DEMOKRASI : SISTEM KUFUR [4]
06.30 | Author: kontrademokrasi

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka kaum muslimin tidak boleh mengambil peradaban/ kultur Barat, beserta segala peraturan dan undang-undang yang terlahir darinya. Sebab, peradaban tersebut bertentangan dengan peradaban Islam. Kecuali peraturan dan undang-undang administratif yang bersifat mubah dan boleh diambil, sebagaimana Umar bin Khaththab telah mengambil peraturan administrasi perkantoran dari Persia dan Romawi.

Peradaban Barat berdiri di atas aqidah pemisahan agama dari kehidupan, serta pemisahan agama dari negara.

Sementara peradaban Islam berlandaskan pada Aqidah Islamiyah, yang telah mewajibkan pelaksanaan kehidupan bernegara berdasarkan perintah dan larangan Allah, yakni hukum-hukum syara'.

Peradaban Barat berdiri di atas asas manfaat (oportunity), dan menjadikannya sebagai tolok ukur bagi seluruh perbuatan. Dengan demikian, peradaban Barat adalah peradaban yang hanya mempertim-bangkan nilai manfaat saja, serta tidak memperhi-tungkan nilai apa pun selain nilai manfaat yang bersifat materialistik. Karena itu, dalam peradaban Barat tidak akan dijumpai nilai kerohanian, nilai akhlak, dan nilai kemanusiaan.

Sementara itu peradaban Islam berdiri di atas landasan rohani (spiritual), yakni iman kepada Allah, dan menjadikan prinsip halal-haram sebagai tolok ukur seluruh perbuatan manusia dalam kehidupan, serta mengendalikan seluruh aktivitas dan nilai berdasarkan perintah dan larangan Allah.

Peradaban Barat menganggap kebahagiaan adalah memberikan kenikmatan jasmani yang sebesar-besarnya kepada manusia dan segala sarana untuk memperolehnya.

Sementara itu peradaban Islam menganggap kebahagiaan adalah diraihnya ridla Allah SWT. Peradaban tersebut mengatur pemenuhan kebutuhan naluri dan jasmani manusia berdasarkan hukum-hukum syara'.

Atas dasar itulah, maka kaum muslimin tidak boleh mengambil sistem pemerintahan demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, dan sistem kebebasan individu yang ada di negara-negara Barat. Dengan demikian, kaum muslimin tidak boleh mengambil konstitusi dan undang-undang demokrasi, sistem pemerintahan kerajaan dan republik, bank-bank ribawi, dan sistem bursa dan pasar uang internasional. Kaum muslimin tidak boleh mengambil semua peraturan ini karena semuanya merupakan peraturan dan undang-undang kufur yang sangat bertentangan dengan hukum dan peraturan Islam.

Sebagaimana tidak boleh mengambil peradaban Barat beserta segenap ide dan peraturan yang terlahir darinya, maka kaum muslimin juga tidak boleh mengambil peradaban/kultur komunisme. Sebab, peradaban ini juga bertentangan dengan peradaban Islam secara menyeluruh.

Peradaban komunisme berdiri di atas suatu aqidah yaitu bahwa tidak ada pencipta terhadap alam semesta ini, dan bahwa materilah yang menjadi asal usul segala benda. Seluruh benda di alam semesta ini dianggapnya berasal dari materi melalui jalan evolusi materi.

Sedangkan peradaban Islam berdiri di atas prinsip bahwa Allah sajalah yang menjadi pencipta alam semesta ini, dan bahwa seluruh benda yang ada di alam semesta merupakan makhluk Allah SWT. Allah telah mengutus para nabi dan rasul dengan membawa agama-Nya kepada umat manusia dan mewajibkan mereka untuk mengikuti perintah dan larangan-Nya yang telah diturunkan kepada mereka.

Peradaban komunisme menganggap bahwa peraturan hanya diambil dari alat-alat produksi. Masyarakat feodal menggunakan kapak sebagai alat produksinya, maka dari alat tersebut diambil peraturan feodalisme. Dan jika masyarakat itu berkembang menjadi masyarakat kapitalisme, maka mesin menjadi alat produksi, dan dari alat ini diambil peraturan kapitalisme. Jadi peraturan komunisme diambil dari evolusi materi.

Sedangkan peradaban Islam, menganggap bahwa Allah SWT telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia untuk dilaksanakan dalam hidupnya, dan mengutus Sayyidina Muhammad SAW untuk membawa peraturan ini, dan Rasul telah menyampaikan peraturan tersebut kepada manusia, dan mewajibkan mereka untuk melaksanakannya.

Peradaban komunisme memandang bahwa peraturan materi adalah tolok ukur dalam kehidupan. Dengan berkembangnya peraturan materi tersebut, maka berkembanglah tolok ukur dalam kehidupan.

Sementara itu peradaban Islam memandang halal-haram —yakni perintah dan larangan Allah— sebagai tolok ukur perbuatan dalam kehidupan. Yang halal dikerjakan, dan yang haram ditinggalkan. Dan bahwasanya hukum-hukum ini tidak akan berevolusi dan atau berubah. Prinsip halal-haram ini juga tidak akan ditetapkan berdasarkan asas manfaat ataupun materialisme, malinkan ditetapkan atas dasar syara’ semata. Dari sinilah jelas terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara peradaban komunisme dan peradaban Islam. Dengan demikian, kaum muslimin tidak boleh mengambil peradaban komunisme beserta segala ide dan peraturan yang berasal darinya.

Karenanya, kaum muslimin tidak boleh mengambil ide evolusi materi, ide penghapusan kepe-milikan individu, penghapusan kepemilikian pabrik dan alat produksi, dan penghapusan kepemilikan tanah bagi individu. Begitu pula kaum muslimin tidak boleh mengambil ide mempertuhankan manusia, ide menyembah manusia, dan seluruh ide atau peraturan dari peradaban yang atheistik ini. Sebab, semuanya adalah ide dan peraturan kufur yang bertentangan dengan Aqidah Islam serta ide-ide dan hukum-hukum Islam.

Sekarang kami akan menjelaskan pertentangan total antara demokrasi dengan Islam dari segi sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta ide dan peraturan yang dibawanya.

Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al-haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia, dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.

Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah SAW. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :

وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى

"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu yang diwahyukan." (An-Najm 3-4)

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ القَدْرِ


"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan." (Al-Qadr 1)
Yang menjadi pemutus dalam Islam, yaitu yang memberikan penilaian terpuji dan tercelanya benda dan perbuatan manusia, adalah Allah SWT, atau syara', bukannya akal. Aktivitas akal terbatas hanya untuk memahami nash-nash yang berkenaan dengan hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman :

إِنِ الحُكْمُ إلاَّ للهِ


"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah."(Al-An'aam 57)

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ اَلى اللهِ وَ الرَّسُولِ


"Kemudian jika kamu (rakyat dan negara) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunahnya)."(An-Nisaa' 59)

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إلَى اللهِ


"Tentang apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." (Asy-Syuuraa 10)

Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen —yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan tunggangan untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat, menghisap darah mereka atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama— dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.

Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri.

Aqidah inilah yang menjadi landasan pemikiran (Qaidah Fikriyah) ide-ide Barat. Dari aqidah ini lahir peraturan hidupnya dan atas asas dasar aqidah ini Barat menentukan orientasi pemikirannya dan pandangan hidupnya. Dari aqidah ini pula lahir ide demokrasi.

Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah —yakni hukum-hukum syara' yang lahir dari Aqidah Islamiyah— dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.

Aqidah Islamiyah inilah yang menjadi asas peradaban/kultur dan pandangan hidup Islam.

Mengenai ide yang melandasi demokrasi, sesung-guhnya terdapat dua ide yang pokok : Perta-ma, kedaulatan di tangan rakyat. Kedua, rakyat sebagai sumber kekuasaan.

Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri.

Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat.

Rakyat berhak menetapkan konstitusi, peraturan, dan undang-undang apa pun. Rakyat berhak pula membatalkan konstitusi, peraturan, dan hukum apa pun, menurut pertimbangan mereka berdasarkan kemaslahatan yang ada. Dengan demikian rakyat berhak mengubah sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi republik atau sebaliknya, sebagaimana rakyat juga berhak mengubah sistem republik presidentil menjadi republik parlementer atau sebaliknya. Hal ini pernah terjadi, misalnya di Perancis, Italia, Spanyol, Yunani, di mana rakyatnya telah mengubah sistem pemerintahan yang ada dari kerajaan menjadi republik dan dari republik menjadi kerajaan.

Demikian pula rakyat berhak mengubah sistem ekonomi dari kapitalisme menjadi sosialisme atau sebaliknya. Dan rakyat pun melalui para wakilnya dianggap berhak menetapkan hukum mengenai bolehnya murtad dari satu agama kepada agama lain, atau kepada keyakinan yang non-agama (animisme/paganisme), sebagaimana rakyat dianggap berhak menetapkan hukum bolehnya zina, homoseksual, serta mencari nafkah dengan jalan zina dan homoseksual itu.

Berdasarkan prinsip bahwa rakyat sebagai sumber kekuasaan, maka rakyat dapat memilih penguasa yang diinginkannya untuk menerapkan peraturan yang dibuat rakyat dan untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum itu. Rakyat juga berhak memberhentikan penguasa dan menggantinya dengan penguasa lain. Jadi, rakyatlah yang memiliki kekuasaan, sedang penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.

Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara', bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri' (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Kalau sekiranya seluruh umat Islam berkumpul lalu menyepakati bolehnya riba untuk meningkatkan kondisi perekonomian, atau menyepakati bolehnya lokalisasi perzinaan dengan dalih agar zina tidak menyebar luas di tengah masyarakat, atau menyepakati penghapusan kepemilikan individu, atau menyepakati penghapusan puasa Ramadlan agar dapat meningkatkan produktivitas kerja, atau menyepakati pengadopsian ide kebebasan individu yang memberikan kebebasan kepada seorang muslim untuk meyakini aqidah apa saja yang diinginkannya, dan yang memberikan hak kepadanya untuk mengembangkan hartanya dengan segala cara meskipun haram, yang memberikan kebebasan berperilaku kepadanya untuk menikmati hidup sesuka hatinya seperti menenggak khamr dan berzina; maka seluruh kesepakatan ini tidak ada nilainya sama sekali. Bahkan dalam pandangan Islam seluruh kesepakatan itu tidak senilai walaupun dengan sebuah sayap nyamuk.

Jika ada sekelompok kaum muslimin yang menyepakati hal-hal tersebut, maka mereka wajib diperangi sampai mereka melepaskan diri dari kesepakatan tersebut.

Yang demikian itu karena kaum muslimin dalam seluruh aktivitas hidup mereka senantiasa wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah. Mereka tidak boleh melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam, sebagaimana mereka tidak boleh membuat satu hukum pun, dikarenakan memang hanya Allah saja yang layak bertindak sebagai Musyarri'. Allah SWT berfirman :

فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ


"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan." (An-Nisaa' 65)

إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ


"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (Al-An'aam 57)

أَلَمْ تَرَ إِلَى الذِيْنَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَ مَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إلَى الطَاغُوتِ وَ قَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَ يُرِيدُ الشَيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُم ضَلاَلاً بَعِيْدًا

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Al-Quran) dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu." (An-Nisaa' 60)

Berhakim kepada thaghut artinya berhakim kepada hukum yang tidak diturunkan Allah. Atau dengan kata lain, berhakim kepada hukum-hukum kufur yang dibuat manusia.

Dan Allah SWT berfirman :

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَ مَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ


"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (Al-Maaidah 50)
Hukum Jahiliyah adalah hukum yang tidak dibawa Muhammad SAW dari Tuhannya. Yaitu hukum kufur yang dibuat oleh manusia. Allah SWT berfirman juga :

فَلْيَحْذَرِ الذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ

أوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur 63).

Yang dimaksud menyalahi perintah Rasul —sesuatu yang harus diwaspadai itu— adalah mengikuti hukum yang dibuat manusia dan meninggalkan hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Rasululah SAW bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ


"Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak." (HR. Muslim)

Yang dimaksud dengan kata "amruna" (perintah kami) dalam hadits di atas adalah Islam.

Masih ada puluhan ayat dan hadits lain dengan pengertian yang qath'i (pasti), yang menegaskan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara', yakni bahwa Allah sajalah yang menjadi Musyarri', bahwa manusia tidak boleh membuat hukum, serta bahwa mereka wajib untuk melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan ini sesuai dengan perintah dan larangan Allah.

Islam telah menetapkan bahwa pelaksanaan perintah dan larangan Allah itu ada di tangan kaum muslimin, sementara pelaksanaan perintah dan larangan Allah tersebut membutuhkan suatu kekuasaan untuk melaksanakannya.

Karena itu, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.

Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai'at, yang menetapkan adanya hak mengangkat khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً


"Dan siapa saja yang mati sedang di lehernya tidak terdapat bai'at (kepada khalifah), berarti dia telah mati jahiliyah."(HR. Muslim)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ra, bahwa dia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

وَ مَنْ بَايعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إنِ اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعْهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الآخَرِ

"Siapa saja yang membai'at seorang imam (khalifah) dan memberikan kepadanya genggaman tangan dan buah hatinya (bertekad janji), maka hendaklah dia mentaatinya sekuat kemampuannya. Dan jika ada orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka penggalllah batang lehernya." (HR. Muslim)

Dari Ubadah bin Ash Shamit ra, dia mengatakan:

بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ r عَلَى السَّمْعِ وَ الطَاعَةِ فِي المَكرَهِ و المَنْشطِ

"Kami telah membai'at Nabi SAW untuk mendengar dan mentaatinya baik dalam hal yang dibenci maupun yang disukai."

Di samping itu masih banyak hadits lain yang menerangkan bahwa umatlah yang mengangkat penguasa dengan jalan bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya.

Meskipun syara' telah menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat —yang diwakilkan kepada seorang khalifah untuk memerintah umat melalui prosesi bai'at— akan tetapi syara' tidak memberikan hak kepada umat untuk memberhentikan penguasa, seperti yang ada dalam sistem demokrasi.

Ketentuan ini didasarkan pada hadits-hadits yang mewajibkan taat kepada khalifah meskipun dia berbuat zhalim, selama dia tidak memerintahkan maksiat. Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

'Siapa saja yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dia benci, maka hendaklah dia bersabar. Karena sesungguhnya siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal lalu mati, maka dia mati jahiliyah."

Dari 'Auf bin Malik ra, dia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda :
...وًشِرَارُ أئِمَّتِكُمْ الذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَ يُبْغِضُونَكُمْ وَ تَلْعَنُوْنَكُمْ وَ يَلْعَنُونَكُمْ، قَال : قُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ: أَفَلاَ نُنَابِذَهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ ؟ قَال : لاَ ، مَا أقَامُوا فِيكُمْ الصَلاَةَ ، ألاَ مَنْ وَليَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرآهُ يَأتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ فَليَكْرَههُ مَا يَأتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ

وَ لاَ يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

'...sejahat-jahat pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci sedang mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka sedang mereka pun melaknat kalian. 'Auf bin Malik lalu berkata,"Kami lalu bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah tidak kita perangi saja mereka pada saat itu ?" Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, selama mereka masih mendirikan sholat di tengah-tengah kalian, kecuali bila seseorang —yang menjadi rakyat seorang penguasa— menyaksikan penguasa itu mengerjakan perbuatan ma'shiat. Maka hendaklah dia membenci kemaksiatan yang dilakukan penguasa tersebut, tetapi sekali-kali dia tidak boleh melepaskan ketaatan kepadanya."

Yang dimaksud dengan "mendirikan shalat" dalam hadits di atas ialah "melaksanakan hukum-hukum Islam". Karena ungkapan tersebut merupakan ungkapan majazi (kiasan), yakni menyebut sebagian tetapi yang dimaksud adalah keseluruhannya.

Demikian pula umat tidak boleh memberontak terhadap penguasa kecuali jika dia menampakkan kekufuran yang terang-terangan, sebagaimana hadits Ubadah bin Ash Shamit mengenai bai'at. Dalam hadits itu terdapat keterangan :

...فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَمْع وَ الطَاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَ مَكْرَهِنَا وَ عُسْرِنَا وَ يُسْرِنَا وَ أَثَرَةٍ عَلَيْنَا ، وَ أَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ إلاّ أَنْ تَرَاوْ كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرهَانٌ

"...Maka kami membai'at beliau (Rasul). Rasulullah menjelaskan apa-apa yang harus kami lakukan, yakni bahwa kami membai'at beliau untuk mendengar dan mentaatinya, dalam apa yang kami sukai dan apa yang kami benci, dalam apa yang sukar dan yang mudah bagi kami, serta untuk tidak lebih mengutamakan diri (daripada orang lain). Dan kami juga tidak akan merebut kekuasaan dari yang berhak, kecuali (Rasulullah mengatakan)', jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang kalian mempunyai bukti yang kuat tentangnya dari sisi Allah."
|
This entry was posted on 06.30 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: