Benarkah Demokrasi Mengabaikan Publik?
21.58 | Author: kontrademokrasi

Oleh Warih Sutaryono, SPd*)

Presiden Goerge W. Bush dalam pidatonya pada Kamis, 6/11/2003, di depan The National Endowment for Democracy  mengungkapkan pentingnya demokratisasi di Timur Tengah. Menurutnya selama kebebasan (freedom) belum tumbuh di Timur Tengah, kawasan itu akan menjadi wilayah jumud, peng’ekspor’ kekerasan, termasuk menjadi tempat penyebaran senjata yang membahayakan negara AS.

Pensakralan Demokrasi

Selama ini demokrasi juga dianggap sebagai ideologi suci anti tiran dan kediktatoran. Slogannya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi itu adalah perwujudan spirit liberte, egalite dan fraternite (kebebasan, kesamaan dan persaudaraan). Melawan demokrasi berarti melawan rakyat, dan suara rakyat itu adalah kebenaran. Munculnya istilah suara rakyat suara Tuhan (vox populi, vox dei).
Penyebab demokrasi amat disakralkan karena  ia konon dilahirkan dari sebuah revolusi berdarah-darah umat manusia melawan kedzaliman, praktik otoritarian. Yaitu upaya reaksioner kaum filsuf, cendekiawan dan rakyat Nasrani yang ditindas para kaisar di Eropa yang disahkan pihak gereja. Sejarah kemudian didramatisir ini lalu dianggap sebagai sebuah pencerahan (renaissance) umat manusia dari kegelapan (aufklarung/dark ages)

Demokrasi Untuk Minoritas

Berdasarkan penelitian C. Wright  Mills yang memfokuskan penelitiannya pada persoalan elit politik disebuah kota kecil di AS. Dia melihat bahwa meskipun pemilu dilakukan secara demokratis, ternyata elit penguasa yang ada selalu datang dari kelompok yang sama. Kelompok ini merupakan kelompok elit di daerah tersebut yang menguasai jabatan-jabatan negara, militer, dan posisi kunci perekonomian. Memang secara ide, demokrasi   sering menyatakan bahwa semua orang bisa menempati jabatan negara, militer atau memegang posisi bisnis kelas atas. Akan tetapi dalam kenyataannya jabatan-jabatan itu cenderung diduduki oleh kelompok tertentu (minoritas).  Demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas.

Pada praktiknya kedaulatan rakyat sering menjadi omong kosong. Partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat pemilu. Sedangkan kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa yang –sekalipun mengatas-namakan rakyat—sering malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988. “Kata Pengantar“ Khilafah dan Kerajaan: 19-21)

Demokrasi Mengabaikan Publik

 Sikap pengabaian publik, mungkin itu yang sering dialami masyarakat kelas bawah.  Rakyat selalu menjadi obyek yang terlupakan. Berbagai kejadian yang menimpa masyarakat seperti musibah flu burung, banjir, penggusuran, pengungsian di daerah konflik, pengusiran TKI dari negeri Jiran, dampak polusi dari gunungan sampah, hingga pembatalan massal calon peserta haji yang tidak mendapatkan kuota. Berbagai musibah dan bencana itu menimpa rakyat, opini yang berkembang bahwa pelayan rakyat (para aparat pemerintah) kurang melakukan gerak cepat untuk mengkoordinasi evakuasi atau distribusi bantuan.
Mengkritisi adanya sikap seperti itu., setidaknya ada dua faktor penyebab pengabaian nasib rakyat, yaitu:
1). Paradigma politik yang berkembang di masyarakat adalah paradigma materialistik. Politik dipisahkan dari misi melayani urusan rakyat sebagai titipan (amanah) dari Tuhan. Akibatnya politik hanya dipandang sebagai salah satu “bisnis” seperti bisnis-bisnis lainnya. Orang terjun ke politik bukan karena ingin menjadi pelayan rakyat, namun karena membayangkan “keuntungan” besar dan cepat setelah “investasi” yang dilakukan dalam proses pen-caleg-kan.
2). Sistem yang dijadikan pedoman mengatur masyarakat. selama ini. Masyarakat menyangka bahwa sistem demokrasi adalah sistem terbaik, karena konon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun faktanya ditengah-tengah masyarakat terdapat cenderung ada perbedaan awal posisi tawar menawar (unbalanced starting point) dalam pembuatan suatu aturan atau kebijakan. Akibatnya, aturan-aturan atau kebijakan selalu dibuat mengikuti kepentingan mereka yang telah memiliki kekuasaan yang notabene telah “berinvestasi politik” cukup besar untuk naik kursi. Banyak muncul masalah dalam demokrasi, seperti: konflik horisontal ditengah masyarakat, ada yang menuntut kebebasan-kemerdekaan sehingga muncul disintegrasi (seperti di Aceh, Maluku, Papua), seringnya kisruh pemilihan kepada daerah di beberapa tempat.
Kesimpulan
Wajar kalau kita berupaya untuk membentengi masyarakat dari kehadiran “para pejabat” atau politisi busuk yang abai terhadap rakyatnya. Islam mengajarkan bahwa kepedulian pada semua urusan rakyat menjadi barometer apakah seseorang itu masih termasuk bagian dari kaum muslim atau tidak. Rasul bersabda: “Siapa saja yang bangun pada pagi hari, sedangkan ia tidak ikut memperhatikan urusan kaum Muslimin, maka ia tidak termasuk  golongan mereka” (HR Al Hakim)
Ketika perintah ini dipahami dan menjadi standar di masyarakat, maka akan terjadi sinergi yang luar biasa. Dengan begitu, masyarakat selalu menjadi terjaga dari pengabaian pejabat. Mereka tidak ingin menjadi rakyat yang terlupakan. Mereka menjadi sumber energi dahsyat untuk mengoreksi penguasa yang abai. Dengan rakyat yang seperti itu maka, maka akan lahir para pejabat yang profesional.
Dikisahkan dalam sejarah bahwa Khalifah Umar bin Khathtab biasa melakukan sidak atas kehidupan rakyat jelata maupun para pejabatnya. Umar saat itu sampai rela memanggul sendiri karung gandum dari Baitul Mal, ketika tahu masih ada janda yang sampai memasak batu bagi anak-anaknya yang kelaparan. Kita tentunya berharap munculnya pejabat semulia beliau.

*)Trainer Konsorsium Training Islam (KTI) Insan Utama Malang
This entry was posted on 21.58 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: