DEMOKRASI : SISTEM KUFUR [1]
06.30 | Author: kontrademokrasi

بِســمِ اللهِ الرَّحمَن الرَّحيم

Demokrasi yang telah dijajakan negara Barat kafir ke negeri-negeri Islam, sesungguhnya adalah sistem kufur. Ia tidak punya hubungan sama sekali dengan Islam, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar maupun rinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.


Karena itu, kaum muslimin diharamkan secara mutlak mengambil, menerapkan dan menyebarluaskan demokrasi.

Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dibuat manusia, dengan tujuan untuk membebaskan diri dari kezhaliman dan penindasan para penguasa terhadap manusia atas nama agama. Demokrasi adalah suatu sistem yang bersumber dari manusia. Tidak ada hubungannya dengan wahyu atau agama.


Kelahiran demokrasi bermula dari adanya para penguasa di Eropa yang beranggapan bahwa penguasa adalah Wakil Tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat berdasarkan kekuasaan Tuhan. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah memberi mereka kewenangan membuat hukum dan menerapkannya. Dengan kata lain, penguasa dianggap memiliki kewenangan memerintah rakyat dengan peraturan yang dibuat penguasa itu sendiri, karena mereka telah mengambil kekuasaannya dari Tuhan, bukan dari rakyat. Lantaran hal itu, mereka menzhalimi dan menguasai rakyat —sebagaimana pemilik budak menguasai budaknya— berdasarkan anggapan tersebut.


Lalu timbullah pergolakan antara para penguasa Eropa dengan rakyatnya. Para filosof dan pemikir mulai membahas masalah pemerintahan dan menyusun konsep sistem pemerintahan rakyat —yaitu sistem demokrasi— di mana rakyat menjadi sumber kekuasaan dalam sistem tersebut. Penguasa mengambil sumber kekuasaannya dari rakyat yang menjadi pemilik kedaulatan. Rakyat dikatakan memiliki kehendaknya, melaksanakan sendiri kehendaknya itu, dan menjalankannya sesuai sesuai keinginannya. Tidak ada satu kekuasaan pun yang menguasai rakyat, karena rakyat ibarat pemilik budak, yang berhak membuat peraturan yang akan mereka terapkan, serta menjalankannya sesuai dengan keinginannya. Rakyat berhak pula mengangkat penguasa untuk memerintah rakyat —karena posisinya sebagai wakil rakyat— dengan peraturan yang dibuat oleh rakyat.


Karena itu, sumber kemunculan sistem demokrasi seluruhnya adalah manusia, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan wahyu atau agama.


Demokrasi merupakan lafal dan istilah Barat yang digunakan untuk menunjukkan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Rakyat dianggap penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan, yang berhak mengatur urusannya sendiri, serta melaksanakan dan menjalankan kehendaknya sendiri. Rakyat tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan siapapun, selain kekuasaan rakyat. Rakyat berhak membuat peraturan dan undang-undang sendiri —karena mereka adalah pemilik kedaulatan— melalui para wakil rakyat yang mereka pilih. Rakyat berhak pula menerapkan peraturan dan undang-undang yang telah mereka buat, melalui para penguasa dan hakim yang mereka pilih dan keduanya mengambil alih kekuasaan dari rakyat, karena rakyat adalah sumber kekuasaan. Setiap individu rakyat —sebagaimana individu lainnya— berhak menyelenggarakan negara, mengangkat penguasa, serta membuat peraturan dan undang-undang.


Menurut konsep dasar demokrasi —yaitu peme-rintahan yang diatur sendiri oleh rakyat— seluruh rakyat harus berkumpul di suatu tempat umum, lalu membuat peraturan dan undang-undang yang akan mereka terapkan, mengatur berbagai urusan, serta memberi keputusan terhadap masalah yang perlu diselesaikan.


Namun karena tidak akan mungkin mengumpulkan seluruh rakyat di satu tempat agar seluruhnya menjadi sebuah lembaga legislatif, maka rakyat kemudian memilih para wakilnya untuk menjadi lembaga legislatif. Lembaga inilah yang disebut dengan Dewan Perwakilan, yang dalam sistem demokrasi dikatakan mewakili kehendak umum rakyat dan merupakan penjelmaan politis dari kehendak umum rakyat. Dewan ini kemudian memilih pemerintah dan kepala negara —yang akan menjadi penguasa dan wakil rakyat dalam pelaksanaan kehendak umum rakyat. Kepala negara tersebut mengambil kekuasaan dari rakyat yang telah memilihnya, untuk memerintah rakyat dengan peraturan dan undang-undang yang dibuat oleh rakyat. Dengan demikian, rakyatlah yang memiliki kekuasaan secara mutlak, yang berhak menetapkan undang-undang dan memilih penguasa yang akan melaksanakan undang-undang tersebut.


Kemudian, agar rakyat dapat menjadi penguasa bagi dirinya sendiri serta dapat melaksanakan kedaulatan dan menjalankan kehendaknya sendiri secara sempurna —baik dalam pembuatan undang-undang dan peraturan maupun dalam pemilihan penguasa— tanpa disertai tekanan atau paksaan, maka kebebasan individu menjadi prinsip yang harus diwujudkan oleh demokrasi bagi setiap individu rakyat. Dengan demikian rakyat akan dapat mewujudkan kedaulatannya dan melaksanakan kehendaknya sendiri sebebas-bebasnya tanpa tekanan atau paksaan.


Kebebasan individu ini nampak dalam empat macam kebebasan berikut ini :

1. Kebebasan Beragama.

2. Kebebasan Berpendapat.

3. Kebebasan Kepemilikan.

4. Kebebasan Bertingkah Laku.


Demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan yang menjadi asas ideologi Kapitalisme. Aqidah ini merupakan jalan tengah yang tidak tegas, yang lahir dari pergolakan antara para raja dan kaisar di Eropa dan Rusia dengan para filosof dan pemikir. Saat itu para raja dan kaisar telah memanfaatkan agama sebagai alat mengeksploitasi dan menzhalimi rakyat, serta alat untuk menghisap darah mereka. Ini disebabkan adanya suatu anggapan bahwa raja dan kaisar adalah wakil Tuhan di muka bumi. Para raja dan kaisar itu lalu memanfaatkan para rohaniwan sebagai tunggangan untuk menzhalimi rakyat, sehingga berkobarlah pergolakan sengit antara mereka dengan rakyatnya. 


Pada saat itulah para filosof dan pemikir bangkit. Sebagian di antara mereka ada yang mengingkari keberadaan agama secara mutlak, dan ada pula yang mengakui keberadaan agama tetapi menyerukan pemisahan agama dari kehidupan, yang kemudian melahirkan pemisahan agama dari negara dan pemerintahan.


Pergolakan ini berakhir dengan suatu jalan tengah, yaitu pemisahan agama dari kehidupan yang dengan sendirinya akan menyebabkan pemisahan agama dari negara. Ide ini merupakan aqidah yang menjadi asas ideologi Kapitalisme dan menjadi landasan pemikiran (Qaidah Fikriyah) bagi ideologi tersebut, yang mendasari seluruh bangunan pemikirannya, menentukan orientasi pemikiran dan pandangan hidupnya, sekaligus menjadi sumber pemecahan bagi seluruh problem kehidupan. Maka aqidah ini merupakan pengarahan pemikiran (Qiyadah Fikriyah) yang diemban oleh Barat dan selalu diserukannya ke seluruh penjuru dunia.


Jelaslah bahwa aqidah tersebut telah menjauhkan agama dan gereja dari kehidupan bernegara, yang selanjutnya menjauhkan agama dari pembuatan peraturan dan undang-undang, pengangkatan penguasa dan pemberian kekuasaan kepada penguasa. Oleh karena itu, rakyat harus memilih peraturan hidupnya sendiri, membuat peraturan dan undang-undang, dan mengangkat penguasa yang akan memerintah rakyat dengan peraturan dan undang-undang tersebut, serta mengambil kekuasaannya berdasarkan kehendak umum mayoritas rakyat.


Dari sinilah sistem demokrasi lahir. Jadi, ide pemisahan agama dari kehidupan adalah aqidah yang telah melahirkan demokrasi, sekaligus merupakan landasan pemikiran yang mendasari seluruh ide-ide demokrasi.


Demokrasi berlandaskan dua ide :

1. Kedaulatan di tangan rakyat.

2. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.


Kedua ide tersebut dicetuskan oleh para filosof dan pemikir di Eropa ketika mereka melawan para kaisar dan raja, untuk menghapuskan ide Hak Ketuhanan (Divine Rights) yang menguasai Eropa waktu itu. Atas dasar ide itu, para raja menganggap bahwa mereka memiliki Hak Ketuhanan atas rakyat dan hanya merekalah yang berhak membuat peraturan dan menyelenggarakan pemerintahan serta peradilan. Raja adalah negara. 


Sementara itu rakyat dianggap sebagai pihak yang harus diatur, dan dianggap tidak memiliki hak dalam pembuatan peraturan, kekuasaan, peradilan, atau hak dalam apapun juga. Rakyat berkedudukaan sebagai budak yang tidak memiliki pendapat dan kehendak, melainkan hanya berkewajiban untuk taat saja kepada penguasa dan melaksanakan perintah.


Lalu disebarkanlah dua ide landasan demokrasi tersebut untuk menghancurkan ide Hak Ketuhanan secara menyeluruh, dan untuk memberikan hak pembuatan peraturan dan pemilihan penguasa kepada rakyat. Dua ide tersebut didasarkan pada anggapan bahwa rakyat adalah ibarat tuan pemilik budak, bukan budak yang dikuasai tuannya. Jadi rakyat ibarat tuan bagi dirinya sendiri, tidak ada satu pihak pun yang dapat menguasainya. Rakyat harus memiliki kehendaknya dan melaksanakannya sendiri. Jika tidak demikian, berarti rakyat adalah budak, sebab perbudakan artinya ialah kehendak rakyat dijalankan oleh orang lain. Maka apabila rakyat tidak menjalankan kehendaknya sendiri, berarti rakyat tetap menjadi budak.


Maka untuk membebaskan rakyat dari perbudakan ini, harus dianggap bahwa rakyat saja yang berhak menjalankan kehendaknya dan menetapkan peraturan yang dikehendakinya, atau menghapus dan membatalkan peraturan yang tidak dikehendakinya. Sebab, rakyat adalah pemilik kedaulatan yang mutlak. Rakyat harus dianggap pula berhak melaksanakan peraturan yang ditetapkannya, serta memilih penguasa (badan eksekutif) dan hakim (badan yudikatif) yang dikehendakinya untuk menerapkan peraturan yang dikehendaki rakyat. Sebab, rakyat adalah sumber seluruh kekuasaan, sementara penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.


Dengan berhasilnya revolusi melawan para kaisar dan raja serta robohnya ide Hak Ketuhanan, maka kedua ide landasan demokrasi tersebut —kedaulatan di tangan rakyat, dan rakyat sebagai sumber kekuasaan— dapat diterapkan dan dilaksanakan. Dua ide inilah yang menjadi asas sistem demokrasi. 


Dengan demikian, rakyat bertindak sebagai Musyarri' (pembuat hukum) dalam kedudukannya sebagai pemilik kedaulatan, dan bertindak sebagai Munaffidz (pelaksana hukum) dalam kedudukannya sebagai sumber kekuasaan.

Demokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan suara mayoritas. Anggota-anggota lembaga legislatif dipilih berdasarkan suara mayoritas pemilih dari kalangan rakyat. Penetapan peraturan dan undang-undang, pemberian mosi percaya atau tidak percaya kepada pemerintah dalam dewan perwakilan, ditetapkan pula berdasarkan suara mayoritas. Demikian pula penetapan semua keputusan dalam dewan perwakilan, kabinet, bahkan dalam seluruh dewan, lembaga, dan organisasi lainnya, ditetapkan berdasarkan suara mayoritas. Pemilihan penguasa oleh rakyat baik langsung maupun melalui para wakilnya, ditetapkan pula berdasarkan suara mayoritas pemilih dari rakyat.


Oleh karena itu, suara bulat (mayoritas) adalah ciri yang menonjol dalam sistem demokrasi. Pendapat mayoritas menurut demokrasi merupakan tolok ukur hakiki yang akan dapat mengungkapkan pendapat rakyat yang sebenarnya.


Demikianlah penjelasan ringkas mengenai demokrasi dari segi pengertiannya, sumbernya, latar belakangnya, aqidah yang melahirkannya, asas-asas yang melandasinya, serta hal-hal yang harus diwujudkannya agar rakyat dapat melaksanakan demokrasi.


Dari penjelasan ringkas tersebut, nampak jelaslah poin-poin berikut ini :

1. Demokrasi adalah buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT. Demokrasi tidak bersandar kepada wahyu dari langit dan tidak memiliki hubungan dengan agama mana pun dari agama-agama yang diturunkan Allah kepada para rasul-Nya.


2. Demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara.


3. Demokrasi berlandaskan dua ide :

     a. Kedaulatan di tangan rakyat.

b. Rakyat sebagai sumber kekuasaan.


4. Demokrasi adalah sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan diselenggarakan berdasarkan suara mayoritas para pemilih. Semua keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diambil berdasarkan pendapat mayoritas.


5. Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebebasan, yaitu :

a. Kebebasan Beragama (freedom of religion)

b. Kebebasan Berpendapat (freedom of speech)

c. Kebebasan Kepemilikan (freedom of ownership)

d. Kebebasan Bertingkah Laku (personal freedom)


Demokrasi harus mewujudkan kebebasan tersebut bagi setiap individu rakyat, agar rakyat dapat melaksanakan kedaulatanya dan menjalankannya sendiri. Juga agar dapat melaksanakan haknya untuk berpartisipasi dalam pemilihan para penguasa dan anggota lembaga-lembaga perwakilan dengan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau paksaan.


Dengan memperhatikan poin 1 di atas, sebenarnya sudah jelas bahwa demokrasi adalah sistem kufur, tidak berasal dari Islam, dan tidak memiliki hubungan apapun dengan Islam.


Namun sebelum kami menjelaskan lebih lanjut pertentangan demokrasi dengan Islam serta hukum syara' dalam pengambilannya, kami ingin menjelaskan terlebih dahulu, bahwa demokrasi itu sendiri sebenarnya belum pernah diterapkan di negara-negara asal demokrasi, dan bahwa praktek demokrasi itu sesungguhnya didasarkan pada kedustaan dan penyesatan. Kami ingin menjelaskan pula tentang kerusakan dan kebusukan demokrasi, serta berbagai musibah dan malapetaka yang telah menimpa dunia akibat penerapan demokrasi, termasuk sejauh mana kebobrokan masyarakat yang menerapkan demokrasi.


Demokrasi dalam maknanya yang asli, adalah ide khayal yang tidak mungkin dipraktekkan. Demokrasi belum dan tidak akan pernah terwujud sampai kapan pun. Sebab, berkumpulnya seluruh rakyat di satu tempat secara terus menerus untuk memberikan pertimbangan dalam berbagai urusan, adalah hal yang mustahil. Demikian pula keharusan atas seluruh rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengurus administrasinya, juga hal yang mustahil.


Oleh karena itu, para penggagas demokrasi lalu mengarang suatu manipulasi terhadap ide demokrasi dan mencoba menakwilkannya, serta mengada-adakan apa yang disebut dengan "Kepala Negara", "Pemerintah" dan "Dewan Perwakilan". 


Namun meskipun demikian, pengertian demokrasi yang telah ditakwilkan ini pun toh tetap tidak sesuai dengan fakta yang ada dan tidak pernah pula terwujud dalam kenyataan. 


Klaim bahwa kepala negara, pemerintah, dan anggota parlemen dipilih berdasarkan mayoritas suara rakyat; bahwa dewan perwakilan adalah penjelmaan politis kehendak umum mayoritas rakyat; dan bahwa dewan tersebut mewakili mayoritas rakyat, semuanya adalah klaim yang sangat tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. 


Sebab, anggota parlemen sesungguhnya hanya dipilih sebagai wakil dari minoritas rakyat —bukan mayoritasnya— mengingat kedudukan seorang anggota di parlemen itu sebenarnya dicalonkan oleh sejumlah orang, bukan oleh satu orang. Karena itu suara para pemilih di suatu daerah, harus dibagi dengan jumlah orang yang mencalonkan. Dengan demikian, orang yang meraih suara mayoritas para pemilih di suatu daerah sebenarnya tidak memperoleh suara mayoritas dari mereka yang berhak memilih di daerah tersebut. Konsekuensinya ialah para wakil yang menang, sebenarnya hanya mendapatkan suara minoritas rakyat, bukan mayoritasnya. Maka mereka menjadi orang-orang yang mendapat kepercayaan dari minoritas rakyat dan menjadi wakil mereka, bukan orang-orang yang mendapat kepercayaan dari mayoritas rakyat dan tidak pula menjadi wakil mereka.


Demikian pula kepala negara, baik yang dipilih oleh rakyat secara langsung maupun oleh para anggota parlemen, sebenarnya juga tidak dipilih berdasarkan mayoritas suara rakyat, tetapi berdasarkan minoritas suara rakyat, sebagaimana halnya pemilihan anggota parlemen tersebut di atas.


Lagi pula, para kepala negara dan anggota parlemen di negara-negara asal demokrasi, seperti Amerika Serikat dan Inggris, sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis —yaitu para konglomerat dan orang-orang kaya— dan tidak mewakili kehendak rakyat ataupun mayoritas rakyat. Kondisi ini dikarenakan para kapitalis raksasa itulah yang mendudukkan mereka ke berbagai posisi pemerintahan dan lembaga-lembaga perwakilan, yang akan merealisasikan kepentingan para kapitalis itu. Kaum kapitalis tersebut telah membiayai proses pemilihan presiden dan anggota parlemen, sehingga mereka memiliki pengaruh yang kuat atas presiden dan anggota parlemen. Fakta ini sudah terkenal di Amerika. 


Sementara di Inggris, yang berkuasa adalah orang-orang dari partai Konservatif. Partai Konservatif ini juga mewakili para kapitalis raksasa, yaitu para konglomerat, para pengusaha dan pemilik tanah, serta golongan bangsawan yang aristokratis. Partai Buruh tidak dapat menduduki pemerintahan, kecuali terdapat kondisi politis yang mengharuskan tersingkirnya Partai Konservatif dari pemerintahan. Oleh karena itu, para penguasa dan anggota parlemen di Amerika Serikat dan Inggris sebenarnya hanya mewakili para kapitalis, tidak mewakili kehendak rakyat ataupun kehendak mayoritas rakyat.


Berdasarkan fakta ini, maka pernyataan bahwa parlemen di negeri-negeri demokrasi adalah wakil dari pendapat mayoritas, merupakan perkataan dusta dan menyesatkan. Demikian pula pernyataan bahwa para penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat dan mengambil kekuasaan mereka dari rakyat, juga merupakan dusta yang menyesatkan!

Di samping itu, peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam parlemen-parlemen tersebut, serta kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara-negara tersebut, diputuskan dengan pertimbangan: bahwa kepentingan para kapitalis harus lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat atau mayoritas rakyat.


Kemudian pernyataan bahwa penguasa/presiden bertanggung jawab kepada parlemen yang merupakan penjelmaan kehendak umum rakyat; dan bahwa keputusan-keputusan yang penting tidak dapat diambil kecuali dengan persetujuan mayoritas anggota parlemen, tidaklah sesuai dengan hakekat dan kenyataan yang ada. Sir Anthony Eden (PM Inggris), misalnya, telah mengumumkan Perang Suez terhadap Mesir tanpa memberi tahu baik kepada parlemen maupun kepada para menteri yang memiliki andil dalam pemerintahannya. Hanya dua atau tiga menteri saja yang diberitahu. John Foster Dulles pada saat Perang Suez telah diminta oleh Kongres untuk menyerahkan laporan mengenai Terusan Suez dan menjelaskan sebab-sebab pembatalan usulan pembiayaannya. Namun dia menolak mentah-mentah untuk menyerahkan laporan tersebut kepada Kongres. Sementara itu Charles de Gaulle telah mengambil keputusan-keputusan tanpa diketahui para menterinya. Raja Hussein pun telah mengambil keputusan-keputusan yang penting dan berbahaya tanpa diketahui oleh para menteri atau anggota parlemen.


Oleh karenanya, pernyataan bahwa parlemen-parlemen di negeri-negeri demokrasi telah mewakili pendapat mayoritas, dan bahwa para penguasa dipilih berdasarkan suara mayoritas serta menjalankan pemerintahan menurut peraturan yang ditetapkan dan dikehendaki oleh mayoritas, ternyata tidak sesuai dengan hakekat dan kenyataan yang sebenarnya. Perkataan itu dusta dan menyesatkan!


Penjelasan di atas berkenaan dengan kenyataan di negeri-negeri asal usul demokrasi. Adapun parlemen-parlemen di Dunia Islam, keadaannya lebih buruk lagi. Parlemen-parlemen tersebut tak lebih dari sekedar istilah yang tidak ada faktanya. Sebab, tidak ada satu parlemen pun di Dunia Islam yang berani mengkritik atau menentang penguasanya, atau menentang sistem pemerintahannya. Parlemen Yordania misalnya —yang dipilih dengan slogan "Mengembalikan Demokrasi dan Mewujudkan Kebebasan"— ternyata tidak berani mengkritik Raja Hussein, atau mengkritik rezim pemerintahannya. Padahal semua anggota parlemen tahu bahwa penyebab krisis dan kemerosotan ekonomi yang terjadi tak lain adalah kebobrokan rezim keluarga kerajaan yang telah mencuri harta kekayaan negara. 


Kendatipun demikian, tidak ada seorang anggota parlemen pun yang berani mengkritik rezim tersebut. Mereka hanya berani mengkritik Zaid Rifa'i dan beberapa menteri. Padahal mereka tahu bahwa Zaid Rifa'i dan para menteri itu hanyalah pegawai bawahan, yang tidak akan berani mengambil satu tindakan pun tanpa mendapat ijin dan restu dari raja.


Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, undang-undang yang ada umumnya justru dibuat oleh pemerintah, dalam bentuk rancangan undang-undang. Kemudian rancangan undang-undang itu dikirim oleh pemerintah ke parlemen, lalu dikaji oleh komisi-komisi khusus yang akan memberikan pendapatnya mengenai rancangan tersebut, dan kemudian menyetujuinya. Padahal faktanya banyak anggota parlemen yang tidak memahami isi undang-undang tersebut sedikit pun, sebab pembahasan dalam undang-undang tersebut bukan bidang keahlian mereka.

Oleh karena itu, pernyataan bahwa peraturan yang ditetapkan oleh parlemen-parlemen di negeri-negeri demokrasi merupakan ungkapan kehendak umum rakyat, dan bahwa kehendak umum itu mewakili kedaulatan rakyat, adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan hakikat dan kenyataan yang ada.
|
This entry was posted on 06.30 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: