DEMOKRASI : SISTEM KUFUR [2]
06.30 | Author: kontrademokrasi

Cacat yang menonjol dalam sistem demokrasi —yang berkaitan dengan pemerintahan dan kabinet— antara lain ialah bila di dalam suatu negeri demokrasi tidak terdapat partai-partai politik besar —yang dapat mencapai mayoritas mutlak di parlemen dan menyusun kabinetnya sendiri— maka pemerintah negeri tersebut akan selalu tidak stabil dan kabinetnya akan terus digoncang dengan tekanan krisis-krisis politik yang silih berganti. Hal ini terjadi karena pemerintah negeri tersebut sulit mendapatkan kepercayaan mayoritas parlemennya, sehingga kondisi ini akan memaksa pemerintah untuk meletakkan jabatannya. Kadang-kadang presiden selama berbulan-bulan tak mampu membentuk kabinetnya yang baru sehingga pemerintah menjadi lumpuh atau nyaris tak berfungsi. Kadang-kadang pula presiden terpaksa membubarkan parlemen dan menyelengggarakan pemilu yang baru, dengan tujuan mengubah perimbangan kekuatan politik agar dia dapat menyusun kabinetnya yang baru.

Krisis-krisis tersebut terjadi berulang kali sehingga pemerintah selalu tidak stabil dan aktivitas politiknya pun terus digoncang dan nyaris tak terurus. Kondisi seperti ini pernah terjadi di Italia, Yunani, dan negeri-negeri demokrasi yang lain, yang memiliki banyak partai politik sementara tidak ada satu partai politik besar yang mampu mendapatkan mayoritas mutlak.

Karena kondisinya seperti itu, maka tawar menawar selalu terjadi di antara partai-partai tersebut, sehingga terkadang partai-partai kecil dapat mendikte partai-partai lain —yang mengajak berkoalisi untuk membentuk kabinet— dengan cara mengajukan syarat-syarat yang sulit sebagai langkah untuk mewujudkan kepentingannya sendiri. Dengan demikian, partai-partai kecil —yang hanya mewakili minoritas rakyat itu— dapat mengendalikan partai lain dan mendikte kegiatan politik negeri tersebut termasuk penetapan kebijakan-kebijakan kabinetnya.

Di antara bencana paling mengerikan yang menimpa seluruh umat manusia, ialah ide kebebasan individu yang dibawa oleh demokrasi. Ide ini telah mengakibatkan berbagai malapetaka secara universal, serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di negeri-negeri demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada derajat segerombolan binatang!

Sebenarnya ide kebebasan kepemilikan dan oportunisme yang dijadikan sebagai tolok ukur perbuatan, telah mengakibatkan lahirnya para kapitalis yang bermodal. Mereka ini jelas membutuhkan bahan-bahan mentah untuk menjalankan industrinya dan membutuhkan pasar-pasar konsumtif untuk memasarkan produk-produk industrinya. Hal inilah yang telah mendorong negara-negara kapitalis untuk bersaing satu sama lain guna menjajah bangsa-bangsa yang terbelakang, menguasai harta bendanya, memonopoli kekayaan alamnya, serta menghisap darah bangsa-bangsa tersebut dengan cara yang sangat bertolak belakang dengan seluruh nilai-nilai kerohanian, akhlak, dan kemanusiaan.

Keserakahan dan kerakusan yang luar biasa dari negara-negara kapitalis itu, kekosongan jiwa mereka dari nilai-nilai kerohanian, akhlak, dan kemanusiaan, serta persaingan di antara mereka untuk mencari harta yang haram; telah membuat darah bangsa-bangsa terjajah menjadi barang dagangan. Faktor-faktor tersebut juga telah mengakibatkan berkobarnya fitnah dan peperangan di antara bangsa-bangsa terjajah, sehingga negara-negara kapitalis tersebut dapat menjajakan produk-produk industrinya dan dapat mengembangkan industri-industri militernya yang menghasilkan keuntungan besar.

Sungguh betapa banyak hal yang menggelikan sekaligus memuakkan, yang selalu menjadi bahan bualan negara-negara demokrasi penjajah yang tidak tahu malu itu. Amerika, Inggris, dan Perancis, misalnya, selalu saja menggembar-gemborkan nilai-nilai demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) di mana-mana. Padahal pada waktu yang sama mereka telah menginjak-injak seluruh nilai kemanusiaan dan akhlak, mencampakkan seluruh Hak-Hak Asasi Manusia, dan menumpahkan darah berbagai bangsa di dunia. Krisis-krisis di Palestina, Asia Tenggara, Amerika Latin, Afrika Hitam (Afrika Tengah), dan Afrika Selatan, adalah bukti paling nyata yang akan menampar wajah mereka dan akan membeberkan sifat mereka yang sangat pendusta dan tidak tahu malu itu!

Adapun ide kebebasan bertingkah laku, sesung-guhnya telah memerosotkan martabat berbagai masyarakat yang mempraktekkan demokrasi sampai pada derajat masyarakat binatang yang sangat rendah. Ide itu juga telah menyeret mereka untuk mengambil gaya hidup serba-boleh (permissiveness) yang najis, yang bahkan tidak dijumpai dalam pergaulan antar binatang. Maha Benar Allah SWT yang berfirman :

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَخَذَ إِلـهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُوْنُ عَلَيْهِ وَكيْلاً

أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُوْنَ أَو يَعْقِلُوْنَ إِنْ هُمْ إلاَّ كَالأَنْعَام بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيْلاً

"Terangkanlah kepada-Ku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya ? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami ? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)." (Al-Furqaan 43-44)
Dalam masyarakat demokrasi ini, hubungan seksual menjadi aktivitas yang sah-sah saja —seperti halnya minum air— karena telah disahkan oleh undang-undang yang ditetapkan parlemen negeri-negeri tersebut dan direstui oleh para tokoh gerejanya. Peraturan tersebut membolehkan hubungan seksual dan pergaulan lelaki-perempuan dengan sebebas-bebasnya bila masing-masing telah berumur 18 tahun. Negara dan orang tua tidak berwenang sedikit pun untuk mencegah segala perilaku seksual tersebut.

Undang-undang itu ternyata tidak sekedar membenarkan hubungan seksual dengan lawan jenis, tetapi lebih dari itu telah membolehkan hubungan seksual sesama jenis. Bahkan beberapa negeri demokrasi telah mengesahkan pernikahan antara dua orang yang berkelainan seksual, yakni pria dibolehkan menikahi sesamanya, dan wanita dibolehkan menikahi sesamanya pula.

Karena itu di antara fenomena yang dianggap wajar dan biasa dalam masyarakat demokrasi, ialah Anda akan menyaksikan —di jalan-jalan, taman-taman, bus-bus, dan di wagon-wagon kereta api— para pemuda dan pemudi saling berciuman, berangkulan, berpelukan, serta saling mengisap bibir dan bercumbu. Semua ini mereka lakukan tanpa rasa sungkan dan risih sedikit pun karena perilaku semacam itu oleh mereka sudah dianggap biasa dan wajar-wajar saja.

Begitu pula sudah dianggap biasa kalau para wanita Barat menunggu matahari terbit pada musim panas dengan cara berbaring di taman-taman dengan tubuh telanjang —persis seperti keadaan mereka tatkala dilahirkan oleh ibu-ibu mereka— tanpa penutup kecuali secarik kain yang menutupi bagian tubuh mereka yang paling vital. Juga sudah dianggap biasa para wanita di sana pada musim panas berjalan-jalan dengan tubuh nyaris bugil dan tidak menutupi tubuh mereka, kecuali hanya sekedarnya saja.

Berbagai perilaku seksual yang menyimpang dan abnormal telah memenuhi masyarakat demokrasi yang bejat ini. Perilaku homoseksual antar lelaki, lesbianisme di kalangan wanita, dan pemuasan seksual dengan binatang (bestiality) telah banyak terjadi. Juga banyak terjadi perilaku seksual kolektif (orgy), di mana beberapa pria dan wanita melakukan hubungan seksual bersama-sama. Padahal perilaku seperti ini bahkan tak akan dijumpai di dalam kandang-kandang binatang ternak sekalipun.

Sensus sebuah koran Amerika Serikat menyebutkan, bahwa 25 juta pelaku seksual yang menyimpang di Amerika Serikat telah menuntut pengesahan perkawinan di antara mereka dan menuntut hak-hak yang sama seperti yang dimiliki oleh orang normal. Sebuah koran lain juga mempublikasikan data, bahwa satu juta orang di Amerika Serikat telah melakukan hubungan seksual dengan keluarga mereka sendiri (incest), baik dengan ibu, anak perempuan, maupun saudara perempuan mereka.

Perilaku serba boleh gaya binatang inilah yang telah menyebarluaskan berbagai penyakit kelamin —yang paling mematikan adalah AIDS— dan juga telah menghasilkan banyak anak zina, sampai-sampai sebuah koran menyebutkan bahwa 75 % orang Inggris adalah anak zina.

Dalam masyarakat demokrasi, institusi keluarga benar-benar telah hancur berantakan. Tak ada lagi yang namanya rasa kasih sayang di antara bapak, anak, ibu, saudara lelaki, dan saudara perempuan. Karenanya, sudah merupakan pemandangan biasa, jika terdapat puluhan bahkan ratusan pria dan wanita tua bangka yang berjalan-jalan di taman hanya bertemankan anjing-anjing. Hewan inilah yang menemani kaum lanjut usia itu di rumah, di meja makan, dan bahkan di tempat tidur mereka! Anjing-anjing itu menjadi sahabat dalam kesendirian mereka, sebab masing-masing memang hanya hidup sebatang kara. Tak ada sahabat lagi selain anjing.

Itulah beberapa contoh kerusakan yang dihasilkan oleh nilai-nilai demokrasi, khususnya ide kebebasan individu yang selalu mereka dengung-dengungkan itu. Itu pula salah satu bentuk dan penampilan peradaban mereka yang senantiasa mereka bangga-banggakan, mereka gembar-gemborkan, dan mereka sebarluaskan ke seluruh pelosok dunia. Tujuannya tak lain agar seluruh dunia ikut terjerumus ke dalam peradaban mereka yang sangat buruk itu. Kebejatan-kebejatan tersebut tidak mempunyai makna apa-apa, kecuali menunjukkan kerusakan, keburukan, dan kebusukan demokrasi.

Beberapa kerusakan dan keburukan demokrasi tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Masyarakat-masyarakat demokrasi Barat telah bejat sedemikian rupa, hingga terpesosok ke derajat binatang yang kotor, yang bahkan tidak pernah ada dalam komunitas binatang ternak. Hal ini akibat adanya keliaran yang dihasilkan oleh ide kebebasan bertingkah laku.
2. Penjajahan Barat yang demokratis itu telah nyata-nyata menimbulkan berbagai krisis, bencana, dan penghisapan bangsa-bangsa yang terjajah dan terbelakang; dengan cara mencuri sumber daya alam, merampok kekayaan mereka, memelaratkan penduduk, dan menistakan rakyat-rakyatnya, serta menjadikan negeri-negeri mereka sebagai pasar konsumtif bagi industri dan produk mereka.
3. Demokrasi dalam arti yang sebenaranya tidak mungkin diterapkan. Bahkan dalam pengertiannya yang baru, sesudah dita'wilkan, tetap tidak sesuai dengan fakta dan tidak akan terwujud dalam kenyataan.

4. Kedustaan dan kebohongan para penganut demokrasi telah nyata. Mereka mengklaim bahwa parlemen adalah wakil dari kehendak umum masyarakat, merupakan perwujudan politis kehendak umum mayoritas rakyat, dan mewakili pendapat mayoritas. Nyata pula kedustaan mereka yang mengklaim bahwa hukum-hukum yang dibuat parlemen ditetapkan berdasarkan mayoritas suara wakil rakyat yang mengekspresikan kehendak mayoritas rakyat. Begitu pula nyata kedustaan mereka yang mengklaim bahwa para penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat serta mengambil kekuasaannya dari rakyat.
5. Cacat dalam sistem demokrasi telah jelas, khususnya aspek yang berhubungan dengan kekuasaan dan para penguasa jika tidak terdapat partai-partai besar di suatu negeri yang akan menjadi golongan mayoritas di dalam dewan perwakilan.
Ya, meskipun semua keburukan tersebut telah terjadi, namun Barat yang kafir ternyata telah mampu memasarkan ide-ide demokrasi yang rusak itu di negeri-negeri Islam!

Adapun bagaimana Barat yang kafir itu dapat berhasil memasarkan ide-ide demokrasi yang kufur —yang tidak berhubungan sama sekali dengan hukum-hukum Islam itu— di negeri-negeri Islam?

Jawabnya adalah bahwa keberhasilan Barat dalam hal ini disebabkan negara-negara Eropa yang kafir dan sangat dengki dan dendam terhadap Islam dan kaum muslimin itu, dalam hati mereka terdapat rasa dendam yang sangat dalam terhadap Islam dan kaum muslimin. Maha Benar Allah dengan firman-Nya:

قَدْ بَدَتِ البَغْضَـآءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَ مَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ

“…telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.(Ali ‘Imraan 118)
Mereka telah memahami bahwa rahasia kekuatan kaum muslimin terletak pada ajaran Islam itu sendiri. Sebab Aqidah Islamiyah adalah sumber kekuatan yang dahsyat bagi umat Islam. Maka setelah itu, mereka pun menyusun strategi jahannam untuk memerangi Dunia Islam, dengan jalan melancarkan serangan misionaris (kristenisasi) dan serangan kebudayaan (berupa westernisasi).

Serangan kebudayaan (westernisasi) ini ternyata telah mengusung kebudayaan dan ide-ide barat —termasuk demokrasi— serta peradaban dan pandangan hidup Barat ke Dunia Islam. Negara-negara Eropa itu segera menyerukan ide-ide tersebut kepada kaum muslimin, dengan maksud agar kaum muslimin menjadikannya sebagai asas cara berpikir dan pandangan hidup mereka, sehingga pada gilirannya negara-negara Eropa itu akan dapat menyimpangkan kaum muslimin dari Islam serta menjauhkan mereka dari keterikatannya dengan Islam dan kewajiban penerapan hukum-hukumnya. Tujuan akhirnya ialah agar Barat dapat dengan mudah menghancurkan negara Islam —yakni negara Khilafah— dan kemudian menghapuskan penerapan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian kaum muslimin selanjutnya akan mudah diarahkan untuk mengambil berbagai ide, peraturan, dan undang-undang kafir, sebagai ganti dari Islam. Akhirnya Barat akan dapat menjauhkan kaum muslimin dari Islam dan dapat mengencangkan cengkeramannya atas mereka. Maha Benar Allah SWT yang telah berfirman :

وَ لَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَ لاَ النَّصَارى حَتَّى تَتَّبعَ مِلَّتَهُم قُلْ إِنَّ هُدَى اللهِ هُوَ الْهُدَى وَ لَئِنِ اتَبَعْتَ أَهْوَآءَهُمْ بَعْدَ الَذِي جَـآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَ لاَ نَصِيْرٍ

"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu (Muhammad) mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan (bukti yang nyata) datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (Al-Baqarah 120)
Serangan misionaris dan kebudayaan ini semakin sengit ketika kemerosotan kaum muslimin di bidang pemikiran dan politik semakin parah pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah (pada paruh kedua abad XIX M). Pada saat itu telah terjadi perubahan dalam perimbangan kekuatan yang menunjukkan keunggulan negara-negara Eropa. Yaitu setelah terjadinya revolusi pemikiran dan revolusi industri di Eropa dan terwujudnya berbagai kreativitas dan penemuan ilmiah, yang dengan cepat menghantarkan Eropa menuju ketinggian dan kemajuan. Sementara itu, Khilafah Utsmaniyah tetap jumud dan semakin lemah dari hari ke hari. Kondisi inilah yang akhirnya mengakibatkan banjirnya berbagai kebudayaan, ide, peradaban, dan peraturan Barat yang mengalir deras ke negeri-negeri Islam.

Negara-negara Eropa dalam serangan misionaris dan kebudayaan yang ditujukan ke negeri-negeri Islam menggunakan cara merendahkan ajaran Islam dan menjelek-jelekkan hukum-hukumnya, menyebarkan keraguan kepada kaum muslimin terhadap kebenaran ajaran Islam, membangkitkan kebencian kaum muslimin terhadap Islam, serta menyatakan bahwa Islamlah yang menjadi sebab kemerosotan dan kemunduran mereka. Sebaliknya, negara-negara Eropa mengagung-agungkan Barat dan peradabannya, membangga-banggakan ide dan sistem demokrasi, serta menggembar-gemborkan kehebatan peraturan dan undang-undang demokrasi itu.

Selain itu, negara-negara Eropa juga menggunakan cara penyesatan. Yaitu menyebarkan sangkaan di tengah-tengah kaum muslimin bahwa peradaban Barat tidak bertentangan dengan peradaban Islam, dengan alasan bahwa peradaban Barat sebenarnya berasal dari Islam juga, dan bahwa peraturan dan undang-undang Barat sesungguhnya tidak menyalahi hukum-hukum Islam.

Mereka juga melekatkan sifat Islam pada ide dan peraturan demokrasi, serta menyatakan bahwa demokrasi tidak menyalahi atau bertentangan dengan Islam. Bahkan mereka katakan demokrasi itu berasal dari Islam itu sendiri, atau identik dengan musyawarah, amar ma'ruf nahi munkar, dan mengoreksi penguasa.

Propaganda mereka ini ternyata sangat mem-pengaruhi kaum muslimin sehingga akhirnya mereka dapat dikendalikan oleh ide-ide dan peradaban Barat.

Propaganda tersebut juga berhasil mendorong kaum muslimin untuk mengambil beberapa peraturan dan undang-undang Barat pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Dan setelah negara khilafah hancur, kaum muslimin malahan mengambil sebagian besar peraturan dan undang-undang Barat.

Propaganda Barat itu berhasil pula mempe-ngaruhi kaum terpelajar, para politikus, para pengem-ban Tsaqafah Islamiyah, sebagian pengemban dakwah Islam, dan mayoritas kaum muslimin.

Mengenai kaum terpelajar, sesungguhnya sangat banyak dari mereka yang terpengaruh oleh kebudayaan Barat —yang telah dijadikan asas pendidikan mereka— tatkala mereka mempelajari kebudayaan tersebut di Barat ataupun di negeri-negeri Islam sendiri. Ini disebabkan karena kurikulum pendidikan negeri-negeri Islam setelah Perang Dunia I, telah disusun atas dasar falsafah dan pandangan hidup Barat. Kondisi ini menyebabkan banyak dari kaum terpelajar yang akhirnya menggemari, menggandrungi, dan bahkan mengagung-agungkan kebudayaan Barat. Sebaliknya mereka mengingkari Tsaqafah Islamiyah dan hukum-hukum Islam jika bertentangan dengan kebudayaan, peraturan, dan undang-undang Barat. Mereka pun akhirnya membenci Islam sebagaimana halnya orang-orang kafir Eropa membenci Islam, serta sangat memusuhi kebudayaan, peraturan, dan hukum Islam, sebagaimana halnya kelakuan orang-orang Eropa yang kafir itu. Kaum terpelajar ini akhirnya menjadi corong-corong propaganda bagi peradaban, ide, dan peraturan Barat, sekaligus menjadi alat penghancur dan penghina bagi peradaban, hukum, dan peraturan Islam.

Mengenai para politikus, sesungguhnya mereka telah benar-benar mengikhlaskan dirinya untuk mengabdi kepada Barat dan peraturannya. Mengikatkan diri dengan Barat dan menjadikan Barat sebagai kiblat perhatian mereka. Mereka meminta tolong kepada Barat, mengandalkan bantuannya, dan menobatkan diri sebagai penjaga berbagai undang-undang dan peraturan Barat. Bahkan dengan suka rela mereka mengangkat diri mereka sebagai budak-budak yang bertugas melestarikan kepentingan Barat dan menjalankan semua konspirasinya yang sangat jahat.

Dengan demikian mereka telah menyatakan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya dan telah mengumumkan perang terhadap "Islam politik" beserta segenap pengemban dakwahnya yang ikhlas. Mereka mencurahkan segala potensi yang mereka miliki untuk menghalang-halangi berdirinya negara Khilafah dan kembalinya hukum yang diturunkan Allah ke tahta kekuasaan. Dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling dari kebenaran?

Adapun para pengemban Tsaqafah Islamiyah, sesungguhnya mereka tidak lagi memiliki kesadaran terhadap Islam dan hakikat/realitas hukum-hukum syara', serta tidak menyadari pula hakikat peradaban, ide, dan peraturan Barat. Selain itu, mereka juga tidak mengetahui kontradiksi antara peradaban, ide, dan pandangan hidup Barat dengan aqidah, hukum, peradaban, dan pandangan hidup Islam.

Kondisi tersebut terjadi karena taraf pemikiran kaum muslimin telah merosot sehingga mereka sangat lemah dalam memahami Islam dan hukum-hukumnya, serta telah salah paham dalam memahami cara penerapan syari’at Islam di tengah masyarakat.

Akibatnya, Islam lalu ditafsirkan dengan pengertian yang tidak sesuai dengan kandungan nash-nash syara'. Demikian juga hukum-hukum Islam ditakwilkan agar sesuai dengan kondisi yang ada, bukan sebaliknya, yaitu mengubah kondisi yang ada agar sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mereka kemudian mengambil berbagai hukum yang tidak ada dasarnya dari syara', atau dasarnya lemah, dengan hujah kaidah syar'iyah rumusan mereka yang sangat keliru :

لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ الزَّمَانِ


"Tidak diingkari adanya perubahan hukum-hukum karena adanya perubahan zaman."
|
This entry was posted on 06.30 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: