DEMOKRASI : SISTEM KUFUR [5]
06.31 | Author: kontrademokrasi

Yang mempunyai wewenang memberhentikan khalifah adalah Mahkamah Mazhalim. Ini dikarenakan bahwa terjadinya suatu kasus yang dapat menjadi alasan diberhentikannya khalifah, merupakan suatu jenis kezhaliman yang harus dilenyapkan. Dan kasus itu juga dianggap sebagai kasus yang memerlukan penetapan (itsbat) yang harus dilakukan di hadapan hakim.

Mengingat Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga yang berwenang memutuskan pelenyapan kezhaliman dalam Daulah Islamiyah, sementara hakimnya memang berwenang untuk menetapkan terjadinya kezhaliman dan memutuskannya, maka Mahkamah Mazhalimlah yang berhak memutuskan apakah kasus kezhaliman di atas telah terjadi atau tidak. Mahkamah Mazhalim pula yang berhak memutuskan pemberhentian khalifah.

Demokrasi dapat dianggap sebagai pemerintahan mayoritas dan hukum mayoritas. Karenanya pemilihan para penguasa, anggota dewan perwakilan, serta anggota berbagai lembaga, kekuasaan, dan organisasi, semuanya didasarkan pertimbangan suara bulat (mayoritas). Demikian juga pembuatan hukum di dewan perwakilan, pengambilan keputusan di berbagai dewan, kekuasaan, lembaga, dan organisasi, seluruhnya dilaksanakan berdasarkan pendapat mayoritas.

Oleh karena itu, dalam sistem demokrasi pendapat mayoritas bersifat mengikat bagi semua pihak, baik penguasa maupun bukan. Sebab pendapat mayoritas merupakan sesuatu yang mengungkapkan kehendak rakyat. Jadi pihak minoritas tidak mempunyai pilihan kecuali tunduk dan mengikuti pendapat mayoritas.

Sedangkan dalam Islam, permasalahannya sangatlah berbeda. Dalam masalah penentuan hukum, kriterianya tidak tergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash-nash syara'. Sebab, yang menjadi Musyarri' hanyalah Allah SWT, bukan umat.

Adapun pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengadopsi (melakukan proses legislasi) hukum-hukum syara' yang menjadi keharusan untuk memelihara urusan umat dan menjalankan roda pemerintahan, adalah khalifah saja. Khalifah mengambil hukum syara' dari nash-nash syara' dalam Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya, berdasarkan kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Dalam hal ini khalifah tidak wajib meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum yang akan dilegalisasikannya, meskipun hal ini boleh saja dia lakukan. Para Khulafa' Rasyidin dahulu telah meminta pendapat para shahabat ketika mereka hendak mengadopsi suatu hukum syara', misalnya Umar bin Khaththab pernah meminta pendapat kaum muslimin tatkala dia hendak mengadopsi hukum syara' mengenai masalah tanah-tanah taklukan di Syam, Mesir, dan Irak. Umar bin Khaththab telah meminta pendapat kaum muslimin dalam masalah tersebut.

Jika khalifah meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum syara' yang hendak diadopsinya, maka pendapat Majelis Umat ini tidak mengikat khalifah, meskipun pendapat itu diputuskan berdasarkan suara bulat atau suara mayoritas. Yang demikian ini karena Rasulullah SAW pernah mengesampingkan pendapat kaum muslimin yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah. Padahal pendapat kaum muslimin waktu itu merupakan pendapat mayoritas. Tetapi toh Rasulullah menolak pendapat mereka, dan tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah SAW bersabda kepada mereka :

إِنِّي عَبْدَ اللهِ وَ رَسُوْلَهُوَ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ


"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya."

Selain itu para shahabat yang mulia telah bersepakat bahwa seorang Imam (Khalifah) memang berhak untuk mengadopsi hukum-hukum syara' tertentu, serta berhak memerintahkan rakyat untuk mengamalkannya. Kaum muslimin wajib mentaatinya dan meninggalkan pendapat mereka. Dari adanya Ijma' Shahabat inilah di-istimbath (diambil dan ditetapkan) kaidah-kaidah syara' yang terkenal :

أَمْرُ الإِمَامِ يَرْفَعُ الخِلاَفَ


"Perintah (keputusan) Imam (khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat."

أَمْرُ الإِمَامِ نَافِذٌ ظَاهِرًا وَ بَاطِنًا


"Perintah (keputusan) Imam wajib dilaksanakan, baik secara lahir maupun batin."

لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُحْدِثَ مِنَ الأَقْضِيَةِ بِقَدْرِ مَا يَحْدُثُ مِنْ مُشْكِلاَتٍ


"Penguasa (khalifah) berhak mengeluarkan keputusan-keputusan (hukum) baru, sesuai perkembangan problem yang terjadi."

Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, sebagaimana firman-Nya:

أَطِيْعُوا اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُولَ وَ أولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ


"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan Ulil Amri di antara kamu."

Yang dimaksud dengan ulil amri dalam ayat di atas adalah para penguasa muslim yang menerapkan hukum Islam.

Adapun masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya. Bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat. Masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar militer. Masalah-masalah fiqih dikem-balikan kepada para fuqaha dan mujtahidin. Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik. Masalah-masalah ide/gagasan dikembalikan kepada para pemikir besar. Demikian seterusnya.

Dengan demikian yang menjadi patokan dalam masalah-masalah seperti ini adalah ketepatan, bukan suara mayoritas. Dan pendapat yang tepat diambil dari pihak yang berkompeten, yaitu para ahlinya, bukan berdasarkan suara mayoritas.

Yang patut dicatat, bahwa para anggota majlis perwakilan rakyat (parlemen) baik yang ada di negeri-negeri Islam maupun di Barat saat ini, sebagian besarnya bukanlah orang yang berkeahlian, dan bukan pula orang yang mampu memahami setiap permasalahan secara tepat. Sehingga suara mayoritas anggota lembaga perwakilan yang ada sebenarnya tidak ada faedahnya dan bahkan tidak ada nilainya sama sekali. Persetujuan atau penentangan mereka di dalam sidang majlis hanya berupa formalitas belaka, tidak didasarkan pada pemahaman, kesadaran, atau pengetahuan yang tepat.

Oleh karena itu, dalam masalah-masalah yang memerlukan keahlian seperti tersebut di atas, suara mayoritas tidaklah bersifat mengikat.

Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah SAW mengikuti pendapat Al Hubab bin Al Mundzir pada Perang Badar —yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis— yang meng-usulkan kepada Nabi agar meninggalkan tempat yang dipilih Nabi, kalau sekiranya ketentuan tempat itu bukan dari wahyu. Al Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran. Maka Rasulullah mengikuti pendapat Al Hubab dan berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh Al Hubab. Jadi Rasulullah SAW telah meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para shahabat lainnya dalam masalah tersebut.

Adapun masalah-masalah yang langsung menuju kepada amal (praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, maka yang menjadi patokan adalah suara mayoritas, sebab mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Masalah-masalah seperti ini contohnya, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau ketua organisasi misalnya, pen.), apakah kita akan keluar kota atau tidak, apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari, apakah kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api. Masalah-masalah seperti ini dapat dimengerti oleh setiap orang sehingga mereka dapat memberikan pendapatnya. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah seperti ini suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat.

Dalil untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada Rasulullah SAW ketika Perang Uhud. Rasulullah SAW dan para shahabat senior berpendapat bahwa kaum muslimin tidak perlu keluar dari kota Madinah. Sedang mayoritas shahabat —khususnya para pemudanya— berpendapat bahwa kaum muslimin hendaknya keluar dari kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy di luar kota Madinah. Jadi pendapat yang ada berkisar di antara dua pilihan, keluar kota Madinah atau tidak.

Dikarenakan mayoritas shahabat berpendapat untuk keluar kota Madinah, maka Nabi SAW mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para shahabat senior, serta berangkat menuju Uhud di luar kota Madinah untuk menghadapi pasukan Quraisy.

***

Adapun ide kebebasan individu, sesungguhnya merupakan salah satu ide yang paling menonjol dalam demokrasi. Ide ini dianggap sebagai salah satu pilar penting dalam demokrasi, sebab dengan ide ini tiap-tiap individu akan dapat melaksanakan dan menjalankan kehendaknya seperti yang diinginkannya tanpa tekanan atau paksaan. Rakyat dianggap tidak akan dapat mengekspresikan kehendak umumnya kecuali dengan terpenuhinya kebebasan individu bagi seluruh rakyat.

Kebebasan individu merupakan suatu ajaran suci dalam sistem demokrasi, sehingga baik negara maupun individu tidak dibenarkan melanggarnya. Sistem demokrasi kapitalis menganggap bahwa adanya peraturan yang bersifat individualistik, serta pemeliharaan dan penjagaan terhadap kebebasan individu, merupakan salah satu tugas utama negara.

Kebebasan individu yang dibawa demokrasi tidak dapat diartikan sebagai pembebasan bangsa-bangsa terjajah dari negara-negara penjajahnya yang telah meng-eksploitir dan merampas kekayaan alamnya. Sebabnya karena ide penjajahan tiada lain adalah salah satu buah dari ide kebebasan kepemilikan, yang justru dibawa oleh demokrasi itu sendiri.

Demikian pula kebebasan individu tidak berarti pembebasan dari perbudakan, sebab budak saat ini sudah tidak ada lagi.

Yang dimaksud dengan kebebasan individu tiada lain adalah empat macam kebebasan berikut ini :

1. Kebebasan beragama.

2. Kebebasan berpendapat.

3. Kebebasan kepemilikan.

      4. Kebebasan bertingkah laku.

Keempat macam kebebasan ini tidak ada dalam kamus Islam, sebab seorang muslim wajib mengikatkan diri dengan hukum syara' dalam seluruh perbuatannya. Seorang muslim tidak dibenarkan berbuat sekehendaknya. Dalam Islam tidak ada yang namanya kebebasan kecuali kebebasan budak dari perbudakan, sedang perbudakan itu sendiri sudah lenyap sejak lama.

Keempat macam kebebasan tersebut sangat berten-tangan dengan Islam dalam segala aspeknya sebagaimana penjelasan kami berikutnya.

***

Kebebasan beragama berarti seseorang berhak meyakini suatu aqidah yang dikehendakinya, atau memeluk agama yang disenanginya, tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula meninggalkan aqidah dan agamanya, atau berpindah kepada aqidah baru, agama baru, atau berpindah kepada kepercayaan non-agama (Animisme/paganisme). Dia berhak pula melakukan semua itu sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau paksaan. Jadi, seorang muslim, misalnya, berhak berganti agama untuk memeluk agama Kristen, Yahudi, Budha, atau Komunisme dengan sebebas-bebasnya, tanpa boleh ada larangan baginya dari negara atau pihak lain untuk mengerjakan semua itu.

Sedangkan Islam, telah mengharamkan seorang muslim meninggalkan Aqidah Islamiyah atau murtad untuk memeluk agama Yahudi, Kristen, Budha, komunisme, atau kapitalisme. Siapa saja yang murtad dari agama Islam maka dia akan diminta bertaubat. Jika dia kembali kepada Islam, itulah yang diharapkan. Tapi kalau tidak, dia akan dijatuhi hukuman mati, disita hartanya, dan diceraikan dari isterinya. Rasulullah SAW:

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ


"Barang siapa mengganti agamanya (Islam), maka jatuhkanlah hukuman mati atasnya." (HR. Muslim, dan Ashhabus Sunan)

Jika yang murtad adalah sekelompok orang, dan mereka tetap bersikeras untuk murtad, maka mereka akan diperangi hingga mereka kembali kepada Islam atau dibinasakan. Hal ini seperti yang pernah terjadi pada orang-orang murtad setelah wafatnya Rasulullah tatkala Abu Bakar memerangi mereka dengan sengit sampai sebagian orang yang tidak terbunuh kembali kepada Islam.

***

Adapun kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi, mempunyai arti bahwa setiap individu berhak untuk mengembangkan pendapat atau ide apa pun, bagaimana pun juga pendapat atau ide itu. Dia berhak pula menyatakan atau menyerukan ide atau pendapat itu dengan sebebas-bebasnya tanpa ada syarat atau batasan apapun, bagaimana pun juga ide dan pendapatnya itu. Dia berhak pula mengungkapkan ide atau pendapatnya itu dengan cara apapun, tanpa ada larangan baginya untuk melakukan semua itu baik dari negara atau pihak lain, selama dia tidak mengganggu kebebasan orang lain. Maka setiap larangan untuk mengembangkan, mengungkapkan, dan menyebarluaskan pendapat, akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kebebasan.

Ketentuan ajaran Islam dalam masalah ini sangatlah berbeda. Seorang muslim dalam seluruh perbuatan dan perkataannya wajib terikat dengan apa yang terkandung dalam nash-nash syara'. Dengan demikian dia tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau mengucapkan suatu perkataan kecuali jika dalil-dalil syar'i telah membolehkannya.

Atas dasar itulah, maka seorang muslim berhak mengembangkan, menyatakan, dan menyerukan pendapat apapun, selama dalil-dalil syar'i telah membolehkannya. Tapi jika dalil-dalil syar'i telah melarangnya, maka seorang muslim tidak boleh mengembangkan, menyatakan, atau menyerukan pendapat tersebut. Jika dia tetap melakukannya, dia akan dikenai sanksi.

Jadi seorang muslim itu wajib terikat dengan hukum-hukum syara' dalam mengembangkan, menyatakan, dan menyerukan suatu pendapat. Dia tidak bebas untuk melakukan semaunya.

Islam sendiri telah mewajibkan seorang muslim untuk mengucapkan kebenaran di setiap waktu dan tempat. Dalam hadits Ubadah bin Ash Shamit ra, disebutkan :

...وَ أَنْ نَقُولَ بِالحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا ، لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ

"...dan kami akan mengatakan kebenaran di mana pun kami berada. Kami tidak takut karena Allah terhadap celaan orang yang mencela."
Demikian pula Islam telah mewajibkan kaum muslimin untuk menyampaikan pendapat kepada penguasa dan mengawasi serta mengoreksi tindakan mereka. Diriwayatkan dari Ummu 'Athiyah dari Abu Sa'id ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

أَفْضَلُ الجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ


"Jihad paling utama adalah (menyampaikan) perkataan yang haq kepada penguasa yang zhalim."

Dirawayatkan pula dari Abu Umamah ra bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya oleh seseorang pada saat melempar jumrah aqabah, "Jihad apa yang paling utama, wahai Rasulullah ? Maka Rasulullah SAW menjawab :

كَلِمَةُ حَقٍّ تُقَالُ عِنْدَ ذِي سُلْطَانٍ جَائِرٍ


"Yaitu menyampaikan perkataan yang haq kepada penguasa yang zhalim."

Rasululah SAW pernah bersabda pula :

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ وَ رَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَنَصَحَهُ فَقَتَلَهُ


"Pemimpin para syuhada adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan Imam yang zhalim, kemudian dia menasehati Imam itu, lalu Imam itu membunuhnya."

Tindakan yng demikian ini bukanlah suatu kebe-basan berpendapat, melainkan keterikatan dengan hukum-hukum syara', yakni kebolehan menyampaikan pendapat dalam satu keadaan, dan kewajiban menyampaikan pendapat dalam keadaan lain.

***

Adapun kebebasan kepemilikan —yang telah melahirkan sistem ekonomi kapitalisme, yang selanjutnya melahirkan ide penjajahan terhadap bangsa-bangsa di dunia serta perampokan kekayaan alamnya— mempunyai arti bahwa seseorang boleh memiliki harta (modal), dan boleh mengembangkannya dengan sarana dan cara apapun. Seorang penguasa dianggap berhak memiliki harta dan mengembangkannya melalui imperialisme, peram-pasan dan pencurian harta kekayaan alam dari bangsa-bangsa yang dijajah. Seseorang dianggap pula berhak memiliki dan mengembangkan harta melalui penimbunan dan mudlarabah (usaha-usaha komanditen/trustee) mengambil riba, menyembunyikan cacat barang dagangan, berlaku curang dan menipu, menetapkan harga tinggi secara tidak wajar, mencari uang dengan judi, zina, homoseksual, mengeksploitir tubuh wanita, memproduksi dan menjual khamr, menyuap, dan atau menempuh cara-cara lainnya.

Sedangkan ajaran Islam, sangat bertolak belakang dengan ide kebebasan kepemilikan harta tersebut. Islam telah memerangi ide penjajahan bangsa-bangsa serta ide perampokan dan penguasaan kekayaan alam bangsa-bangsa di dunia. Islam juga menentang praktik riba baik yang berlipat ganda maupun yang sedikit. Seluruh macam riba dilarang. Di samping itu Islam telah menetapkan adanya sebab-sebab kepemilikan harta, sebab-sebab pengembangannya, dan cara-cara pengelolaannya. Islam mengharamkan ketentuan di luar itu semua. Islam mewajibkan seorang muslim untuk terikat dengan hukum-hukum syara' dalam usahanya untuk memiliki, mengem-bangkan, dan mengelola harta. Islam tidak memberikan kebebasan kepadanya untuk mengelola harta sekehendak-nya, tetapi Islam telah mengikatnya dengan hukum-hukum syara', dan mengharamkannya untuk memiliki dan mengembangkan harta secara batil. Misalnya dengan cara merampas, merampok, mencuri, menyuap, mengambil riba, berjudi, berzina, berhomoseksual, menutup-nutupi kecacatan barang dagangan, berlaku curang dan menipu, menetapkan harga tinggi dengan tidak wajar, memproduksi dan menjual khamr, mengeksploitir tubuh wanita, dan cara-cara lain yang telah diharamkan sebagai jalan untuk memiliki dan mengembangkan harta.

Semua itu merupakan sebab-sebab pemilikan dan pengembangan harta yang dilarang Islam. Dan setiap harta yang diperoleh melalui jalan-jalan itu, berarti haram dan tidak boleh dimiliki. Pelakunya akan dijatuhi sanksi.

Dengan demikian jelaslah bahwa kebebasan kepemilikan harta itu tidak ada dalam ajaran Islam. Bahkan sebaliknya, Islam mewajibkan setiap muslim untuk terikat dengan hukum-hukum syara' dalam hal kepemilikan, pengembangan, dan pengelolaan harta. Dia tidak boleh melanggar hukum-hukum itu.

***

Mengenai kebebasan bertingkah laku, artinya adalah kebebasan untuk lepas dari segala macam ikatan dan kebebasan untuk melepaskan diri dari setiap nilai kerohanian, akhlak, dan kemanusiaan. Juga berarti kebebasan untuk memporak-porandakan keluarga dan untuk membubarkan atau melestarikan institusi keluarga. Kebebasan ini merupakan jenis kebebasan yang telah menimbulkan segala kebinasaan dan membolehkan segala sesuatu yang telah diharamkan.

Kebebasan inilah yang telah menjerumuskan masyarakat Barat menjadi masyarakat binatang yang sangat memalukan dan membejatkan moral individu-individunya sampai ke derajat yang lebih hina daripada binatang ternak.

Kebebasan ini menetapkan bahwa setiap orang dalam perilaku dan kehidupan pribadinya berhak untuk berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, sebebas-bebasnya, tanpa boleh ada larangan baik dari negara atau pihak lain terhadap perilaku yang disukainya. Ide kebebasan ini telah membolehkan seseorang untuk melakukan perzinaan, homoseksual, lesbianisme, meminum khamr, bertelanjang, dan melakukan perbuatan apa saja —walaupun sangat hina— dengan sebebas-bebasnya tanpa ada ikatan atau batasan, tanpa tekanan atau paksaan.

Hukum-hukum Islam sangat bertentangan dengan kebebasan bertingkah laku tersebut. Tidak ada kebebasan bertingkah laku dalam Islam. Seorang muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya. Haram baginya melakukan perbuatan yang diharamkan Allah. Jika dia mengerjakan suatu perbuatan yang diharamkan, berarti dia telah berdosa dan akan dijatuhi hukuman yang sangat keras.

Islam telah mengharamkan perzinaan, homoseksual, lesbianisme, minuman keras, ketelanjangan, dan hal-hal lain yang merusak. Untuk masing-masing perbuatan itu Islam telah menetapkan sanksi tegas yang dapat membuat jera pelakunya.

Islam memerintahkan muslim berakhlaq mulia dan terpuji, juga menjadikan masyarakat Islam sebagai masya-rakat yang bersih dan sangat memelihara kehormatannya serta penuh dengan nilai-nilai yang mulia.

***

Dari seluruh penjelasan di atas, nampak dengan sangat jelas bahwa peradaban Barat, nilai-nilai Barat, pandangan hidup Barat, demokrasi Barat, dan kebebasan individu, seluruhnya bertentangan secara total dengan hukum-hukum Islam.

Seluruhnya merupakan ide-ide, peradaban, peraturan, dan undang-undang kufur. Oleh karenanya adalah suatu kebodohan dan upaya penyesatan kalau ada yang mengatakan demokrasi itu adalah bagian dari ajaran Islam. Juga suatu kebodohan dan penyesatan kalau dikatakan demokrasi itu identik dengan sistem syura (permusyawaratan) itu sendiri, atau identik dengan amar ma'ruf nahi munkar, dan atau mengoreksi tingkah laku penguasa.

Syura, amar ma'ruf nahi munkar, dan mengoreksi penguasa, adalah hukum-hukum syara', yang telah ditetapkan Allah SWT. Kaum muslimin telah diperintahkan untuk mengambil dan melaksanakannya dengan anggapan bahwa semua itu adalah hukum-hukum syara'.

Sedangkan demokrasi bukanlah hukum-hukum syara' dan tidak berasal dari peraturan Allah. Demokrasi adalah buatan manusia dan peraturan buatan manusia.

Demokrasi bukan syura, karena syura artinya adalah memberikan pendapat. Sedangkan demokrasi, sebenarnya merupakan suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan peraturan, yang telah dibuat oleh manusia menurut akal mereka sendiri. Mereka menetapkan ketentuan-ketentuan itu berdasarkan kemaslahatan yang dipertimbangkan menurut akal, bukan menurut wahyu dari langit.

Maka dari itu, kaum muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Haram pula bagi mereka menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undang-undang atau sebagai sumber bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan tujuannya.

Kaum muslim wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnya karena demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thaghut.

Demokrasi adalah sistem kufur, yang mengandung berbagai ide, peraturan, dan undang-undang kufur. Demokrasi tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali.

Demikian pula kaum muslimin wajib menerapkan dan melaksanakan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الهُدَى وَ يَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ المُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلِّى وَ نُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَ سَاءَتْ مَصِيْرًا

"Dan siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An Nisaa' : 115)
Telah selesai dengan pertolongan dan karunia Allah SWT, pada hari Ahad tanggal 3 Dzulqa'dah 1410 H, bertepatan dengan tanggal 17 Mei 1990 M.
|
This entry was posted on 06.31 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: