st1:time hour="17" minute="32" w:st="on">5:32</st1:time>).</div><div class="MsoBodyTextIndent">Lebih jauh lagi, Alquran tidak membedakan antara kesucian seorang Muslim dengan non-Muslim.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn21" name="_ednref21" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[21]</span></span></span></a> Seperti yang dinyatakan secara berulang-ulang dalam Alquran, tidak seorangpun manusia yang dapat membatasi kepengasihan Tuhan dengan cara apapun, atau memilih-milih siapa yang berhak menerimanya (Q.S. 2:105; 3:74; 35:2; 38:9; 39:38; 40:7; 43:32). Dengan kenyataan itu, saya ingin menegaskan bahwa baik Muslim maupun non-Muslim bisa menjadi penerima atau pemberi kasih sayang ilahi. Yang menjadi ukuran nilai moral dalam kehidupan dunia saat ini adalah kedekatan seseorang kepada Tuhan melalui keadilan, bukan label keagamaannya. Yang menjadi ukuran di akhirat kelak adalah hal lain, dan hal tersebut merupakan hak prerogatif Tuhan. Tuhan akan merealisasikan hak-Nya di akhirat kelak dengan cara yang menurut-Nya paling sesuai. Tapi, kewajiban moral yang paling penting bagi kita di muka bumi ini adalah merealisasikan hak sesama. Komitmen untuk menghargai hak-hak manusia paralel dengan komitmen untuk melindungi ciptaan Tuhan, dan pada akhirnya juga merupakan komitmen terhadap Tuhan sendiri.</div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;"><b><span style="font-size: 13pt;">Syariat dan Negara Demokratis<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoBodyTextIndent"><br />
</div><div class="MsoBodyTextIndent">Sebuah bentuk demokrasi yang muncul dari dalam wilayah agama Islam harus menerima gagasan tentang kedaulatan Tuhan: ia tidak dapat meletakkan kedaulatan rakyat di atas kedaulatan Tuhan, tapi justru harus memperlihatkan bagaimana kedaulatan rakyat–beserta gagasan bahwa warga negara memiliki hak dan tanggung jawab yang sebanding untuk mewujudkan keadilan dengan kasih sayang–mengekspresikan otoritas Tuhan. Sama halnya, ia tidak dapat menolak gagasan bahwa hukum Tuhan harus didahulukan dari pada hukum manusia, tapi justru harus memperlihatkan bagaimana pembentukan hukum yang demokratis menghormati prioritas tersebut. Saya sengaja menempatkan bahasan tentang Syariat dan Negara di akhir tulisan karena saya perlu terlebih dahulu meletakkan landasan pembahasan tersebut. Sebagai bagian dari landasan tersebut, kita perlu menghargai posisi penting Syariat bagi kehidupan seorang Muslim. Syariat adalah Jalan Tuhan; ia direpresentasikan dengan seperangkat prinsip-prinsip normatif, metodologi untuk menghasilkan aturan hukum, dan seperangkat aturan hukum positif. Seperti yang telah dimaklumi bersama, Syariat mengatasi beragam mazhab pemikiran dan pendekatan, yang semuanya sama-sama sah dan ortodoks.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn22" name="_ednref22" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[22]</span></span></span></a> Meskipun demikian, Syariat secara keseluruhan, beserta semua mazhab dan berbagai pendapat yang berbeda, tetap merupakan Jalan dan Hukum Tuhan.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Bagian terbesar Syariat tidak ditetapkan secara eksplisit oleh Tuhan. Syariat justru mengandalkan upaya interpretasi agen manusia untuk menghasilkan dan melaksanakan hukum-hukumnya. Namun, sesungguhnya Syariat merupakan nilai inti yang harus dilestarikan oleh masyarakat. Paradoks ini ditampilkan dalam bentuk ketegangan antara kewajiban untuk hidup berlandaskan hukum Tuhan dengan kenyataan bahwa hukum tersebut terbentuk semata melalui penetapan interpretasi subyektif manusia. Bahkan sekiranya ada sebuah pemahaman tunggal bahwa sebuah perintah positif tertentu benar-benar mencerminkan hukum Tuhan, masih ada banyak sekali kemungkinan pelaksanaan dan penerapan yang bersifat subyektif. Dilema ini sedikit terpecahkan dalam diskursus Islam dengan cara membuat perbedaan antara fikih dan Syariat. Dikatakan bahwa Syariat merupakan Gagasan Ideal Tuhan, berada di atas langit, dan tidak terpengaruh atau tercemar oleh ketidakpastian. Fikih merupakan upaya manusia untuk memahami dan menerapkan gagasan ideal Syariat. Oleh karena itu, Syariat bersifat kekal, suci dan tanpa cacat–sementara fikih tidak demikian.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn23" name="_ednref23" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[23]</span></span></span></a></div><div class="MsoBodyTextIndent">Sebagai bagian dari landasan doktrinal dalam diskursus ini, pembahasan para ahli hukum Sunni berfokus pada sebuah hadis yang dinisbatkan kepada Nabi, yang berbunyi: “Setiap <i>mujtahid</i> (ahli hukum yang berusaha keras menemukan jawaban yang benar) dipandang benar” atau “Setiap <i>mujtahid</i> akan mendapat pahala.” Hal ini mengisyaratkan bahwa jawaban yang benar untuk sebuah pertanyaan yang sama bisa lebih dari satu. Menurut para ahli hukum Sunni, hal itu memunculkan persoalan tentang tujuan dan motif di balik pencarian Kehendak Tuhan. Apa sebenarnya Tujuan Tuhan memberikan berbagai petunjuk ke arah hukum-Nya dan kemudian menuntut manusia untuk melakukan pencarian? Jika Tuhan menghendaki manusia untuk mencapai <i>satu</i> jawaban yang benar, maka bagaimana mungkin setiap penafsir atau ahli hukum dipandang benar? Dengan ungkapan lain, adakah <i>satu</i> jawaban yang benar untuk setiap persoalan hukum, dan apakah orang-orang Islam dibebani kewajiban hukum untuk menemukan jawaban tersebut?</div><div class="MsoBodyTextIndent">Mayoritas ahli hukum Sunni sepakat bahwa ketekunan yang dilandasi kejujuran dalam mencari kehendak Tuhan cukup memadai untuk melindungi diri dari tuntutan di hadapan Tuhan kelak. Di luar semua itu, para ahli hukum terbagi ke dalam dua kelompok utama. Kelompok utama, yang dikenal dengan <i>mukhatti’ah</i>, berargumen bahwa pada dasarnya dalam setiap persoalan hukum terdapat satu jawaban yang benar; namun hanya Tuhan yang tahu jawaban yang benar itu, dan kebenaran tersebut hanya akan terungkap pada hari akhirat kelak. Manusia sebagian besar tidak dapat mengetahui secara pasti apakah mereka telah menemukan jawaban yang benar itu. Dalam pengertian ini, setiap <i>mujtahid</i> dipandang benar karena telah mencoba mencari jawaban; namun, seseorang <i>mujtahid</i> mungkin dapat mencapai kebenaran sedangkan yang lainnya mungkin keliru. Di akhirat kelak, Tuhan akan memberitahu semua orang tentang siapa yang tepat dan siapa yang keliru. Ketepatan di sini berarti bahwa seorang mujtahid diberi penghargaan atas upayanya, tapi hal itu tidak berarti bahwa semua jawaban sama-sama benar. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Mazhab kedua, yang dikenal dengan sebutan <i>musawwibah</i>, berargumen bahwa tidak ada satupun jawaban yang benar-benar tepat (<i>hukm mu‘ayyan</i>) yang harus ditemukan oleh manusia: bagaimanapun, jika ada jawaban yang tepat, Tuhan akan memberikan hujjah yang menunjukkan kepastian dan kejelasan aturan Tuhan. Tuhan tidak akan memerintahkan manusia menemukan jawaban yang tepat sementara petunjuk obyektif untuk menemukan jawaban tersebut tidak tersedia. Jika memang ada kebenaran obyektif bagi semua hal, Tuhan akan menjadikan kebenaran itu bisa diketahui di dunia ini. Dalam berbagai kondisi, kebenaran hukum, atau ketepatan bergantung pada keyakinan dan pembuktian, dan validitas dari sebuah aturan atau tindakan hukum seringkali bergantung pada kaidah-kaidah persepsi (<u>rules of recognition</u>) yang menjadi syarat keberadaannya. Manusia tidak dibebani dengan kewajiban untuk menemukan hasil yang abstrak, sulit dipahami dan benar secara hukum. Pada kenyataannya manusia hanya dibebani dengan kewajiban untuk secara sungguh-sungguh menganalisa sebuah persoalan dan kemudian mengikuti hasil-hasil <i>ijtihad</i> mereka sendiri. Menurut al-Juwayni, misalnya, yang dikehendaki Tuhan dari manusia adalah mencari kebenaran–meniti kehidupan sambil mendekatkan diri sepenuhnya pada Tuhan. Al-Juwayni menjelaskan: seolah-olah Tuhan berkata kepada manusia, “Perintah-Ku pada hamba-hamba-Ku sebanding dengan besarnya keimanan mereka. Jadi, siapa saja yang yakin bahwa ia diwajibkan melakukan sesuatu, maka bertindak atas dasar keyakinannya itu merupakan perintah-Ku.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn24" name="_ednref24" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[24]</span></span></span></a> Perintah Tuhan kepada manusia adalah agar mereka bersungguh-sungguh melakukan pencarian, dan hukum Tuhan akan ditunda hingga manusia memperoleh kepastian yang kuat tentang hukum tersebut. Ketika keyakinan yang kuat terbentuk, hukum Tuhan mengikuti keyakinan kuat yang dibentuk oleh individu tersebut. Singkatnya, jika seseorang secara jujur dan tulus meyakini bahwa hukum Tuhan adalah begini dan begitu, maka baginya ia menjadi hukum Tuhan. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Pendapat mazhab kedua ini memunculkan persoalan rumit seputar penerapan Syariat dalam masyarakat. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa hukum Tuhan adalah upaya pencarian hukum Tuhan itu sendiri; jika tidak, maka beban hukum (<i>taklif</i>) sepenuhnya bergantung pada subyektifitas dan kejujuran dari keyakinan seseorang. Berdasarkan sudut pandang mazhab pertama, hukum apapun yang diterapkan oleh negara, hukum tersebut secara potensial merupakan hukum Tuhan, dan kita tidak akan mengetahui hukum Tuhan yang sebenarnya hingga akhir zaman. Dari sudut pandang mazhab kedua, hukum apapun yang diterapkan oleh negara bukanlah hukum Tuhan, kecuali jika orang yang harus menjalankan hukum tersebut meyakininya sebagai kehendak dan perintah Tuhan. Mazhab pertama menangguhkan pengetahuan tentang hukum Tuhan hingga kita memasuki alam akhirat, dan mazhab kedua menggantungkan pengetahuan itu pada validitas proses dan kejujuran sebuah keyakinan.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Dengan berpijak pada warisan pemikiran ini, saya memandang bahwa Syariat harus diletakkan dalam politik Islam sebagai konstruksi simbolis tentang kesempurnaan Tuhan yang berada di luar jangkauan manusia. Seperti yang dinyatakan oleh <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Ibn Qayyim</st1:city>, <st1:state w:st="on">ia</st1:state></st1:place> merupakan hakikat keadilan, kebaikan, dan keindahan ilahi. Kesempurnaannya terpelihara dalam Pikiran Tuhan, sementara segala sesuatu yang disalurkan melalui agen manusia pasti akan tercemar oleh ketidaksempurnaan manusia. Dengan ungkapan lain, Syariat yang diwahyukan Tuhan benar-benar sempurna, tapi ketika dipahami oleh manusia, ia menjadi tidak sempurna dan bersifat kondisional. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum harus terus menggali gagasan utama Syariat dan mengerahkan upaya mereka yang tidak sempurna itu untuk memahami kesempurnaan Tuhan. Selama argumentasi yang dibangun itu bersifat normatif, ia tidak akan mampu mencapai kehendak Tuhan, sehingga hukum apapun yang akan diterapkan pasti berpotensi mengalami kegagalan. Syariat bukan hanya sekedar kumpulan hukum (seperangkat aturan positif), tapi juga mencakup senarai prinsip, metodologi, dan proses diskursus yang diarahkan untuk mencapai kehendak Tuhan. Dengan demikian, Syariat merupakan sebuah karya yang berkesinambungan dan tidak pernah rampung.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Penjelasan konkritnya adalah sebagai berikut: jika sebuah pendapat diadopsi dan dilaksanakan oleh sebuah negara, pendapat tersebut tidak bisa dikatakan sebagai hukum Tuhan. Setelah melalui proses penetapan dan penegakan oleh negara, pendapat hukum itu tidak lagi semata mengandung potensi–ia menjadi hukum yang sebenarnya, yang diterapkan dan dilaksanakan. Tapi, hukum yang telah diterapkan dan dilaksanakan bukanlah hukum Tuhan–ia menjadi hukum negara. Dengan demikian, hukum agama sebuah negara merupakan istilah yang kontradiktif, karena hukum itu seharusnya hanya milik negara atau milik Tuhan semata, dan selama penjelasan dan pelaksanaan hukum itu bersandar pada agen subyektif negara, maka hukum tersebut pasti bukanlah hukum Tuhan. Kalau tidak begitu, maka kita harus mau mengakui bahwa kegagalan hukum negara pada kenyataannya merupakan kegagalan hukum Tuhan, dan akhirnya juga berarti kegagalan Tuhan sendiri. Dalam konsep teologi Islam, kemungkinan tersebut tidak dapat diterima.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn25" name="_ednref25" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[25]</span></span></span></a></div><div class="MsoBodyTextIndent">Tentu saja, tantangan terbesar bagi pendapat tersebut adalah argumentasi bahwa Tuhan dan Nabi-Nya telah menetapkan perintah hukum yang jelas yang tidak dapat diabaikan. Secara argumentatif bisa dikatakan bahwa Tuhan telah menetapkan hukum-Nya secara jelas dan tepat karena Dia ingin membatasi peran agen manusia dan menutup kemungkinan melakukan inovasi. Tapi–kembali lagi pada pendapat yang telah saya tekankan sebelumnya–bagaimanapun jelas dan akuratnya pernyataan dalam Alquran dan sunah, yang diambil dari kedua sumber itu harus dinegosiasikan melalui agen manusia. Misalnya, Alquran menyebutkan, <i>“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”</i> (Q.S. 5:38). Meskipun kandungan hukum dari ayat tersebut tampak jelas, ia setidaknya menuntut manusia untuk menafsirkan makna “pencuri,” “memotong,” “tangan,” dan “balasan.” Alquran menggunakan ungkapan <i>iqta‘u</i>, dari akar kata <i>qata‘a</i>, yang bisa bermakna “memutuskan” atau “memotong,” tapi ia juga bisa berarti “bersikap tegas,” “mengakhiri,” “mencegah,” atau “menjauhkan seseorang.”<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn26" name="_ednref26" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[26]</span></span></span></a> Apapun makna yang kita ambil dari teks tersebut, pertanyaannya kemudian adalah dapatkah seorang penafsir mengklaim dengan penuh kepastian bahwa penetapan yang ia capai identik dengan penetapan yang dikehendaki Tuhan? Dan sekalipun ketika persoalan makna itu berhasil dipecahkan, dapatkah hukum tersebut dilaksanakan dengan jalan sedemikian rupa sehingga kita dapat mengklaim bahwa hasilnya sesuai dengan kehendak Tuhan? Pengetahuan dan keadilan Tuhan bersifat sempurna, dan manusia tidak mungkin menentukan atau melaksanakan hukum dengan cara sedemikian rupa sehingga sepenuhnya terhindar dari kemungkinan melakukan kesalahan. Hal ini tidak berarti bahwa pencarian hukum Tuhan berujung pada kesia-siaan; ia hanya berarti bahwa penafsiran para ahli hukum merupakan pemenuhan kehendak Tuhan, tapi hukum-hukum yang dikodifikasi dan diterapkan oleh negara tidak dapat dipandang sebagai pemenuhan kehendak Tuhan yang sebenarnya.</div><div class="MsoBodyTextIndent">Dalam sejarah Islam, secara kelembagaan ulama, yaitu para ahli hukum, dapat dan benar-benar bertindak sebagai penafsir Firman Tuhan, penjaga moral masyarakat, dan pengawas yang mengingatkan dan mengarahkan bangsa pada tujuan tertinggi, yaitu Tuhan.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_edn27" name="_ednref27" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">[27]</span></span></span></a> Tapi hukum negara, apapun asal-usul dan landasannya, merupakan milik negara semata. Berdasarkan konsep ini, tidak ada hukum agama yang dapat atau boleh ditegakkan oleh negara. Semua hukum yang dijelaskan dan diterapkan dalam sebuah negara sepenuhnya merupakan hukum manusia, dan harus diperlakukan sebagai hukum manusia. Hukum-hukum tersebut merupakan bagian dari hukum Syariat hanya sejauh pengertian bahwa pendapat hukum manusia bisa dikatakan sebagai bagian dari Syariat. Sebuah undang-undang, sekalipun bersumber dari Syariat, bukanlah Syariat. Dalam ungkapan yang berbeda, manusia (<u>creation</u>), dengan seluruh kekayaan tekstual dan non-tekstual, dapat dan harus menghasilkan hak yang mendasar dan hukum yang terorganisir (<i>arganizational law)</i> yang mampu menghargai dan menjunjung tinggi hak tersebut. Tapi hak dan hukum itu tidak mencerminkan kesempurnaan ciptaan Tuhan. Berdasarkan paradigma tersebut, demokrasi merupakan sebuah sistem yang memadai dari perspektif Islam karena selain mengungkapkan sisi penting manusia–yaitu statusnya sebagai khalifah Tuhan–pada saat yang sama juga mencegah negara bertindak sebagai juru bicara Tuhan dengan meletakkan otoritas tertinggi di tangan rakyat, bukan di tangan ulama. Di samping itu pendidik moral memiliki peran yang serius, karena mereka harus siap membimbing masyarakat untuk mendekati Tuhan. Tapi kehendak kelompok mayoritas sekalipun–sebaik apapun moralitas mereka–tidak dapat mewakili kehendak Tuhan. Dan dalam kasus yang paling buruk–jika kelompok mayoritas lepas dari bimbingan para ulama, jika kelompok mayoritas bersikeras untuk menyimpang dari jalan Tuhan, tapi masih menghormati hak-hak dasar individu, termasuk hak untuk mempertimbangkan penciptaan dengan hati-hati dan menyeru pada jalan Tuhan–individu-individu yang membentuk kelompok mayoritas itu tetap harus bertanggung jawab kepada Tuhan di akhirat kelak.[]</div><div><br />
<hr align="left" size="1" width="33%" /><div id="edn1"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref1" name="_edn1" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[1]</span></span></span></a> Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syawkani, <i>Nayl al-Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar</i> (Kairo: Dar al-Hadits, t.t.), jilid 7:166; Syihab al-Din ibn Hajar al-‘Asqalani, <i>Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari</i> (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), jilid 14:303.</div></div><div id="edn2"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref2" name="_edn2" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[2]</span></span></span></a> Ironisnya, kelompok fundamentalis Syi‘ah dan Sunni mengecam kelompok Khawarij dan memandang mereka sebagai kelompok heretik, tapi hal ini bukan karena kelompok-kelompok modern itu tidak sepakat dengan slogan politik kelompok Khawarij, melainkan karena mereka telah membunuh Ali, sepupu Nabi.</div></div><div id="edn3"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref3" name="_edn3" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[3]</span></span></span></a> Abd Allah ibn Muslim ibn Qutayba, <i>al-Imama wa al-Siyasa</i>, ed. Zini Taha (Kairo: Mu’assasat al-Halabi, 1967), h. 21. Buku ini secara tradisional dikenal dengan nama <i>Ta’rikh al-Khulafa’</i>.</div></div><div id="edn4"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref4" name="_edn4" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[4]</span></span></span></a> Mu‘tazilah adalah sebuah mazhab pemikiran teologis yang pemeluknya menyebut diri mereka sebagai <i>ahl al-‘adalah wa al-tawhid</i> (kelompok pembela keadilan dan keesaan Tuhan). Kelompok tersebut dapat ditelusuri asal-usulnya dalam pemikiran Wasil ibn ‘Atha’ (w. 131/748) dari Basrah. Kelompok Mu‘tazilah sering digambarkan sebagai kelompok rasionalis karena mereka menekankan teologi yang rasional. Mereka juga menganggap keadilan dan menyeru pada kebaikan dan melarang kejahatan sebagai bagian dari rukun Iman. Lima rukun iman yang dicetuskan oleh kelompok tersebut adalah: (1) <i>tawhid</i> (percaya kepada keesaan Tuhan); (2) <i>‘adl</i> (keadilan); (3) <i>al-wa‘d wa al-wa‘id </i>(janji berupa balasan pahala dan ancaman berupa hukuman); (4) <i>al-manzilah bayna al-manzilatayn</i> (mereka yang melakukan dosa besar tidak lagi dipandang sebagai seorang Muslim dan tidak juga dipandang kafir); (5) <i>al-amr bi al-ma‘ruf wa al-nahy ‘an al-munkar</i> (memerintah kebaikan dan melarang keburukan).</div></div><div id="edn5"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref5" name="_edn5" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[5]</span></span></span></a> Dengan mengutip contoh tindakan Nabi di Madinah, al-Asam menjelaskan bahwa hal ini mencakup perempuan yang beriman, tapi tidak mencakup non-Muslim atau para budak. Diriwayatkan bahwa setelah hijrah ke Madinah, Nabi mengambil sumpah setia dari sejumlah perempuan dan laki-laki Madinah. Muhammad ‘Imara, <i>al-Islam wa Falsafat al-Hukm</i> (Beirut: t.p., 1979), h. 431-432.</div></div><div id="edn6"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref6" name="_edn6" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[6]</span></span></span></a> ‘Imara, <i>al-Islam</i>, 435.</div></div><div id="edn7"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref7" name="_edn7" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[7]</span></span></span></a> Setelah Prancis angkat kaki dari Mesir tahun 1801, Umar Makram dan para ulama berhasil mengalahkan orang-orang Prancis yang masih tertinggal di Mesir. Bukannya menguasai sendiri pemerintahan yang baru terbentuk, para ulama menyerahkan pemerintahan kepada Muhammad Ali, orang Mesir keturunan <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Albania</st1:place></st1:country-region>. </div></div><div id="edn8"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref8" name="_edn8" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[8]</span></span></span></a> Afaf Lutfi al-Sayyid Marsot, “The Ulama of Cairo in the Eighteenth and Nineteenth Century,” dalam <i>Scholars, Saints, and Sufis</i>, ed. Nikki Keddi (Berkeley: University of California Press, 1972), h. 149.</div></div><div id="edn9"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref9" name="_edn9" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[9]</span></span></span></a> Daniel Crecelius, “Egyptian Ulama and Modernization, dalam <i>Scholars</i>, h. 167-209, 168.</div></div><div id="edn10"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref10" name="_edn10" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[10]</span></span></span></a> Jalal al-Din al-Suyuti, <i>Ta’rikh al-Khulafa’</i>, ed. Ibrahim Abu al-Fadl (Kairo: Dar al-Nahda, 1976), h. 109.</div></div><div id="edn11"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref11" name="_edn11" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[11]</span></span></span></a> Abu Hamid al-Ghazali, <i>Fada’ih al-Bathiniyya</i>, ed. Abd al-Rahman (Kairo: Dar al-Qawmiyya, 1964), h. 186, 191; Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abd al-Mu‘thi Muhammad, <i>al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam: Syakhsiyyat wa Madzahib</i> (Alexandria: Dar al-Jami’at al-Misriyya, 1978), h. 399-403.</div></div><div id="edn12"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref12" name="_edn12" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[12]</span></span></span></a> Q.S. 21:107, yang ditujukan kepada Nabi, berbunyi: <i>“Tidaklah Kami mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam.”</i> Lihat juga Q.S. 16:89. Pada kenyataannya, Alquran menggambarkan bahwa keseluruhan pesan Islam dilandasi oleh rahmat dan kasih sayang. Islam diutus untuk mengajarkan dan menegakkan nilai-nilai tersebut di tengah-tengah manusia. Saya percaya bahwa bagi orang-orang Islam, hal tersebut menciptakan sebuah tugas normatif untuk menyebarkan kasih sayang (Q.S. 27:77; 29:51; 45:20). Tapi mengajarkan cinta kasih mustahil dilakukan kecuali jika kita telah mengetahuinya, dan pengetahuan semacam itu tidak dapat dibatasi pada teks semata. <i>Ta‘aruf</i> (mengenal sesama) yang dilandasai dengan etika kepedulian inilah yang dapat membuka pintu pengetahuan tentang kasih sayang, dan kemudian mengajarkannya kepada orang lain.</div></div><div id="edn13"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref13" name="_edn13" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[13]</span></span></span></a> Dalam istilah Alquran, <i>rahma</i> (kasih sayang) tidak terbatas pada <i>maghfira</i> (pengampunan).</div></div><div id="edn14"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref14" name="_edn14" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[14]</span></span></span></a> Secara eksplisit Alquran memerintahkan manusia untuk memperlakukan sesama dengan kesabaran dan kasih sayang (Q.S. 90:17) dan tidak melanggar batas kewenangan mereka dengan mengklaim telah mengetahui siapa yang berhak memperoleh kasih sayang Tuhan dan siapa yang tidak (Q.S. 43:32). Teori moral Islam yang berfokus pada kasih sayang sebagai sebuah nilai melengkapi etika kepedulian (<u>ethic of care</u>) yang dikembangkan dalam teori moral Barat.</div></div><div id="edn15"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref15" name="_edn15" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[15]</span></span></span></a> Gagasan ini juga dicontohkan dalam sebuah hadis yang dinisbatkan kepada Nabi yang menegaskan bahwa perbedaan dan keberagaman pendapat umat Islam merupakan sumber kasih sayang Tuhan kepada orang-orang Islam.</div></div><div id="edn16"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref16" name="_edn16" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[16]</span></span></span></a> Tentu saja, mendekati Tuhan tidak berarti bercita-cita menjadi Tuhan. Mendekati Tuhan berarti mencerminkan keindahan dan nilai-nilai ilahi, dan berjuang untuk mewujudkan sebanyak mungkin keindahan dan nilai-nilai tersebut. Saya memulainya dengan sebuah asumsi teologis bahwa Tuhan tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Namun, Tuhan mengajarkan nilai-nilai moral yang memancar dari sifat Tuhan, dan nilai-nilai itu juga terpancar pada ciptaan-Nya. Dengan merenungkan keindahan ilahi semaksimal mungkin, manusia dapat mendekati Tuhan dengan lebih baik. Semakin besar kemampuan manusia menghubungkan dirinya pada kebaikan, keadilan, kasih sayang dan keseimbangan, yang menjadi perwujudan Tuhan, semakin besar kemampuannya untuk mencerminkan, atau menggambarkan sifat-sifat Tuhan, dan semakin besar kemampuannya untuk membentuk rasa keindahan dan kebijakan yang mendekati keindahan dan kebijakan Tuhan. </div></div><div id="edn17"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref17" name="_edn17" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[17]</span></span></span></a> Saya berargumen bahwa perlindungan terhadap agama harus dikembangkan sehingga mencakup perlindungan terhadap kebebasan menganut keyakinan agama; perlindungan terhadap kehidupan harus dipahami bahwa mengambil nyawa seseorang harus dilakukan atas dasar alasan yang benar dan merupakan hasil dari proses yang benar; perlindungan terhadap akal harus dimaknai sebagai hak untuk berpikir, berekspresi dan memilih keyakinan secara bebas; perlindungan terhadap kehormatan harus dimaknai sebagai perlindungan terhadap martabat manusia; dan perlindungan terhadap harta benda harus dimaknai sebagai hak untuk memperoleh ganti rugi atas hilangnya harta benda.</div></div><div id="edn18"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref18" name="_edn18" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[18]</span></span></span></a> Namun, para ahli hukum Muslim tidak menganggap pelukaan tangan dan kaki sebagai hukuman bagi pencurian atau penghilangan anggota tubuh terhadap kasus perampokan. </div></div><div id="edn19"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref19" name="_edn19" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[19]</span></span></span></a> Sejumlah besar ahli hukum dalam sejarah Islam telah dihukum mati dan dibunuh karena mengemukakan pendapat bahwa dukungan politik (<i>bay‘a</i>) yang diperoleh secara paksa dipandang tidak sah. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Muslim menggambarkan kematian para ulama karena persoalan tersebut sebagai kematian <i>musabara</i>. Hal ini menjadi sebuah diskursus penting karena para khalifah terbiasa menyogok atau mengancam tokoh-tokoh masyarakat dan para ahli hukum untuk memperoleh dukungan (<i>bay‘a</i>) mereka.</div></div><div id="edn20"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref20" name="_edn20" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[20]</span></span></span></a> <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Muslim juga menegaskan bahwa hak dan kewajiban yang bersifat khusus harus diprioritaskan dari pada hak dan kewajiban yang bersifat umum. Tapi, lagi-lagi, hal ini merupakan sebuah prinsip hukum yang berlaku bagi hukum keagenan dan kepercayaan. Meskipun prinsip tersebut dapat diperluas dan dikembangkan untuk mendukung hak-hak individu pada masa modern ini, secara historis, ia memiliki makna yang lebih teknis dan legalistis.</div></div><div id="edn21"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref21" name="_edn21" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[21]</span></span></span></a> Beberapa ahli hukum pra-modern membedakan antara Muslim dan non-Muslim terutama dalam persoalan yang menyangkut pertanggungjawaban kriminal dan ganti rugi dalam hukum pidana. </div></div><div id="edn22"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref22" name="_edn22" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[22]</span></span></span></a> Empat mazhab Sunni yang masih bertahan hingga kini adalah mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‘i dan Hanbali.</div></div><div id="edn23"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref23" name="_edn23" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[23]</span></span></span></a> Saya menyederhanakan doktrin yang rumit ini untuk menjelaskan konsep tersebut. <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Muslim terlibat dalam diskursus yang panjang ketika membedakan antara konsep Syari‘ah dengan Fikih.</div></div><div id="edn24"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref24" name="_edn24" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[24]</span></span></span></a> Al-Juwayni, <i>Kitab al-Ijtihad</i>, h. 61.</div></div><div id="edn25"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref25" name="_edn25" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[25]</span></span></span></a> Sepanjang menyangkut persoalan ini, diskursus Islam kontemporer mengidap sejenis penyakit kemunafikan. Seringkali, orang-orang Islam menghadapi krisis eksistensial jika hukum Islam yang dipaksakan itu membuahkan kepedihan dan penderitaan sosial. Untuk memecahkan krisis tersebut, orang-orang Islam seringkali harus mengklaim bahwa terjadi kegagalan dalam tataran implementasi. Sikap apologetis yang memalukan ini bisa dihindari jika orang-orang Islam dapat menanggalkan gagasan tentang hukum negara Syari‘ah yang tidak logis itu.</div></div><div id="edn26"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref26" name="_edn26" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[26]</span></span></span></a> Ahmed Ali berargumen dalam <i>Al-Quran: A Contemporary Translation</i> (Princeton University Press, 2001) bahwa kata-kata yang digunakan dalam Alquran tidak berarti memotong anggota tubuh, tapi bermakna “mencegah tangannya dari tindak pencurian dengan menggunakan sarana pencegahan …” (113). <st1:place w:st="on">Para</st1:place> ahli hukum Islam klasik meletakkan persyaratan sedemikian rupa sehingga pada praktiknya pemotongan anggota tubuh mustahil terlaksana.</div></div><div id="edn27"><div class="MsoEndnoteText" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2198227772445180717#_ednref27" name="_edn27" title=""><span class="MsoEndnoteReference"><span class="MsoEndnoteReference"><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10pt;">[27]</span></span></span></a> Agar para ulama dapat memainkan peranan yang berarti dalam sebuah masyarakat madani, mereka harus terlebih dahulu memperoleh kembali kebebasan moral dan kelembagaannya.</div></div></div>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-19388533506846312172010-04-11T22:01:00.007+07:002010-04-11T22:01:25.999+07:00DEMOKRASI: MENCIPTAKAN KESENJANGAN PENGUASA DAN RAKYAT<div dir="ltr" style="line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt;"><span class="txttagline1"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; font-weight: normal; line-height: 130%;">"Bush: Demonstrasi Tanda Sehatnya Demokrasi". </span></span><span class="txttagline1"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; font-weight: normal; line-height: 130%;">Demikian judul salah satu berita di Harian <i>Kompas</i>, Senin (20/11) lalu. </span></span><strong><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; font-weight: normal; letter-spacing: 0.6pt; line-height: 130%;">Presiden Amerika Serikat George W Bush mengaku tidak kaget sama sekali dengan besar dan meluasnya demonstrasi menentang kebijakan dan kedatangannya ke Indonesia.</span></strong><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; letter-spacing: 0.6pt; line-height: 130%;"> "Itu adalah kredit untuk Indonesia di mana masyarakatnya dapat menyatakan protes dan mengatakan apa yang mereka pikirkan…," ujarnya. Bush juga memuji kepemimpinan Presiden Yudhoyono dan menyebut Indonesia sebagai contoh mengenai bagaimana demokrasi dan modernisasi dapat menghadirkan sebuah alternatif bagi ekstremisme. (<i>Kompas.com</i>, 20/11/06).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">Sementara itu, dalam editorialnya, Harian <i>Media Indonesia</i> (21/11) menulis dengan judul, "Mesra di Istana, Mencekam di Jalan," untuk menggambarkan betapa bertolakbelakangnya Pemerintah dengan mayoritas rakyat dalam menyikapi kedatangan Presiden Bush. Pemerintah tampak berusaha menyambut dengan 'manis'—bahkan terlalu manis—kedatangan Bush ke negeri ini. Sebaliknya, mayoritas rakyat—yang dibuktikan dengan maraknya demontrasi di hampir seluruh wilayah negeri ini yang berlangsung lebih dari sepekan—dengan keras menolak kedatangannya. Pertanyaannya: apakah arti dari semua ini?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">Demokrasi: Sekadar 'Gincu'<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">Secara teoretis, demokrasi memang menjamin—salah satunya—kebebasan menyatakan pendapat. Dalam tataran praktik, meski tidak selalu konsisten, beberapa negara yang menganut sistem demokrasi—seperti AS dan Eropa, termasuk Indonesia—juga telah menjalankan jaminan atas kebebasan menyatakan pendapat ini bagi rakyatnya. Salah satu buktinya adalah dibiarkannya masyarakat oleh pemerintah untuk melakukan demonstrasi, terutama dalam merespon/mengkritisi kebijakan pemerintah yang dipandang tidak sesuai dengan aspirasi—bahkan merugikan—rakyat. Di Amerika, misalnya, rakyat Amerika memang dibiarkan untuk melakukan demonstrasi untuk menentang kebijakan Bush soal Perang Irak. Mereka telah lama menuntut agar Amerika segera menarik diri dari Perang Irak yang telah menewaskan hampir 3000 orang tentara Amerika. Namun, protes rakyat itu tidak pernah digubris pemerintahan Bush. Bush bahkan berencana menambah pasukannya di Irak. Di Indonesia, rakyat juga dibebaskan oleh Pemerintah untuk berdemonstrasi menentang kedatangan Bush yang dianggap sebagai pembual, penjahat perang, pelanggar HAM terbesar, bahkan <i>the real terrorist</i>. Namun, Pemerintah SBY, termasuk DPR sebagai representasi kedaulatan rakyat, juga tidak menggubrisnya. Lalu apalah artinya kebebasan menyatakan pendapat—yang mencerminkan kehendak rakyat—ini jika tidak direspon (baca: dituruti) oleh Pemerintah sebagai pemegang amanah rakyat? Bukankah Pemerintah merupakan representasi dari kedaulatan rakyat karena dipilih langsung oleh rakyat ataupun oleh lembaga perwakilan rakyat? Bukankah ini berarti bahwa silakan saja rakyat berteriak, tetapi keputusan jalan terus, terserah penguasa, tanpa perlu lagi mendengar suara hati masyarakat? <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">Namun, semua itu sebetulnya bukan sesuatu yang aneh. Sebab, itulah fakta demokrasi sesungguhnya di hampir semua negara yang menerapkan sistem demokrasi; selalu ada kesenjangan antara kehendak rakyat dan kehendak penguasa yang menjadi pemegang amanah rakyat. Dengan kata lain, secara faktual, demokrasi tidaklah mencerminkan kedaulatan rakyat. Demokrasi sering hanya berkomitmen pada 'kedaulatan' penguasa sendiri, atau pada kehendak segelintir orang di jajaran elit kekuasaan, atau pada kehendak para pemilik modal dengan mengatasnamakan rakyat, atau kehendak negara besar tempat para elit penguasa bersandar. Walhasil, kedaulatan rakyat sebetulnya hanya ada dalam teori demokrasi, tidak dalam praktiknya. Pada akhirnya, demokrasi hanyalah sekadar 'gincu'! Idiom kedaulatan rakyat hanyalah untuk melanggengkan kekuasaan para penguasa yang bersekongkol dengan para pemilik modal. Dengan kata lain, istilah kedaulatan rakyat hanyalah cara untuk melanggengkan sistem Kapitalisme.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">Omong-Kosong Demokrasi<o:p></o:p></span></b></div><div dir="ltr" style="line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt;"><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt; letter-spacing: 0.6pt; line-height: 130%;">Presiden AS George W Bush menegaskan bahwa kebijakan yang diambilnya dalam konflik di Irak merupakan bagian dari upaya AS untuk mengedepankan demokrasi. Presiden Bush dalam konferensi persnya yang didampingi Presiden SBY di Istana Bogor, Senin (20/11) malam menegaskan, "Kebijakan saya (di Irak, <i>red</i>.) adalah untuk mengedepankan sistem pemerintahan yang menghormati kebebasan…karena kebebasan itu universal."<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt; letter-spacing: 0.6pt; line-height: 130%;">Namun, fakta membuktikan: dengan alasan demokrasi, Amerika membunuh tidak kurang dari 600 ribu rakyat Irak; menyebabkan ribuan orang cacat; dan menghancurkan ribuan bangunan dan rumah penduduk. Kekebasan tak pernah lahir di Irak, baik pada masa Saddam Hussein maupun masa pendudukan AS. Sejak pendudukan AS, rasa aman rakyat Irak pun menjadi barang langka karena setiap saat nyawa mereka terancam oleh aksi-aksi pembunuhan. Demokrasi yang diciptakan AS di Irak terbukti menjadi malapetaka besar bagi rakyat Irak dan sebaliknya hanya menguntungkan AS. Buktinya, </span><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">hanya sepekan setelah Perang Irak selesai, perusahaan-perusahaan konstruksi AS langsung mendapat order dari Washington untuk membangun kembali Irak. Perusahaan-perusahan konstruksi AS, khususnya Halliburton yang sebagian sahamnya dimiliki keluarga Bush, langsung mendapat proyek miliaran dolar AS untuk rekonstruksi Irak. Uangnya dari mana? Dari pampasan perang Irak. Uang minyak Irak pun dihabiskan untuk membangun infrastruktur yang telah dihancurkan AS sendiri dengan biaya yang amat mahal, tiga sampai empat kali lipat, jika dikerjakan perusahaan lokal. Uang minyak Irak juga dipakai untuk membiayai tentara AS yang kini bercokol di sana. Padahal istilah pampasan perang Irak adalah suatu logika yang aneh karena Irak tak pernah mengajak perang kepada AS. (Darmansyah Asmoerie, <i>Republika.co.id</i>, 18/11/06). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">Sementara itu, di Indonesia, Pemerintahan SBY selalu mengulang-ulang pernyataannya, bahwa seluruh kebijakan Pemerintah, termasuk yang terkait dengan kunjungan Bush, adalah untuk kepentingan rakyat. Namun, fakta membuktikan, berbagai kebijakannya sering tidak sesuai dengan kehendak—bahkan merugikan—rakyat, dan lebih memihak pada kepentingan para kapitalis, terutama pihak asing. Kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM, misalnya, jelas tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Buktinya, kebijakan tersebut didemo oleh hampir seluruh rakyat. Kebijakan itu juga terbukti merugikan rakyat. Buktinya, setelah kenaikan BBM, banyak perusahaan gulung tikar, angka pengangguran meningkat, dan kasus gizi buruk juga semakin banyak. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">Demikian pula kebijakan Pemerintah untuk menelorkan UU Migas, yang kemudian mendorong terjadinya liberalisasi di sektor migas. Dampaknya, pengelolaan minyak Blok Cepu diserahkan ke ExxonMobile ketimbang ke Pertamina; kontrak Exxon atas Blok Natuna—yang merupakan salah satu sumber cadangan gas terbesar di dunia, dengan potensi mencapai 46 triliun kaki kubik atau 1.270 miliar meter kubik gas (sesuai data yang dikeluarkan ExxonMobil)—juga disinyalir akan terus dilanjutkan. Padahal, dari kontrak yang ada pun, yang berakhir Januari 2005, Pemerintah tidak mendapatkan apa-apa. Semua ini jelas tidak mencerminkan keberpihakan Pemerintah kepada rakyat. Walhasil, liberalisasi, khususnya di sektor migas, jelas lebih mencerminkan kepentingan para kapitalis, khususnya korporat asing.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">Yang Tersisa dari Kunjungan Bush <o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">Pemerintah boleh saja berbusa-busa mengatakan bahwa Bush datang dengan agenda <i>soft power</i> seperti pendidikan, kesehatan, sains dan teknologi. Namun, hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Steve Hadley, Penasihat Keamanan AS, yang juga ikut dalam kunjungan Bush ini. Sebelum keberangkatan Bush ke Asia, termasuk ke Indonesia, sebagaimana yang dilaporkan dalam situs resmi Gedung Putih (<i><a href="http://www.whitehouse.gov/"><span style="color: windowtext; text-decoration: none;"><span style="font-family: Times New Roman;">www.whitehouse.gov</span></span></a></i>, 9/10/06) dinyatakan bahwa kunjungan ini akan digunakan oleh Presiden Bush bagi kepentingan masyarakat Amerika (<i>to advendce the interest of American people</i>). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">Lebih lanjut Hadley menjelaskan, kepentingan masyarakat AS itu adalah mencegah tantangan yang dihadapi oleh AS, yakni terorisme, dan menjamin bagaimana para pebisnis AS bisa meraih keuntungan (<i>to reap benefit</i>) di kawasan ini. Walhasil, kunjungan Bush tetap tidak bisa dilepaskan dari dua kebijakan pokok AS selama ini dalam politik (demokrasi dan perang melawan terorisme) serta ekonomi (liberalisasi ekonomi).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">Pemerintah juga boleh saja berulang-ulang mengucapkan terimakasih atas bantuan yang telah diberikan oleh AS kepada Indonesia. Namun, semua pihak mengetahui bahwa setiap bantuan asing tentulah memiliki motif politik. AS adalah negara kapitalis. Bantuan asing yang diberikannya itu tidak bisa dipisahkan dalam konteks keuntungan kepentingan kapitalistiknya. Tidak ada makan siang gratis dalam sistem kapitalis. Salah satu program bantuan luar negeri AS yang momental setelah Perang Dunia II adalah <i>Marshal Plann</i>, yaitu berupa bantuan ekonomi besar-besaran kepada negara-negara Eropa. Namun, program tersebut jelas punya maksud politik, yakni melemahkan negara-negara Eropa. Di bidang pendidikan, pemberian beasiswa seperti Fullbright juga tidak lepas dari kepentingan politik AS. Jack Plano, dalam <i>The International Relation Dictionary </i>(1982), menjelaskan program ini dikembangkan sejak tahun 1946 untuk mempengaruhi perilaku bangsa lain terhadap AS. Senada dengan itu, Joseph S Nye, dalam <i>Soft Power</i> (2004), mengutip pernyataan mantan Menlu AS Colin Powel, tentang pentingnya pemberian program beasiswa. Mantan Menlu AS ini menyatakan, program beasiswa akan membuat para alumni AS menjadi 'diplomat' AS kelak. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><b><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">Wahai Kaum Muslim:<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">Sudah jelas, bahwa kita tidak bisa berharap pada demokrasi yang penuh dengan kebohongan. Demokrasi tidak pernah berpihak pada kehendak dan kepentingan rakyat. Demokrasi hanya berpihak pada elit penguasa, pengusaha, dan negara-negara kapitalis. Kita juga tidak boleh berharap pada negara yang mengklaim kampiun demokrasi seperti AS. Kita harus sadar, AS adalah negara kapitalis yang tetap menjadikan imperalisme/penjajahan sebagai cara untuk menjaga eksistensinya, sekaligus untuk menyeberaluaskan ideologi Kapitalisme yang diembannya. Kita harus mulai menyadari bahwa agenda demokrasi/demokratisasi di Dunia Islam, termasuk di Indonesia, hakikatnya hanyalah 'gincu' sekaligus alat AS untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan politik dan ekonominya. Kita juga harus mulai memahami bahwa liberalisasi di Dunia Islam adalah agenda AS dalam rangka mempertahankan hegemoninya sekaligus memperkuat penjajahannya atas Dunia Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">Karena itu, kaum Muslim tidak boleh terjebak hanya dengan ancaman dari sosok Bush yang memang jahat. Sebab, Amerika tidak hanya direpresentasikan oleh sosok Bush, atau oleh partainya Bush, yakni Partai Republik, tetapi oleh ideologi Kapitalisme yang menjadi haluannya. Walhasil, ke depan kaum Muslim harus tetap menyadari bahaya sepak terjang Amerika sebagai negara kapitalis terbesar, khususnya terhadap Dunia Islam.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="ltr" style="direction: ltr; line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">Lebih dari itu, agar kita meraih kemuliaan di dunia maupun akhirat, kita jelas tidak boleh menggantungkan diri pada negara kafir seperti AS. Kita harus selalu menyandarkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="rtl" style="line-height: 130%; margin: 0cm 0cm 12pt 27pt;"><span lang="AR-SA" style="font-family: 'Traditional Arabic'; font-size: 18pt; line-height: 130%;">بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا، الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ ِللهِ جَمِيعًا</span><span lang="AR-SA" style="font-family: 'Traditional Arabic'; font-size: 18pt; line-height: 130%;"><o:p></o:p></span></div><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">Sampaikanlah kabar kepada orang-orang munafik, bahwa bagi mereka ada azab yang sangat pedih. Mereka itu adalah orang-orang yang mengambil orang-orang kafir sebagai teman/penolong dengan meninggalkan kaum Mukmin. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang kafir itu? Sesungguhnya semua kemuliaan itu kepunyaan Allah. </span></i><b><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">(QS an-Nisa' [4]: 138-139).</span></b><br />
<br />
<b><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">[</span></b><b><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;"><b><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Buletin AL-ISLAM Edisi 330</span></b></span></b><b><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 130%;">] </span></b>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-26031223809744257042010-04-11T22:01:00.005+07:002010-04-11T22:01:21.398+07:00Demokrasi Peluru<a href="http://www.hizbut-tahrir.or.id/al-waie/index.php/2007/07/02/demokrasi-peluru/print/" rel="nofollow" title="Print"></a> <br />
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Penembakan membabi buta itu telah menewaskan 4 orang penduduk Alas Telogo, Grati, Pasuruan; sementara sejumlah orang, termasuk seorang anak berusia 3 tahun, luka-luka. Sejumlah investigasi dan pengakuan penduduk membuktikan bahwa mereka tewas bukan karena peluru pantulan (<i>rekochet</i>), sebagaimana yang sering disampaikan oleh petinggi Marinir bahkan oleh Panglima TNI, namun justru oleh peluru yang ditembakkan secara langsung. Penduduk Alas Telogo yang merupakan petani penggarap tanah sengketa yang oleh Pengadilan Bangil dimenangkan TNI itu bukanlah pihak yang menyerang, tetapi pihak yang berlarian mundur menghindari berondongan senapan tentara.</span><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Inilah drama pembantaian penduduk oleh prajurit Marinir yang selama ini—sebagaimana dibanggakan oleh pimpinannya—dianggap memiliki reputasi baik. Kabarnya, penduduk marah karena tanaman mereka yang sudah berumur setahun dibabat oleh pihak swasta dengan kawalan Marinir. Menurut pengakuan penduduk, sehari sebelum kejadian, tentara mengancam akan menembak penduduk, karena mereka mendapat tugas dari TNI AL di Jakarta. Lalu insiden pun terjadi. Dengan insiden berdarah tersebut Komandan Marinir menyetujui tuntutan warga agar penggarapan oleh swasta dihentikan dan lahan itu akan dikembalikan pada fungsinya sebagai pusat latihan tempur.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Namun belakangan, Panglima TNI mengatakan agar penduduk Alas Telogo taat hukum, karena TNI terikat perjanjian dengan pihak swasta yang harus ditaati. Siapa swasta yang dimaksud? Jelas PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) yang berkantor pusat di Mega Kuningan. Siapa RNI? Menurut suatu sumber, RNI adalah milik Letjen M Yasin yang konon merupakan salah satu anggota tim sukses SBY pada saat Pilpres. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Mengapa peluru dan senjata Marinir yang dibiayai dengan uang rakyat dalam APBN bukan dipakai untuk melindungi rakyat, namun justru untuk melukai bahkan membunuh rakyat? </span><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Kata kawan saya, inilah “demokrasi peluru”: dari rakyat untuk rakyat! <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><i><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Astaghfirullâh</span></i><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">! Mengapa tentara, senjata, dan pelurunya tidak berpihak kepada rakyat, namun justru berpihak kepada pengusaha dan penguasa alias kaum berduit? Inilah kenyataan sistem demokrasi. Rakyat ditipu mentah-mentah setiap kali Pemilu. Dengan jargon <i>dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat</i>, mereka merampas kekuasaan rakyat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Kawan saya, Zaim Saidi, penulis buku <i>Ilusi Demokrasi</i>, mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem perbudakan dari segelintir kaum kapitalis atas seluruh umat manusia melalui instrumen yang namanya negara. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Ya, ini tercermin pada kasus Gubernur Sutiyoso yang didobrak pintu kamarnya di Sydney, padahal dia adalah tamu resmi negara. Lebih memprihatinkan lagi, pemerintah Australia tidak bisa berbuat apa-apa atas tindakan polisinya yang menjalankan tugas pengadilan Aussie. Alasan Dubes Aussie di Jakarta: Pengadilan dan pemerintah Aussie sama-sama independen! <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Ada apa dengan kehormatan dan kewibawaan negara ini, <i>kok</i> begitu merosot di hadapan Aussie, bahkan di hadapan negara mini Singapura?!<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Saya mencoba merenung. Mungkinkah hal itu berhubungan dengan kebijakan Pemerintah RI yang selama ini selalu mengiyakan isu-isu terorisme yang dilemparkan dua negara <i>sheriff</i> AS di kawasan Asia Tenggara itu. Ya, kita semua ingat, betapa penguasa di negeri ini seolah tidak berdaulat lagi mengikuti serangan, tipuan, dan iming-iming dari kedua negara tersebut. Bom Bali I yang menewaskan banyak warga Aussie menjadikan Wapres Hamzah Haz saat itu tidak bisa berkata apa-apa lagi dalam menangkis tudingan Lee Kuan Yew, bahwa Indonesia sarang teroris. Apalagi Menkopolkam waktu itu, SBY, yang kabarnya suka bertengkar dengan Hamzah dalam sidang kabinet. Ia dengan lantang mengatakan sehari setelah Bom Bali I meledak, “Siapa bilang di Indonesia tidak ada teroris? Teroris sudah di depan mata.” <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Hamzah Haz mati kutu. Demikian juga Presiden Megawati yang sempat menolak permintaan George Bush untuk me-<i>”render”</i> Abu Bakar Baasyir. Baasyir yang namanya disebut-sebut oleh Kapolri Dai Bachtiar—didampingi Menkopolkam SBY dan sejumlah menteri—dalam presentasi terorisme di ruangan utama Mabes Polri tepat seminggu sebelum Bom Bali I meledak tersebut akhirnya masuk penjara karena pengakuan palsu. Bom Bali itu pula yang memberi legitimasi pemerintah Aussie untuk membuka kerjasama anti teror dengan Pemerintah <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>, dengan membuat apa yang disebut Densus 88 dan membangun kantor khusus di Mabes Polri Jalan Trunojoyo. Kabarnya, pemerintah Aussie kini sedang membantu pembuatan LP khusus di Nusa Kambangan untuk teroris. Di LP ini, pengunjung dari pihak keluarga napi sekalipun tidak bisa bertemu langsung dengan napi, namun dibatasi dengan dinding kaca. Pendiktean yang sedemikian jauh inilah kiranya yang membuat kedaulatan negeri ini tereduksi. <i> </i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Dalam perspektif syariah Islam, negara harus menjadi perisai bagi rakyatnya. </span><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Kata Nabi saw., “<i>Al-Imâm junnat[un]</i>.” (Pemimpin adalah perisai). Alih-alih melindungi rakyat, tentara yang menjadi aparat keamanan dan penjaga kedaulatan malah menembaki rakyat. Dalam perspektif Islam, negara haruslah memelihara urusan rakyat (<i>ri’âyah asy- syu’ûn al-ummah</i>). Kata Nabi saw., <i>“Al-Imâm râ‘in wa huwa mas’ûl[un] ‘an râ‘iyyatih</i> (Imam adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya).” Fungsi inilah yang tidak dilakukan dengan baik oleh Pemerintah hari ini karena mereka tidak menerapkan syariah. </span><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Sebab, dalam sistem demokrasi, negara justru menjadi instrumen penjajahan untuk memeras rakyat. Seluruh sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai para pemilik modal. Peranan negara dipreteli. Subsidi dihapus dan rakyat ditindas dengan pajak. Dalam situasi kehidupan yang begitu berat lantaran eksploitasi oleh kaum kapitalis Barat, kezaliman negara dan orang-perorang semakin merajalela. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Kezaliman, kata Nabi Muhammad saw., akan menimbulkan kebangkrutan. Beliau pernah menceritakan bahwa pada Hari Kiamat nanti, ada seseorang yang membawa amalan sebesar gunung. Lalu datang orang lain yang pernah dizaliminya di dunia. Orang kedua itu ternyata mengambil pahala sebesar gunung milik orang pertama untuk menghapuskan dosa-dosanya. Ternyata dosa orang kedua itu tidak habis terhapus oleh amalan orang pertama yang di dunia menzaliminya. Lalu sisa dosa orang kedua itu ditimpakan oleh Allah Swt. kepada orang pertama hingga dia terjungkal ke dalam neraka!<o:p></o:p></span></div><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Nah, kalau kezaliman terhadap seseorang saja bisa mencelakakan pelakunya, apalagi kezaliman penguasa yang melukai atau membunuh ribuan bahkan jutaan jiwa. </span><i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Na‘ûdzbillâh tsumma na‘ûdzu billâh!</span></i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"> <b></b></span>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-42107806620004147102010-04-11T22:01:00.003+07:002010-04-11T22:01:14.589+07:00Demokrasi dan Negara Korporasi<a href="http://www.hizbut-tahrir.or.id/al-waie/index.php/2007/07/02/demokrasi-dan-negara-korporasi/print/" rel="nofollow" title="Print"></a> <br />
<div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Menarik pernyataaan Wapres Jusuf Kalla tentang tiga hal yang tidak mungkin bisa ditarik kembali: demokratisasi, desentralisasi, dan kebebasan pers. Jusuf Kalla mengemukakan pandangannya tersebut saat ‘bincang makan pagi’ sebelum berangkat ke Chengdu, Sichuan, Cina, Sabtu (9/6).</span><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Pernyataan ini penting untuk dikritisi, terutama soal demokrasi. Salah satu pertanyaan mendasar terhadap sistem demokrasi adalah, apakah sistem ini menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyat? Apakah sistem ini terbaik bagi bangsa?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Apa yang terjadi di Indonesia bisa menjadi jawaban. Pemerintahan SBY sekarang, dibandingkan dengan masa Orde Lama maupun Orde Baru, sejauh ini dianggap paling demokratis. Jumlah partai politiknya lebih banyak daripada masa Orde Baru. Presidennya dipilih langsung oleh rakyat. Tingkat kebebasan persnya pun tinggi. Sebaliknya, kehidupan ekonomi rakyat tetap terpuruk. Jumlah kemiskinan dan pengangguran tetap tinggi. Penyakit sosial bertambah parah mulai dari tingginya kriminalitas, kekerasan dalam rumah tangga, aborsi, hingga bunuh diri. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Di Indonesia, alih-alih membawa kesejahteraan, demokrasi melahirkan banyak kebijakan liberal yang justru menambah beban masyarakat. Contoh gamblang: kebijakan Pemerintah menaikan harga BBM yang memberatkan rakyat dan menguntungkan investor asing. </span><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Contoh lain: kebijakan privatisasi BUMN, yang juga mengorbankan rakyat dan menguntungkan asing. Muncul pertanyaan, mengapa penguasa lebih memilih untuk memuaskan kepentingan pengusaha/korporasi, bahkan pengusaha/korporasi asing, daripada rakyat? Hubungan erat demokrasi dengan negara korporasi adalah jawabannya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Sudah diketahui oleh umum, partisipasi dalam demokrasi membutuhkan dana besar. Dalam konteks inilah politisi kemudian membutuhkan dana segar dari kelompok bisnis. </span><span lang="ES-TRAD" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Penguasa dan pengusaha pun kemudian menjadi pilar penting dalam sistem demokrasi. Bantuan para pengusaha tentu punya maksud tertentu. Paling tidak, untuk menjamin keberlangsungan bisnisnya; bisa juga demi mendapatkan proyek dari pemerintah. Akibatnya, penguasa didikte oleh pengusaha. Walhasil, sistem demokrasi kemudian melahirkan negara korporasi, yang ciri utamanya adalah: lebih melayani kepentingan pengusaha (bisnis) daripada rakyat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="ES-TRAD" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Dominasi korporasi terhadap negara semakin menggurita setelah korporasi multinasional turut bermain. Korporasi multinasional sangat menentukan siapa yang menjadi pemimpin sebuah negara dan apa kebijakan negara tersebut. Korporasi multinasional lewat berbagai institusi, baik negara kapitalis maupun organ-organ internasional seperti PBB, IMF dan Bank Dunia, mendikte dan sangat mempengaruhi kebijakan sebuah negara. Khodori (<i>www.korantempo.com</i>) menggambarkan hal ini dengan mengutip Tony Clarke, seorang akademisi dan aktivis di Kanada, dalam buku <i>The Case Against the Global Economy</i> (2001). Ia menyebutkan, dari 100 institusi dunia yang paling kaya, termasuk negara, 52 institusi adalah korporasi transnasional (TNC), dan 70 persen perdagangan global dikontrol oleh hanya 500 perusahaan. Sebagai ilustrasi, total penerimaan Mitsubishi jauh lebih besar daripada pendapatan kotor domestik (GDP) Indonesia; pendapatan Ford melebihi GDP Afrika Selatan; dan pendapatan Dutch Shell melebihi GDP Norwegia (<i>www.acmoti.org</i>). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="ES-TRAD" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">GDP Indonesia kalah dari total <i>sales</i> Exxon—salah satu TNC dunia. Dengan kekuatannya itu, TNC bisa mendikte kebijakan negara tempat ia tinggal, lewat lobi partai dan penguasa. Chiquita, TNC Amerika yang memproduksi dan mengontrol 50 persen perdagangan pisang dunia, pada 1997 menyogok lebih US$ 500 ribu untuk kampanye Partai Republik ataupun Partai Demokrat di AS. Karena kuatnya lobi, koalisi TNC bisa menaikkan sumbangan politisnya ke Partai Republik yang berkuasa, dari US$ 37 juta (1992) menjadi US$ 53 juta (2002). Kini 72 persen pundi partai itu dipasok TNC, terutama TNC agrobisnis (<i>The New York Times</i>, 9/9/2003). Sebagai imbalannya, Presiden Bush pada 2002, antara lain, meneken Farm Bill senilai US$ 180 miliar untuk 10 tahun ke depan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Contoh lain, dalam kasus ExxonMobil, seperti ditulis Kwik Kian Gie (<i>Kompas</i>, 23/2/2006), pemerintah AS ikut campur tangan demikian jauh. Tujuannya agar perusahaan minyak asal AS itu ditunjuk oleh Pemerintah <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> sebagai pengelola Blok Cepu. Tidak tanggung-tanggung, campur tangan dilakukan oleh pemimpin tertinggi ExxonMobil, Duta Besar Ralph Boyce, dan Presiden Bush. Kedatangan Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice, yang bersamaan dengan panasnya penentuan operator Blok Cepu, juga bukan sebuah kebetulan; meskipun Menko Perekonomian Boediono membantah ada intervensi atau tekanan (<i>Kompas</i>, 16 Maret 2006). Sama halnya dengan <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Invasi</st1:city> <st1:state w:st="on">AS</st1:state></st1:place> ke Irak; tidak bisa dilepaskan dari kepentingan perusahan-perusahan besar AS. </span><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Serangan ini merupakan upaya AS untuk menguasai minyak Irak yang kaya-raya itu. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Mereka juga menjerat negara-negara berkembang seperti Indonesia dengan utang luar negeri. Lalu mereka menekan negara pengutang tersebut agar memuluskan masuknya korporasi multinasional. Syaikh Abdurrahman al-Maliki, dalam bukunya,<i> As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al-Mutsla </i>(Politik Ekonomi Ideal), dengan tegas mengatakan bahwa utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek adalah cara yang paling berbahaya bagi eksistensi negeri-negeri Islam dan senantiasa membuat umat menderita, karena merupakan jalan untuk menjajah suatu negara. Apa yang dikatakan oleh Syaikh al-Maliki pada tahun 1960-an itu kemudian memang terbukti. Lewat utang luar negeri, Barat kemudian berhasil memaksa negara-negara yang diberikan bantuan agar tunduk pada kepentingan mereka. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="direction: ltr; line-height: 150%; text-align: left; unicode-bidi: embed;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Hal ini secara terbuka diakui John Perkins mantan anggota “perusak ekonomi” (<i>Economic Hit Man</i>) dalam bukunya, <i>Confessions of an Economic Hit Man</i>. Dalam bukunya itu, Perkins menulis tentang tujuan penugasannya, antara lain untuk membangkrutkan negara-negara pengutang. <o:p></o:p></span></div><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Negara korporasi tak ubahnya perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan. Dalam negara korporasi, subsidi terhadap rakyat, yang sebenarnya merupakan hak rakyat, dianggap pemborosan. Aset-aset negara yang sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi, yang tidak bisa dilepaskan dari sistem politiknya: demokrasi. </span><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">[FW]</span>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-84381810450150084792010-04-11T22:01:00.001+07:002010-04-11T22:01:05.443+07:00Paradoks Demokrasi<a href="http://www.hizbut-tahrir.or.id/2008/01/21/paradoks-demokrasi/print/" rel="nofollow" title="Print"></a> <br />
<div class="post-content"><b><span lang="FI" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Oleh : Ir. Muhammadun </span></b><b><span lang="FI" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">(Ketua HTI Riau)</span></b><br />
<b><span lang="FI" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;"></span></b><b><span lang="EN-US" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">(dimuat di Harian Riau Pos - Senin, 21 Januari 2008)</span></b><b><span lang="FI" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;"></span></b><b><span lang="FI" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;"> </span></b><b><span lang="FI" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;"> </span></b><b><span lang="FI" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;"><i><span lang="EN-US" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">The west won the world not by the superiority of its ideas, values or religion. But rather by its superiority in applying organized violence. Westerners often forget this fact, but non westerners never do. (Prof. Samuel P Huntington). </span></i><span lang="EN-US" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;"><br />
</span></span></b><br />
<b></b><span lang="EN-US" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Demokrasi dan kesejahteraan. Itulah topik hangat dalam Silaknas ICMI di Pekanbaru, beberapa hari yang lalu. Nanat Fatah Natsir bahkan berharap <country-region w:st="on"></country-region></span><span lang="EN-US" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;"></span><br />
<place w:st="on"></place>Indonesia bisa menggapai kesejahteraan dengan jalan demokrasi (Riau Pos, 12/1/2008). <span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Padahal Indonesia sudah termasuk negara demokratis. Demikianlah pengakuan masyarakat dunia. Indonesia telah berhasil mengembangkan dan mempraktikkan demokrasi yang ditandai dengan suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2004 yang mengantarkan SBY-dari parpol yang baru terbentuk-menjadi presiden. Demikian tegas Ketua Komite Konferensi Dunia IAPC ke-40, Pri Sulisto, di Nusa Dua, Bali (Republika, 12/11/07). Indonesia akhirnya meraih ‘’Medali Demokrasi’’.</span><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Pertanyaannya, apakah demokrasi berkolerasi dengan kesejahteraan masyarakat? Apakah dengan demokrasi seluruh kebutuhan masyarakat-seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan-tercukupi dengan baik? Faktanya, di Indonesia banyak rakyat miskin tanpa rumah dengan mal nutrisi, tidak mempunyai harapan hidup layak karena tidak adanya jaminan kesehatan, biaya pengobatan yang melambung tinggi, rasa aman yang mahal dan yang lainnya. Kementerian Perumahan Rakyat mencatat, pada awal Oktober 2007 terdapat sekitar 9,5 juta keluarga di Indonesia yang belum mempunyai rumah. (Jawa Pos, 30/10/07).</span><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Ternyata Amerika dan negara-negara Barat lain maju perekonomiannya bukan karena demokrasi. </span> <span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Sebagaimana kata Huntington di atas, ‘’Barat unggul di dunia sekarang ini bukan karena kehebatan ide, nilai-nilai atau agamanya. Barat maju, sejahtera dan unggul lebih karena kemampuannya mengorganisasi kekacauan (imperialisme).’’ Lihatlah kenyataan ini, berapa ton emas yang dikeruk Freeport, dibawa ke Amerika dan telah membuat banyak rakyat Amerika sejahtera karenanya. Berapa milyar barel minyak dari Aceh, Riau, Cepu dan Kaltim yang disedot perusahaan-perusahaan Amerika dan telah membuat mereka kaya. Dan seterusnya. </span><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Kalaupun Mereka menegakkan demokrasi, apalagi dengan biaya yang sangat mahal sebagaimana Pilpres di AS, sementara tidak ada imperialisme yang mereka lakukan, dipastikan Barat tidak semaju sekarang. </span><br />
<span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Contoh lain adalah Belanda. Belanda bisa membangun negaranya seperti sekarang apakah karena demokrasi? Kalau kita melihat sejarah, Belanda bisa seperti sekarang bukan karena demokrasi tapi karena 350 tahun menjajah Indonesia.</span><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Demikian juga Rusia. Rusia atau dulu Uni Soviet, pada masa kejayaan komunisme meraih kemajuan di bidang sains dan teknologi. Mereka mampu menciptakan teknologi canggih hingga teknologi ke ruang angkasa. Padahal komunisme sering diklaim memberangus demokrasi dan kebebasan. Jadi, persoalannya bukanlah masalah demokrasi atau tidak, tetapi apakah masyarakat itu memiliki kebiasan berpikir produktif atau tidak. </span><br />
<span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;"></span><b><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Paradoks Demokrasi</span></b><br />
<b><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;"></span></b><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Demokrasi secara ideal dirumuskan oleh Abraham Lincoln sebagai sebuah sistem pemerintahan yang didasarkan atas prinsip kedaulatan dari, oleh dan untuk rakyat. Melalui sistem pemilihan tertentu, transformasi kedaulatan rakyat tersebut diwujudkan dalam proses pemberian suara untuk meraih jabatan politik tertentu. Dalam kekuasaannya, aspirasi masyarakat akan diperjuangkan melalui mekanisme yang telah disepakati. Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Benarkah secara faktual dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat? </span><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;"> </span><br />
<span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Anggapan yang menyatakan kedaulatan ada di tangan rakyat jelas keliru. Faktanya, di Indonesia sendiri, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa dan pengusaha. Bahkan kebijakan dan keputusan pemerintah sering dipengaruhi oleh kepentingan para pemilik modal, baik lokal maupun asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang merupakan produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden-yang katanya perpanjangan dari kepentingan rakyat karena dipilih langsung oleh rakyat-sering bertabrakan dengan kemauan rakyat. Betapa sering kebijakan pemerintah yang diamini para wakil rakyat justru didemo oleh rakyat sendiri.</span><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Ketergantungan parpol pada jalur ekonomi sebenarnya merupakan suatu hal klasik dan wajar. Sebab, partai-partai memerlukan dana untuk berbagai macam kegiatannya. Namun, dalam demokrasi, nampaknya kerjasama aktor-aktor dan instrumen politik dengan aktor-aktor dan instrumen ekonomi telah membentuk suatu lingkaran setan. Pada saat akan terjadi pemilihan umum, para konglomerat berupaya memasang perlindungan bagi bisnisnya agar tidak rontok di tengah jalan dengan mengucurkan dana kepada partai-partai yang diprediksi akan meraih suara cukup banyak.</span><br />
<span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;"></span><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Cilfrede Pareto dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya yang berkuasa adalah sekelompok kecil orang atas kelompok besar. Khusus kasus di Indonesia, kelompok mayoritas adalah Muslim, tetapi kenyataanya yang senantiasa diuntungkan adalah kelompok non-Muslim karena kekuasaan atau modal dimiliki oleh kelompok minoritas non-Muslim. Hal senada juga dinyatakan oleh Benjamin Constan. Ia menyatakan bahwa demokrasi membawa masyarakat menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.</span><br />
<span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;"></span><b><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Konsep Suara Mayoritas </span></b><br />
<b><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;"></span></b><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Memang benar, realitasnya masyarakat tidak mungkin semuanya duduk di pemerintahan. Oleh karena itu, suatu hal yang wajar muncul konsep perwakilan rakyat. Suatu hal yang patut dicermati adalah klaim sistem demokrasi terhadap suara mayoritas wakil rakyat di parlemen sebagai suara mayoritas rakyat.</span><span lang="SV" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Dalam kenyataannya, telah terjadi pengalihan dari mayoritas rakyat ke minoritas rakyat. Bagaimana tidak, untuk menjadi anggota legislatif seseorang perlu mengantongi suara dengan kuota tertentu. Konsekuensinya, seorang wakil rakyat setara dengan jumlah rakyat dengan kuota tersebut. Setiap pikiran, saran, sikap, dan keputusan dari setiap anggota legislatif dianggap selalu setara dan senantiasa mewakili sejumlah orang tersebut. Padahal, realitasnya ‘’wakil rakyat’’ tersebut tidak pernah meminta pendapat rakyat yang diwakilinya, rakyat tidak dapat mengoreksi apalagi memecatnya. </span><span lang="FI" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Kalaupun di-recall bukan oleh rakyat melainkan oleh pimpinan partainya.</span><span lang="FI" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Dengan demikian, sebenarnya keputusan-keputusan yang diambil oleh para anggota legislatif sekalipun diakukan sebagai suara rakyat, hakikatnya telah beralih kepada suara anggota legislatif itu secara individual.</span><br />
<span lang="FI" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;"></span><span lang="FI" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Satu hal lagi, apakah suara mayoritas itu pasti benarnya? Bila jawabannya didasarkan pada pelogikaan manusia maka boleh jadi ya. Namun, ternyata Allah SWT Dzat Yang Maha Tahu menyatakan sebaliknya. Kebenaran bukan ditentukan oleh mayoritas atau minoritas suara melainkan ditetapkan berdasarkan dalil syar’i.</span><span lang="FI" style="color: black; font-family: Verdana; font-size: 10pt;">Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Jimly Assiddiqy dalam kesempatan Silaknas ICMI di Pekanbaru pekan lalu mengatakan bahwa demokrasi memang telah membawa cacat bawaan. Nah, mestinya kita tidak terjebak dalam pola pikir <i>democratic trap</i> (jeratan demokrasi). Untuk memperbaiki negeri ini kita harus keluar dari kotak pemikiran konvensional <i>(out the box),</i> sehingga akan muncul pikiran-pikiran alternatif yang jernih, tidak sekedar defensif apologetik tatkala menghadapi serbuan pemikiran dari Barat. Karena sebagaimana kata Samuel P Huntington tadi, Barat ternyata maju bukan karena keunggulan pemikiran, ide atau agamanya namun karena kemampuan mengelola kekacauan alias imperialisme. Lantas untuk apa kita ikut-ikutan mengadopsi dan memasarkan ide-ide Barat ? Wallahu a’lam bi-showab.***</span></div>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-23279803406332396432010-04-11T22:00:00.007+07:002010-04-11T22:00:57.651+07:00Demokrasi Selalu Ingkar JanjiSebagai anak sekolah mungkin sudah tidak asing lagi mendengar kata demokrasi, bahkna kita juga dicekoki dengan janji demokrasi sebagai sistem negara yang akan melahirkan: permsamaan hak atau persamaan kedudukan, kebebasan, dan kesejahteraan hidup. Tapi betulkah demikian?<span id="more-573"></span><br />
<div class="main"><b>Cuma mitos!<br />
</b>Konon kabarnya inti dari demokrasi adalah terlaksananya kedaulatan rakyat, yakni seberapa jauh rakyat bisa melaksankan kedaulatannya, untuk menentukan nasibnya sendiri dalam rangka kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi praktiknya demokrasi selalu bersifat oligarkis, yang dalam kenyataannya kedaulatan rakyat adalah kedaulatan para tokoh yang secara formal mewakilinya.<br />
Kok bisa sih? Ya, karena pendapat ini dibangun oleh dua fakta, pertama: masyarakat senantiasa terbagi atas pimpinan (tokoh) dan yang dipimpin (masyaraat). Kedua: yang muncul dan berperan utama dalam demokrasi riil adalah mereka yang tergolong perwakilan. Sederhananya, aspirasi para wakil rakyat sering berbeda dengan aspirasi rakyat yang diwakili.<br />
Bukankah dalam kondisi seperti ini batas demokrasi dan oligarki menjadi kabur? Contoh, ketika rakyat menolak kenaikan harga BBM, toh pemerintah dan DPR tanpa merasa berdosa menyetujuinya (meski baru sekarang sebagian anggota DPR ribut menolak kenaikan harga BBM tersebut, tapi nasi sudah menjadi bubur). Ini bukti bahwa dalam demokrasi tak pernah ada kontrol dari rakyat, karena rakyat tak akan mampu mengontrol para politisi.<br />
Katanya, demokrasi adalah sistem modern dan jelas dasar moralnya. Ternyata ketika orang dipaksa (mau tak mau) harus bicara moral, mereka akan kembali kepada nilai-nilai dan spirit yang ada pada jamannya, atau dari adat istiadat masyarakat, atau dari agama di sekitarnya. Moral seperti ini adalah formalitas. Bila ditanya moral siapa yang berbicara, tentuk bukan moral semua rakyat, melainkan moral di kalangan tertentu saja (Yusuf Mukhlis: 1998)<br />
Hal ini nampak jelas ketika orang perlu memberi nama: Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Sosialis, dan bahkan ada nama yang sangat dipaksakan Demokrasi Islam atau Islam Demokratis. Penamaan tersebut jelas menggambarkan ketidakjelasan moral yang melandasi demokrasi, sehingga penamaan pun harus menggunakan embel-embel. Makanya Gus Dur pernah berkelakar: Kalau demokrasi, ya demokrasi, nggak usah pakai embel-embel segala toh<br />
Ini mungkin juga yang disebut dengan global paradoks. Sungguh aneh demokrasi yang dianggap sebagai ideologi modern jutsru paradoks. Padahalmenurut Jakob Sumardjo, Cara berpikir modern, adalah tunggal. Kebenaran itu tunggal. Tinggal menentukan hitam atau putih. Jika putih tentu tidak hitam. Bahkan beliau memberi contoh, Dalam sejarah modern, Bung Karno dapat ditunjuk mewakili karakter paradoks. Gagasanya tentang NASAKOM (Nasionalis Agama Komunis), cukup kontroversial di tahun 60-an. Padahal komunis selalu memusuhi agama. Tinggal pilih: komunis yang menang atau agama yang menang. (Kompas, 25/01/2005). Sama dengan demokrasi, kapitalisme, atau sekularisme selalu memusuhi Islam. Mana mungkin bisa dikompromikan? Tingal pilih: Islam yang menang atau demokrasi yang menang, gitu lho.<br />
Ada yang bilang, dalam demokrasi dinjanjikan kesamaan kedudukan politik bagi setiap warga negara. Itu sebabnya, para politisi dan filosof mencari bentuk yang paling pas untuk menyamaratakan hak politik warga negara. Ternyata, ketika demokrasi diterapkan dengan trias politica-nya, yaitu legislatif bekerja menetapkan hukum-hukum yang akan diberlakukan, dengan demikian kita menempatkan legislatif itu lebih tinggi dari yang lain, karena legislator berhak membuat undang-undang yang akan mengatur hidup kita. Bukankah dengan demikian kita menyalahi prinsip kesamaan kedudukan setiap warga negara? Prinsip paradoks inilah yang membuat filosof Eropa menganjurkan untuk membuat aturan tertinggi yang mengatur wewenang wakil rakyat.<br />
Katanya demokrasi sukses memimpin masyarakat. Tapi nyatanya dalam sejarah yang jujur belum pernah ditemukan satu negara di dunia ini yang benar-benar menerapkan demokrasi. Yunani dan Romawi, dua negara yang dianggap pelopor demokrasi justru tenggelam di bawah bayang-bayang tirani. Amerika atau Inggris, malah menjadi tirani (baca: otoriter) dunia yang selalu memaksakan kehendak atas nama demokrasi atau HAM.<br />
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh sosiolog Amerika Herbet Marcuse, Demokrasi dibangun atas dasar sengatan teror otoriter dan akan dihancurkan oleh otoriter juga, (Yudi Latif: 1997). Bush membungkus ambisi hegemoni AS dengan baju demokratisasi dan kebebasan dunia. Bahkan George Soros mengatakan dalam bukunya, The Bubble of American Supremacy, Kini dengan meneriakkan pesan: demokratisasi dan kebebasan dunia sebenarnya juga merupakan ungkapan dari supremacist ideology AS dalam baju lain. (Kompas, 07/02/2005).<br />
Dari beberapa fakta tadi harusnya kita sadar bahwa, seluruh kekuatan demokrasi telah luluh lantak oleh kekuatan akal sehat, kecuali satu kekuatan yang masih tersisa: yakni propaganda. Ya, propaganda melalui media elektronik, media cetak, para agen intelektual, sekolah-sekolah, universitas-universitas, LSM-LSM, kaum feminis, para selebritis dsb.<br />
<b>Penutup<br />
</b>Ketika bangsa ini sibuk mencari rujukan tentang demokrasi yang pas buat diterapkan, entah merujuk kepada Magna Carta, Doctrine of Independent, atau Du Contract Social karya JJ Rousseau, juga kepada Declaration of Human Right, atau apalah namanya, ternyata Islam sudah lebih dulu menawarkan Piagam Madinah. Bahkan kemudian dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan nyata mulai Negara Islam pertama di Madinah sampai berakhir di Turki.<br />
Itu sebabnya terasa kurang pas ketika ada sebagian aktivisi dakwah yang menerima demokrasi (apalagi memperjuangkannya). Bukankah itu malah akan mengaburkan tujuan dakwah, ketika harus berhadapan dengan nilai-nilai sekular. Terasa aneh pula ketika ada ulama yang begitu yakin bahwa demokrasi akan terwujud, padahal Plato atau JJ Rousseau sendiri sebagi pemikir demokrasi tidak pernah yakin jika demokrasi akan terwujud. Utopis deh! [<i>Emat S. Elfarakani - Guru Sejarah di SMK Taruna Andigha, Bogor</i>]</div>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-44880719073379108352010-04-11T22:00:00.005+07:002010-04-11T22:00:53.737+07:00Wajah Buruk Demokrasi<a href="http://www.hizbut-tahrir.or.id/al-waie/index.php/2008/01/04/wajah-buruk-demokrasi/print/" rel="nofollow" title="Print"></a> <br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Indonesia termasuk negara paling demokratis. Demikianlah pengakuan masyarakat dunia. Pasalnya, Indonesia telah berhasil mengembangkan dan mempraktikkan demokrasi yang ditandai dengan suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2004 yang mengantarkan SBY—dari parpol yang baru terbentuk—menjadi presiden. </span><span lang="IT" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Demikian tegas Ketua Komite Konferensi Dunia IAPC ke-40, Pri Sulisto, di Nusa Dua, Bali (<i>Republika</i>, 12/11/07).</span><span lang="IT" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="IT" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Indonesia akhirnya meraih “Medali Demokrasi”. Medali tersebut diberikan oleh IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik)—sebuah organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi di seluruh dunia—karena Indonesia merupakan negara pertama berpenduduk mayoritas Muslim yang dinilai melakukan proses demokrasi dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, Co Chairman Komite Konferensi IAPC, ke-40, Robert Murdoch, menambahkan, selain sebagai penghargaan, dipilihnya Indonesia menjadi tempat pertemuan juga merupakan perwujudan perjuangan IAPC untuk mempromosikan demokrasi di seluruh dunia. (<i>web.bisnis.com</i>, 13/11/07)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="IT" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Pertanyaannya, apakah demokrasi berkolerasi dengan kesejahteraan masyarakat? Apakah dengan demokrasi seluruh kebutuhan masyarakat—seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan—tercukupi dengan baik? Faktanya, di Indonesia banyak rakyat miskin tanpa rumah dengan malnutrisi, tidak mempunyai harapan hidup layak karena tidak adanya jaminan kesehatan, biaya pengobatan yang melabung tinggi, rasa aman yang mahal dan yang lainnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><br />
<b>Salah Paham Tentang Demokrasi<o:p></o:p></b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Banyak kalangan salah paham terhadap demokrasi. Banyak orang hanya memahami demokrasi sebagai perwujudan partisipasi rakyat dalam Pemilu yang transparan dan akuntabel, ditambah dengan aktivitas musyawarah para wakil rakyat dalam mengambil keputusan; tak peduli apakah keputusan hasil musyawarah untuk dijadikan aturan itu bertentangan dengan hukum Islam ataukah tidak. Dengan demikian, orang/lembaga/negara dikatakan demokratis jika mendengarkan pendapat orang lain melalui musyawarah sebelum mengambil keputusan. Inilah sebenarnya yang disebut dengan ‘demokrasi prosedural.’ <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Walhasil, mudah dimengerti jika Pemilu yang demokratis tidak bisa dijadikan ukuran suksesnya sebuah negara. Apalagi jika dikaitkan dengan persoalan kemakmuran warga negaranya. Padahal, katanya, dengan demokrasi diharapkan negara bisa mencapai kemakmuran. Kementerian Perumahan Rakyat mencatat, pada awal Oktober 2007 terdapat sekitar 9,5 juta keluarga di Indonesia yang belum mempunyai rumah. (<i>Jawa Pos</i>, 30/10/07). Akhir-akhir ini pembangunan ekonomi di Indonesia juga telah menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Ekonomi saat ini memunculkan jurang pemisah yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Jurang pemisah ini jelas akan menimbulkan serentetan akibat buruk bagi peri kehidupan di masyarakat. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui bahwa kesenjangan sosial yang terlalu besar pada bangsa ini bisa memicu siklus kekerasan yang selalu terjadi setiap 5 tahun terakhir. (<i>Antara News</i>, 23/10/07). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><br />
<b>Hakikat Sistem Demokrasi<o:p></o:p></b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Sistem demokrasi di negara manapun selalu mencerminkan paling tidak dua hal: (1) Kedaulatan rakyat; (2) Jaminan atas kebebasan umum. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><br />
<b>Kedaulatan rakyat.<o:p></o:p></b></span></i></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Demokrasi identik dengan jargon “dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat”; dengan kata lain, kedaulatan ada di tangan rakyat. Benarkah secara faktual dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat? <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Anggapan yang menyatakan kedaulatan ada di tangan rakyat jelas keliru. Faktanya, di Indonesia sendiri, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa dan pengusaha. Bahkan kebijakan dan keputusan Pemerintah sering dipengaruhi oleh kepentingan para pemilik modal, baik lokal maupaun asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang merupakan produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden—yang katanya perpanjangan dari kepentingan rakyat karena dipilih langsung oleh rakyat—sering bertabrakan dengan kemauan rakyat. Betapa sering kebijakan Pemerintah yang diamini para wakil rakyat justru didemo oleh rakyat sendiri. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Cilfrede Pareto dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya yang berkuasa adalah sekelompok kecil orang atas kelompok besar. Khusus kasus di Indonesia, kelompok mayoritas adalah Muslim, tetapi kenyataanya yang senantiasa diuntungkan adalah kelompok non-Muslim karena kekuasaan atau modal dimiliki oleh kelompok minoritas non-Muslim. Hal senada juga dinyatakan oleh Benjamin Constan. Ia menyatakan bahwa demokrasi membawa masyarakat menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Jelas, ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang hanya mengakui kedaulatan hukum syariah (Hukum Allah). Dalam demokrasi, rakyat (manusia) diberi kewenangan penuh untuk membuat hukum, termasuk membuat hukum yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah (syariah). </span><span lang="IT" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Inilah yang terjadi di negara-negara yang menerapkan demokrasi, termasuk Indonesia. Padahal dalam Islam, hanya Allah yang berhak menetapkan hukum. Allah Swt. berfirman:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: Arial; font-size: 14pt; line-height: 150%;">إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt;"><i><span lang="DE" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. </span></i><span lang="DE" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">(QS an-An‘am [6]: 57).<b><o:p></o:p></b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><br />
<b>Jaminan atas kebebasan umum.<o:p></o:p></b></span></i></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Pertama</span></i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">: kebebasan beragama. Dalam demokrasi, seseorang berhak meyakini suatu agama/keyakinan yang dikehendakinya tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula meninggalkan agama dan keyakinannya, lalu berpindah pada agama atau keyakinan baru. Seseorang juga berhak untuk tidak beragama atau membuat ‘agama baru’.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Jelas ini bertentangan dengan Islam. Memang, dalam Islam tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Ini diserahkan sepenuhnya kepada individu masing-masing (lihat: QS).<b> </b>Namun, tatkala seseorang telah memeluk agama Islam, dia berkewajiban untuk tunduk dan patuh pada syariah atau aturan-aturan Allah, termasuk di dalamnya keharaman untuk keluar dari agama Islam atau murtad. Rasulullah saw. bersabda:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: Arial; font-size: 14pt; line-height: 150%;">مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt;"><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Siapa saja yang menukar agamanya (murtad) maka bunuhlah.</span></i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"> (HR).<b><o:p></o:p></b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Islam sangat menjaga kesucian agama. Tidak bisa dengan seenaknya keluar masuk agama. Islam melarang umatnya untuk ‘membongkar-pasang’ keyakinan dalam Islam, dengan kata lain, melarang umatnya untuk membuat ‘agama baru’. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Kedua</span></i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">: kebebasan berpendapat. Dalam demokrasi, setiap individu berhak mengembangkan pendapat atau ide apapun dan bagaimanapun bentuknya tanpa tolok ukur halal-haram. Tidak aneh, dalam demokrasi, kita mendapati banyak pendapat yang dipakai untuk ‘menghujat’ Islam; seperti bahwa Islam adalah ajaran Muhammad (Mohammadanisme), bukan syariah Allah; al-Quran adalah produk budaya, tidak sakral, dll. Inilah pandangan-pandangan liberal. Jelas ini bertentangan dengan Islam. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Ketiga</span></i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">: kebebasan kepemilikan. Intinya, seseorang boleh memiliki harta (modal) sekaligus mengembangkannya dengan sarana dan cara apapun. Di Indonesia, pihak asing bahkan diberikan kebebasan untuk menguasai sumberdaya alam milik rakyat, antara lain melalui UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, dll. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Keempat</span></i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">: kebebasan berperilaku. Intinya, setiap orang bebas untuk berekspresi, termasuk mengekspresikan kemaksiatan seperti: membuka aurat di tempat umum, berpacaran, berzina, menyebarluaskan pornografi, melakukan pornoaksi, melakukan praktik homoseksual dan lesbianisme, dll. <o:p></o:p></span></div><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Itulah hakikat sistem demokrasi yang sejatinya menjauhkan hukum Allah dan menanamkan liberalisasi. []</span>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-29378335010116695432010-04-11T22:00:00.003+07:002010-04-11T22:00:50.013+07:00Demokrasi dan Kedaulatan Pemilik Modal<a href="http://www.hizbut-tahrir.or.id/al-waie/index.php/2008/01/04/demokrasi-dan-kedaulatan-pemilik-modal/print/" rel="nofollow" title="Print"></a> <br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Selama ini sering kita dengar, orang-orang yang dikenal sangat berhasil saat memimpin lembaga, instansi, atau perusahaan, ternyata saat menjadi pemimpin eksekutif pemerintahan tidak bisa berbuat banyak untuk rakyat; bahkan sering membuat rakyat menderita. Mengapa? Sebabnya acapkali seragam: tiga tahun pertama sibuk mengembalikan utang atas modal kampanye; dua tahun terakhir sibuk mempersiapkan Pemilu; selama 5 tahun pemerintahannya harus membuat kebijakan-kebijakan “pro pasar” (baca: pro pemilik modal) karena keberhasilannya terpilih tak lepas dari peran serta mereka. </span><span lang="IT" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Inilah realitas dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, khususnya di Indonesia.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Realitas lainnya, kita melihat para ulama kadang mempelopori rakyat untuk menentang berbagai kerusakan moral. Namun, selalu saja langkah mereka terbentur; seperti RUU APP yang sekarang berubah menjadi RUU PP. Kenyataannya, Parlemen sering tidak mendukung langkah ulama jika berbenturan dengan kepentingan pemodal. </span><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Fatwa ulama juga hanya dianggap <i>option</i> (pilihan), bukan <i>obligatio</i>n (keharusan).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Apakah berarti demokrasi telah membuat orang-orang cerdas dan tokoh-tokoh mumpuni itu “tersandera” sehingga tidak mampu berbuat banyak? Ataukah demokrasi hanya dimanfaatkan oleh kalangan tertentu sehingga menguntungkan mereka? Apakah demokrasi adalah sebuah sistem yang nilai-nilainya ternyata menguntungkan para pemilik modal dan mengabaikan rakyat? Ataukan demokrasi hanyalah sebuah prosedur yang bebas nilai, seperti pisau, sehingga siapa yang berhasil memanfaatkan prosedur itu maka merekalah yang menang? Apakah kita mengukur demokrasi dari realitas sistemnya secara lengkap, dengan segala prinsip-prinsip yang dipakainya serta ekses-ekses yang ditimbulkannya? Ataukah kita menilai demokrasi, sekadar dengan melihat prosedurnya—Pemilu—sehingga tak ada kaitannya dengan kemunduran negara?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><br />
<b>Fakta Historis<o:p></o:p></b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Secara historis, kemunculan demokrasi pada akhir abad ke-18 sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari tiga pemikiran lainnya: sekularisme, liberalisme, dan Kapitalisme. </span><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Keempatnya muncul sebagai “satu paket” untuk melawan pemikiran-pemikiran lain: monarki absolut (otokrasi) dan teokrasi. Saat itu rakyat di 13 koloni Inggris di pantai timur Amerika serta Kekaisaran Prancis terbelah: yang pro raja dan gereja (dipimpin para bangsawan) dan kontra raja dan gereja (dipimpin para filosof dan kaum borjuis). Pihak pertama membela monarki absolut (kekuasaan raja) dan teokrasi (kekuasaan gereja). Mereka mengopinikan teori “kedaulatan Tuhan” dan konsep raja sebagai manusia terpilih yang menjadi perpanjangan-Nya. </span><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Dengan teori ini posisi raja dan gereja yang sudah stabil selama ratusan tahun tidak digugat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Sebaliknya, pihak kedua mengeluarkan empat teori yang berlawanan. Teori sekularisme menyatakan bahwa rakyat tidak perlu terikat pada aturan gereja dalam kehidupan publik. Selanjutnya liberalisme menegaskan pola pikir dan pola sikap rakyat hendaknya terserah rakyat sendiri. Kapitalisme menyatakan bahwa ekonomi hendaknya tidak didominasi kerajaan. Hendaknya rakyat (termasuk di dalamnya kaum borjuis) terlibat besar dalam ekonomi, dan pemerintah hanya sebagai “wasit ekonomi” saja. </span><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Adapun demokrasi menegaskan teori “kedaulatan rakyat” sebagai lawan dari teori kedaulatan Tuhan. Demokrasi menegaskan <i>Vox Populi Vox Dei</i> (suara rakyat adalah suara tuhan). Tidak ada ketentuan Tuhan mengatur rakyat dalam kehidupan publik. Sebaliknya, suara publik itu sendirilah yang harus diakui sebagai pencerminan “suara Tuhan”. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Jelaslah, demokrasi berada dalam satu kesatuan dengan ketiga pemikiran lain. Dalam realitasnya, pada negara-negara yang berubah menjadi negara demokrasi berlangsung dua proses berikut:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Pertama</span></i><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">, dengan dipelopori para filosof, dengan sekularisme dan liberalismenya, kedaulatan rakyat berarti rakyat semakin jauh dari kedaulatan penguasa (otokrasi) dan kedaulatan gereja (teokrasi); kedaulatan rakyat berarti lawan dari kedaulatan nilai dan kedaulatan penguasa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Kedua</span></i><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">, dengan melihat fakta bahwa “rakyat yang paling kuat” adalah kaum borjuis (kaum kapitalis, para pemilik modal) maka otomatis rakyat berada dalam kekuasaan kaum borjuis. Kedaulatan rakyat berarti kedaulatan pemilik modal (korporatokrasi).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Alhasil, dengan demokrasi bukan kedaulatan rakyat yang diraih, tetapi rakyat berpindah dari kedaulatan nilai dan kedaulatan penguasa menuju kedaulatan pemilik modal; dari teokrasi dan otokrasi ke korporatokrasi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Kalau kita telusuri berubahnya negara-negara di dunia menuju negara demokrasi, sejak akhir Abad XVIII M sampai sekarang, akan kita temui bahwa rakyat berpindah dari dominasi penguasa dan agama menuju dominasi pemegang modal. </span><span lang="IT" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Di mana-mana negara demokrasi akan selalu didominasi para pemodal. </span><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) boleh saja mengatakan bahwa demokrasi adalah, “<i>from the people, by the people, and for the people</i>”. Namun, Presiden Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 (hanya sebelas tahun setelah <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Lincoln</st1:city></st1:place> meninggal), mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “<i>from company, by company, and for company</i>”. </span><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Di India saat ini juga sangat kelihatan bahwa para pengusaha sangat menentukan perpolitikan negeri itu. Dua bersaudara pengusaha Ambani hidup dengan luar biasa mewah; koleksi mobil mewahnya sangat banyak dan rumahnya lebih dari sepuluh lantai, tetapi tak ada yang mengusik mereka. Di Indonesia, Wapres Jusuf Kalla menyatakan keprihatinannya bahwa banyak pengusaha baru sepuluh tahun mengelola usahanya sudah sangat berambisi jadi bupati. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Faktanya, semakin lama negara-negara demokrasi semakin tunduk pada pemilik modal. Selama dua abad ini, kekuasaan pemilik modal pun semakin kuat, bahkan lintas negara. Herzt mengatakan bahwa dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia, 49 adalah negara, 51-nya adalah korporasi. Ini berarti peta dunia selama ini kurang lengkap karena hanya memuat peta negara. Padahal korporasi telah mempunyai kekuatan melebihi negara. Indonesia dulu hanya menyerahkan perkebunannya pada satu korporasi, VOC (yang juga sebesar negara). Sekarang negeri ini telah menyerahkan pertambangan dan perminyakannya pada beberapa VOC baru. Rakyat pun harus membeli berbagai kebutuhannya pada mereka dengan harga tinggi. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><br />
<b>Fakta Empirik<o:p></o:p></b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Mengapa dengan demokrasi rakyat otomatis akan masuk dalam cengkeraman korporatokrasi? Hal ini bisa kita ketahui jika kita mencermati faktor-faktor empiriknya, yaitu nilai-nilai demokrasi dan Pemilu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Dalam demokrasi dikenal empat prinsip: kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku/berekspresi, kebebasan beragama, serta kebebasan kepemilikan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Dengan kebebasan berpendapat, secara real rakyat terbebas dari nilai-nilai. Mereka bukan diikat nilai, tetapi justru mencipta nilai. Mereka pun tidak lagi tunduk pada “halal-haram”. Selanjutnya, sikap ini mereka implementasikan dalam kebebasan perilaku. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Dalam kebebasan beragama, sebenarnya terkandung juga arti bahwa agama hanyalah urusan individu dan tuhannya. Ini berarti agama tak bisa mengintervensi kehidupan publik.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Pemerintah pun sulit memberantas berbagai pendapat atau perilaku menyimpang kecuali jika publik secara luas merasa resah. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Kita ketahui bahwa dari tiga jenis kebebasan ini maka hasilnya adalah rakyat terbebas dari nilai-nilai. </span><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Fakta ini sekaligus menggambarkan tahapan pertama di atas (rakyat terbebas dari kedaulatan kekuasaan dan kedaulatan nilai).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Adapun dengan kebebasan kepemilikan, setiap orang bebas memiliki apapun asalkan mampu. Bumi, air, dan kekayaan yang menjadi hajat hidup orang banyak tidaklah dikuasai oleh negara. Pihak yang mempunyai dana lebih besarlah yang akan menguasainya. Inilah yang membuat rakyat berada dalam tahapan kedua di atas (masuk dalam cengkeraman korporatokrasi).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Dari ketiga jenis kebebasan pertama, demokrasi menampung sekularisme dan liberalisme. Adapun dari kebebasan kepemilikan, demokrasi berpihak pada kapitalisme. Sekularisme dan liberalisme membuat pemerintah dan para penjaga nilai masyarakat tak bisa berbuat leluasa. Kapitalisme membuat para pemilik modal semakin kokoh.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Secara umum, kondisi masyarakat biasanya diwarnai oleh tiga hal: nilai, kekuasaan, dan harta. Yang menjadi pertanyaan adalah, mana di atara ketiga hal tersebut yang memimpin yang lain? Mana yang menjadi konstanta, mana yang sekadar menjadi variabel? Dalam masyarakat komunis, kekuasaan memimpin nilai dan harta. Dalam demokrasi (baca: Kapitalisme), maka nilai dan kekuasaan hanyalah variabel, hartalah yang menjadi konstanta. Wajar jika kemudian Pemerintah sibuk mencari investor ke luar negeri, bahkan meminta para konglomerat hitam pulang dan menyambutnya dengan karpet merah. Alasannya, pertumbuhan ekonomi 1% akan menyerap 400.000 lapangan kerja. Begitulah kata dunia usaha. Memang, ada yang membantahnya dengan mengatakan bahwa dengan besarnya sektor non-real maka pertumbuhan itu hanya menaikkan kondisi beberapa puluh orang saja. Mereka juga memberikan fakta-fakta bahwa rakyat tetap saja susah membeli sembako dan BBM walau pertumbuhan ekonomi dinyatakan naik. Sayangnya, itu bukan pendapat dunia usaha.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Hal lain yang bisa kita amati adalah Pemilu. Bagaimanapun dalam Pemilu faktor yang sangat dominan adalah suara terbanyak. Suara terbanyak terbukti sangat dikendalikan oleh media. Berapa persen rakyat yang tahu latar belakang bupati dan gubernur mereka? Berapa persen rakyat yang bisa menilai kapasitas para calon presiden? Tampak sekali bahwa faktanya modallah yang berkuasa. Dengan memahami bahwa para calon pemimpin eksekutif itu sangat kecil di hadapan para pemegang modal internasional yang kekuasaannya lintas negara, kita bisa memahami pula seberapa jauh para pemimpin itu bisa fokus dan konsisten memikirkan rakyat. Bagaimanapun syarat mereka terpilih adalah “pro pasar”, bukan “pro rakyat”.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="IT" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Alhasil, negara demokrasi berarti negara kapitalis. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="IT" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><br />
<b>Kemajuan karena Demokrasi?<o:p></o:p></b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="IT" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Selama ini sering dinyatakan bahwa semakin negara demokratis semakin maju negara itu. Dinyatakan pula bahwa negara-negara Barat yang maju adalah negara-negara demokratis. Juga ditegaskan bahwa demokrasi akan bermanfaat jika yang menang Pemilu adalah malaikat, bukan setan. Realitas dari pendapat itu kenyataannya tak pernah terwujud. Ini bisa kita lihat dari beberapa sisi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span lang="IT" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Pertama</span></i><span lang="IT" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">: demokrasi berarti Kapitalisme. Kapitalisme sangat mendewakan pertumbuhan ekonomi, yang penjabarannya adalah pendapatan perkapita. </span><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Kita umumnya tahu, pendapatan perkapita sangat tidak real. Kota Semarang mempunyai pendapatan perkapita Rp 19 juta (Rp 1,6 juta/bulan). Ini berarti pendapatan perkeluarga adalah Rp. 6,4 juta/bulan (asumsi keluarga terdiri empat orang). Kenyataannya, sangat banyak keluarga yang hanya punya Rp 640 ribu perbulan. Jelas ini sangat tidak real. Namun, tentu saja konsep ini akan dibela para eksekutif pemerintahan. Ini karena mereka akan tampak berhasil dan ini adalah modal utama mereka dalam Pemilu. Lain halnya jika penilaian yang dipakai adalah angka kemiskinan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Setidaknya dari fenomena ini bisa kita lihat bahwa tidak ada korelasi antara demokrasi dan kemakmuran. Indonesia adalah juara demokrasi tetapi tidak makmur. Singapura dikenal sangat tidak demokratis tetapi makmur.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Kedua</span></i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">: kemajuan negara-negara Barat sebenarnya bukan karena demokrasi. Bagaimanapun mereka harusnya berguru demokrasi pada Indonesia karena negeri ini juara demokrasi. Namun, mengapa mereka maju? <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Ini bisa kita lihat dari realitas yang berbeda antara keduanya. Kedua kawasan sebenarnya sama-sama menganut keempat pemikiran: sekularisme, liberalisme, demokrasi dan kapitalisme. Ketiga prinsip pertama sama-sama dilaksanakan, tetapi berbeda dalam hal kapitalisme. </span><span lang="IT" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Negara-negara Barat adalah “kapitalisme pelaku”. Banyak para pemodal mereka menguasai dunia. Adapun Indonesia adalah “kapitalisme penderita”. Watak keduanya juga berbeda. Sungguh pun sama-sama memuja materialisme (sebagaimana saran Adam Smith terkait kapitalisme), tetapi penyalurannya cenderung berbeda. Mereka yang lebih maju cenderung lebih sistematis sehingga menggunakan cara-cara persuasif. Sebaliknya, Indonesia yang jadi korban lebih banyak diwarnai suasana reaktif dan cara-cara kasar. </span><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Namun, kita semua tahu, menipu belum tentu kalah kejam daripada merampas. Faktanya, rakyat AS terbukti sangat boros, 50 kali lipat borosnya daripada rakyat Indonesia. Eksploitasi Indonesia hanyalah imbasnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Ketiga</span></i><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">: tentang kemenangan dalam Pemilu. Bagaimanapun demokrasi terbukti tidak sekadar Pemilu, tetapi sistem yang mempunyai nilai, yaitu pro pemilik modal. Akan sulit menjadikan pihak yang dikenal idealis menguasai Pemilu dalam waktu lama, kecuali mereka berkompromi dengan pemegang modal dengan risiko lunturnya idealisme mereka. Bagaimanapun idealisme itu akan sangat sulit sekali diangkat karena berbenturan dengan kebebasan berperilaku. Kebebasan berperilaku itu biasanya didukung para pemilik modal, pemegang kunci kebebasan kepemilikan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><br />
<b>Kesejahteraan dalam Islam<o:p></o:p></b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Kemakmuran dan kesejahteraan pada kenyataannya lebih terkait dengan sistem ekonomi yang ditegakkan. </span><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Dalam hal ini, sistem ekonomi Islam sangat mempunyai kekuatan.<i> Pertama</i>: Islam sangat menjaga pemerataan ekonomi (QS). Zakat untuk 8 asnaf; kebijakan bolehnya memagari tanah mati; larangan menelantarkan tanah lebih dari 3 tahun; larangan menyewakan tanah pertanian adalah beberapa di antara kebijakan ini.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Kedua</span></i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">: negara berperan dalam ekonomi. Dalam Islam dikenal kepemilikan umum, yang implementasinya di tangan negara. Larangan tambang garam skala raksasa oleh Rasulullah saw. adalah bukti tentang hal ini. Dengan kebijakan ini maka kebutuhan primer, pendidikan, dan kesehatan harus menjadi prioritas negara. Setelah diciptakannya kondisi ini, selanjutnya silakan rakyat bersaing dalam bisnis.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Ketiga</span></i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">: kehidupan dalam Islam adalah untuk beribadah (QS); juga ditekankan saling menolong, silaturrahim, dan bersedekah. Ini membuat kehidupan dalam Islam bukan dalam suasana persaingan hukum rimba, tetapi suasana persaudaraan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Pada intinya, dalam Islam lapangan persaingan ekonomi adalah lapangan yang fair dan manusiawi, yang “kalah” juga dibantu kembali ke titik nol, serta suasana hubungan antar manusia diliputi semangat solidaritas dan ketakwaan. Ini semua tentu mempermudah terciptanya kesejahteraan.<i> Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.</i><b>[Husain Matla]</b><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><br />
<b>Referensi:<o:p></o:p></b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-indent: -18pt;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">1. Noreena Herzt, <i>Perampok Negara</i>, Alenia, Jogjakarta.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-indent: -18pt;"><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">2. Jenderal Saurip Kadi, <i>Menata Ulang Demokrasi dan Militer Indonesia Menuju Peradaban Baru</i>, Jakarta.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-indent: -18pt;"><span lang="IT" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">3. Fahmi Amhar, “Penyebab dan Solusi Krisis Energi di Indonesia,” Seminar di Semarang, November 2007.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-indent: -18pt;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">4. Husain Matla, <i>Antara Ekonomi Budak dan Ekonomi Orang Merdeka</i>, Big Bang, Semarang, 2006.<o:p></o:p></span></div><span lang="FI" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">5. Husain Matla, <i>Demokrasi Tersande</i></span><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">ra? Menyingkap Misteri 21/4 Abad</span></i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">, Big Bang, 2007.</span>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-31089213159192465122010-04-11T22:00:00.001+07:002010-04-11T22:00:25.181+07:00Demokrasi; Sistem yang Penuh dengan kebohongan (utopis)Oleh: M. Hatta*) <br />
<br />
Istilah "demokrasi" saat ini tidak dapat dilepaskan dari wacana politik apapun, baik dalam konteks mendukung, setengah mendukung, atau menentang. Mulai dari skala warung kopi pinggir jalan sampai hotel berbintang lima, demokrasi menjadi obyek yang paling sering dibicarakan, paling tidak di negeri ini. <br />
Apa yang sering disebut dengan sistem demokrasi, dengan segala nilai-nilai yang dianggap baik oleh pengikutnya, tentunya sangat penting dikritisi; baik dalam tataran konsep maupun realita praktiknya dalam sistem pemerintahan. Dari sana diharapkan muncul kesadaran baru bagi kaum muslim tentang kebobrokan sistem kufur ini. Lebih penting lagi, mereka terhindar dari murka Allah Swt. Sebab, saat mereka berpegang dengan demokrasi yang intinya kedaulatan di tangan rakyat, mereka telah menjadikan tuhan baru sebagai tandingan bagi Allah, yakni suara yang mengatasnamakan rakyat. <br />
<br />
Dengan logika antitesis, lawan kata demokrasi adalah totaliter. Jika tidak demokratis, pasti totaliter. Totaliter sendiri memiliki kesan buruk, kejam, bengis, sehingga negara-negara komunis sekalipuN tidak ketinggalan ikut memakai istilah demokrasi, walaupun diembel-embeli sebagai "Demokrasi Sosialis" atau "Demokrasi Kerakyatan". <br />
<br />
<b>Demokrasi: Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat </b><br />
<br />
Pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Clfrede Pareto cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain. Seperti di negeri kita ini (Indonesia), mayoritas kaum Muslim Indonesia berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh kelompok minoritas, terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal (kapital). <br />
Dalam sistem kapitalis, kekuatan pemilik modal menjadi faktor yang sangat penting dalam pengambilan keputusan, bukan rakyat keseluruhan. Merekalah yang banyak mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen atau pemerintahan. <br />
<br />
Klaim demokrasi yang lain, pemerintahan yang terpilih adalah pemerintahan rakyat. Anggapan ini sangat jelas kekeliruannya. Pada praktiknya, tidak mungkin seluruh rakyat memerintah. Tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang berasal dari pemilik modal besar atau pengendali kekuatan militer. <br />
<br />
<b>Demokrasi dan Kebebasan</b><br />
<br />
Bagi para pendukung demokrasi, kebebasan berpendapat dianggap sebagai salah satu nilai unggul dan luhur dari demokrasi. Kenyataannya tidaklah seperti itu. Tetap saja, dalam negara demokrasi, kebebasan berpendapat dibatasi oleh demokrasi itu sendiri. Artinya, pendapat yang dianggap bertentangan dangan nilai-nilai demokrasi atau akan menghancurkan demokrasi tetap saja dilarang. Organisasi atau partai politik yang dibebaskan adalah juga yang sejalan dengan demokrasi. Kalau tidak, mereka tetap saja dilarang. <br />
<br />
<b>Demokrasi dan Kesejahteraan</b> <br />
<br />
Banyak penganut sekularisme memandang bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan bagi dunia. Hal ini sering dipropagandakan oleh negara-negara Barat kepada dunia ketiga supaya mereka mau dan setia menerapkan sistem demokrasi. Namun, apa kenyataannya? Sistem demokrasi yang dipraktikkan oleh negara-negara kapitalis hanyalah memakmurkan dunia Barat saja atau negara-negara boneka barat yang menjadi agen kapitalisme Barat seperti Jepang dan Singapura. Sebaliknya, dunia ketiga tetap saja menderita. Lihat saja, saat dunia dipimpin dan dikendalikan oleh negara-negara kapitalis penjajah, dunia ketiga semakin tidak sejahtera. Badan pangan dunia (FAO), dalam World Food Summit pada 2002, menyatakan bahwa 817 juta penduduk dunia terancam kelaparan, dan setiap 2 detik satu orang meninggal dunia akibat kelaparan. Kesejahteraan yang dialami negara-negara Barat sebetulnya bukan karena faktor demokrasinya, tetapi karena eksploitasi mereka terhadap dunia lain. <br />
<br />
<b>Demokrasi dan Stabilitas</b> <br />
<br />
Mitos lain adalah demokrasi akan menciptakan stabilitas. Dalam banyak kasus, yang terjadi justru sebaliknya. Secara konseptual, hubungan konflik dan demokrasi bisa dirujuk pada ide utama demokrasi, yakni kebebasan atau kemerdekaan. Ketika pintu demokrasi dibuka, banyak pihak kemudian menuntut kebebasan dan kemerdekaan; biasanya atasa nama bangsa, suku, kelompok. Muncullah konflik antar pihak yang bersinggungan kepentingan atas nama bangsa, suku atau kelompoknya. Contoh nyata dalam hal ini adalah Indonesia. Masa reformasi ditandai dengan meningkatnya konflik di beberapa tempat. Seperti Timor Timur (yang kemudian lepas), Aceh, Maluku dan Papua. <br />
<br />
<b>Demokrasi dan Kemajuan</b> <br />
<br />
Pidato Bush yang menyatakan bahwa tanpa demokrasi Timur Tengah akan menjadi stagnan (jumud)-seakan-akan kemajuan ditentukan oleh apakah negara itu menganut sistem demokrasi atau tidak-patut dikritisi. Argumentasi yang sering dilontarkan, demokrasi menjamin kebebasan, sementara kebebasan adalah syarat bagi kemajuan. Dengan kata lain, reason (akal) bisa produktif karena adanya kebebasan, baik kebebasan berpikir maupun kebebasan berbicara, dan keduanya itu hanya ada pada sistem demokrasi. Karena itu, demokrasi harus diperjuangkan. <br />
Benarkah ini semua? Tentu saja tidak sesederhana itu. Rusia pada masa kejayaan komunisme meraih kemajuan di bidang sains dan teknologi. Mereka mampu menciptakan teknologi canggih hingga teknologi ke ruang angkasa. Padahal komunisme sering diklaim memberangus kebebasan. <br />
<br />
Jadi, persoalannya bukanlah masalah kebebasan atau tidak, tetapi apakah masyarakat itu memiliki kebiasan berfikir produktif atau tidak. Berfikir produktif sendiri merupakan hasil dari kebangkitan berfikir yang didasarkan pada ideologi tertentu. Sebab karakter dasar dari ideologi adalah senantiasa ingin memecahkan persoalan manusia secara menyeluruh, sekaligus mempertahankan dan menyebarkan ideologinya. <br />
<br />
<b>Demokrasi: Alat Penjajahan Barat </b><br />
<br />
Propaganda demokrasi di negeri-negeri Islam pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan negara-negara kapitalis penjajah. Sebab, tujuan dari politik luar negeri dari negeri-negeri kapitalis itu mamang menyebarkan ideologi kapitalisme mereka, dengan demokrasi sebagai derivatnya. <br />
<br />
Demokrasi digunakan untuk menjauhkan kaum Muslim dari sistem Islam yang bersumber dari Allah Swt. Sebab, demokrasi menyerahkan kedaulatan ke tangan manusia (rakyat). Sementara dalam Islam kedaulatan ada di Tangan Allah Swt. <br />
Untuk menyebarkan demokrasi itu, negara-negara kapitalis melakukan berbagai penipuan dan kebohongan, ide demokrasi pun dikemas sedemikian rupa sehingga tampak bagus dan memberikan harapan kepada kaum Muslim. Demokrasi tidak pernah dan tidak akan terwujud dalam aspek kehidupan praktis. Demokrasi hanyalah alat penekan dan dominasi Amerika (termasuk Barat) kepada negeri-negeri Islam untuk tunduk pada kepentingan mereka. <i>Wallahu a'lam. </i><br />
<br />
*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang, Mantan Sekretaris Jenderal Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi UMM, Ketua Umum Forum Pengkajian Ekonomi Syari’ah dan Dakwah IslamUMM.kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-87826345822227808072010-04-11T21:58:00.009+07:002010-04-11T21:58:57.361+07:00Hakikat Buruk Demokrasi<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Keberhasilan <st1:place w:st="on"><st1:country-region w:st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> meraih “Medali Demokrasi” baru-baru ini menjadi berita utama di halaman muka sejumlah media cetak di Tanah Air. Harian <i>Republika</i> menulis, medali tersebut diberikan oleh IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik)—sebuah organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi di seluruh dunia—karena <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> merupakan negara pertama berpenduduk mayoritas Muslim yang dinilai melakukan proses demokrasi dengan sungguh-sungguh. Ketua Komite Konferensi Dunia IAPC ke-40, Pri Sulisto, di Nusa Dua, Bali (12/11), mengatakan, bukti bahwa Indonesia berhasil mengembangkan dan mempraktikkan demokrasi adalah suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2004 yang mengantarkan SBY—dari parpol yang baru terbentuk—menjadi presiden. (<i>Republika</i>, 12/11/07).</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Sementara itu, Co Chairman Komite Konferensi IAPC, ke-40, Robert Murdoch, menambahkan, Selain sebagai penghargaan, dipilihnya Indonesia menjadi tempat pertemuan juga merupakan perwujudan perjuangan IAPC untuk mempromosikan demokrasi di seluruh dunia, ujar Robert. (<i>web.bisnis.com</i>, 13/11/07)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><br />
Antara “Demokrasi Prosedural” dan Sistem Demokrasi<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Siapapun yang mengkaji demokrasi tentu tidak akan melupakan dua hal: “demokrasi prosedural” dan sistem demokrasi. “Demokrasi prosedural” di antaranya mewujud dalam partisipasi rakyat dalam Pemilu, transparansi dan akuntabilitas. Dalam konteks Pemilu, misalnya, sejak merdeka hingga hari ini, <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> sudah menyelenggarakan beberapa kali Pemilu. Yang terakhir adalah Pemilu 2004, yang dinilai paling demokratis dalam sejarah politik <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> dan relatif aman terkendali. Jadi, wajar belaka jika dari sisi ini, <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> dianggap sebagai salah satu negara paling demokratis. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Namun, jangan lupa, penilaian itu hanya menyangkut Pemilu sebagai salah satu instrumen “demokrasi prosedural”. Apalagi IAPC sendiri adalah lembaga yang hanya menganalisis Pemilu di seluruh dunia. (http://<i>innphotoes.com</i>, 13/11/07). Ini berarti, keberhasilan demokrasi <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> hanya dinilai dari tertibnya Pemilu 2004 saja. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Pemilu yang demokratis tentu tidak bisa dijadikan ukuran suksesnya sebuah negara, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan kemakmuran warga negaranya, misalnya. Berdasarkan laporan penelitian Guru Besar Ilmu Politik University of California, Los Angeles (UCLA) Michael Ross, yang diberi judul, “<i>Is Democracy Good for the Poor</i>?” pemerintahan yang demokratis terbukti tidak mendorong perbaikan kesejahteraan kaum termiskin. Setidaknya itulah yang terjadi di 169 negara dalam kurun waktu 1970-2000. Di Indonesia sendiri, seiring dengan puja-puji atas Pemilu yang dianggap demokratis tersebut, laporan Bank Dunia justru menyebutkan bahwa sampai September tahun 2006 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin hingga mencapai 17,5 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 39 juta penduduk. Angka ini tidak jauh berbeda dengan temuan Biro Pusat Statistik (BPS) dari Februari 2005 sampai Maret 2006. Bahkan BPS menyatakan, pada Februari 2005, sekitar 30,29% penduduk hampir miskin menjadi jatuh miskin pada Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,82% penduduk hampir tidak miskin pada Februari 2005, jatuh miskin pada Maret 2006 (<i>Demografi</i>, Oktober 2006).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Karena itu, Pemilu demokratis jelas tidak bisa dijadikan ukuran kesuksesan sebuah negara. Lebih dari itu, terlalu dangkal jika demokrasi dipahami sebatas “demokrasi prosedural” semacam ini, apalagi hanya dipahami lewat Pemilu, seraya mengabaikan demokrasi sebagai sistem (baca: sistem demokrasi), yang justru telah memproduksi banyak keburukan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><br />
Hakikat Sistem Demokrasi<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Sistem demokrasi di negara manapun selalu mencerminkan paling tidak dua hal: (1) Kedaulatan rakyat; (2) Jaminan atas kebebasan umum. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><br />
Kedaulatan rakyat.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Demokrasi identik dengan jargon “dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat”. Secara teoretis memang demikian. Justru di sinilah pangkal persoalan demokrasi, khususnya jika dilihat dari sudut pandang ajaran Islam yang hanya mengakui “kedaulatan Hukum Syariah (Hukum Allah)”. Dalam demokrasi, rakyat (manusia) diberi kewenangan penuh untuk membuat hukum, termasuk membuat hukum yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah (syariah). Inilah yang terjadi di negara-negara yang menerapkan demokrasi, termasuk <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>. Padahal dalam Islam, hanya Allah yang berhak menetapkan hukum (Lihat: QS an-An‘am [6]: 57), yakni dengan memberikan kewenangan kepada penguasa (khalifah) untuk mengadopsi hukum dari al-Quran dan as-Sunnah, dengan didasarkan pada ijtihad yang benar. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Adapun secara praktis, kedaulatan rakyat sebetulnya hanyalah ‘lipstik’. Faktanya, di Indonesia sendiri, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa, yang bahkan sering dipengaruhi oleh kepentingan para pemilik modal atau negara-negara asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang merupakan produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden—yang juga langsung dipilih oleh rakyat—sering bertabrakan dengan kemauan rakyat. Betapa sering kebijakan Pemerintah yang diamini para wakil rakyat justru didemo oleh rakyat sendiri. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><br />
Jaminan atas kebebasan umum.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Pertama</span></i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">: kebebasan beragama. Intinya, seseorang berhak meyakini suatu agama/keyakinan yang dikehendakinya tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula meninggalkan agama dan keyakinannya, lalu berpindah pada agama atau keyakinan baru. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Kedua</span></i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">: kebebasan berpendapat. Intinya, setiap individu berhak mengembangkan pendapat atau ide apapun dan bagaimanapun bentuknya tanpa tolok ukur halal-haram. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Ketiga</span></i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">: kebebasan kepemilikan. Intinya, seseorang boleh memiliki harta (modal) sekaligus mengembangkannya dengan sarana dan cara apa pun. Di Indonesia, pihak asing bahkan diberikan kebebasan untuk menguasai sumberdaya alam milik rakyat, antara lain melalui UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, dll. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Keempat</span></i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">: kebebasan berperilaku. Intinya, setiap orang bebas untuk berekspresi, termasuk mengekspresikan kemaksiatan seperti: membuka aurat di tempat umum, berpacaran, berzina, menyebarluaskan pornografi, melakukan pornoaksi, melakukan praktik homoseksual dan lesbianisme, dll. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Jelaslah, hakikat sistem demokrasi menjauhkan hukum Allah dan menanamkan liberalisasi. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><br />
Dampak Buruk Sistem Demokrasi<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Dampak paling buruk dari penerapan sitem demokrasi tentu saja adalah tersingkirnya aturan-aturan Allah (syariah Islam) dari kehidupan masyarakat. Selama lebih dari setengah abad, negeri yang notabene berpenduduk mayoritas Muslim ini menerapkan sistem demokrasi. Selama itu pula syariah Islam selalu dicampakkan. Segala upaya untuk memformalkannya dalam negara selalu dihambat, baik pada masa Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi saat ini.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Dampak buruk lainnya antara lain sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span lang="IT" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Pertama, akibat kebebasan beragama: </span></i><span lang="IT" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">muncul banyak aliran sesat di Indonesia.<i> </i>Sejak 2001 hingga 2007, sedikitnya ada 250 aliran sesat yang berkembang di Indonesia. </span><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">(<i>Waspada.co.id</i>, 1/11/07). <st1:place w:st="on">Para</st1:place> penganut aliran-aliran tersebut seolah dibiarkan begitu saja oleh Pemerintah tanpa dikenai sanksi yang tegas.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Kedua, akibat kebebasan berpendapat: </span></i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">muncul ide-ide liberal seperti pendapat yang mengatakan bahwa syariah Islam, misalnya, jika diterapkan, akan mengganggu stabilitas, mengancam kemajemukan, menimbulkan disintegrasi, dll. Mereka yang berpendapat demikian, yang jelas-jelas melecehkan Islam, juga dibiarkan tanpa pernah bisa diajukan ke pengadilan. Itulah yang terjadi, khususnya di <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> saat ini, sebagaimana sering disuarakan oleh kalangan liberal. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Ketiga, akibat kebebasan kepemilikan: </span></i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">banyak sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh individu, swasta atau pihak asing. Sejak tahun 60-an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk menguasai 49 persen saham di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN. Tahun 90-an Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 20/1994. Isinya antara lain ketentuan bahwa investor asing boleh menguasai modal di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN, hingga 95 persen. Kini, pada masa yang disebut dengan ‘Orde Reformasi’, privatisasi dan liberalisasi atas sektor-sektor milik publik semakin tak terkendali. Minyak dan gas, misalnya, yang seharusnya menjadi sumber utama pendapatan negara, 92%-nya sudah dikuasai oleh asing.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Keempat</span></i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">, <i>akibat kebebasan berperilaku</i>: Tersebarluasnya pornografi dan pornoaksi. Laporan kantor berita Associated Press (AP) menyebutkan, <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> berada di urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi. (<i>Republika</i>, 17/7/03). Sudah banyak bukti, pornografi-pornoaksi memicu perilaku seks bebas. Berdasarkan sebuah penelitian, sebagian remaja di 4 <st1:city w:st="on">kota</st1:city> besar <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> pernah melakukan hubungan seks, bahkan hal itu mereka lakukan pertama kali di rumah! (<i>Detik.com</i>, 26/1/05).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><br />
Khatimah<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Dari paparan di atas, jelas bahwa sebagai negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim, sebetulnya <st1:country-region w:st="on"><st1:place w:st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> harus malu; malu karena justru demokrasi yang dipuja-puji oleh pihak lain pada faktanya hanya memproduksi banyak keburukan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Karena itu, belum saatnyakah kita mencampakkan demokrasi yang terbukti buruk dan menjadi sumber keburukan? Belum saatnyakah kita segera beralih pada aturan-aturan Allah, yakni syariah Islam, dan menerapkannya secara total dalam seluruh aspek kehidupan? Belum tibakah saatnya kita bertobat dan segera menyambut seruan Allah:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: Arial; font-size: 14pt; line-height: 150%;">وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ<o:p></o:p></span></div><i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa?</span></i><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"> </span><b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">(QS Ali Imran [3]: 133). []</span></b><br />
<br />
<span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">[<b>BULETIN AL-ISLAM EDISI 379</b>] </span><b><span style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"><br />
</span></b>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-62345100183711977452010-04-11T21:58:00.007+07:002010-04-11T21:58:51.855+07:00Dampak Buruk Sistem Demokrasi<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-indent: -18pt;"><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">1. Mengancam akidah umat Islam.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Bahaya paling mendasar dari demokrasi adalah bahwa sistem ini telah menjadi agama baru bagi kaum Muslim. Dari segi akidah, ide demokrasi telah merampas hak Allah untuk membuat hukum dan menyerahkannya kepada hawa nafsu manusia. Dalam hal ini Allah secara tegas berfirman:</span></div><div class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: Arial; font-size: 14pt; line-height: 150%;">وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt;"><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Siapa saja yang tidak berhukum kepada apa saja yang telah Allah turunkan maka dia telah kafir. </span></i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">(QS al-Maidah [5]: 44).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Demokrasi bisa membuat kaum Muslim menjadi kufur terhadap hukum-hukum Allah. Berdasarkan ide demokrasi ini juga akan muncul pandangan bahwa semua agama adalah sama sehingga manusia tidak boleh dibeda-bedakan atas dasar agamanya. Hal ini diperkuat oleh argumentasi tentang kebebasan beragama. Akibat pandangan seperti ini, tidak sedikit kaum Muslim yang murtad (keluar) dari Islam, atau seorang wanita Muslimah tidak merasa berdosa ketika menikah dengan laki-laki kafir dengan alasan persamaan agama. Bukan hanya itu saja, dengan dalih kebebasan beragama memunculkan banyak aliran sesat di Indonesia.<i> </i>Sejak 2001 hingga 2007, sedikitnya ada 250 aliran sesat yang berkembang di Indonesia. (<i>Waspada.co.id</i>, 1/11/07).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-indent: -18pt;"><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">2. Menjauhkan kaum Muslim dari aturan-aturan Islam.<o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Implikasi logis dari demokrasi adalah jauhnya kaum Muslim dari aturan-aturan Islam, terutama dalam masalah publik (kemasyarakatan). Hal ini disebabkan karena demokrasi telah menetapkan garis tegas, bahwa agama tidak boleh terlibat untuk mengatur masalah publik. Jadilah kaum Muslim sekarang hanya terikat dengan aturan Allah (itu pun kalau dia mau) dalam masalah-masalah individu, ritual dan moral; sementara dalam masalah publik mereka terikat dengan asas manfaat sesuai dengan hawa nafsu mereka. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Atas nama untuk kepentingan rakyat, sejak tahun 60-an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk menguasai 49 persen saham di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN. Tahun 90-an Pemerintah mengeluarkan PP No. 20/1994. Isinya antara lain ketentuan bahwa investor asing boleh menguasai modal di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN, hingga 95 persen. Kini, pada masa yang disebut dengan ‘Orde Reformasi’, privatisasi dan liberalisasi atas sektor-sektor milik publik semakin tak terkendali. Minyak dan gas, misalnya, yang seharusnya menjadi sumber utama pendapatan negara, 92%-nya sudah dikuasai oleh asing. Kondisi ini jauh dari harapan Islam yang menjadikan kepemilikan umum harus dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-indent: -18pt;"><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">3. Demokrasi menyuburkan liberalisasi Islam dan kebebasan. <o:p></o:p></span></i></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Akibat kebebasan berpendapat, ide-ide liberal yang ‘menyerang’ Islam semakin berkembang, seperti pendapat yang mengatakan bahwa syariah Islam, jika diterapkan, akan mengganggu stabilitas, mengancam kemajemukan, menimbulkan disintegrasi, dll. Islam dianggap sebagai agama yang menganjurkan keterbelakangan, tidak modern, didakwahkan dengan pedang, dan yang lainnya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Demikian juga, akibat kebebasan berperilaku, tersebar luaslah pornografi dan pornoaksi. Laporan kantor berita Associated Press (AP) menyebutkan, Indonesia berada di urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi. (Republika, 17/7/03). Sudah banyak bukti, pornografi-pornoaksi memicu perilaku seks bebas. Berdasarkan sebuah penelitian, sebagian remaja di 4 kota besar Indonesia pernah melakukan hubungan seks, bahkan hal itu mereka lakukan pertama kali di rumah! (<i>Detik.com</i>, 26/1/05).<b> <o:p></o:p></b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt;"><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Dari paparan di atas, jelas bahwa sebagai negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim, sebetulnya Indonesia harus malu; malu karena justru demokrasi yang dipuja-puji oleh pihak lain pada faktanya hanya memproduksi banyak keburukan. Karena itu, belum saatnyakah kita mencampakkan demokrasi yang terbukti buruk dan menjadi sumber keburukan? Belum saatnyakah kita segera beralih pada aturan-aturan Allah, yakni syariah Islam, dan menerapkannya secara total dalam seluruh aspek kehidupan? Belum tibakah saatnya kita bertobat dan segera menyambut seruan Allah:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" dir="rtl" style="direction: rtl; line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-align: right; unicode-bidi: embed;"><span lang="AR-SA" style="font-family: Arial; font-size: 14pt; line-height: 150%;">وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ<o:p></o:p></span></div><i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;">Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa?</span></i><span lang="SV" style="font-family: Verdana; font-size: 10pt; line-height: 150%;"> (QS Ali Imran [3]: 133). []</span>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-29404763226431967902010-04-11T21:58:00.005+07:002010-04-11T21:58:21.086+07:00Menelanjangi Mitos Demokrasi<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
p.MsoTitle, li.MsoTitle, div.MsoTitle
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-link:"Title Char";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:center;
text-indent:28.05pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:14.0pt;
mso-bidi-font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
font-weight:bold;}
p.MsoBodyTextIndent, li.MsoBodyTextIndent, div.MsoBodyTextIndent
{mso-style-noshow:yes;
mso-style-unhide:no;
mso-style-link:"Body Text Indent Char";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:justify;
text-indent:28.05pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
span.BodyTextIndentChar
{mso-style-name:"Body Text Indent Char";
mso-style-noshow:yes;
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Body Text Indent";
mso-ansi-font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:12.0pt;}
span.TitleChar
{mso-style-name:"Title Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:Title;
mso-ansi-font-size:14.0pt;
mso-bidi-font-size:12.0pt;
font-weight:bold;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
font-size:10.0pt;
mso-ansi-font-size:10.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoTitle"><span style="font-size: 16pt;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 28.05pt;">(Menaggapi tulisan Bapak Misbahul Munir: <i>“Golput, Onani Demokrasi”</i>)</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 28.05pt;"><span style="font-size: 11pt;">oleh Warih Sutaryono, SPd*)<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 28.05pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Demokrasi hingga kini masih terus mengalami dialektika. W.B. Gallie beberapa tahun silam pernah mengatakan: “Demokrasi merupakan suatu konsep yang pada prinsipnya masih diperdebatkan”. Ia menandaskan: “Ada beberapa perselisihan pandangan menyangkut konsep-konsep semacam itu.” (John L. Esposito & John O. Voll, <i>Demokrasi di Negara-negara Muslim</i>)</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Pemikir Barat lain, Giovanni Sartori, mengatakan: “Ketika kita menerapkan konsep demokrasi pada kebanyakan negara Dunia Ketiga, terutama yang disebut negara berkembang, standarnya menjadi begitu rendah sehingga orang mungkin sangsi apakah konsep demokrasi masih layak dipakai?” Demokrasi menurut Woodrow Wilson, “merupakan bentuk pemerintahan yang paling sulit” <i>(ibid)</i> </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Apa yang disebut dengan sistem demokrasi, yang dianggap baik oleh pengikutnya, tentunya penting dikritisi. Dari sini diharapkan muncul kesadaran baru baik untuk para politisi maupun masyarakat umum terhadap kebobrokan yang diperbuat sistem tersebut. Juga agar mereka bisa berhenti bermimpi dengan harapan semu yang ditawarkan sistem ini. Tidak lain adalah agar terhindar dari murka Allah SWT. Sebab saat mereka berpegang dengan demokrasi yang intinya kedaulatan ditangan rakyat, mereka telah menjadikan tuhan baru sebagai tandingan bagi Allah, yaitu suara yang mengatsnamakan rakyat. Namun benarkah realitanya seperti itu? </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Menurut kamus, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tinggi berada ditangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih dibawah sistem pemilihan bebas. </div><div class="MsoBodyTextIndent">Tapi faktanya, para kepala negara dan anggota parlemen seperti di AS dan Inggris sebenarnya memiliki kehendak yang dipengaruhi kaum kapitalis (konglomerat, pemilik modal). Para kapitalis besar yang mendudukkan mereka keberbagai posisi pemerintahan atau lembaga-lembaga perwakilan dengan harapan mereka dapat merealisasikan kepentingan kaum kapitalis tersebut. Para kapitalis inilah yang membiayai para politisi, mulai dari kampanye sampai proses pemilihan presiden. Dan anggota parlemen. Wajar jika mereka punya pengaruh besar terhadap para politisi baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Di Inggris sebagaian besar anggota parlemen mewakili para penguasa, pemilik tanah, serta golongan bangsawan aristokrat. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Dalam sistem kapitalis, kekuatan pemilik modal menjadi faktor yang sangat penting dalam pengambilan keputusan. Karena itu wajar, bahwa keputusan yang diambil oleh parlemen pastilah memihak pemilik modal besar tersebut. Contohnya dilegalisasinya serangan AS ke Irak oleh Parlemem AS (sedang rakyat mayoritas justru menolak serangan itu) tersebut tidak bisa dilepaskan dari besarnya kepentingan ekonomi para pengusaha minyak AS terhadap Irak yang memiliki cadangan minyak kedua terbesar setelah saudi Arabia. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Memang kenyataanya sulit untuk membuat keputusan dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan rakyat. Bisa disebut, klaim suara anggota parlemen adalah cerminan suara rakyat hanyalah mitos. Dan memang kecenderungan wakil rakyat mengabaikan rakyat yang telah memilihnya. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Sedangkan fenomena golput yang ditulis oleh Bapak Misbahul Munir kemarin seakan sangat menjijikkan dengan istilah maaf “Onani Demokrasi” saya pikir sangat berlebihan. Karena memilih dalam pemilu adalah hak politik warga negara, merupakan hak asasi manusia yang dilindungi undang-undang dasar. Mungkin bisa introspeksi diri, pada 9 Pebruari yang lalu di Kota Blitar ada Konvoi Golput (Golongan Putih). Mereka mengemukakan tiga alasan yaitu: kekecewaan terhadap hasil pemilu 1999, tidak adanya perubahan sistem, dan tidak digunakannya sistem distrik murni dalam pemilu 2004 (Kompas, 10/02/2004). </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Fenomena golput itu hal lumrah, di AS pun itu terjadi. Mengapa mereka bersuara demikian? Valina Singka Subekti, MA (anggota KPU & Dosen UI) mengatakan: “Karena mereka tidak puas terhadap kinerja partai atau anggota DPR juga presiden dan wakil presiden. Jadi golput itu sebenarnya tantangan buat partai. Makanya partai harus mengubah kinerjanya, mengubah performent-nya” (al-wa’ie, 41 th IV).</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Alasan lain, coba kita hitung, pada pemilu 1999 paling banyak yang golput berkisar 5%. Selanjutnya mari kita nilai, problem multidimensi yang semakin parah yang kita alami, apakah terletak diangka 5% pemilih yang golput atau 50% lebih pemilih yang memilih partai (yang nggak becus memperbaiki kondisi). Jelas 50% pemilih partai yang menghasilkan pemerintahan dan perlemen yang sedang berkuasa saat ini yang perlu dipertanyakan.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Sebagai koreksi bagi semua partai, didalam teori perpolitikan modern bahwa partai politik itu mempunyai 4 fungsi, yaitu legislasi, edukasi, artikulasi dan agregasi. Saat ini, cenderung partai yang ada hanya mengoptimalkan fungsi legislasi dengan cara bagaimana mendapatkan suara terbanyak dalam pemilu sehingga bisa menguasai parlemen atau jabatan tertentu. Sementara tiga fungsi lain cenderung diabaikan bahkan ditinggalkan. Kalaupun melakukan legislasi itu hanya dilakukan pada saat-saat menjelang pemilu saja, dan itupun lebih terfokus kepada hal yang bersifat instan dengan memberi kaos, bendera atau asesoris lain, bukan bagaimana menjelaskan tentang visi, misi dan segalanya dari partai sehingga massa paham secara detail tentang partai. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Karena itu bagi kita (para politisi) perlu belajar banyak dari aktivitas politik yang dilakukan Rasulullah (sebagai teladan terbaik). Yang paling menonjol beliau selalu mengaitkan pengaturan urusan-urusan umat dengan hukum-hukum Allah Yang Maha Penyayang. Diantara yang pernah beliau lakukan: 1) membina umat dengan pemikiran dan hukum-hukum Islam, sehingga terjadi perubahan pemikiran di tubuh umat. 2) menyerang ide-ide, pemikiran dan hukum-hukum yang rusak; membongkar kepalsuannya, dengan demikian umat akan menolak hukum-hukum sekuler dan menggantikannya dengan aturan dari Allah Yang Maha Bijaksana. 3) membongkar kedzaliman penguasa, Rasulullah menyerang Abu Jahal dan Abu Lahap dengan mengungkap kedzalimannya dan pengkhianatannya terhadap umat. 4) mendatangi elit-elit politik dari berbagai kabilah berpengaruh; mengajak mereka masuk Islam dan agar mereka menyerahkan kekuasaan kepada Islam, dengan demikian aturan-aturan Islam bisa ditegakkan lewat kekuasaan.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Semoga kita sadar</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><i>*) Trainer KTI Insan Utama Malang</i></div><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt;">Dimuat di Malang Post Hari Jum’at, tanggal 20 Pebruari 2004</span>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-62804327310602381582010-04-11T21:58:00.003+07:002010-04-11T21:58:05.994+07:00Benarkah Demokrasi Mengabaikan Publik?<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
h1
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-link:"Heading 1 Char";
mso-style-next:Normal;
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-indent:28.05pt;
mso-pagination:widow-orphan;
page-break-after:avoid;
mso-outline-level:1;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-font-kerning:0pt;}
h2
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-link:"Heading 2 Char";
mso-style-next:Normal;
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-indent:28.05pt;
mso-pagination:widow-orphan;
page-break-after:avoid;
mso-outline-level:2;
font-size:14.0pt;
mso-bidi-font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";}
h3
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-link:"Heading 3 Char";
mso-style-next:Normal;
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:justify;
text-indent:28.05pt;
mso-pagination:widow-orphan;
page-break-after:avoid;
mso-outline-level:3;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";}
p.MsoBodyTextIndent, li.MsoBodyTextIndent, div.MsoBodyTextIndent
{mso-style-noshow:yes;
mso-style-unhide:no;
mso-style-link:"Body Text Indent Char";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:justify;
text-indent:28.05pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
span.Heading1Char
{mso-style-name:"Heading 1 Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Heading 1";
mso-ansi-font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:12.0pt;
font-weight:bold;}
span.Heading2Char
{mso-style-name:"Heading 2 Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Heading 2";
mso-ansi-font-size:14.0pt;
mso-bidi-font-size:12.0pt;
font-weight:bold;}
span.Heading3Char
{mso-style-name:"Heading 3 Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Heading 3";
mso-ansi-font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:12.0pt;
font-weight:bold;}
span.BodyTextIndentChar
{mso-style-name:"Body Text Indent Char";
mso-style-noshow:yes;
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Body Text Indent";
mso-ansi-font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:12.0pt;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
font-size:10.0pt;
mso-ansi-font-size:10.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;}
@page Section1
{size:612.1pt 923.1pt;
margin:56.7pt 56.7pt 56.7pt 56.7pt;
mso-header-margin:56.7pt;
mso-footer-margin:56.7pt;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<h2 align="center" style="text-align: center;"></h2><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 28.05pt;">Oleh Warih Sutaryono, SPd*)</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Presiden Goerge W. Bush dalam pidatonya pada Kamis, 6/11/2003, di depan <i>The National Endowment for Democracy</i> mengungkapkan pentingnya demokratisasi di Timur Tengah. Menurutnya selama kebebasan <i>(freedom)</i> belum tumbuh di Timur Tengah, kawasan itu akan menjadi wilayah jumud, peng’ekspor’ kekerasan, termasuk menjadi tempat penyebaran senjata yang membahayakan negara AS. </div><h1 style="text-align: justify;">Pensakralan Demokrasi</h1><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Selama ini demokrasi juga dianggap sebagai ideologi suci anti tiran dan kediktatoran. Slogannya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi itu adalah perwujudan spirit<i> liberte, egalite dan fraternite</i> (kebebasan, kesamaan dan persaudaraan). Melawan demokrasi berarti melawan rakyat, dan suara rakyat itu adalah kebenaran. Munculnya istilah suara rakyat suara Tuhan <i>(vox populi, vox dei)</i>.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Penyebab demokrasi amat disakralkan karena ia konon dilahirkan dari sebuah revolusi berdarah-darah umat manusia melawan kedzaliman, praktik otoritarian. Yaitu upaya reaksioner kaum filsuf, cendekiawan dan rakyat Nasrani yang ditindas para kaisar di Eropa yang disahkan pihak gereja. Sejarah kemudian didramatisir ini lalu dianggap sebagai sebuah pencerahan <i>(renaissance)</i> umat manusia dari kegelapan <i>(aufklarung/dark ages)</i> </div><h3>Demokrasi Untuk Minoritas<i><o:p></o:p></i></h3><h3><span style="font-weight: normal;">Berdasarkan penelitian C. Wright Mills yang memfokuskan penelitiannya pada persoalan elit politik disebuah kota kecil di AS. Dia melihat bahwa meskipun pemilu dilakukan secara demokratis, ternyata elit penguasa yang ada selalu datang dari kelompok yang sama. Kelompok ini merupakan kelompok elit di daerah tersebut yang menguasai jabatan-jabatan negara, militer, dan posisi kunci perekonomian. Memang secara ide, demokrasi sering menyatakan bahwa semua orang bisa menempati jabatan negara, militer atau memegang posisi bisnis kelas atas. Akan tetapi dalam kenyataannya jabatan-jabatan itu cenderung diduduki oleh kelompok tertentu (minoritas). Demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas.<o:p></o:p></span></h3><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Pada praktiknya kedaulatan rakyat sering menjadi omong kosong. Partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat pemilu. Sedangkan kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa yang –sekalipun mengatas-namakan rakyat—sering malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988. “Kata Pengantar“ <i>Khilafah dan Kerajaan</i>: 19-21) </div><h3>Demokrasi Mengabaikan Publik</h3><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"> Sikap pengabaian publik, mungkin itu yang sering dialami masyarakat kelas bawah. Rakyat selalu menjadi obyek yang terlupakan. Berbagai kejadian yang menimpa masyarakat seperti musibah flu burung, banjir, penggusuran, pengungsian di daerah konflik, pengusiran TKI dari negeri Jiran, dampak polusi dari gunungan sampah, hingga pembatalan massal calon peserta haji yang tidak mendapatkan kuota. Berbagai musibah dan bencana itu menimpa rakyat, opini yang berkembang bahwa pelayan rakyat (para aparat pemerintah) kurang melakukan gerak cepat untuk mengkoordinasi evakuasi atau distribusi bantuan. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Mengkritisi adanya sikap seperti itu., setidaknya ada dua faktor penyebab pengabaian nasib rakyat, yaitu:</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">1). Paradigma politik yang berkembang di masyarakat adalah paradigma materialistik. Politik dipisahkan dari misi melayani urusan rakyat sebagai titipan <i>(amanah)</i> dari Tuhan. Akibatnya politik hanya dipandang sebagai salah satu “bisnis” seperti bisnis-bisnis lainnya. Orang terjun ke politik bukan karena ingin menjadi pelayan rakyat, namun karena membayangkan “keuntungan” besar dan cepat setelah “investasi” yang dilakukan dalam proses pen-caleg-kan.</div><div class="MsoBodyTextIndent">2). Sistem yang dijadikan pedoman mengatur masyarakat. selama ini. Masyarakat menyangka bahwa sistem demokrasi adalah sistem terbaik, karena konon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun faktanya ditengah-tengah masyarakat terdapat cenderung ada perbedaan awal posisi tawar menawar <i>(unbalanced starting point)</i> dalam pembuatan suatu aturan atau kebijakan. Akibatnya, aturan-aturan atau kebijakan selalu dibuat mengikuti kepentingan mereka yang telah memiliki kekuasaan yang notabene telah “berinvestasi politik” cukup besar untuk naik kursi. Banyak muncul masalah dalam demokrasi, seperti: konflik horisontal ditengah masyarakat, ada yang menuntut kebebasan-kemerdekaan sehingga muncul disintegrasi (seperti di Aceh, Maluku, Papua), seringnya kisruh pemilihan kepada daerah di beberapa tempat.</div><div class="MsoBodyTextIndent"><b>Kesimpulan <o:p></o:p></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Wajar kalau kita berupaya untuk membentengi masyarakat dari kehadiran “para pejabat” atau politisi busuk yang abai terhadap rakyatnya. Islam mengajarkan bahwa kepedulian pada semua urusan rakyat menjadi barometer apakah seseorang itu masih termasuk bagian dari kaum muslim atau tidak. Rasul bersabda:<i> “Siapa saja yang bangun pada pagi hari, sedangkan ia tidak ikut memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka”</i> (HR Al Hakim)</div><div class="MsoBodyTextIndent">Ketika perintah ini dipahami dan menjadi standar di masyarakat, maka akan terjadi sinergi yang luar biasa. Dengan begitu, masyarakat selalu menjadi terjaga dari pengabaian pejabat. Mereka tidak ingin menjadi rakyat yang terlupakan. Mereka menjadi sumber energi dahsyat untuk mengoreksi penguasa yang abai. Dengan rakyat yang seperti itu maka, maka akan lahir para pejabat yang profesional.</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">Dikisahkan dalam sejarah bahwa Khalifah Umar bin Khathtab biasa melakukan sidak atas kehidupan rakyat jelata maupun para pejabatnya. Umar saat itu sampai rela memanggul sendiri karung gandum dari Baitul Mal, ketika tahu masih ada janda yang sampai memasak batu bagi anak-anaknya yang kelaparan. Kita tentunya berharap munculnya pejabat semulia beliau. </div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;">*)Trainer Konsorsium Training Islam (KTI) Insan Utama Malang</div>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-15830756014867453832010-04-11T21:58:00.001+07:002010-04-11T21:58:03.920+07:00Benarkah Demokrasi Biang Korupsi?<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:"Arial Narrow";
panose-1:2 11 5 6 2 2 2 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:647 2048 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";}
p.MsoTitle, li.MsoTitle, div.MsoTitle
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-link:"Title Char";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:center;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:14.0pt;
mso-bidi-font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
font-weight:bold;}
span.TitleChar
{mso-style-name:"Title Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:Title;
mso-ansi-font-size:14.0pt;
mso-bidi-font-size:12.0pt;
font-weight:bold;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
font-size:10.0pt;
mso-ansi-font-size:10.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="MsoTitle"><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif";"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><i><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;">Oleh Warih Sutaryono, SPd *)<o:p></o:p></span></i></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;">Indonesia Tetap Paling Korup, demikian judul berita di sebuah harian nasional. Biro Konsultan Risiko Politik dan Ekonomi (<i>Political and Economic Risk Consultancy</i>, PERC) yang bermarkas di Hongkong kembali merilis rangking negara-negara Asia berdasar tingkat korupsinya. Indonesia tetap menempati peringkat tertinggi, yang berarti paling korup. Nilai korupsi Indonesia tahun ini hampir “sempurna”, 9,2. (Jawa Pos, /03/2004) <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><b><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;">Kwik Kian Gie</span></b><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;"> dalam buku Pemberantasan Korupsi (2003) menulis bahwa pada tahun 2003, perbaikan dan belanja APBN yang terkorup sebesar Rp.215 trilyun. Tidak berhenti disini korupsi menjalar ke SDA kita, ikan, pasir, kayu yang dicuri bernilai Rp.76,5 trilyun. Subsidi pada bank-bank rekap yang tidak ada gunanya sebesar Rp.14 trilyun. Jadi jumlah keseluruhan uang yang tidak jelas <i>jluntrung</i>nya adalah Rp.305,5 trilyun. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pertengahan 2003 lalu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan penyimpangan penggunaan dana rekening 502 sebesar Rp.21,9 trilyun. Menurut Faisal Basri, kalau indikasi itu benar, berarti hampir separuh penggunaan atau penarikan dana dari rekening 502 melanggar sistim dan prosedur yang berlaku. (Kompas, 19/1/2004) <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;">Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi ibarat tumor ganas yang mengakar demikian kuat diberbagai lapisan bangsa. Korupsi bukan lagi sebatas persoalan individu, tetapi juga karena lingkungan budaya yang tidak kondusif, dan sistim yang tidak cukup menggiring orang untuk menjadi pribadi yang takwa. <b>Dr. Syahrir</b> (2002) menyatakan korupsi bukan sekedar mendarah daging, bahkan bukan pula menjadi kebudayaan. Korupsi bagi kita adalah suatu kegiatan yang amat biasa, tidak ada yang salah dan karena itu tidak perlu dipermasalahkan. Ini menunjukkan korupsi telah menggurita didalam kehidupan sehari-hari, dari tingkatan terendah sampai tertinggi. Korupsi telah menjadi kultur yang sulit dihilangkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;">Runtuhnya Rezim Orde Baru akibat KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) tidak juga membuat jera para pengemban amanat rakyat. Cita-cita reformasi dengan mengusung demokrasi yang hendak mewujudkan sebuah pemerintahan yang baik dan pengelolaan yang baik dalam memberantas korupsi pupus sudah. Upaya yuridis sudah ditempuh. MPR dalam Sidang Istimewa 1998 telah mengeluarkan Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dari KKN seakan tidak ada artinya. Bahkan tidak hanya itu, Presiden selaku kepala negara membentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) berdasarkan Keppres No. 127 th 1999 sebagai lembaga independen, sekarang seakan seperti macan ompong. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;">Demokrasi yang <i>digadang-gadang, </i>diadopsi mayoritas negara di dunia, termasuk Indonesia saat ini terbukti belum mampu memberantas korupsi. Hal ini disebabkan ide dasar demokrasi yang melarang keras andil agama dalam kehidupan ternyata hanya melahirkan sikap hidup materialistis. Berubahnya orientasi dan pemahaman manusia tentang kebahagiaan karena berubahnya idiologi yang dianut suatu bangsa. Materialistik sudah mewabah, kebahagiaan, kehormatan, status sosial, intelektualitas, kesejahteraan dan segala nilai kebaikan diukur dengan materi (uang). Hal ini berimbas untuk meng<i>halal</i>kan segala cara untuk mendapatkan uang, tanpa mempertimbangkan caranya benar atau salah <i>(halal atau haram)</i> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;">Hal inilah yang mempengaruhi, tidak hanya aparat pemerintah tapi juga masyarakat. Tidak ada lagi rasa malu, hilangnya perasaan bersalah, lenyapnya pengendalian diri menghadapi korupsi. Bahkan korupsi dipandang untuk bagi-bagi rejeki, menjaga stabilitas masyarakat, serta alat untuk mengendalikan dukungan dan kesetiaan politik.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;">Contohnya di musim kampanye pemilu saat ini para politisi menyuarakan akan mensejahterakan rakyat, berantas KKN, jujur-peduli <i>wong cilik</i>, membuka lapangan kerja dll. Mereka berharap bisa menduduki jabatan tertentu dari hasil kampanye. Padahal jabatan itu rentan tindakan korupsi, seandainya saat pemilu saja sudah melakukan <i>money politic</i>, maka para politisi harus ekstra hati-hati ketika sudah menjabat. <b>John Noan</b>, guru besar ilmu hukum di Universitas Calivornia, mengatakan <i>“Tidak ada jabatan resmi yang bebas dari korupsi; apakah pejabatnya itu Fir’aun, Sri Paus atau Politisi”</i>. Peluang Korupsi dimiliki oleh siapapun yang memegang kekuasaan. Semakin tinggi kekuasaan peluang terjadinya korupsi semakin tinggi pula. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;"> Penyimpangan para pejabat dalam sistim demokrasi biasanya senantiasa ditutupi oleh sebuah kekuasaan yang berkolusi dengan pemegang harta dan penegak hukum. Oleh karena itu berdirinya berbagai lembaga dalam sistim demokrasi pada hakikatnya adalah untuk mencari kekuasaan dan dukugan untuk menutupi berbagai penyimpangan yang dilakukan. Merekalah lingkaran-lingkaran yang selalu melakukan tindakan korupsi, kolusi dan konspirasi. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;">Dari sini bisa kita ambil benang merah, bahwa dimanapun sistim pemerintahan yang dibangun dengan demokrasi cenderung korup. Cocok dengan teorema <b>Lord Acton</b>, seorang pakar ilmu politik: <i>“The power tend to corrup…”</i> (Setiap kekuasaan cenderung untuk korup). Bahkan ia pula menyatakan <i>“Semakin lama seseorang berkuasa, korupsinya akan semakin menjadi-jadi…”<o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;">Secara konseptual ideal, birokrasi pelaksana pemerintah adalah sebuah badan yang netral. Faktor diluar birokrasilah yang akan menentukan wajah birokrasi menjadi baik atau jahat. Yaitu manusia yang menjalankan birokrasi dan sistim yang dipakai, dimana birokrasi itu hidup dan bekerja. Jelas bahwa bila birokrasi hidup didalam sebuah sistim yang kotor, hukumnya lemah, serta ditunjang oleh para pejabat yang tidak jujur, bisa dipastikan birokrasi akan menjadi buruk lagi “menakutkan” bagi rakyatnya. <b><o:p></o:p></b></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pemerintahan yang bersih menjadi idaman kita semua. Pemerintahan seperti ini umumnya berlangsung di negara yang masyarakatnya menghormati hukum, sehingga dihasilkan pemerintah yang baik. Pemerintah yang baik hanya bisa dibangun melalui pemerintahan yang bersih dengan aparatur yang bebas dari KKN. Maka otomatis pemerintah akan berenergi, bermoral dan proaktif ditunjang keunggulan sistim yang dipakai. Tidak lupa mewujudkan partisipasi semua anggota bangsa melakukan <i>check and balances</i>. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;">Secara praktis setidaknya ada lima hal yang harus dilakukan: 1) Pemberian gaji yang layak, hal ini dimaksudkan untuk membantu para pejabat agar lebih berkonsentrasi dalam melaksanakan tugas pemerintahannya. 2) Larangan keras menerima hadiah dan suap. 3) Pembuktian terbalik harta pejabat, upaya ini ditempuh untuk membuktikan bahwa para pejabat benar-benar bersih, tidak ada penyelewengan. 4) Menyederhanahan birokrasi, sebab bila berbelit-belit justru akan mempersulit pembuktian korupsi. 5) Memberi sangksi yang setimpal bagi pelaku korupsi, yaitu berupa publikasi kecurangan di depan publik, penyitaan, tahanan (kurungan), sampai hukuman mati.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;"> Rasulullah juga mewanti-wanti agar penguasa muslim berani memberi teladan bagi rakyatnya, dia harus kuat kepribadiannya, bertakwa, tidak menghardik rakyatnya, gemar menasehati, tidak arogan dan tidak memunculkan kebencian rakyat. Beliau sebagai teladan telah membuktikannya disaat beliau sebagai kepala negara kala itu. Semoga kita semua berusaha mencontohnya dengan sungguh-sungguh<i> <o:p></o:p></i></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><i><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;">*) Trainer Konsorsium Training Islam (KTI) Insan Utama Malang</span></i><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 28.05pt;"><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 10pt;">Malang Post Rabu, 24 maret 2004<o:p></o:p></span></div>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-85202014611001921982010-04-11T12:39:00.003+07:002010-04-11T12:39:29.710+07:00MENGKRITISI KONSEP THEO-DEMOKRASI<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><o:smarttagtype name="State" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="country-region" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="Sn" namespaceuri="urn:schemas:contacts"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="City" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:Tahoma;
panose-1:2 11 6 4 3 5 4 4 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:1627400839 -2147483648 8 0 66047 0;}
@font-face
{font-family:"Arial Narrow";
panose-1:2 11 5 6 2 2 2 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:647 2048 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:EN-GB;}
h1
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-link:"Heading 1 Char";
mso-style-next:Normal;
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:center;
mso-pagination:widow-orphan;
page-break-after:avoid;
mso-outline-level:1;
font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-font-kerning:0pt;
mso-ansi-language:EN-GB;}
h2
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-link:"Heading 2 Char";
mso-style-next:Normal;
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:justify;
mso-pagination:widow-orphan;
page-break-after:avoid;
mso-outline-level:2;
font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-ansi-language:ES;}
h3
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-link:"Heading 3 Char";
mso-style-next:Normal;
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:justify;
mso-pagination:widow-orphan;
page-break-after:avoid;
mso-outline-level:3;
font-size:10.0pt;
mso-bidi-font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-ansi-language:ES;}
p.MsoBodyText, li.MsoBodyText, div.MsoBodyText
{mso-style-unhide:no;
mso-style-link:"Body Text Char";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:justify;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:ES;}
p.MsoBodyText2, li.MsoBodyText2, div.MsoBodyText2
{mso-style-unhide:no;
mso-style-link:"Body Text 2 Char";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:justify;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
mso-bidi-font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:ES;}
span.Heading1Char
{mso-style-name:"Heading 1 Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Heading 1";
mso-ansi-font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Tahoma;
mso-hansi-font-family:Tahoma;
mso-bidi-font-family:Tahoma;
mso-ansi-language:EN-GB;
font-weight:bold;}
span.Heading2Char
{mso-style-name:"Heading 2 Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Heading 2";
mso-ansi-font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Tahoma;
mso-hansi-font-family:Tahoma;
mso-bidi-font-family:Tahoma;
mso-ansi-language:ES;
font-weight:bold;}
span.Heading3Char
{mso-style-name:"Heading 3 Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Heading 3";
mso-bidi-font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Tahoma;
mso-hansi-font-family:Tahoma;
mso-bidi-font-family:Tahoma;
mso-ansi-language:ES;
font-weight:bold;}
span.BodyTextChar
{mso-style-name:"Body Text Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Body Text";
mso-ansi-font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Tahoma;
mso-hansi-font-family:Tahoma;
mso-bidi-font-family:Tahoma;
mso-ansi-language:ES;}
span.BodyText2Char
{mso-style-name:"Body Text 2 Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Body Text 2";
mso-bidi-font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Tahoma;
mso-hansi-font-family:Tahoma;
mso-bidi-font-family:Tahoma;
mso-ansi-language:ES;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
font-size:10.0pt;
mso-ansi-font-size:10.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style></m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<h2 align="left" style="text-align: left;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 14pt;"></span><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 14pt; font-weight: normal;"><o:p></o:p></span></h2><div class="MsoNormal"><b><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 14pt;"><o:p></o:p></span></b><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"><b>Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi</b><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoBodyText"><b><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Makna Theo-Demokrasi <o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoBodyText" style="text-indent: 0.5in;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Konsep theo-demokrasi merupakan konsep sistem politik Islam yang digagas oleh Abul A’la Al-Maududi (lahir 1903), ulama Pakistan yang mendirikan gerakan Islam <i>Jamaat-e-Islami</i> pada tahun 1940-an. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal <i>Al-Khilafah wa al-Mulk</i> (Khilafah dan Kerajaan) yang terbit di Kuwait tahun 1978. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="text-indent: 0.5in;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep theo-demokrasi adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. <i>Pertama</i>, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (<i>law giver</i>). Manusia tidak berhak membuat hukum. <i>Kedua</i>, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988:19-21). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="text-indent: 0.5in;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima Al-Maududi, yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah, yang menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan,<i>”Dan ini pulalah yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat</i>...” (Al-Maududi, 1988:67).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="text-indent: 0.5in;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Mengenai theokrasi, yang juga menjadi akar konsep theo-demokrasi, sebenarnya juga ditolak oleh Al-Maududi. Terutama theokrasi model Eropa pada Abad Pertengahan di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat hukum sendiri atas nama Tuhan (Amien Rais, 1988:22). Meskipun demikian, ada anasir theokrasi yang diambil Al-Maududi, yakni dalam pengertian kedaulatan tertinggi ada berada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut Al-Maududi, rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan perundang-undangan Allah SWT (Al-Maududi, 1988:67).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="text-indent: 0.5in;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Walhasil, secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Atau, seperti diistilahkan Al-Maududi, <i>a limited popular sovereignty under suzerainty of God</i> (Amien Rais, 1988:23-24). Dalam bukunya yang lain, yaitu <i>Islamic Law and Constitution</i> (1962:138-139), Al-Maududi menggunakan istilah <i>divine democracy</i> (demokrasi suci) atau <i>popular vicegerency</i> (kekuasaan suci yang bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam (Asshidiqie, 1995:17). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText"><br />
</div><div class="MsoBodyText"><b><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Penggunaan Istilah Theo-Demokrasi<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoBodyText"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"> Catatan kritis pertama adalah penggunaan istilah theo-demokrasi itu sendiri. Bolehkah kita menggunakan istilah Barat yang maknanya bertentangan dengan Islam, seperti theokrasi dan demokrasi, lalu diberi makna baru atau catatan-catatan agar tidak bertentangan dengan Islam? <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText" style="text-indent: 0.5in;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Memang, Al-Maududi sendiri menolak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat yang sekuler. Benar pula bahwa dia pun lalu memberikan muatan makna baru yang Islami seraya menolak muatan makna yang sekuler. Namun dia sendiri tidak pernah menjelaskan argumentasi yang membolehkan pemaknaan ulang suatu istilah asing seperti yang dia lakukan. Inilah kiranya satu celah kelemahan konsep theo-demokrasi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"> Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan (An-Nabhani, 2001: 85-86). Dalam hal ini, Islam </span><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah SWT berfirman :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad),’Raa’ina’, tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.”</span></i><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"> (QS Al Baqarah : 104)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"> <i>“Raa’ina”</i> artinya adalah “sudilah kiranya Anda memperhatikan kami.” Di kala para shahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut <i>“Raa’ina”</i>, padahal yang mereka katakan adalah <i>“Ru’uunah”</i> yang artinya “kebodohan yang sangat.” Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya para shahabat menukar perkataan <i>“Raa’ina”</i> dengan <i>“Unzhurna”</i> yang sama artinya dengan <i>“Raa’ina”</i>. Oleh Ihsan Sammarah dalam kitabnya <i>Mafhum</i> <i>Al-Adalah Al-Ijtimaiyah fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir </i>(1991), ayat ini dijadikan dalil untuk menolak penggunaan istilah yang dapat menimbulkan kerancuan atau bias, yang pengertiannya kemungkinan berupa makna Islami atau makna yang tidak Islami. Karena itu, penggunaan istilah demokrasi, theokrasi, atau theo-demokrasi tidak dapat diterima, karena pengertiannya mengandung ambivalensi antara yang mengartikannya menurut perspektif sekular dan yang mengartikannya menurut perspektif Islami (Abdullah, 1996:10-11).</span><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"> <o:p></o:p></span></div><h3><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Kedaulatan dan Kekuasaan<o:p></o:p></span></h3><div class="MsoBodyText2"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"> Catatan kritis kedua, bahwa konsep theo-demokrasi tidak secara jernih membedakan “kedaulatan” dan “kekuasaan” dalam perspektif Islam. Ada semacam kerancuan. Bahkan terkesan keduanya dicampuradukkan menjadi satu, karena kata “theo” mewakili konsep kedaulatan Tuhan (theokrasi), sedang kata “demokrasi” mewakili konsep kekuasaan rakyat. Meski disayangkan, namun hal ini wajar terjadi, karena dalam pemikiran politik Barat yang dominan di seluruh dunia, kedua hal tersebut memang berasal dari satu sumber yang sama, yaitu rakyat. Sebab rakyat menurut Barat adalah sumber legislasi (<i>source of legislation</i>) sekaligus sumber kekuasaan (<i>source of power</i>). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText2" style="text-indent: 0.5in;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Meski demikian, sesungguhnya kedaulatan dan kekuasaan dapat dibedakan. Kedaulatan (<i>as-siyadah, sovereignty</i>) merupakan konsep yang berkaitan dengan kewenangan membuat hukum (legislasi). Sedang kekuasaan (<i>as-sulthan, power</i>) berkaitan dengan siapa yang berwenang menerapkan hukum itu dalam kekuasaan (Al-Khalidi, 1980:24; Al-Jawi, 2003:209-210). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"> Berdasarkan pembedaan inilah, maka An-Nabhani (1990:38-40) merumuskan konsepnya mengenai kedaulatan dan kekuasaan dalam Islam. Kedaulatan (<i>as-siyadah</i>) dalam Islam, adalah di tangan syara’ <i>(as-siyadah li asy-syar’i)</i>, bukan di tangan rakyat. Rakyat tidak berhak membuat hukum, sebab yang menjadi Pembuat Hukum (<i>Al-Musyarri’, Law Maker</i>) hanyalah Allah SWT (lihat misalnya QS Al-An’aam : 57). Adapun kekuasaan (<i>as-sulthan</i>), adalah di tangan umat (<i>as-sulthan li al-ummah</i>), sebab umatlah yang berhak membaiat siapa saja yang dikehendakinya untuk menjadi penguasa (khalifah). Dengan pembedaan yang tegas antara konsep kedaulatan dan kekuasaan ini, seperti dirumuskan oleh An-Nabhani, kerancuan berpikir tidak akan terjadi. Ini tentu berbeda dengan konsep theo-demokrasi yang menggabungkan konsep kedaulatan dan kekuasaan menjadi satu, sehingga masih berpeluang merancukan dan menggelincirkan pemahaman.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"> <o:p></o:p></span></div><h3><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Kedaulatan Tuhan<o:p></o:p></span></h3><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Catatan kritis ketiga, berkaitan dengan diakomodasinya konsep “kedaulatan Tuhan” (theokrasi) dalam konsep theo-demokrasi Al-Maududi. Dalam hal ini perlu kiranya dicermati, bahwa An-Nabhani mengusulkan konsep “kedaulatan di tangan syara’”, dan bukannya konsep “kedaulatan Tuhan”. Secara substansial memang tak ada perbedaan antara An-Nabhani dengan Al-Maududi mengenai maknanya, yakni bahwa yang berhak membuat hukum hanya Allah semata dan manusia tidak berhak membuat hukum. Namun di sini terlihat dengan jelas bahwa An-Nabhani berusaha dengan amat hati-hati untuk tidak menggunakan istilah “kedaulatan Tuhan” yang bisa menimbulkan kesalahpahaman. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Sikap An-Nabhani tersebut akan dapat dipahami karena dalam teori “kedaulatan Tuhan” terkandung konsep yang bertentangan dengan Islam. Teori “kedaulatan Tuhan” tak dapat dilepaskan dari konsep theokrasi yang berkembang di Barat pada Abad Pertengahan (abad ke-5 s/d ke-15 M). Menurut <i>The Concise Oxford Dictionary</i>, hal. 1321, istilah theokrasi dikaitkan dengan pemerintahan atau negara yang diperintah oleh Tuhan, baik secara langsung maupun melalui kelas kependetaan </span><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">(Asshidiqie, 1995:23)</span><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">. Dalam theokrasi Barat ini, konsep “kedaulatan Tuhan” mempunyai arti bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah Tuhan. Selanjutnya, Tuhan mewakilkan kekuasaan-Nya kepada raja atau Paus (Amiruddin, 2000:103-104). Oleh karena mewakili Tuhan, maka segala perilaku raja atau Paus selalu terjaga dari kesalahan atau suci (<i>ma’shum, infellible</i>). Jadi, negara theokrasi --yang menjalankan teori kedaulatan Tuhan-- merupakan negara yang dipimpin oleh gerejawan atau raja yang menganggap segala perilaku mereka terjaga dari kesalahan dan suci. </span><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Maka dari itu, apa yang mereka halalkan di bumi, tentu halal pula di langit. Apa yang mereka haramkan di dunia, tentu diharamkan pula di langit (lihat Dr. Yusuf Qardhawy, <i>Fiqih Daulah</i>, hal. 81). Bahkan menurut Imam Khomeini, tokoh kaum Syiah yang sangat terpengaruh dengan konsep theokrasi Eropa, kesucian para pemimpin/penguasa, berada pada martabat yang sangat tinggi yang bahkan tak bisa dijangkau oleh para nabi maupun malaikat <i>muqarrabin</i> (lihat Al-Imam Al-Khomeini, “Al-Wilayah At-Takwiniyah”, <i>Al-Hukumah Al-Islamiyah</i>, hal. 52).</span><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Dari uraian sekilas ini, nampak teori “kedaulatan Tuhan” sungguh tak dapat dilepaskan dari konsep theokrasi yang bertentangan dengan Islam. Setidaknya ada tiga poin krusial yang menunjukkan kontradiksi teori “kedaulatan Tuhan” (theokrasi) dengan Islam. <i>Pertama</i>, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa adalah wakil Tuhan di muka bumi. Sedang dalam Islam, seorang khalifah dalam negara Khilafah adalah wakil umat -–bukan wakil Tuhan-- dalam urusan kekuasaan dan penerapan hukum-hukum Syariah Islam (An-Nabhani, 1990:48). <i>Kedua</i>, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa bersifat <i>ma’shum</i>. Sedang dalam Islam seorang khalifah bukan orang <i>ma’shum</i>. Bisa saja dia berbuat dosa dan kesalahan. Karena itulah, <i>amar ma’ruf nahi munkar</i> disyariatkan (An-Nabhani, 1990:119-121). <i>Ketiga</i>, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa atau gerejawan membuat undang-undang atau hukum yang berasal dari dirinya sendirinya, tanpa suatu acuan dan pedoman yang jelas dari wahyu Tuhan. Sedang dalam Islam, penguasa mengadopsi hukum-hukum syara’ berdasarkan ijtihad yang sahih dengan acuan dan pedoman yang jelas, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya (Djaelani, 1994:86-87). Walhasil, adanya kontradiksi tajam antara “kedaulatan Tuhan” dengan Islam inilah yang kemungkinan membuat An-Nabhani berhati-hati merumuskan konsepnya sebagai “kedaulatan di tangan syara’ “ (<i>as-siyadah li asy-syar’i</i>), bukan kedaulatan di tangan Allah (<i>as-siyadah li-llah</i>), demi kejernihan pemikiran. <o:p></o:p></span></div><h3><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"><o:p> </o:p></span></h3><h3><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Penutup<o:p></o:p></span></h3><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"> Dari uraian di atas, jelaslah bahwa konsep theo-demokrasi lebih banyak mendatangkan masalah dan kerumitan baru, daripada mendatangkan kecemerlangan dan penyelesaian berbagai masalah. Dalam beberapa hal, konsep theo-demokrasi cukup bisa membedakan dengan kontras sistem Khilafah dan Kerajaan. Tapi konsep ini tidak bisa membedakan secara jelas perbedaan sistem republik –atau republik Islam-- dengan sistem Khilafah. Ini tentunya wajar karena konsep theo-demokrasi memang didasarkan pada sikap akomodatif antara Islam dan ide demokrasi, sebagai dasar sistem republik. Jika ini yang terjadi, maka terwujudnya sistem Khilafah akan mengalami hambatan dan akan memakan waktu lebih lama, karena bisa jadi para aktivisnya terkecoh dengan jalan perjuangan kooperatif melalui perbaikan sistem republik yang ada. Apalagi kalau namanya sedikit diganti menjadi “republik Islam”, seperti misalnya Republik Islam Pakistan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"> Sudah selayaknya, kejernihan dan kecemerlangan berpikir selalu dikedepankan dalam upaya menuju kebangkitan umat. Sebab umat Islam tidak akan mungkin mengalami kebangkitan pemikiran, kecuali dengan kembali mengambil pemikiran-pemikiran yang cemerlang (<i>mustanir</i>). Konsep yang kabur atau kurang jelas sudah selayaknya dikesampingkan, untuk menuju konsep yang lebih jernih dan cemerlang. Bukankah Nabi SAW telah bersabda : <i>“Tinggalkan apa yang meragukanmu (untuk) menuju apa yang tidak meragukanmu.”</i> (HR. Ahmad, An-Nasa`i, dan Ath-Thabrani) <b>[ ]</b><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="ES" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"> </span><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"><o:p></o:p></span></div><h1 align="left" style="text-align: left;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">DAFTAR PUSTAKA<o:p></o:p></span></h1><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Abdullah, Muhammad Husain. 1996. <i>Mafahim Islamiyah</i>. Juz II. Cetakan I.Beirut : Darul Bayariq.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Al-Jawi, M. Shiddiq. 2003. “Must Islam Accept Democracy?” dalam David Bourchier & Vedi R. Hadiz (Editor). <i>Indonesian Politics and Society : A Reader</i>. <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">London</st1:place></st1:city>-<st1:state w:st="on"><st1:place w:st="on">New York</st1:place></st1:state> : RoutledgeCurzon. hal. 207-211<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. <i>Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam</i>. <st1:place w:st="on"><st1:city w:st="on">Cetakan</st1:city> <st1:state w:st="on">I.</st1:state> <st1:country-region w:st="on">Kuwait</st1:country-region></st1:place> : Darul Buhuts Al-‘Ilmiyah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Al-Maududi, Abul A’la. 1988. <i>Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-Mulk)</i>. Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. Cetakan II. <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Bandung</st1:place></st1:city> : Mizan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Amiruddin, M. Hasbi. 2000.”Teori Kedaulatan Tuhan”. <i>Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman</i>. <st1:place w:st="on"><st2:sn w:st="on">Cetakan</st2:sn> <st2:sn w:st="on">I.</st2:sn></st1:place> <st1:place w:st="on">Yogyakarta</st1:place> : UII Press. hal. 103-105. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">An-Nabhani, Taqiyuddin. 2001. <i>Nizham Al-Islam</i>. Cetakan VI. t.tp. : t.p. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Asshidiqie, Jimly. 1995. <i>Islam dan Kedaulatan Rakyat</i>. <st1:place w:st="on"><st2:sn w:st="on">Cetakan</st2:sn> <st2:sn w:st="on">I.</st2:sn></st1:place> <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city> : Gema Insani Press.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Djaelani, Abdul Qadir. 1994. “Kedaulatan Tertinggi dalam Negara”. <i>Sekitar Pemikiran Politik Islam</i>. <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Jakarta</st1:place></st1:city> : Media Dakwah. Hal. 83-87.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Khomeini, Imam. Tanpa tahun. <i>Al-Hukumah Al-Islamiyah</i>. T.tp. : t.p. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Rais, Amien. 1988. “Kata Pengantar”. <i>Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilafah wa Al-Mulk)</i>. Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. Cetakan II. <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Bandung</st1:place></st1:city> : Mizan. <o:p></o:p></span></div><span lang="EN-GB" style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;">Sammarah, Ihsan. 1991.</span><i><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"> Mafhum</span></i><span style="font-family: "Arial Narrow","sans-serif"; font-size: 9pt;"> <i>Al-Adalah Al-Ijtimaiyah fi Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir. </i>Cetakan II. <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">Beirut</st1:place></st1:city> : Dar An-Nahdhah Al-Islamiyah</span><span style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">.</span><span style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2198227772445180717.post-62640474134445744762010-04-11T12:39:00.001+07:002010-04-11T12:39:05.204+07:00SYURA BUKAN DEMOKRASI<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 12" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx" rel="themeData"></link><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Casseifff%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml" rel="colorSchemeMapping"></link> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:"Cambria Math";
panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:Tahoma;
panose-1:2 11 6 4 3 5 4 4 2 4;
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:1627400839 -2147483648 8 0 66047 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:12.0pt;
font-family:"Times New Roman","serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:EN-GB;}
h1
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-link:"Heading 1 Char";
mso-style-next:Normal;
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
page-break-after:avoid;
mso-outline-level:1;
font-size:12.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-font-kerning:0pt;
mso-ansi-language:EN-GB;}
h2
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-link:"Heading 2 Char";
mso-style-next:Normal;
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:center;
mso-pagination:widow-orphan;
page-break-after:avoid;
mso-outline-level:2;
font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-ansi-language:EN-GB;}
h3
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-link:"Heading 3 Char";
mso-style-next:Normal;
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:justify;
mso-pagination:widow-orphan;
page-break-after:avoid;
mso-outline-level:3;
font-size:10.0pt;
mso-bidi-font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-ansi-language:EN-GB;}
p.MsoTitle, li.MsoTitle, div.MsoTitle
{mso-style-unhide:no;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-link:"Title Char";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:center;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:14.0pt;
mso-bidi-font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:EN-GB;
font-weight:bold;}
p.MsoBodyText, li.MsoBodyText, div.MsoBodyText
{mso-style-noshow:yes;
mso-style-unhide:no;
mso-style-link:"Body Text Char";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:justify;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
mso-bidi-font-size:14.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:EN-GB;}
p.MsoBodyTextIndent, li.MsoBodyTextIndent, div.MsoBodyTextIndent
{mso-style-noshow:yes;
mso-style-unhide:no;
mso-style-link:"Body Text Indent Char";
margin:0in;
margin-bottom:.0001pt;
text-align:justify;
text-indent:.5in;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
mso-bidi-font-size:12.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:EN-GB;}
span.Heading1Char
{mso-style-name:"Heading 1 Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Heading 1";
mso-ansi-font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:12.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Tahoma;
mso-hansi-font-family:Tahoma;
mso-bidi-font-family:Tahoma;
mso-ansi-language:EN-GB;
font-weight:bold;}
span.Heading2Char
{mso-style-name:"Heading 2 Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Heading 2";
mso-ansi-font-size:12.0pt;
mso-bidi-font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Tahoma;
mso-hansi-font-family:Tahoma;
mso-bidi-font-family:Tahoma;
mso-ansi-language:EN-GB;
font-weight:bold;}
span.Heading3Char
{mso-style-name:"Heading 3 Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Heading 3";
mso-bidi-font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Tahoma;
mso-hansi-font-family:Tahoma;
mso-bidi-font-family:Tahoma;
mso-ansi-language:EN-GB;
font-weight:bold;}
span.TitleChar
{mso-style-name:"Title Char";
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:Title;
mso-ansi-font-size:14.0pt;
mso-bidi-font-size:11.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Tahoma;
mso-hansi-font-family:Tahoma;
mso-bidi-font-family:Tahoma;
mso-ansi-language:EN-GB;
font-weight:bold;}
span.BodyTextChar
{mso-style-name:"Body Text Char";
mso-style-noshow:yes;
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Body Text";
mso-bidi-font-size:14.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Tahoma;
mso-hansi-font-family:Tahoma;
mso-bidi-font-family:Tahoma;
mso-ansi-language:EN-GB;}
span.BodyTextIndentChar
{mso-style-name:"Body Text Indent Char";
mso-style-noshow:yes;
mso-style-unhide:no;
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Body Text Indent";
mso-bidi-font-size:12.0pt;
font-family:"Tahoma","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Tahoma;
mso-hansi-font-family:Tahoma;
mso-bidi-font-family:Tahoma;
mso-ansi-language:EN-GB;}
.MsoChpDefault
{mso-style-type:export-only;
mso-default-props:yes;
font-size:10.0pt;
mso-ansi-font-size:10.0pt;
mso-bidi-font-size:10.0pt;}
@page Section1
{size:8.5in 11.0in;
margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in;
mso-header-margin:.5in;
mso-footer-margin:.5in;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><h2><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi<o:p></o:p></span></h2><h3><span lang="EN-GB">Pengantar</span></h3><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi, telah masyhur dan sudah lama adanya, meski anggapan ini sesungguhnya tidak benar. <i>“</i></span><i><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Demokrasi bagi kita ialah musyawarah,”</span></i><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> kata Sukarno, presiden pertama RI, </span><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">ketika menyampaikan pidato berjudul "Negara Nasional dan Cita-Cita Islam" di Universitas Indonesia, di Jakarta 7 Mei 1953. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Namun demikian, tak sedikit pandangan kritis yang memandang syura bukanlah demokrasi. Abdul Qadim Zallum (1990), misalnya, menegaskan,”<i>Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra`y). Sedangkan demokrasi, adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem [pemerintahan] ...” </i><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="EN-GB" style="color: black; font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Tulisan ini bertujuan menjelaskan bahwa syura (musyawarah) bukan</span><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">lah demokrasi, dengan menguraikan dua hal utama, yaitu : </span><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">(1) hakikat syura dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dan (2) perbedaan fundamental antara syura dengan demokrasi. </span><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Untuk itu, akan ditelaah secara komprehensif tiga kitab berikut : kitab </span><i><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz I</span></i><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> (Bab <i>Asy-Syura </i>hal. 246-261), karya Taqiyuddin an-Nabhani (1994), kitab <i>Nizham Al-Hukm fi Al-Islam</i> (Bab <i>Majelis Ummat</i>, hal. 214-224), karya Abdul Qadim Zallum (2002), dan kitab </span><i><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, </span></i><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> karya Abdul Qadim Zallum (1990). </span><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><h3><span lang="EN-GB">Hakikat Syura</span></h3><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> Menurut pengertian bahasa, <i>syura</i> adalah mashdar (kata-dasar) dari kata <i>syaawara </i>(Zallum, 2002:216). Syura secara bahasa memiliki banyak makna. Menurut Ibnu Manzhur, dalam <i>Lisan Al-‘Arab</i>, Jilid II hal. 379-381, pada pasal <i>sya-wa-ra</i>, makna syura antara lain mengeluarkan madu dari sarang lilin [lebah] (<i>istikhraj al-‘asl min qursh asy-syama’</i>), memeriksa tubuh hamba sahaya perempuan dan binatang ternak pada saat pembelian (<i>tafahhush badan al-amah wa al-daabbah ‘inda asy-syira`</i>), menampakkan diri dalam medan perang (<i>isti’radh an-nafs f imaydan al-qital</i>), dan sebagainya (Al-Khalidi, 1980:141; Zallum, 2002:216). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> Adapun menurut pengertian syariat --yang didasarkan pada nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah-- syura adalah mengambil pendapat (<i>akhdh ar-ra`y[i]</i>) (An-Nabhani, 1994:246). Jelasnya, syura adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (<i>thalab ar-ra`y[i] min al-mustasyaar</i>) (Zallum, 2002:216). Istilah lain syura adalah <i>masyurah</i> (An-Nabhani, 2001:111) atau <i>at-tasyaawur</i> (An-Nabhani, 1994:246).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> Taqiyuddin An-Nabhani (1994:246) mengatakan bahwa syura dilakukan oleh setiap <i>amir</i> (pemimpin) terhadap orang-orang yang dipimpinnya, misalnya oleh seorang khalifah, komandan pasukan (<i>qa`id</i>), atau oleh setiap orang yang mempunyai kewenangan/otoritas (<i>shahib ash-shalahiyah</i>). Syura dapat dilakukan juga di antara suami isteri, misalnya untuk memusyawarahkan penyapihan anak mereka sebelum dua tahun (lihat QS Al-Baqarah : 233). Dalam sistem Khilafah, syura secara kelembagaan formal dilaksanakan dalam Majelis Ummat, yang merupakan lembaga wakil-wakil umat dalam musyawarah dan muhasabah (pengawasan) terhadap khalifah (Zallum, 2002:222). Maka fungsinya antara lain melakukan musyawarah dengan khalifah. Namun Majelis Ummat dalam negara Khilafah tidak mempunyai kewenangan legislatif seperti parlemen dalam sistem demokrasi. Fungsi legislasi dalam arti melakukan adopsi (<i>tabanni</i>) hukum syara’ dari sejumlah hukum syara’ yang ada dalam satu masalah untuk mengatur urusan rakyat, hanya menjadi otoritas khalifah, bukan yang lain (Zallum, 2002:44).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> </span><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Hukum melakukan syura menurut Abdul Qadim Zallum adalah mandub, bukan wajib (2002:217-218). Ini sejalan dengan pandangan para ahli tafsir terkemuka yang menyatakan perintah Allah SWT kepada Rasulullah SWT untuk melakukan syura dalam Al-Qur`an surat Ali Imran : 159, adalah perintah mandub, bukan perintah wajib. Mereka itu misalnya Ibn Jarir Ath-Thabari (<i>Jami’ Al-Bayan</i>, IV/153), Al-Alusi (<i>Ruhul Ma’ani</i>, IV/106-107), Az-Zamakhsyari (<i>Al-Kasysyaf</i>. I/474), Imam Al-Qurthubi (<i>Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an</i>, IV/249-252), dan Ibnul ‘Arabi (<i>Ahkamul Qur`an</i>, I/298).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Jadi, meskipun ada tuntutan (<i>thalab</i>) dari Al-Qur`an untuk melakukan syura, misalnya dalam frasa <i>“wa syaawir hum fil amri”</i> (bermusyawarahlah kamu dalam urusan itu) (QS Ali ‘Imraan : 159), tetapi ada <i>qarinah</i> (indikasi) yang menunjukkan tuntutan tersebut bukanlah tuntutan pasti (<i>thalab jazim</i>) --yang kesimpulan hukumnya wajib-- melainkan tuntutan tidak pasti (<i>thalab ghayr jazim</i>), yang kesimpulan hukumnya mandub. Qarinah tersebut antara lain, bahwa pada ayat tersebut terdapat frasa <i>“fa idza azam<b>ta</b> fatawakkal ‘ala-llah” </i>(kemudian jika <b>kamu</b> telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah). Ayat ini jelas menyandarkan <i>‘azam</i> (tekad bulat) –yaitu maksud untuk melaksanakan sesuatu dan mengambil keputusan— hanya kepada Rasulullah, bukan kepada orang-orang yang diajak musyawarah. Karenanya, dalam banyak kebijakannya, Rasul mengambil keputusan tanpa bermusyawarah dengan para shahabat, seperti dalam pengangkatan para <i>wali</i> (gubernur), pengangkatan para <i>qadhi</i> (hakim), para sekretaris (<i>kuttab</i>), dan para pemimpian <i>sariyah</i> dan pasukan, juga penandatanganan gencatan senjata, dan sebagainya (Zallum, 2002:217-218). Ini menunjukkan syura adalah mandub, bukan wajib. Yang melakukannya akan mendapat pahala, sedang yang meninggalkannya tidak berdosa. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Siapa yang berhak melakukan syura? Syura sesungguhnya adalah hak kaum muslimin semata. Artinya, pihak pemegang kewenangan (<i>shahib ash-shalahiyah</i>), seperti khalifah, ketika hendak meminta atau mengambil pendapat, ia tidak mengambilnya kecuali dari kaum muslimin. Tegasnya, syura adalah proses pengambilan pendapat yang khusus di kalangan internal sesama orang Islam. Tidak boleh dalam syura mengambil pendapat dari orang kafir, meskipun boleh (<i>ja`iz</i>) orang kafir menyampaikan pendapat (<i>ibda` ar-ra`y</i>) kepada orang Islam dan boleh kaum muslimin mendengarkan pendapat (<i>sama’ ar-ra`y</i>) dari orang kafir tersebut (An-Nabhani, 2001:111). Kekhususan syura hanya untuk kaum muslimin, ditunjukkan misalnya oleh firman Allah SWT :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka...”</span></i><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> (QS Ali Imran [3] : 159) <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Ayat ini menunjukkan menunjukkan bahwa sikap-sikap Rasul, seperti memohonkan ampunan kepada Allah, tidak mungkin beliau lakukan, kecuali bagi kaum muslimin. Sebab, Allah telah melarang Rasul memintakan ampunan kepada orang musyrik (Lihat QS At-Taubah : 113). Maka, demikian pula, bermusyawarah juga tidaklah dilakukan Rasul, kecuali dengan kaum muslimin (An-Nabhani, 1994:247).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> Lalu, apakah dalam musyawarah, pendapat yang diambil selalu berdasarkan suara mayoritas seperti halnya dalam demokrasi? </span><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> Memang, dalam sistem demokrasi suara mayoritas-lah yang menjadi penentu dalam segala bidang permasalahan. Sedangkan dalam syura, kriteria pendapat yang diambil tergantung pada bidang permasalahan yang dimusyawarahkan. Rinciannya sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1990) dalam <i>Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr</i>, adalah sebagai berikut :<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><i><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Pertama</span></i></b><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">, dalam masalah penentuan hukum syara’ (<i>at-tasyri’</i>), kriterianya tidak tergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash-nash syara' (nash Al-Qur`an dan As-Sunnah). Sebab, yang menjadi Pembuat Hukum <i>(Musyarri' , The Law Giver)</i> hanyalah Allah SWT, bukan umat atau rakyat. Sedang pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengadopsi (melakukan proses legislasi) hukum-hukum syara' dalam sistem Khilafah, adalah khalifah saja. Bukan Majelis Ummat. Khalifah tidak wajib meminta pendapat Majelis Ummat mengenai hukum-hukum syara’ yang akan dilegislasikannya, meskipun hal ini boleh dia lakukan. Jika khalifah meminta pendapat Majelis Ummat mengenai hukum-hukum syara' yang hendak diadopsinya, maka pendapat Majelis Ummat tidak mengikat khalifah, meskipun pendapat itu diputuskan berdasarkan suara bulat atau suara mayoritas. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText"><span lang="EN-GB"> Dalilnya adalah karena Rasulullah SAW pernah mengesampingkan pendapat kaum muslimin yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah. Padahal pendapat kaum muslimin waktu itu merupakan pendapat mayoritas. Tetapi toh Rasulullah menolak pendapat mereka, dan tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah SAW bersabda kepada mereka :</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><h2 style="text-align: justify;"><span dir="rtl" lang="AR-SA" style="font-size: 11pt;">إِنِّي عَبْدَ اللهِ وَ رَسُوْلَهُوَ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ</span><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></h2><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt; letter-spacing: -0.1pt;">"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya." </span></i><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt; letter-spacing: -0.1pt;">(HR. Bukhari dan Muslim. Lihat <i>Fathul Bari</i>, VI/276; <i>Shahih Muslim</i> XII/141; <i>Majma’ Az-Zawa`id wa Manba’ Al-Fawa`id</i>, V/225)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><i><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Kedua</span></i></b><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">, Dalam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya. Bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya yang berkompeten. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat. Jadi, masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar kemiliteran. Masalah-masalah fiqih dikembalikan kepada para fuqaha dan mujtahidin. Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik. Masalah-masalah ide/gagasan dikembalikan kepada para pemikir besar. Demikianlah seterusnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah SAW mengikuti pendapat Al Hubab bin Al Mundzir pada Perang Badar —yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis— yang mengusulkan kepada Nabi agar meninggalkan tempat yang dipilih Nabi, kalau sekiranya ketentuan tempat itu bukan dari wahyu. Al Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran. Maka Rasulullah mengikuti pendapat Al Hubab dan berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh Al Hubab. Jadi Rasulullah SAW telah meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para shahabat lainnya dalam masalah tersebut (Lihat kisah Perang Badar ini selengkapnya dalam <i>Sirah Ibnu Hisyam</i>, II/272; <i>Thabaqat Ibnu Sa’ad</i>, II/15; <i>Tarikh Ibnu Khaldun</i>, II/751; <i>As-Sirah li Ibn Katsir</i>, II/380-402). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyText"><b><i><span lang="EN-GB">Ketiga</span></i></b><span lang="EN-GB">, masalah-masalah yang langsung menuju kepada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, maka yang menjadi patokan adalah suara mayoritas, sebab mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Masalah-masalah seperti ini contohnya, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau ketua organisasi misalnya), apakah kita akan keluar kota atau tidak, apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari, apakah kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api. Masalah-masalah seperti ini dapat dijangkau oleh setiap orang sehingga mereka dapat memberikan pendapatnya. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah seperti ini suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> Dalil untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada Rasulullah SAW ketika Perang Uhud. Rasulullah SAW dan para shahabat senior berpendapat bahwa kaum muslimin tidak perlu keluar dari kota Madinah. Sedang mayoritas shahabat —khususnya para pemudanya— berpendapat bahwa kaum muslimin hendaknya keluar dari kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy di luar kota Madinah. Jadi pendapat yang ada berkisar di antara dua pilihan, keluar kota Madinah atau tidak. Dikarenakan mayoritas shahabat berpendapat untuk keluar kota Madinah, maka Nabi SAW mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para shahabat senior, serta berangkat menuju Uhud di luar kota Madinah untuk menghadapi pasukan Quraisy </span><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">(Lihat kisah Perang Uhud ini selengkapnya dalam <i>Sirah Ibnu Hisyam</i>, III/67; <i>Thabaqat Ibnu Sa’ad</i>, II/38; <i>Tarikh Ibnu Khaldun</i>, II/765; <i>Zadul Ma’ad</i>, II/62; <i>Fathul Bari</i>, XVII/103). </span><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><h3><span lang="EN-GB">Perbedaan Syura dengan Demokrasi</span></h3><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> Dari uraian di atas tentang syura, dapat kita pahami adanya perbedaan fundamental antara syura dan demokrasi. Seperti telah dikutip sebelumnya, </span><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Abdul Qadim Zallum (1990) secara ringkas membandingkan sekaligus membedakan demokrasi dan syura dengan perkataannya, <i>”Demokrasi bukanlah syura, karena syura artinya adalah meminta pendapat (thalab ar-ra`y). Sedangkan demokrasi, adalah suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem [pemerintahan] ...” </i> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Ini berarti, menyamakan syura dengan demokrasi bagaikan menyamakan sebuah sekrup dengan sebuah mobil. Tidak tepat dan tidak proporsional. Mengapa? Sebab syura hanyalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat dalam Islam, sebagai bagian dari proses sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Sedang demokrasi bukan sekedar proses pengambilan pendapat berdasarkan mayoritas, namun sebuah jalan hidup (<i>the way of life</i>) yang holistik yang terrepresentasikan dalam sistem pemerintahan menurut peradaban Barat. Bahwa demokrasi adalah sebuah sebuah tipe sistem pemerintahan, dapat dibuktikan misalnya dengan pernyataan Presiden Lincoln pada peresmian makam nasional Gettysburg (1863) di tengah berkecamuknya Perang Saudara di AS. Lincoln menyatakan,<i>”[Demokrasi adalah] pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”</i> (Melvin I. Urofsky, 2003:2). Maka, menyamakan syura dengan demokrasi tidaklah tepat dan jelas tak proporsional. Jika ingin tepat dan proporsional, sistem demokrasi seharusnya dibandingkan dengan sistem Khilafah, bukan dengan syura. Atau syura seharusnya dibandingkan dengan prinsip suara mayoritas, bukan dengan demokrasi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoBodyTextIndent"><span lang="EN-GB">Memang, ada kemiripan antara syura dan demokrasi, yang mungkin dapat menyesatkan orang untuk menganggap syura identik dengan demokrasi. Kemiripan itu ialah, dalam syura ada proses pengambilan pendapat berdasarkan suara mayoritas, seperti terjadi dalam Perang Uhud, identik dengan yang ada dalam demokrasi (An-Nahwi, 1985:93-94). Namun dengan mencermati penjelasan tentang syura di atas, masalah kemiripan ini akan gamblang dengan sendirinya. Sebab tak selalu syura berpatokan pada suara mayoritas. Ini sangat berbeda dengan demokrasi yang selalu menggunakan kriteria suara mayoritas untuk segala bidang permasalahan. Selain itu, syura hanyalah hak kaum muslimin yang dilaksanakan di antara sesama umat Islam ketika mereka bertukar pikiran untuk mengambil suatu pendapat. Orang kafir tidak boleh ikut serta dalam proses syura. Ini jelas beda dengan demokrasi yang menjadikan muslim dan non-muslim bisa bercampur-aduk untuk menetapkan suatu pendapat. Jika demikian kontras bedanya, sekontras perbedaan warna putih dan hitam, lalu di mana lagi letak kesamaan syura dan demokrasi? Samakah yang putih dengan yang hitam?</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> Kemiripan syura dan demokrasi dalam tersebut, menjadi lebih tak bermakna jika kita mengkaji ciri-ciri sistem demokrasi secara lebih mendasar dan komprehensif. Menurut Zallum (1990) sistem demokrasi mempunyai ciri-ciri : berlandaskan pada falsafah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), dibuat oleh manusia, didasarkan pada 2 (dua) ide pokok : (1) kedaulatan di tangan rakyat dan (2) rakyat sebagai sumber kekuasaan, memegang prinsip suara mayoritas, dan menuntut kebebasan individu (<i>freedom</i>) agar kehendak rakyat dapat diekspresikan tanpa tekanan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> Hanya dengan memperhatikan falsafah demokrasi, yaitu sekularisme, maka jurang perbedaan syura dan demokrasi akan semakin lebar. Sedemikian lebarnya sehingga mustahil terjembatani. Sebab, syura tidak lahir dari aqidah (falsafah) sekularisme, melainkan lahir dari Aqidah Islamiyah. Syura adalah hukum syara’ yang dilaksanakan sebagai bagian dari perintah Allah. Sedang demokrasi, lahir dari rahim ide sekularisme yang kufur. Sebab, setelah terjadi sekularisasi, yakni setelah agama dipisahkan dari kehidupan sehingga agama tidak lagi mengatur urusan kehidupan manusia seperti politik, maka dengan sendirinya manusia itu sendirilah yang membuat aturan hidupnya. Inilah asal-usul ideologis lahirnya demokrasi di negara-negara Eropa pasca Abad Pertengahan (V-XV M), setelah sebelumnya masyarakat Eropa ditindas oleh kolaborasi antara raja/kaisar --yang berkuasa secara despotik dan absolut-- dengan para agamawan Katolik yang memperalat agama, korup, dan manipulatif (An-Nabhani, 2001:27).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;"> <o:p></o:p></span></div><h3><span lang="EN-GB">Kesimpulan </span></h3><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Berdasarkan seluruh uraian di atas, jelaslah bahwa syura tidak identik dengan demokrasi. Syura bukanlah demokrasi, sebab syura adalah pengambilan pendapat sedang demokrasi adalah sistem pemerintahan Barat yang berasaskan pada ide sekularisme yang kufur. Adanya kemiripan antara syura dan demokrasi tidak ada maknanya sama sekali, sebab keduanya mempunyai basis ideologi yang berbeda secara diametral.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Perlu diingat, sistem demokrasi telah dijadikan salah satu senjata Barat untuk menghancurkan Islam. Ini nampak ketika ketika negara-negara Barat mengadakan Konferensi Berlin pada akhir abad ke-18 M. Negara-negara penjajah itu memang tidak mencapai kata sepakat bagaimana membagi-bagi Negara Khilafah Utsmaniyah –mereka sebut sebagai <i>The Sick Man</i>-- andaikata “orang sakit” ini telah masuk liang lahat. Namun mereka menyepakati satu hal, yaitu memaksa Khilafah untuk menerapkan sistem demokrasi. Akhirnya Khilafah menerapkan sistem kementerian (<i>al-wuzarah</i>) seperti dalam sistem demokrasi, akibat tekanan dan paksaan Barat. Ketika Khilafah hancur pada 1924, Barat segera meracuni pemikiran umat Islam dengan menulis berbagai buku yang menyatakan bahwa Islam adalah agama demokratis, atau bahwa demokrasi berasal dari ajaran Islam (Zallum, 1994:135-136).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Maka dari itu, siapa saja yang mengatakan bahwa demokrasi adalah bagian ajaran Islam, misalnya dengan mengatakan demokrasi adalah syura itu sendiri, berarti dia telah bersekongkol dengan para penjajah yang kafir untuk turut menghancurkan Islam dan menyesatkan umat Islam. Propaganda demokrasi yang palsu dan penuh pemaksaan ini tak punya tujuan lain, kecuali untuk mencegah bangkitnya ideologi Islam dalam sebuah sistem Khilafah, sekaligus untuk melestarikan hegemoni ideologi kapitalisme-demokratik yang kufur di seluruh dunia, agar umat manusia tetap terus-menerus hidup dalam ketertindasan, penderitaan, dan kesengsaraan di dunia dan akhirat. Ini tentu sangat kejam. Sangat biadab. Dan gila. <b>[ ]</b> <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><h1 align="center" style="text-align: center;"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">DAFTAR PUSTAKA<o:p></o:p></span></h1><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. <i>Qawaid Nizham Al-Hukm fi Al-Islam</i>. Cetakan I. (Kuwait : Dar Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Anonim. 1990. "Negara Nasional dan Cita-Cita Islam". <i>Bung Karno dan Islam. </i>(Jakarta: Haji Masagung).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">----------. 1994. <i>Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah</i>. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">----------. 2001. <i>Nizham Al-Islam</i>. Cetakan VI. (t.tp. : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">An-Nahwi, Adnan Ali. 1985. <i>Asy-Syuura Laa Ad-Dimuqrathiyah</i>. Cetakan II. (Kairo : Dar Ash-Shahwah).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Ibnu Manzhur. 1889. <i>Lisanul ‘Arab</i>. (Bulaq : Al-Mathba’ah Al-Amiriyah).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Urofsky, Melvin I. <i>et.al</i>.. 2003. <i>Demokrasi</i>. Office of International Information Programs-U.S. Department of State. http:/usinfo.state.gov<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">Zallum, Abdul Qadim. 1990. <i>Ad-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr</i>. (t.tp. : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">----------. 1994. <i>Afkar Siyasiyah</i>. Cetakan I. (Beirut : Darul Ummah).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span lang="EN-GB" style="font-family: "Tahoma","sans-serif"; font-size: 10pt;">----------. 2002. <i>Nizham Al-Hukm fi Al-Islam</i>. Cetakan VI. (t.tp. : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div>kontrademokrasihttp://www.blogger.com/profile/08159611208938456549noreply@blogger.com0