"Bush: Demonstrasi Tanda Sehatnya Demokrasi". Demikian judul salah satu berita di Harian Kompas, Senin (20/11) lalu. Presiden Amerika Serikat George W Bush mengaku tidak kaget sama sekali dengan besar dan meluasnya demonstrasi menentang kebijakan dan kedatangannya ke Indonesia. "Itu adalah kredit untuk Indonesia di mana masyarakatnya dapat menyatakan protes dan mengatakan apa yang mereka pikirkan…," ujarnya. Bush juga memuji kepemimpinan Presiden Yudhoyono dan menyebut Indonesia sebagai contoh mengenai bagaimana demokrasi dan modernisasi dapat menghadirkan sebuah alternatif bagi ekstremisme. (Kompas.com, 20/11/06).
Sementara itu, dalam editorialnya, Harian Media Indonesia (21/11) menulis dengan judul, "Mesra di Istana, Mencekam di Jalan," untuk menggambarkan betapa bertolakbelakangnya Pemerintah dengan mayoritas rakyat dalam menyikapi kedatangan Presiden Bush. Pemerintah tampak berusaha menyambut dengan 'manis'—bahkan terlalu manis—kedatangan Bush ke negeri ini. Sebaliknya, mayoritas rakyat—yang dibuktikan dengan maraknya demontrasi di hampir seluruh wilayah negeri ini yang berlangsung lebih dari sepekan—dengan keras menolak kedatangannya. Pertanyaannya: apakah arti dari semua ini?
Demokrasi: Sekadar 'Gincu'
Secara teoretis, demokrasi memang menjamin—salah satunya—kebebasan menyatakan pendapat. Dalam tataran praktik, meski tidak selalu konsisten, beberapa negara yang menganut sistem demokrasi—seperti AS dan Eropa, termasuk Indonesia—juga telah menjalankan jaminan atas kebebasan menyatakan pendapat ini bagi rakyatnya. Salah satu buktinya adalah dibiarkannya masyarakat oleh pemerintah untuk melakukan demonstrasi, terutama dalam merespon/mengkritisi kebijakan pemerintah yang dipandang tidak sesuai dengan aspirasi—bahkan merugikan—rakyat. Di Amerika, misalnya, rakyat Amerika memang dibiarkan untuk melakukan demonstrasi untuk menentang kebijakan Bush soal Perang Irak. Mereka telah lama menuntut agar Amerika segera menarik diri dari Perang Irak yang telah menewaskan hampir 3000 orang tentara Amerika. Namun, protes rakyat itu tidak pernah digubris pemerintahan Bush. Bush bahkan berencana menambah pasukannya di Irak. Di Indonesia, rakyat juga dibebaskan oleh Pemerintah untuk berdemonstrasi menentang kedatangan Bush yang dianggap sebagai pembual, penjahat perang, pelanggar HAM terbesar, bahkan the real terrorist. Namun, Pemerintah SBY, termasuk DPR sebagai representasi kedaulatan rakyat, juga tidak menggubrisnya. Lalu apalah artinya kebebasan menyatakan pendapat—yang mencerminkan kehendak rakyat—ini jika tidak direspon (baca: dituruti) oleh Pemerintah sebagai pemegang amanah rakyat? Bukankah Pemerintah merupakan representasi dari kedaulatan rakyat karena dipilih langsung oleh rakyat ataupun oleh lembaga perwakilan rakyat? Bukankah ini berarti bahwa silakan saja rakyat berteriak, tetapi keputusan jalan terus, terserah penguasa, tanpa perlu lagi mendengar suara hati masyarakat?
Namun, semua itu sebetulnya bukan sesuatu yang aneh. Sebab, itulah fakta demokrasi sesungguhnya di hampir semua negara yang menerapkan sistem demokrasi; selalu ada kesenjangan antara kehendak rakyat dan kehendak penguasa yang menjadi pemegang amanah rakyat. Dengan kata lain, secara faktual, demokrasi tidaklah mencerminkan kedaulatan rakyat. Demokrasi sering hanya berkomitmen pada 'kedaulatan' penguasa sendiri, atau pada kehendak segelintir orang di jajaran elit kekuasaan, atau pada kehendak para pemilik modal dengan mengatasnamakan rakyat, atau kehendak negara besar tempat para elit penguasa bersandar. Walhasil, kedaulatan rakyat sebetulnya hanya ada dalam teori demokrasi, tidak dalam praktiknya. Pada akhirnya, demokrasi hanyalah sekadar 'gincu'! Idiom kedaulatan rakyat hanyalah untuk melanggengkan kekuasaan para penguasa yang bersekongkol dengan para pemilik modal. Dengan kata lain, istilah kedaulatan rakyat hanyalah cara untuk melanggengkan sistem Kapitalisme.
Omong-Kosong Demokrasi
Presiden AS George W Bush menegaskan bahwa kebijakan yang diambilnya dalam konflik di Irak merupakan bagian dari upaya AS untuk mengedepankan demokrasi. Presiden Bush dalam konferensi persnya yang didampingi Presiden SBY di Istana Bogor, Senin (20/11) malam menegaskan, "Kebijakan saya (di Irak, red.) adalah untuk mengedepankan sistem pemerintahan yang menghormati kebebasan…karena kebebasan itu universal."
Namun, fakta membuktikan: dengan alasan demokrasi, Amerika membunuh tidak kurang dari 600 ribu rakyat Irak; menyebabkan ribuan orang cacat; dan menghancurkan ribuan bangunan dan rumah penduduk. Kekebasan tak pernah lahir di Irak, baik pada masa Saddam Hussein maupun masa pendudukan AS. Sejak pendudukan AS, rasa aman rakyat Irak pun menjadi barang langka karena setiap saat nyawa mereka terancam oleh aksi-aksi pembunuhan. Demokrasi yang diciptakan AS di Irak terbukti menjadi malapetaka besar bagi rakyat Irak dan sebaliknya hanya menguntungkan AS. Buktinya, hanya sepekan setelah Perang Irak selesai, perusahaan-perusahaan konstruksi AS langsung mendapat order dari Washington untuk membangun kembali Irak. Perusahaan-perusahan konstruksi AS, khususnya Halliburton yang sebagian sahamnya dimiliki keluarga Bush, langsung mendapat proyek miliaran dolar AS untuk rekonstruksi Irak. Uangnya dari mana? Dari pampasan perang Irak. Uang minyak Irak pun dihabiskan untuk membangun infrastruktur yang telah dihancurkan AS sendiri dengan biaya yang amat mahal, tiga sampai empat kali lipat, jika dikerjakan perusahaan lokal. Uang minyak Irak juga dipakai untuk membiayai tentara AS yang kini bercokol di sana. Padahal istilah pampasan perang Irak adalah suatu logika yang aneh karena Irak tak pernah mengajak perang kepada AS. (Darmansyah Asmoerie, Republika.co.id, 18/11/06).
Sementara itu, di Indonesia, Pemerintahan SBY selalu mengulang-ulang pernyataannya, bahwa seluruh kebijakan Pemerintah, termasuk yang terkait dengan kunjungan Bush, adalah untuk kepentingan rakyat. Namun, fakta membuktikan, berbagai kebijakannya sering tidak sesuai dengan kehendak—bahkan merugikan—rakyat, dan lebih memihak pada kepentingan para kapitalis, terutama pihak asing. Kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM, misalnya, jelas tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Buktinya, kebijakan tersebut didemo oleh hampir seluruh rakyat. Kebijakan itu juga terbukti merugikan rakyat. Buktinya, setelah kenaikan BBM, banyak perusahaan gulung tikar, angka pengangguran meningkat, dan kasus gizi buruk juga semakin banyak.
Demikian pula kebijakan Pemerintah untuk menelorkan UU Migas, yang kemudian mendorong terjadinya liberalisasi di sektor migas. Dampaknya, pengelolaan minyak Blok Cepu diserahkan ke ExxonMobile ketimbang ke Pertamina; kontrak Exxon atas Blok Natuna—yang merupakan salah satu sumber cadangan gas terbesar di dunia, dengan potensi mencapai 46 triliun kaki kubik atau 1.270 miliar meter kubik gas (sesuai data yang dikeluarkan ExxonMobil)—juga disinyalir akan terus dilanjutkan. Padahal, dari kontrak yang ada pun, yang berakhir Januari 2005, Pemerintah tidak mendapatkan apa-apa. Semua ini jelas tidak mencerminkan keberpihakan Pemerintah kepada rakyat. Walhasil, liberalisasi, khususnya di sektor migas, jelas lebih mencerminkan kepentingan para kapitalis, khususnya korporat asing.
Yang Tersisa dari Kunjungan Bush
Pemerintah boleh saja berbusa-busa mengatakan bahwa Bush datang dengan agenda soft power seperti pendidikan, kesehatan, sains dan teknologi. Namun, hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Steve Hadley, Penasihat Keamanan AS, yang juga ikut dalam kunjungan Bush ini. Sebelum keberangkatan Bush ke Asia, termasuk ke Indonesia, sebagaimana yang dilaporkan dalam situs resmi Gedung Putih (www.whitehouse.gov, 9/10/06) dinyatakan bahwa kunjungan ini akan digunakan oleh Presiden Bush bagi kepentingan masyarakat Amerika (to advendce the interest of American people).
Lebih lanjut Hadley menjelaskan, kepentingan masyarakat AS itu adalah mencegah tantangan yang dihadapi oleh AS, yakni terorisme, dan menjamin bagaimana para pebisnis AS bisa meraih keuntungan (to reap benefit) di kawasan ini. Walhasil, kunjungan Bush tetap tidak bisa dilepaskan dari dua kebijakan pokok AS selama ini dalam politik (demokrasi dan perang melawan terorisme) serta ekonomi (liberalisasi ekonomi).
Pemerintah juga boleh saja berulang-ulang mengucapkan terimakasih atas bantuan yang telah diberikan oleh AS kepada Indonesia. Namun, semua pihak mengetahui bahwa setiap bantuan asing tentulah memiliki motif politik. AS adalah negara kapitalis. Bantuan asing yang diberikannya itu tidak bisa dipisahkan dalam konteks keuntungan kepentingan kapitalistiknya. Tidak ada makan siang gratis dalam sistem kapitalis. Salah satu program bantuan luar negeri AS yang momental setelah Perang Dunia II adalah Marshal Plann, yaitu berupa bantuan ekonomi besar-besaran kepada negara-negara Eropa. Namun, program tersebut jelas punya maksud politik, yakni melemahkan negara-negara Eropa. Di bidang pendidikan, pemberian beasiswa seperti Fullbright juga tidak lepas dari kepentingan politik AS. Jack Plano, dalam The International Relation Dictionary (1982), menjelaskan program ini dikembangkan sejak tahun 1946 untuk mempengaruhi perilaku bangsa lain terhadap AS. Senada dengan itu, Joseph S Nye, dalam Soft Power (2004), mengutip pernyataan mantan Menlu AS Colin Powel, tentang pentingnya pemberian program beasiswa. Mantan Menlu AS ini menyatakan, program beasiswa akan membuat para alumni AS menjadi 'diplomat' AS kelak.
Wahai Kaum Muslim:
Sudah jelas, bahwa kita tidak bisa berharap pada demokrasi yang penuh dengan kebohongan. Demokrasi tidak pernah berpihak pada kehendak dan kepentingan rakyat. Demokrasi hanya berpihak pada elit penguasa, pengusaha, dan negara-negara kapitalis. Kita juga tidak boleh berharap pada negara yang mengklaim kampiun demokrasi seperti AS. Kita harus sadar, AS adalah negara kapitalis yang tetap menjadikan imperalisme/penjajahan sebagai cara untuk menjaga eksistensinya, sekaligus untuk menyeberaluaskan ideologi Kapitalisme yang diembannya. Kita harus mulai menyadari bahwa agenda demokrasi/demokratisasi di Dunia Islam, termasuk di Indonesia, hakikatnya hanyalah 'gincu' sekaligus alat AS untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan politik dan ekonominya. Kita juga harus mulai memahami bahwa liberalisasi di Dunia Islam adalah agenda AS dalam rangka mempertahankan hegemoninya sekaligus memperkuat penjajahannya atas Dunia Islam.
Karena itu, kaum Muslim tidak boleh terjebak hanya dengan ancaman dari sosok Bush yang memang jahat. Sebab, Amerika tidak hanya direpresentasikan oleh sosok Bush, atau oleh partainya Bush, yakni Partai Republik, tetapi oleh ideologi Kapitalisme yang menjadi haluannya. Walhasil, ke depan kaum Muslim harus tetap menyadari bahaya sepak terjang Amerika sebagai negara kapitalis terbesar, khususnya terhadap Dunia Islam.
Lebih dari itu, agar kita meraih kemuliaan di dunia maupun akhirat, kita jelas tidak boleh menggantungkan diri pada negara kafir seperti AS. Kita harus selalu menyandarkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا، الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ ِللهِ جَمِيعًا
Sampaikanlah kabar kepada orang-orang munafik, bahwa bagi mereka ada azab yang sangat pedih. Mereka itu adalah orang-orang yang mengambil orang-orang kafir sebagai teman/penolong dengan meninggalkan kaum Mukmin. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang kafir itu? Sesungguhnya semua kemuliaan itu kepunyaan Allah. (QS an-Nisa' [4]: 138-139).

[Buletin AL-ISLAM Edisi 330]
This entry was posted on 22.01 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: