Benarkah Demokrasi Biang Korupsi?
21.58 | Author: kontrademokrasi

Oleh Warih Sutaryono, SPd *)

Indonesia Tetap Paling Korup, demikian judul berita di sebuah harian nasional. Biro Konsultan Risiko Politik dan Ekonomi (Political and Economic Risk Consultancy, PERC) yang bermarkas di Hongkong kembali merilis rangking negara-negara Asia berdasar tingkat korupsinya. Indonesia tetap menempati peringkat tertinggi, yang berarti paling korup. Nilai  korupsi Indonesia tahun ini hampir “sempurna”, 9,2. (Jawa Pos,  /03/2004)
Kwik Kian Gie dalam buku Pemberantasan Korupsi (2003) menulis bahwa pada tahun 2003, perbaikan dan belanja APBN yang terkorup sebesar Rp.215 trilyun.  Tidak berhenti disini korupsi menjalar ke SDA kita, ikan, pasir, kayu yang dicuri bernilai Rp.76,5 trilyun. Subsidi pada bank-bank rekap yang tidak ada gunanya sebesar Rp.14 trilyun. Jadi jumlah keseluruhan uang yang tidak jelas jluntrungnya adalah Rp.305,5 trilyun.
Pertengahan 2003 lalu Badan Pemeriksa Keuangan  (BPK) menemukan penyimpangan penggunaan dana rekening 502 sebesar Rp.21,9 trilyun. Menurut Faisal Basri, kalau indikasi itu benar, berarti hampir separuh penggunaan atau penarikan dana dari rekening 502 melanggar sistim dan prosedur yang berlaku. (Kompas, 19/1/2004)
Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi ibarat tumor ganas yang mengakar demikian kuat diberbagai lapisan bangsa. Korupsi bukan lagi sebatas persoalan individu, tetapi juga karena lingkungan budaya yang tidak kondusif, dan sistim yang tidak cukup menggiring orang untuk menjadi pribadi yang takwa.  Dr. Syahrir (2002) menyatakan korupsi bukan sekedar mendarah daging, bahkan  bukan pula menjadi kebudayaan. Korupsi bagi kita adalah suatu kegiatan yang amat biasa, tidak ada yang salah dan karena itu tidak perlu dipermasalahkan. Ini menunjukkan korupsi telah menggurita didalam kehidupan sehari-hari, dari tingkatan terendah sampai tertinggi. Korupsi telah menjadi kultur yang sulit dihilangkan.
Runtuhnya Rezim Orde Baru akibat KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) tidak juga membuat jera para pengemban amanat rakyat. Cita-cita reformasi dengan mengusung demokrasi   yang hendak mewujudkan sebuah pemerintahan yang baik dan pengelolaan yang baik dalam memberantas korupsi pupus sudah.  Upaya yuridis sudah ditempuh. MPR dalam Sidang Istimewa 1998 telah mengeluarkan  Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dari KKN seakan tidak ada artinya. Bahkan tidak hanya itu, Presiden selaku kepala negara membentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) berdasarkan Keppres No. 127 th 1999 sebagai lembaga independen, sekarang  seakan seperti macan ompong. 
Demokrasi yang digadang-gadang, diadopsi mayoritas negara di dunia, termasuk Indonesia saat ini terbukti belum mampu memberantas korupsi. Hal ini disebabkan ide dasar demokrasi yang melarang keras andil agama dalam kehidupan ternyata hanya  melahirkan sikap hidup materialistis. Berubahnya orientasi dan pemahaman manusia tentang kebahagiaan karena berubahnya idiologi yang dianut suatu bangsa. Materialistik sudah mewabah, kebahagiaan, kehormatan, status sosial, intelektualitas, kesejahteraan dan segala nilai kebaikan diukur dengan materi (uang). Hal ini berimbas untuk menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, tanpa mempertimbangkan caranya benar atau salah (halal atau haram)
Hal inilah yang mempengaruhi, tidak hanya aparat pemerintah tapi juga masyarakat.  Tidak ada lagi rasa malu, hilangnya perasaan bersalah, lenyapnya pengendalian diri menghadapi korupsi. Bahkan korupsi dipandang untuk bagi-bagi rejeki, menjaga stabilitas masyarakat, serta alat untuk mengendalikan dukungan dan kesetiaan politik.
Contohnya di musim kampanye pemilu saat ini para politisi menyuarakan akan mensejahterakan rakyat, berantas KKN, jujur-peduli wong cilik, membuka lapangan kerja dll. Mereka berharap bisa menduduki jabatan tertentu dari hasil kampanye. Padahal jabatan itu  rentan  tindakan korupsi, seandainya saat pemilu saja sudah melakukan money politic, maka para politisi harus ekstra hati-hati ketika sudah menjabat. John Noan, guru besar ilmu hukum di Universitas Calivornia, mengatakan “Tidak ada jabatan resmi yang bebas dari korupsi; apakah pejabatnya itu Fir’aun, Sri Paus atau Politisi”. Peluang Korupsi dimiliki oleh siapapun yang memegang kekuasaan. Semakin tinggi kekuasaan peluang terjadinya korupsi semakin tinggi pula. 
 Penyimpangan para pejabat dalam sistim demokrasi biasanya senantiasa ditutupi oleh sebuah kekuasaan yang berkolusi dengan pemegang harta dan penegak hukum. Oleh karena itu berdirinya berbagai  lembaga dalam sistim demokrasi pada hakikatnya adalah untuk mencari kekuasaan dan dukugan untuk menutupi berbagai penyimpangan yang dilakukan. Merekalah lingkaran-lingkaran yang selalu melakukan tindakan korupsi, kolusi dan konspirasi.
Dari sini bisa kita ambil benang merah, bahwa dimanapun sistim pemerintahan yang dibangun dengan demokrasi cenderung  korup. Cocok dengan teorema Lord Acton, seorang pakar ilmu politik: “The power tend to corrup…” (Setiap kekuasaan cenderung untuk korup). Bahkan ia pula menyatakan “Semakin lama seseorang berkuasa, korupsinya akan semakin menjadi-jadi…”
Secara konseptual  ideal, birokrasi pelaksana pemerintah adalah sebuah badan yang netral. Faktor diluar birokrasilah yang akan menentukan wajah birokrasi menjadi baik atau jahat. Yaitu manusia yang menjalankan birokrasi dan sistim yang dipakai, dimana birokrasi itu hidup dan bekerja. Jelas bahwa bila birokrasi hidup didalam sebuah sistim yang kotor, hukumnya lemah, serta  ditunjang oleh para pejabat yang tidak jujur, bisa dipastikan birokrasi akan menjadi buruk lagi “menakutkan” bagi rakyatnya.
Pemerintahan yang bersih menjadi idaman kita semua. Pemerintahan seperti ini umumnya berlangsung di negara yang masyarakatnya menghormati hukum, sehingga dihasilkan pemerintah yang baik. Pemerintah yang baik hanya bisa dibangun melalui pemerintahan yang bersih dengan aparatur yang bebas dari KKN. Maka otomatis pemerintah akan berenergi, bermoral dan proaktif ditunjang keunggulan sistim yang dipakai. Tidak lupa  mewujudkan partisipasi semua anggota bangsa  melakukan check and balances.
Secara praktis setidaknya ada lima hal yang harus dilakukan: 1) Pemberian gaji yang layak, hal ini dimaksudkan untuk membantu para pejabat agar  lebih berkonsentrasi dalam melaksanakan tugas pemerintahannya. 2) Larangan keras menerima hadiah dan suap. 3) Pembuktian terbalik harta pejabat, upaya ini ditempuh untuk membuktikan bahwa para pejabat benar-benar bersih, tidak ada penyelewengan. 4) Menyederhanahan birokrasi,  sebab bila berbelit-belit justru akan mempersulit pembuktian korupsi. 5) Memberi sangksi yang setimpal bagi pelaku korupsi, yaitu berupa publikasi kecurangan di depan publik, penyitaan, tahanan (kurungan), sampai hukuman mati.
 Rasulullah juga mewanti-wanti agar penguasa muslim berani memberi teladan bagi rakyatnya, dia  harus kuat kepribadiannya, bertakwa, tidak menghardik rakyatnya, gemar menasehati, tidak arogan dan tidak memunculkan kebencian rakyat. Beliau sebagai teladan telah membuktikannya disaat  beliau sebagai kepala negara kala itu. Semoga kita semua berusaha mencontohnya dengan sungguh-sungguh 

*) Trainer Konsorsium Training Islam (KTI) Insan Utama Malang
Malang Post  Rabu, 24 maret 2004
This entry was posted on 21.58 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: