IRONI DEMOKRASI
12.27 | Author: kontrademokrasi

Sidang tahunan (ST) MPR yang semula direncanakan sepuluh hari dan akhirnya dipercepat menjadi tujuh hari memboroskan biaya 20,7 miliar. Biaya sebesar itu untuk membiayai acara yang melibatkan 700 anggota MPR ditambah 250 orang pegawai sekjen MPR.
Banyak kalangan, termasuk sebagian anggota MPR sendiri, menilai ST kali ini seakan hanya sebuah reuni dari orang-orang yang dipilih menjadi wakil rakyat dengan biaya sangat besar yang diambil dari uang rakyat. ST MPR ini ibarat reuni karena tidak memiliki nilai yang penting. Banyak agenda pembahasan yang kurang mendesak. Perencanaan ST juga kurang baik. Hal ini dapat kita lihat dari dipercepatnya ST 30 persen dari waktu yang direncanakan semula. Seandainya sidang direncanakan dengan baik tentu tidak akan muncul hal demikian. Percepatan ST ini mengisyaratkan bahwa agenda yang dibicarakan kurang penting sehingga dapat dibicarakan dalam waktu yang singkat; tidak perlu pembahasan, diskusi, serta perdebatan yang lama dan mendalam. Ironisnya, semua ini harus dibiayai rakyat  sekitar 20,7 miliar.
Inilah pemborosan uang rakyat yang justru dilakukan oleh wakil-wakil mereka. Pemborosan uang rakyat oleh para anggota legislatif ini sama parahnya dengan pemborosan uang rakyat oleh kalangan eksekutif. Padahal, pada saat yang sama, banyak beban hidup rakyat justru semakin berat karena dicabutnya subsidi oleh pemerintah. Ambil contoh pendidikan. Kapitalisasi pendidikan ditambah dengan diterapkannya UU Pendidikan yang tidak jelas menjadikan lembaga pendidikan bersifat independen dan sebagian besar— kalau tidak bisa dikatakan seluruhnya— biaya dibebankan kepada rakyat. Sidang Tahunan MPR tersebut sungguh bertolak belakang dengan keadaan masyarakat yang pada bulan-bulan kemarin harus kalangkabut mencari biaya untuk sekadar memasukkan anak mereka ke sekolah. Para wakil rakyat sebagai cerminan dari pelaksana kedaulatan rakyat secara praktis malah menghambur-hamburkan uang yang sejatinya dipungut dari rakyat. Sangat getir, memang.
Tidak pentingnya ST MPR juga terlihat dari tidak dikritisinya kebijakan Presiden. Artinya, pelaksanaan pemerintahan selama setahun ini tidak dikritisi. Padahal, katanya MPR adalah wujud dari kedaulatan rakyat dan pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat. Kalau Presiden saja tidak dikritisi, apalagi sistem yang rusak saat ini. Kalau demikian halnya, bagaimana perbaikan menyeluruh dapat terwujud?
Inilah demokrasi, atau setidaknya, inilah pelaksanaan demokrasi. Yang ada adalah formalisasi berbagai kepentingan dari pihak-pihak tertentu. Kenyataan demikian tidak hanya terlihat di negeri ini, tetapi juga di negara kampiun demokrasi seperti AS, Inggris, dan negaranegara Eropa. Sekali lagi, yang ada adalah formalisasi kepentingan. Substansinya sendiri, yaitu kemaslahatan rakyat, tidak mendapat tempat. Inilah demokrasi dan pelaksanaannya di dunia.
Konsep kedaulatan rakyat yang terdengar begitu membius ternyata hanya sekadar khayalan yang sangat jauh dari kenyataan. Dalam sistem demokrasi, pemerintah menjalankan kontrak dari rakyat untuk menjalankan pemerintahan dengan mendapat gaji dari rakyat. Anehnya, pihak yang digaji menjadi lebih berkuasa atas pihak yang menggaji. Pekerja lebih berkuasa atas majikan daripada sang majikan sendiri. Jika rakyat berdaulat, mengapa rakyat dan kehendak rakyat tidak diperhatikan; mengapa pemerintah yang katanya bekerja untuk rakyat malah banyak memaksa rakyat; mengapa justru rakyat yang menuruti keinginan penguasa? Lalu di manakah kedaulatan rakyat itu? Inilah sebagian dari ironi demokrasi. Kedaulatan rakyat sebagai pilar demokrasi ternyata hanya ilusi. Demokrasi hanyalah formalisasi berbagai kepentingan dari pihak-pihak tertentu, tidak lebih. Rakyat tetap saja sebagai obyek penderita, tidak menjadi subyek.

Pandangan Islam
Islam dengan tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan syariat, tidak di tangan rakyat maupun penguasa. Syariatlah yang berhak menentukan hukum, sistem, dan aturan bagi mereka. Mereka tinggal melaksanakannya. Allah Swt. berfirman:
]إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ[
Sesungguhnya menetapkan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (TQS Yusuf [12]: 40).

Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa menentukan hukum (kedaulatan) hanya milik Allah. Artinya, kedaulatan berada di tangan syariat. Allah juga melarang manusia untuk menghambakan diri kepada selain Dia. Penghambaan kepada selain Allah ini dapat terjadi ketika manusia memberikan hak menentukan atau membuat hukum kepada selain Allah. Sebab, itu berarti manusia telah menyekutukan Allah. Ini jelas sikap yang sangat lancang. Sikap demikian tidak layak ditunjukkan oleh kaum Muslim yang beriman kepada Allah dan bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah.
Kita semua adalah orang-orang yang beriman dengan sepenuhnya kepada Allah dan tidak akan menyekutukan-Nya. Jadi, tidak layak jika terjadi penuhanan terhadap rakyat dengan cara memberikan otoritas kepada mereka untuk membuat hukum.
Dengan demikian, demokrasi bertentangan sama sekali dengan Islam. Memang, banyak kalangan yang menyamakan demokrasi dengan konsep syura (musyawarah) dalam Islam. Padahal sesungguhnya syura sangat berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan demokrasi.
Islam memang mensyariatkan syura. Dalam Islam, syura hukumnya sunnah. Syura menurut Islam adalah meminta pendapat orang yang diajak bermusyawarah dalam perkara-perkara yang mubah. Hak syura merupakan hak seluruh kaum Muslim terhadap Khalifah (kepala pemerintahan Islam). Kaum Muslim memiliki hak terhadap Khalifah agar Khalifah dalam banyak persoalan merujuk kepada mereka untuk meminta pendapat mereka. Untuk melaksanakan hal ini, rakyat memilih wakil-wakil mereka yang akan menjadi anggota majelis umat. Dengan demikian, majelis umat merupakan majelis yang terdiri dari orang-orang yang mewakili kaum Muslim. Tujuannya adalah agar aspirasi mereka menjadi bahan pertimbangan Khalifah dan majelis umat sendiri menjadi tempat Khalifah untuk meminta masukan dalam urusan-urusan kaum Muslim. Keberadaan majelis umat disyariatkan oleh Islam.
Wewenang majelis umat ini antara lain: Pertama, memberi masukan kepada Khalifah dalam aktivitas dan perkara praktis yang tidak memerlukan penelitian dan analisis seperti masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi, perdagangan, dsb. Pendapat majelis dalam perkara ini bersifat mengikat dan harus dilaksanakan oleh Khalifah. Coba bandingkan dengan sistem demokrasi yang dalam berbagai urusan itu suara wakil rakyat yang katanya memiliki kedaulatan ternyata tidak serta-merta mengikat pemerintah. Sebaliknya, dalam masalah yang memerlukan penelitian dan analisis serta keahlian/ilmu tertentu Khalifah boleh merujuk majelis, namun pendapat majelis tidak mengikat.
Kedua, Khalifah boleh menyodorkan rancangan hukum dan undang-undang syariah yang hendak diadopsi kepada majelis dan anggota majelis yang Muslim berhak memberi masukan mana yang benar dan mana yang salah menurut dalil syar’i (al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas Syar’i).
Ketiga, majelis berhak untuk mengoreksi seluruh tindakan Khalifah. Jika masalah yang dikoreksi merupakan masalah dimana suara mayoritas mengikat maka koreksi majelis mengikat Khalifah.
Keempat, majelis sebagai representasi aspirasi rakyat boleh menampakkan ketidakridhaan kepada pembantu Khalifah (mu’awin), gubernur (wali), dan amil (setingkat bupati). Jika ini terjadi, Khalifah harus memenuhi suara majelis dan mengganti pejabat tersebut. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Rasulullah ketika mengganti al-Ala’ bin al-Hadhrami karena ketidakridhaan wakil penduduk Bahrain. Yang seperti ini tidak terjadi dalam sistem demokrasi. Ketentuan ini sangat berbeda dengan sistem demokrasi. Kasus perselisihan DPRD beberapa daerah dengan pemerintah pusat mengenai pengangkatan dan pencopotan gubernur atau walikota beberapa waktu lalu menjadi contoh buruk sistem demokrasi dan menunjukkan keunggulan sistem Islam.
Kelima, kaum Muslim yang menjadi anggota majelis umat berhak membatasi calon yang akan dipilih menjadi khalifah. Pemilihan khalifah dilakukan langsung oleh rakyat atau oleh anggota Majelis Umat yang muslim sebagai representasi dari kaum Muslim. Selanjutnya calon yang memenangkan pemilu di baiat menjadi Khalifah yang akan menjalankan pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.
Ini hanya sebagian dari ketentuan sistem Islam berkait dengan majelis umat. Dari sini tampak keadilan sistem Islam yang menempatkan kedaulatan ada di tangan syariat dan kekuasaan ada di tangan umat.

Wahai Kaum Muslim,
Tampak jelas di hadapan kita bahwa sistem demokrasi hanyalah ilusi dan khayalan yang membius. Dalam pelaksanaannya, demokrasi hanyalah formalisasi dari berbagai kepentingan. Substansi demokrasi tidak mendatangkan kemaslahatan bagi kita semua, namun hanya menjadikan kita sebagai “obyek”-an dari pihak-pihak tertentu demi kepentingan mereka sendiri, bukan untuk kepentingan dan kemaslahatan kita semua.

Wahai kaum Muslim,
Kita semua adalah pewaris sistem yang agung ini. Kita adalah pewaris sistem yang dituntun oleh wahyu dari Allah yang Mahabenar ini. Kita adalah kaum yang secara penuh beriman kepada Allah yang Mahabenar dan Mahabijaksana. Oleh karena itu, tidak ada yang layak diterapkan oleh kita sekalian kecuali sistem Islam. Tidak layak kita merendahkan diri dengan menerapkan sistem lain yang bertentangan dengan sistem yang agung ini. Sistem demokrasi yang memberikan kedaulatan kepada rakyat tidak layak untuk kita ikuti. Sistem itu justru menempatkan rakyat sebagai sekutu bagi Allah, Tuhan kita. Na‘ûdzu billâh min dzâlik.
Oleh karena itu, wahai kaum Muslim, sudah saatnya kita melepaskan sistem buruk itu dan kita terapkan sistem Islam yang agung ini. []

This entry was posted on 12.27 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: