Demokrasi dan Kedaulatan Pemilik Modal
22.00 | Author: kontrademokrasi

Selama ini sering kita dengar, orang-orang yang dikenal sangat berhasil saat memimpin lembaga, instansi, atau perusahaan, ternyata saat menjadi pemimpin eksekutif pemerintahan tidak bisa berbuat banyak untuk rakyat; bahkan sering membuat rakyat menderita. Mengapa? Sebabnya acapkali seragam: tiga tahun pertama sibuk mengembalikan utang atas modal kampanye; dua tahun terakhir sibuk mempersiapkan Pemilu; selama 5 tahun pemerintahannya harus membuat kebijakan-kebijakan “pro pasar” (baca: pro pemilik modal) karena keberhasilannya terpilih tak lepas dari peran serta mereka. Inilah realitas dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, khususnya di Indonesia.
Realitas lainnya, kita melihat para ulama kadang mempelopori rakyat untuk menentang berbagai kerusakan moral. Namun, selalu saja langkah mereka terbentur; seperti RUU APP yang sekarang berubah menjadi RUU PP. Kenyataannya, Parlemen sering tidak mendukung langkah ulama jika berbenturan dengan kepentingan pemodal. Fatwa ulama juga hanya dianggap option (pilihan), bukan obligation (keharusan).
Apakah berarti demokrasi telah membuat orang-orang cerdas dan tokoh-tokoh mumpuni itu “tersandera” sehingga tidak mampu berbuat banyak? Ataukah demokrasi hanya dimanfaatkan oleh kalangan tertentu sehingga menguntungkan mereka? Apakah demokrasi adalah sebuah sistem yang nilai-nilainya ternyata menguntungkan para pemilik modal dan mengabaikan rakyat? Ataukan demokrasi hanyalah sebuah prosedur yang bebas nilai, seperti pisau, sehingga siapa yang berhasil memanfaatkan prosedur itu maka merekalah yang menang? Apakah kita mengukur demokrasi dari realitas sistemnya secara lengkap, dengan segala prinsip-prinsip yang dipakainya serta ekses-ekses yang ditimbulkannya? Ataukah kita menilai demokrasi, sekadar dengan melihat prosedurnya—Pemilu—sehingga tak ada kaitannya dengan kemunduran negara?

Fakta Historis
Secara historis, kemunculan demokrasi pada akhir abad ke-18 sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari tiga pemikiran lainnya: sekularisme, liberalisme, dan Kapitalisme. Keempatnya muncul sebagai “satu paket” untuk melawan pemikiran-pemikiran lain: monarki absolut (otokrasi) dan teokrasi. Saat itu rakyat di 13 koloni Inggris di pantai timur Amerika serta Kekaisaran Prancis terbelah: yang pro raja dan gereja (dipimpin para bangsawan) dan kontra raja dan gereja (dipimpin para filosof dan kaum borjuis). Pihak pertama membela monarki absolut (kekuasaan raja) dan teokrasi (kekuasaan gereja). Mereka mengopinikan teori “kedaulatan Tuhan” dan konsep raja sebagai manusia terpilih yang menjadi perpanjangan-Nya. Dengan teori ini posisi raja dan gereja yang sudah stabil selama ratusan tahun tidak digugat.
Sebaliknya, pihak kedua mengeluarkan empat teori yang berlawanan. Teori sekularisme menyatakan bahwa rakyat tidak perlu terikat pada aturan gereja dalam kehidupan publik. Selanjutnya liberalisme menegaskan pola pikir dan pola sikap rakyat hendaknya terserah rakyat sendiri. Kapitalisme menyatakan bahwa ekonomi hendaknya tidak didominasi kerajaan. Hendaknya rakyat (termasuk di dalamnya kaum borjuis) terlibat besar dalam ekonomi, dan pemerintah hanya sebagai “wasit ekonomi” saja. Adapun demokrasi menegaskan teori “kedaulatan rakyat” sebagai lawan dari teori kedaulatan Tuhan. Demokrasi menegaskan Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara tuhan). Tidak ada ketentuan Tuhan  mengatur rakyat dalam kehidupan publik. Sebaliknya, suara publik itu sendirilah yang harus diakui sebagai pencerminan “suara Tuhan”.
Jelaslah, demokrasi berada dalam satu kesatuan dengan ketiga pemikiran lain. Dalam realitasnya, pada negara-negara yang berubah menjadi negara demokrasi berlangsung dua proses berikut:
Pertama, dengan dipelopori para filosof, dengan sekularisme dan liberalismenya, kedaulatan rakyat berarti rakyat semakin jauh dari kedaulatan penguasa (otokrasi) dan kedaulatan gereja (teokrasi); kedaulatan rakyat berarti lawan dari kedaulatan nilai dan kedaulatan penguasa.
Kedua, dengan melihat fakta bahwa “rakyat yang paling kuat” adalah kaum borjuis (kaum kapitalis, para pemilik modal) maka otomatis rakyat berada dalam kekuasaan kaum borjuis. Kedaulatan rakyat berarti kedaulatan pemilik modal (korporatokrasi).
Alhasil, dengan demokrasi bukan kedaulatan rakyat yang diraih, tetapi rakyat berpindah dari kedaulatan nilai dan kedaulatan penguasa menuju kedaulatan pemilik modal; dari teokrasi dan otokrasi ke korporatokrasi.
Kalau kita telusuri berubahnya negara-negara di dunia menuju negara demokrasi, sejak akhir Abad XVIII M sampai sekarang, akan kita temui bahwa rakyat berpindah dari dominasi penguasa dan agama menuju dominasi pemegang modal. Di mana-mana negara demokrasi akan selalu didominasi para pemodal. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) boleh saja mengatakan bahwa demokrasi adalah, “from the people, by the people, and for the people”. Namun, Presiden Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 (hanya sebelas tahun setelah Lincoln meninggal), mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company”. Di India saat ini juga sangat kelihatan bahwa para pengusaha sangat menentukan perpolitikan negeri itu. Dua bersaudara pengusaha Ambani hidup dengan luar biasa mewah; koleksi mobil mewahnya sangat banyak dan rumahnya lebih dari sepuluh lantai, tetapi tak ada yang mengusik mereka. Di Indonesia, Wapres Jusuf Kalla menyatakan keprihatinannya bahwa banyak pengusaha baru sepuluh tahun mengelola usahanya sudah sangat berambisi jadi bupati.
Faktanya, semakin lama negara-negara demokrasi semakin tunduk pada pemilik modal. Selama dua abad ini, kekuasaan pemilik modal pun semakin kuat, bahkan lintas negara. Herzt mengatakan bahwa dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia, 49 adalah negara, 51-nya adalah korporasi. Ini berarti peta dunia selama ini kurang lengkap karena hanya memuat peta negara. Padahal korporasi telah mempunyai kekuatan melebihi negara. Indonesia dulu hanya menyerahkan perkebunannya pada satu korporasi, VOC (yang juga sebesar negara). Sekarang negeri ini telah menyerahkan pertambangan dan perminyakannya pada beberapa VOC baru. Rakyat pun harus membeli berbagai kebutuhannya pada mereka dengan harga tinggi.

Fakta Empirik
Mengapa dengan demokrasi  rakyat otomatis akan masuk dalam cengkeraman korporatokrasi? Hal ini bisa kita ketahui jika kita mencermati faktor-faktor empiriknya, yaitu nilai-nilai demokrasi dan Pemilu.
Dalam demokrasi dikenal empat prinsip: kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku/berekspresi, kebebasan beragama, serta kebebasan kepemilikan.
Dengan kebebasan berpendapat, secara real rakyat terbebas dari nilai-nilai. Mereka bukan diikat nilai, tetapi justru mencipta nilai. Mereka pun tidak lagi tunduk pada “halal-haram”. Selanjutnya, sikap ini mereka implementasikan dalam kebebasan perilaku.
Dalam kebebasan beragama, sebenarnya terkandung juga arti bahwa agama hanyalah urusan individu dan tuhannya. Ini berarti agama tak bisa mengintervensi kehidupan publik.
Pemerintah pun sulit memberantas berbagai pendapat atau perilaku menyimpang kecuali jika publik secara luas merasa resah.
Kita ketahui bahwa dari tiga jenis kebebasan ini maka hasilnya adalah rakyat terbebas dari nilai-nilai. Fakta ini sekaligus menggambarkan tahapan pertama di atas (rakyat terbebas dari kedaulatan kekuasaan dan kedaulatan nilai).
Adapun dengan kebebasan kepemilikan, setiap orang bebas memiliki apapun asalkan mampu. Bumi, air, dan kekayaan yang menjadi hajat hidup orang banyak tidaklah dikuasai oleh negara. Pihak yang mempunyai dana lebih besarlah yang akan menguasainya. Inilah yang membuat rakyat berada dalam tahapan kedua di atas (masuk dalam cengkeraman korporatokrasi).
Dari ketiga jenis kebebasan pertama, demokrasi menampung sekularisme dan liberalisme. Adapun dari kebebasan kepemilikan, demokrasi berpihak pada kapitalisme. Sekularisme dan liberalisme membuat pemerintah dan para penjaga nilai masyarakat tak bisa berbuat leluasa. Kapitalisme membuat para pemilik modal semakin kokoh.
Secara umum, kondisi masyarakat biasanya diwarnai oleh tiga hal: nilai, kekuasaan, dan harta. Yang menjadi pertanyaan adalah, mana di atara ketiga hal tersebut yang memimpin yang lain? Mana yang menjadi konstanta, mana yang sekadar menjadi variabel? Dalam masyarakat komunis, kekuasaan memimpin nilai dan harta. Dalam demokrasi (baca: Kapitalisme), maka nilai dan kekuasaan hanyalah variabel, hartalah yang menjadi konstanta. Wajar jika kemudian Pemerintah sibuk mencari investor ke luar negeri, bahkan meminta para konglomerat hitam pulang dan menyambutnya dengan karpet merah. Alasannya, pertumbuhan ekonomi 1% akan menyerap 400.000 lapangan kerja. Begitulah kata dunia usaha. Memang, ada yang membantahnya dengan mengatakan bahwa dengan besarnya sektor non-real maka pertumbuhan itu hanya menaikkan kondisi beberapa puluh orang saja. Mereka juga memberikan fakta-fakta bahwa rakyat tetap saja susah membeli sembako dan BBM walau pertumbuhan ekonomi dinyatakan naik. Sayangnya, itu bukan pendapat dunia usaha.
Hal lain yang bisa kita amati adalah Pemilu. Bagaimanapun dalam Pemilu faktor yang sangat dominan adalah suara terbanyak. Suara terbanyak terbukti sangat dikendalikan oleh media. Berapa persen rakyat yang tahu latar belakang bupati dan gubernur mereka? Berapa persen rakyat yang bisa menilai kapasitas para calon presiden? Tampak sekali bahwa faktanya modallah yang berkuasa. Dengan memahami bahwa para calon pemimpin eksekutif itu sangat kecil di hadapan para pemegang modal internasional yang kekuasaannya lintas negara, kita bisa memahami pula seberapa jauh para pemimpin itu bisa fokus dan konsisten memikirkan rakyat. Bagaimanapun syarat mereka terpilih adalah “pro pasar”, bukan “pro rakyat”.
Alhasil, negara demokrasi berarti negara kapitalis.

Kemajuan karena Demokrasi?
Selama ini sering dinyatakan bahwa semakin negara demokratis semakin maju negara itu. Dinyatakan pula bahwa negara-negara Barat yang maju adalah negara-negara demokratis. Juga ditegaskan bahwa demokrasi akan bermanfaat jika yang menang Pemilu adalah malaikat, bukan setan. Realitas dari pendapat itu kenyataannya tak pernah terwujud. Ini bisa kita lihat dari beberapa sisi.
Pertama: demokrasi berarti Kapitalisme. Kapitalisme sangat mendewakan pertumbuhan ekonomi, yang penjabarannya adalah pendapatan perkapita. Kita umumnya tahu, pendapatan perkapita sangat tidak real. Kota Semarang mempunyai pendapatan perkapita Rp 19 juta (Rp 1,6 juta/bulan). Ini berarti pendapatan perkeluarga adalah Rp. 6,4 juta/bulan (asumsi keluarga terdiri empat orang). Kenyataannya, sangat banyak keluarga yang hanya punya Rp 640 ribu perbulan. Jelas ini sangat tidak real. Namun, tentu saja konsep ini akan dibela para eksekutif pemerintahan. Ini karena mereka akan tampak berhasil dan ini adalah modal utama mereka dalam Pemilu. Lain halnya jika penilaian yang dipakai adalah angka kemiskinan.
Setidaknya dari fenomena ini bisa kita lihat bahwa tidak ada korelasi antara demokrasi dan kemakmuran. Indonesia adalah juara demokrasi tetapi tidak makmur. Singapura dikenal sangat tidak demokratis tetapi makmur.
Kedua: kemajuan negara-negara Barat sebenarnya bukan karena demokrasi. Bagaimanapun mereka harusnya berguru demokrasi pada Indonesia karena negeri ini juara demokrasi. Namun, mengapa mereka maju?
Ini bisa kita lihat dari realitas yang berbeda antara keduanya. Kedua kawasan sebenarnya sama-sama menganut keempat pemikiran: sekularisme, liberalisme, demokrasi dan kapitalisme. Ketiga prinsip pertama sama-sama dilaksanakan, tetapi berbeda dalam hal kapitalisme. Negara-negara Barat adalah “kapitalisme pelaku”. Banyak para pemodal mereka menguasai dunia. Adapun Indonesia adalah “kapitalisme penderita”. Watak keduanya juga berbeda. Sungguh pun sama-sama memuja materialisme (sebagaimana saran Adam Smith terkait kapitalisme), tetapi penyalurannya cenderung berbeda. Mereka yang lebih maju cenderung lebih sistematis sehingga menggunakan cara-cara persuasif. Sebaliknya, Indonesia yang jadi korban lebih banyak diwarnai suasana reaktif dan cara-cara kasar. Namun, kita semua tahu, menipu belum tentu kalah kejam daripada merampas. Faktanya, rakyat AS terbukti sangat boros, 50 kali lipat borosnya daripada rakyat Indonesia. Eksploitasi Indonesia hanyalah imbasnya.
Ketiga: tentang kemenangan dalam Pemilu. Bagaimanapun demokrasi terbukti tidak sekadar Pemilu, tetapi sistem yang mempunyai nilai, yaitu pro pemilik modal. Akan sulit menjadikan pihak yang dikenal idealis menguasai Pemilu dalam waktu lama, kecuali mereka berkompromi dengan pemegang modal dengan risiko lunturnya idealisme mereka. Bagaimanapun idealisme itu akan sangat sulit sekali diangkat karena berbenturan dengan kebebasan berperilaku. Kebebasan berperilaku itu biasanya didukung para pemilik modal, pemegang kunci kebebasan kepemilikan.

Kesejahteraan dalam Islam
Kemakmuran dan kesejahteraan pada kenyataannya lebih terkait dengan sistem ekonomi yang ditegakkan. Dalam hal ini, sistem ekonomi Islam sangat mempunyai kekuatan. Pertama: Islam sangat menjaga pemerataan ekonomi (QS). Zakat untuk 8 asnaf; kebijakan bolehnya memagari tanah mati; larangan menelantarkan tanah lebih dari 3 tahun; larangan menyewakan tanah pertanian adalah beberapa di antara kebijakan ini.
Kedua: negara berperan dalam ekonomi. Dalam Islam dikenal kepemilikan umum, yang implementasinya di tangan negara. Larangan tambang garam skala raksasa oleh Rasulullah saw. adalah bukti tentang hal ini. Dengan kebijakan ini maka kebutuhan primer, pendidikan, dan kesehatan harus menjadi prioritas negara. Setelah diciptakannya kondisi ini, selanjutnya silakan rakyat bersaing dalam bisnis.
Ketiga: kehidupan dalam Islam adalah untuk beribadah (QS); juga ditekankan saling menolong, silaturrahim, dan bersedekah. Ini membuat kehidupan dalam Islam bukan dalam suasana persaingan hukum rimba, tetapi suasana persaudaraan.
Pada intinya, dalam Islam lapangan persaingan ekonomi adalah lapangan yang fair dan manusiawi, yang “kalah” juga dibantu kembali ke titik nol, serta suasana hubungan antar manusia diliputi semangat solidaritas dan ketakwaan. Ini semua tentu mempermudah terciptanya kesejahteraan. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.[Husain Matla]

Referensi:
1.   Noreena Herzt, Perampok Negara, Alenia, Jogjakarta.
2.   Jenderal Saurip Kadi, Menata Ulang Demokrasi dan Militer Indonesia Menuju Peradaban Baru, Jakarta.
3.   Fahmi Amhar, “Penyebab dan Solusi Krisis Energi di Indonesia,” Seminar di Semarang, November 2007.
4.   Husain Matla, Antara Ekonomi Budak dan Ekonomi Orang Merdeka, Big Bang, Semarang, 2006.
5.   Husain Matla, Demokrasi Tersandera? Menyingkap Misteri 21/4 Abad, Big Bang, 2007.
This entry was posted on 22.00 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: