Demokrasi Peluru
22.01 | Author: kontrademokrasi

Penembakan membabi buta itu telah menewaskan 4 orang penduduk Alas Telogo, Grati, Pasuruan; sementara  sejumlah orang, termasuk seorang anak berusia 3 tahun, luka-luka. Sejumlah investigasi dan pengakuan penduduk membuktikan bahwa mereka tewas bukan karena peluru pantulan (rekochet), sebagaimana yang sering disampaikan oleh petinggi Marinir bahkan oleh Panglima TNI, namun justru oleh peluru yang ditembakkan secara langsung.   Penduduk Alas Telogo yang merupakan petani penggarap tanah sengketa yang oleh Pengadilan Bangil dimenangkan TNI itu bukanlah pihak yang menyerang, tetapi pihak yang berlarian mundur menghindari berondongan senapan tentara.
Inilah drama pembantaian penduduk oleh prajurit Marinir yang selama ini—sebagaimana dibanggakan oleh pimpinannya—dianggap memiliki reputasi baik.   Kabarnya, penduduk marah karena tanaman mereka yang sudah berumur setahun dibabat oleh pihak swasta dengan kawalan Marinir. Menurut pengakuan penduduk, sehari sebelum kejadian, tentara mengancam akan menembak penduduk, karena mereka mendapat tugas dari TNI AL di Jakarta. Lalu insiden pun terjadi. Dengan insiden berdarah tersebut Komandan Marinir menyetujui tuntutan warga agar penggarapan oleh swasta dihentikan dan lahan itu akan dikembalikan pada fungsinya sebagai pusat latihan tempur.
Namun belakangan, Panglima TNI mengatakan agar penduduk Alas Telogo taat hukum, karena TNI terikat perjanjian dengan pihak swasta yang harus ditaati. Siapa swasta yang dimaksud?  Jelas PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) yang berkantor pusat di Mega Kuningan.  Siapa RNI? Menurut suatu sumber, RNI adalah milik Letjen M Yasin yang konon merupakan salah satu anggota tim sukses SBY pada saat Pilpres. 
Mengapa  peluru dan senjata Marinir yang dibiayai dengan uang rakyat dalam APBN bukan dipakai untuk melindungi rakyat, namun justru untuk melukai bahkan membunuh rakyat?  Kata kawan saya, inilah “demokrasi peluru”: dari rakyat untuk rakyat! 
Astaghfirullâh! Mengapa tentara, senjata, dan pelurunya tidak berpihak kepada  rakyat, namun justru  berpihak kepada pengusaha dan penguasa alias kaum berduit? Inilah kenyataan sistem demokrasi.  Rakyat ditipu mentah-mentah setiap kali Pemilu. Dengan jargon dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, mereka merampas kekuasaan rakyat.
Kawan saya, Zaim Saidi, penulis buku Ilusi Demokrasi, mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem perbudakan dari segelintir kaum kapitalis atas seluruh umat manusia melalui instrumen yang namanya negara.
Ya, ini tercermin pada kasus Gubernur Sutiyoso yang didobrak pintu kamarnya di Sydney, padahal dia adalah tamu resmi negara. Lebih memprihatinkan lagi, pemerintah Australia tidak bisa berbuat apa-apa atas tindakan polisinya yang menjalankan tugas pengadilan Aussie. Alasan Dubes Aussie di Jakarta: Pengadilan dan pemerintah Aussie sama-sama independen!
Ada apa dengan kehormatan dan kewibawaan negara ini, kok begitu merosot di hadapan Aussie, bahkan di hadapan negara mini Singapura?!
Saya mencoba merenung.  Mungkinkah hal itu berhubungan dengan kebijakan Pemerintah RI yang selama ini selalu mengiyakan isu-isu terorisme yang dilemparkan dua negara sheriff AS di kawasan Asia Tenggara itu.  Ya, kita semua ingat, betapa penguasa di negeri ini seolah tidak berdaulat lagi mengikuti serangan, tipuan, dan iming-iming dari kedua negara tersebut. Bom Bali I yang menewaskan banyak  warga Aussie menjadikan Wapres  Hamzah Haz saat itu tidak bisa berkata apa-apa lagi dalam menangkis tudingan Lee Kuan Yew, bahwa Indonesia sarang teroris.  Apalagi Menkopolkam waktu itu, SBY, yang kabarnya suka bertengkar dengan Hamzah dalam sidang kabinet. Ia dengan lantang mengatakan sehari setelah Bom Bali I meledak, “Siapa bilang di Indonesia tidak ada teroris? Teroris sudah di depan mata.”
Hamzah Haz mati kutu. Demikian juga Presiden Megawati yang sempat menolak permintaan George Bush untuk me-”render” Abu Bakar Baasyir. Baasyir yang namanya disebut-sebut oleh Kapolri Dai Bachtiar—didampingi Menkopolkam SBY dan sejumlah menteri—dalam presentasi terorisme di ruangan utama Mabes Polri tepat seminggu sebelum Bom Bali I meledak tersebut akhirnya masuk penjara karena pengakuan palsu. Bom Bali itu pula yang memberi legitimasi pemerintah Aussie untuk membuka kerjasama anti teror dengan Pemerintah Indonesia, dengan membuat apa yang disebut Densus 88 dan membangun kantor khusus di Mabes Polri Jalan Trunojoyo. Kabarnya, pemerintah Aussie kini sedang membantu pembuatan LP khusus di Nusa Kambangan untuk teroris. Di LP ini, pengunjung dari pihak keluarga napi sekalipun tidak bisa bertemu langsung dengan napi, namun dibatasi dengan dinding kaca. Pendiktean yang sedemikian jauh inilah kiranya yang membuat kedaulatan negeri ini tereduksi.  
Dalam perspektif syariah Islam, negara harus menjadi perisai bagi rakyatnya.  Kata Nabi saw., “Al-Imâm junnat[un].” (Pemimpin adalah perisai). Alih-alih melindungi rakyat, tentara yang menjadi aparat keamanan dan penjaga kedaulatan malah menembaki rakyat. Dalam perspektif Islam, negara haruslah memelihara urusan rakyat (ri’âyah asy- syu’ûn al-ummah). Kata Nabi saw., “Al-Imâm râ‘in wa huwa mas’ûl[un] ‘an râ‘iyyatih  (Imam adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya).” Fungsi inilah yang tidak dilakukan dengan baik oleh Pemerintah hari ini karena mereka tidak menerapkan syariah. Sebab, dalam sistem demokrasi, negara justru menjadi instrumen penjajahan untuk memeras rakyat. Seluruh sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai para pemilik modal. Peranan negara dipreteli. Subsidi dihapus dan rakyat ditindas dengan pajak.  Dalam situasi kehidupan yang begitu berat lantaran eksploitasi oleh kaum kapitalis Barat, kezaliman negara dan orang-perorang semakin merajalela.
Kezaliman, kata Nabi Muhammad saw., akan menimbulkan kebangkrutan.  Beliau pernah menceritakan bahwa pada Hari Kiamat nanti, ada seseorang yang membawa amalan sebesar gunung. Lalu datang orang lain yang pernah dizaliminya di dunia. Orang kedua itu ternyata mengambil pahala sebesar gunung milik orang pertama untuk menghapuskan dosa-dosanya.  Ternyata dosa orang kedua itu tidak habis terhapus oleh amalan orang pertama yang di dunia menzaliminya.  Lalu sisa dosa orang kedua itu ditimpakan oleh Allah Swt. kepada orang pertama hingga dia terjungkal ke dalam neraka!
Nah, kalau kezaliman terhadap seseorang saja bisa mencelakakan pelakunya, apalagi kezaliman penguasa yang melukai atau membunuh ribuan bahkan jutaan jiwa. Na‘ûdzbillâh tsumma na‘ûdzu billâh!
This entry was posted on 22.01 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: